Share

Malam Pertama yang Terlewatkan

"Saya terima nikah dan kawinnya Amira binti Jatmiko dengan mas kawin uang tunai sebesar seratus ribu rupiah," ucap Galih dengan suara lantang.

"Bagaimana SAH?" tanya penghulu itu penuh semangat.

"SAH!!" jawab para tamu undangan serempak.

Setelah pengucapan ijab kabul tersebut aku langsung menghela napas begitu lega. Rasanya beban hutang yang selama ini membuat pundakku sakit pun perlahan terasa ringan saat duduk tegak.

Amira dibawa masuk ke dalam ruangan besar itu dan duduk disampingku. Aku memakaikan cincin di jari manis tangan kirinya sebagai bentuk simbol ikatan pernikahan yang telah kita jalani. Mulai hari ini, kita berdua adalah pasangan suami istri. Amira mencium punggung tanganku dengan sikap begitu hormat. Ia memang bukan wanita dari kalangan kaum alim, tapi akhlaknya begitu baik dan beradab sekali.

Jantungku berdebar sangat kencang saat bibir Amira menyentuh punggung tangan ini lalu menatap wajahku dengan penuh cinta. Senyum Amira yang manis penuh ketulusan. Aku spontan menarik tangan Amira agar wajahnya mendekat padaku dan kukecup kening Amira sebagai tanda aku menerimanya sebagi istriku yang SAH.

Marni dan Amira adalah wanita yang aku nikahi secara SAH. Bedanya Marni aku nikahi karen aku mencintainya dulu, sedangkan Amira, aku nikahi karena keinginan Bapak dan pstinya atas restu Marni.

Hari itu aku melupakan Marni sejenak dan menjalani acara resepsi pernikahan yang sederhana namun tetap terasa mewah bagiku. Para tamu undangan tak putus hadir menyalamiku dan Amira serta mengucapkan selamat berbahagia menmpuh hidup baru. Saat itu aku melihat Amira yang begitu bahagia dan senyumnya selalu terbit untu para tamu undangan yang telah ikut mendoakan pernikahan kami.

"Mau kemana Mas?" tanya Amira yang baru saja selesai mandi karena tubuhnya mulai gatal terlalu lama memakai baju pengantin.

Amira menatapku lekat saat aku susdah mengganti pakaianku tanpa mandi terelbih daahulu dan ingin bergegas pulang. Amira masih menggosok rambut panjangnya dengan handuk kecil agar cepat kering.

Suara Amira yang lembut membuatkau menoleh ke arah istri keduaku dan memberikana senyum manisku secraa spontan.

"Eummm ... Mas harus pulang, Mira," ucapku begitu datar.

Memang perasaanku pada Amira masih biasa saja. Aku sama seklai tak menyukai Amira apalagi mencintai perempuan yang baru beberapa jam yang lalu aku nikahi didepan Ayah kandungnya.

Amira menghampiriku dan duduk di tepi ranjang sambil menatap tas hitam yang akan aku bawa pulang ke rumah.

"Tapi Mas? Ini malam pertama kita? Masa mau pulang?" ucap Amira begitu mengiba. Amira sepertinya menginginkan malam ini aku bisa tidur bersamanya layaknya pengantin baru.

"Maafkan Mas, Mir. Mas tidak bisa meninggalkan Marni, Kakakmu sendirian dirumah. Kamu tahu, bagaimana perasaan Kakakmu saat ini, kan? Lain kali, aku pasti akan menginap," ucapku menenangkan Amira.

Terlihat raut wajah Amira berubah menjadi sedih, padajal beberapa jam yang lalu senyumnya tak pernah pudar dan Mira bisa tertawa dengan keluarga dan sahabatnya.

"Tapi Mas," ucap Amira masih berusaha mencegah kepergianku.

"Maaf Mira. Mas harus pulang sekarang. Ini sudah larut," ucapku dengan nada memohon dan memelas agar AMira mau melepas keperganku dengan ikhlas.

"Mas ... Ini rumah Ayah. Hargai dan hormati Ayah didepan keluarga besarnya. Keluarga besar Ayah tidak ada yang tahu, kalau Amira ini hanya menjadi istri kedua. Kalau mereka tahu, hancur sudah hidup Ayah dan Amira," ucap Amira memohon padaku.

Ya, Aku melupakan soal ini. Aku tinggal dirumah Juragan Empang, Ayah dari Amira, istri keduaku.

