Share

Restu untuk Pernikahan Kedua

Galih mendekati ruang ICU dan menatap Sang Ayah begitu lemah. Seharusnya, jika ia bisa membiayai pengobatan Ayah di rumah sakit besar yang ada di kota, mungkin kondisinya tidak akan seperti ini.

"Aku harus bagaimana? Tidak mungkin aku menikah lagi jika kedua -duanya tak paham situasi dan kondisiku. Marni, maafkan aku, suamimu," ucap Galih lirih.

Aku kembali duduk di kursi besi yang panjang dan menatap nanar ke arah ruang ICU. Bagaimana nasib Ayahnya setelah ini.

"Mas Galih ...," panggil Marni dengan wajah yang pucat dan kedua mata bengkak karena terlalu lama menangis.

Aku pun menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Marni, istriku sedang berjalan ke arahku dengan membawa berkas di pelukannya.

"Marni?" ucapku lembut dan kaget melihat Marni.

Jarak antara rumah dan rumah sakit ini cukup jauh. entu saja harus menaiki kendaraan untuk sampai kesini.

"Tanda tangani ini," titah Marni padaku. Marni menyodorkan satu bendel yang tertutup rapi di dalam map berwarna kuning.

"Tanda tangan? Ini apa, Marni," tanyaku tak mau gegabah soal tanda tangan.

"Kita cerai saja," jawab marni enteng dengan napas begitu berat.

Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. Tentu saja aku tidak mau hal ini terjadi. Aku masih mencintai Marni.

"Mudah sekali kamu bilang kata cerai Marni. Kamu lupa perjuangan kita sampai bisa menikah?" tanyaku pelan sekali. Ini rumah sakit, aku tidak mungkin bercerita dengan suara keras hingga terdengar oleh pengunjung rumah sakit lainnya.

Marni sama sekali tak menatapku. Pandangannya tetap lurus ke depan dengan napas yang panjang seperti menahan emosi yang tak ingin ia luapkan juga.

"Mas Galih juga mudah bilang ingin menikah lagi. Tak ada mendung tak ada hujan, permintaan mas Galih itu sungguh menyakitkan hati Marni," ucap Marni dengan suara berat terseret.

Aku menatap Marni yang duduk persis di sampingku dengan memangku map kuning itu. Kedua matanya tetap terbuka. Wajahnya sendu sekali. Mungkin memang semenyakitkan itu permintaan ijin menikah lagi yang kupinta malam tadi.

Tanganku berusaha menggapai dan menggenggam tangan Marni, istriku. Namun, Marni sengaja mengelak dan menghempaskan tanganku hingga aku mengalah untuk tak menyentuhnya lagi.

"Marni ... Mas itu sangat mencintai kamu. Maafkan Mas, jika permintaan Mas semalam malah membuat kamu sakit hati. Mas itu berada pada pilihan yang sulit. Kamu lihat sendiri kan? Ayah sakit keras. Sampai saat ini, Ayah belum juga sadar dari komanya. Permintaannya hanya satu, agar Mas mau menikahi Amira, putri Juragan Empang karena Ayah emmiliki banyak hutang dimasa lalu. Kamu ngerti kan, Marni," ucapku meyakinkan Marni.

Marni hanya mengangguk pelan dan memejamkan kedua matanya sebentar.

"Ya sudah. Ini jalan tebaik untuk Mas berbakti kepada Ayah. Ceraikan Marni dan menikahlah dengan Amira," ucap Marni terbata.

Tangisan Marni pun pecah seketika. Ia tidak bisa menahan rasa sesak di dadanya saat ini. Air matnay luruh begitu saja membasahi pipinya yang mulus tanpa riasan sedikitpun.

Aku langsung merangkul Marni dan membawa tubuh Marni ke dalam dekapan dadaku. Ini semua salahku hingga membuat hati seorang bidadari yang kucintai ini sakit hati dan menangis. Tidak ada wanita yang mau dimadu, apapun alasannya. Mereka akan tetap mempertahankan pernikahannya atas nama cinta. Janji suci pernikahan itu begitu sakral terucap untuk bersatu selamanya.

"Maafkan Mas, Marni. Mas tidak akan meminta ijin untuk menikah lagi. Mas tahu, ini adalah permintaan sulit yang tak mungkin kamu ijinkan untuk Mas," ucapku lirih. Aku lebih memilih Marni, istriku dan mengorbankan Ayah. Mau bagaimana lagi? Aku juga tak mungkin menceraikan Marni dan mengembalikan Marni pada keluarganya. Apalagi, kedua orang tua Marni sudah tidak ada.

"Ayah gimana?" tanya Marni pelan. Diam -diam Marni juga memikirkan kondisi Ayahku.

"Sudahlah, tak usah risau dengan kondisi Ayah. aku mohon kamu mau menjaga Ayah. Aku ingin mencari pinjaman dulu untuk membayar semua hutang -hutang Ayahku pada Juragan Empang. Kalau tidak, rumah kita akan disita," ucapku lirih.

Marni segera menegakkan duduknya dan menatap kedua mataku dengana tajam.

"Mas? Memang hutang Ayah banyak?" tanya Marni yang tak pernah tahu soal ini.

"Banyak Marni. Gajiku saja tidak cukup untuk membantu membayar hutang -hutang Ayah. Apalagi saat ini harus membiayai rumah sakit. Ini gak mudah," ucapku pelan. Lebih baik jujur dari pada aku melakukan kesalahan fatal lagi dan membuat Marni jauh lebih kecewa dan sakit hati.

"Mas Galih mau pinjam siapa?" tanya Marni cemas.

"Mas mau coba pinjam kepala sekolah. Mungkin ada," ucapku tak yakin

Marni mengangguk kecil, "Maaf ya, Mas. Marni tidak bisa membantu apapun untuk meringankan beban ini."

"Tidak apa -apa, Marni. Mas yang mau minta maaf, sudah menyakiti hati kamu karena keegoisan Mas," ucapku menyesal.

Aku berpamitan pada Marni untuk mendatangi rumah Kepala Sekolah dan meminjam sejumlah uang yang cukup besar untuk membayar hutang Ayah pada Juragan. Marni tetap berada di rumah sakit untuk menunggu Ayah.

***

"Kamu siapa!" tanya Juragan Empang pada Marni.

Marni dengan berani mendatangi rumah Juragan Empang dan menyetujui pernikahan kedua untuk suaminya. Marni tak tega melihat Ayah mertuanya begitu kesakitan dan tak sadarkan diri. Marni lebih memilih dirinya yang berkorban demi keluarga Galih.

"Namaku Marni, istri Mas Galih. Boleh bertemu dengan Amira?" tanya marni pada Juragan Empang.

"Untuk apa? Toh, Pernikahan itu tak akan pernah terjadi. Aku tidak akan mengijinkan putriku menikah dengan laki -laki yang sudah berkeluarga!! Aku telah dibohongi oleh tua bangka itu. Ternyata putranya sudah menikah," ucap Juragan Empang penuh emosi.

Deg!

Deg!

Deg!

Marni terdiam dengan ucapan Juragan empang baru saja. Jadi, selama ini, pernikahan Mas Galih dan Amira sudah dipersiapkan jauh -jauh hari. Tapi, Ayah Mas Galih lebih memilih kebahagiaan Mas Galih yang malah memilihku menjadi istrinya dibanding menikah dengan Amira.

"Ayah!! Dia tamu kita. Tak seharusnya Ayah bersikap kasar speerti itu," ucap Amira yang tiba -tiba datang dan menghampiri Marni.

"Untuk apa kamu ladeni tamu tak tahu di untung itu!" ucap Juragan Empng dengan murka.

"Maafkan sikap Ayahku, Kak Marni," ucap Amira yang memang sangat cantik sekali. Suaranya lembut dan sikapnya sangat ramah. Tidak ada alasan untuk menolak pernikahan kedua Mas Galih, jika memiliki istri seperti Amira.

Marni mengangguk kecil dan tersenyum ragu pada Amira.

"Ada apa Kak? Ada yang bisa Amira bantu?" tanya Amira lembut.

"Ada Amira. Menikahlah dengan Mas Galih, suamiku. Aku menyetujui pernikahan kedua ini demi Ayah mertuaku," ucap Marni dengan jujur.

Amira menatap lekat kedua mata Marni yang begitu jujur dan tulus. Amira menoleh ke arah Ayahnya dan meminta pendapat sang Ayah soal ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status