"Tapi, Mir ...," ucapku lirih.

"Begini saja Mas. Kita pergi bersama biar orang tidak curiga," ucap Amira mencari jalan tengah yang baik.

Aku sedikit tersentak dengan ucapannya yang begitu bijak.

"Pergi bersama? Lalu kamu? Nanti gimana?" tanyaku ragu.

"Antar Mira ke warung nasi saja. MIra ada kamar untuk beristirahat," ucap Mira pelan sekali. Aku tahu ini tak mudah bagi Mira. Pernikahan yang diawali dengan sedikit paksaan dan harus menerima kenyataan pahit lainnya, jika aku memang bukan lelaki single melainkan lelaki yang sudah memiliki istri.

"Kamu sendiri disana?" tanyaku mulai penasaran.

"Gak Mas. Ada beberapa orang yang kerja untuk mempersiapkan masakan besok pagi," ucap Amira menjelaskan.

"Syukurlah kalau ada temannya," jawabku begitu enteng.

Aku bernapas lega mendengar jawaban Amira yang tak sendiri berada disana. Lho? Kenapa aku harus peduli pada MIra? Mira mau sendiri atau dengan siapa, seharusnya aku tak perlu mengkhawatirkan dia.

Aku duduk ditepi ranjang sambil menunggu Amira mengganti pakaiannya dan memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas pakaian yang tak begitu besar. Lalu menutup rapat dan meletakkan dilantai.

"Mas ...," panggil Amira lirih dan aku langsung mengangkat wajahku menatap Amira.

"Ya, Mir," jawabku datar.

"Besok sarapan paginya diwarung MIra aja. Nanti Mira siapkan untuk Mas Galih. Mas Galih suka kopi atau teh?" tanya Amira mulai ingin tahu apa yang menjadi kesukaanku.

"Apa saja Mir. Mas janji, besok Mas akan mampir ke warung nasi kamu. Maafkan Mas, jika Mas tidak berlaku adil padamu, Mira," ucapku basa basi.

Sudah seharusnya dan sepantasnya, kalau Amira yang seharusnya mengalah dan mengerti akan keadaan ini bukan Marni. Bagiku, Marni adalah segalanya dan tak pantas aku sakiti lagi hatinya. Cukup, pernikahan ini membuatnya sakit dan aku? Aku harus menunjukkan bahwa aku juga terpaksan dengan pernikahan ini.

Malam ini, akhirnya aku dan Amira bisa pergi dari rumah dengan alasan ingin tidur di warung. Kami berkilah karena kami ingin menikmati malam pertama dengan diiringi suara jangkrik dan kodok yang berada diantara sawah.

Sedikit canggung, mengajak Amira duduk diatas jok motor maticku. Amira tak berani memegang pinggang atau jaketku.

"Pegangan Mira, nanti kamu jatuh. Jalan ini begitu rusak dan gelap," titahku pada Amira.

"Iya Mas," jawabnya terdengar samar karena suara Amira yang lembut ikut diterpa angin malam.

Setengah jam melewati jalanan yang begitu hancur penuh lubang dan berbatu. Akhirnya motorku berhasil sampai didepan warung nasi milik Amira. Aku tidak banyak bertanay, ini usaha Amira pribadi atau milik Ayahnya atau ia hanay mengelola atau sebagianya.

"Mas Galih gak mau mampir dulu. Ngopi dulu," tawar Amira penuh harap.

"Maaf ya, Mir. Mas belum bisa mampir, ini sudah malam. Kasihan Marni, Kakakmu," ucapku tegas.

"Iya Mas. Mas Galih hati -hati ya. Ini sudah malam, mau hujan juga dan jalannya gaak bagus," ucap Amaira mengingatkanku. Amira mengulurkan tangannya dan langsung menarik punggung tanganku untuk salim layaknya suami istri lainnya yang begitu hormat kepada suaminya.

Aku mnegusap kepala Amira penuh kasih sayang dari luar hijab yang dikenakannya. Amira itu memang istimewa dan spesial. Wanita yang tangguh dan mandiri serta bisa menutup auratnya dengan baik. Tak hanya itu, Amira begitu cantik luar dalam baik memakai hijab ataupun tidak.

Motorku kembali melaju dengan cepat. Sebelum sampai dirumah, aku membelikan martabak manis dan beberapa kebutuhan rumah untuk Marni, istriku. Alhamdulillah sekali, hari ini aku mendapat rejeki dari Ayah mertuaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status