Share

Saudara Sepupu

Mirna membuka pintu rumah dengan sedikit rasa malas. Mungkin ia masih belum bisa menerima kejadian hari ini, bahwa aku sudah menikah lagi dengan wanita lain.

"Marni ... Mas bawa oleh-oleh untuk kamu," ucapku begitu bersemangat. Entah salah apa aku malam ini hingga Marni istriku sama sekali tidak mau menatap wajahku dan melengos begitu saja masuk ke dalam rumah tanpa menyalim padaku seperti malam-malam sebenlumnya.

Aku tertegun melihat perilaku Marni saat ini. Sama sekali tidak mencerminkan menjadi istri yang baik dan sholehah seperti sebelumnya. Aku hanya berdehem pelan dan melepas alas kaki di dalam rumah dan masuk ke dalam sambil menenteng plastik berisi martabak.

Aku lihat, Marni juga sedang sibuk memegang ponselnya dan sama sekali tak memperhatikan aku.

Aku melepas jas hitam ditumpukan cucian kotor dekat kamar mandi. Plastik martabak aku buka dan mulai aku rapihkan di piring untuk aku bawa ke kamar tidur.

Malam ini aku ingin menebus semua kesalahan aku pada Marni. Aku akan menatap bintang dari jendela kamarku sambil menikmati teh manis panas dan martabak kesukaan istriku.

"Sayang ... Aku tadi beli ini. Martabak juara kesukaan kamu. Yuk, Kita makan bareng. Mas lapar. Kamu juga pasti lapar kan?" tanyaku sambil meletakkan piring dan satu gelas air teh manis di meja.

Aku langsung membuka kemeja putihku dan melepas celana bahan hitam yang aku pakai untuk acara ijab tadi. Aku menggantinya dengan kain sarung lemas berwarna hijau dengan corak kotak-kotak dan kaos oblong berwarna putih.

Aku duduk ditepi ranjang tepat disamping Marni yang masih fokus bermain ponsel tanpa menghiraukan kehadiranku sama sekali.

"Marni ..." Aku memanggil nama istriku dengan suara yang begitu lembut. Namun, Istriku tetap asyik menatap layar ponselnya dengan wajah serius.

Sekali, dua kali, aku masih bisa sabar. Ketiga kalinya aku memanggil namanya dengan sangat keras dan lantang agar Marni tahu aku sedang marah kepada dirinya.

"Marni Lestari!!" ucapku dengan suara sedikit meninggi.

"Hemmm ...," jawab Marni sambil melirik sekilas ke arahku lalu memandang lagi ke arah ponselnya.

Aku merasa tidak dihargai sebagai laki-laki dan aku ikut mentaap layar ponsel Marni yang mulai meredup dan akhirnya dimatikan. Aku berusaha mengambilnya dan melihat apa isi ponsel itu hingga Marni bisa mengabaikan aku.

"Mas mau lihat ponsel kamu. Boleh Mas pinjam sebentar?" tanyaku begitu lembut dengan nada begitu tenang.

Aku tak pernah berpikir macam-macam tentang istriku. Aku selalu menaruh kepercayaan yang begitu penuh padanya. Selama ini tidak ada yang aneh pada perilaku istriku. Tapi, memang baru kali ini, Marni mendiamkan aku. Mungkin memang karena ia sedang merajuk atas kesalahan fatal yang aku buat.

"Untuk apa? Bukankah lebih baik sekarang kita jalani kehidupan kita masing-masing tanpa mengganggu privasi?" ucap Marni begitu kasar.

Aku menatap Marni begitu lekat dan semakin dalam. Aku hanya melihat, Marni istriku kini menjadi berbeda. Belum ada satu hari , ia aku tinggalkan.

"Kamu kenapa Marni?" tanyaku ingin memastikan apa yang terjadi pada Marni.

"Kenapa? Mas Galih masih nanya Marni kenapa? Apa perlu Marni jawab?" tanya istriku sambil melotot tanpa rasa takut.

Marni langsung berdiri dan keluar dari kamar lalu berjalan menuju sofa sambil membuka ponselnya kembali dan memainkan jari-jarinya dengan lincah diatas ponsel layar sentuh itu.

Malam ini, aku biarkan Marni melakukan hal yang menjadi kesukaannya. Mungkin saja memang Marni masih kesal. Aku menikmati minuman hangat itu sendiri dan mulai melahap martabak manis yang kubeli tadi dijalan.

Setelah menikmati beberapa potong martabak, aku lansung mengambil posisi untuk tidur karena besok pagi aku harus melanjutkan kativitasku sebagai guru seperti hari-hari biasanya.

***

Malam pertama Amira yang harus ia habiskan sendirian diwarungnya sendiri. Beberapa pekerjanya sudah sibuk meracik dan memotong sayuran untuk jualan besok. Hati Amira sedikit terobati karena beberapa teman yang sudah dianggap keluarganya itu tengah mengajaknya bercanda.

Amira masuk ke dalam kamar dan mengganti pakaiannya dengan pakaian yang sangat seksi sekali. Selama ini, Amira memang sangat menginginkan Galih. Cintanya dalam diam akhirnya bisa ia dapatkan walaupun dengan cara yang menurutnya sedikit memaksa. Tapi ini keputusan dua keluarga, hasil kesepakatan bukan paksaan.

Didepan cermin yang tak begitu besar, Amira menatap tubuhnya yang indah. Selama ini, Amira selalu menutup tubuhnya agar tidak digoda banyak lelaki.

"Kenapa? Kenapa aku tidak merasakan malam pertama bersamamu Mas Galih. Sebesar itukah cintamu untuk Mbak Marni, hingga kamu terbauru-buru pulang dan tak ingin sesuatu terjadi pada mbak Marni?" ucap Marni mendesah pelan.

Amira hanya tidak ingin banyak berdebat, apalagi menuntut. Sesuai perjanjian yang ia buat pada Ayahnya. Setelah menikah, Ayahnya tak lagi mmeberikan uang untuk Amira. Mungkin setelah ini Amira akan menabung sedikit demi sedikit dari hasil jualannya.

Tok ... Tok ... Tok ...

"Amira... Ini Isah," panggil Isah dengan suara pelan sambil mengetuk pintu kamar Amira berulang kali.

"Ya Sah ... Masuk saja," ucap Amira pelan.

Isah masuk ke dalam dan tersenyum pada Amira lalu duduk ditepi ranjang didekat Amira.

"Sabar ya, Mira," ucap Isah begitu lembut dan berusaha menyemangati Amira.

Isah adalah saudara sepupu sekaligus sahabat Amira. Mereka besar bersama dan Isah paling tahu soal Amira yang sudah sejak lama mencintai Galih.

Amira memeluk Isah dan mulai menangis. Hatinya sesak sekali saat melihat Galih pergi dan berpamitan pulang karena lebih berat pada perasan Marni, istrinya pertamanya.

"Aku pasti kuat menjalani ini semua," desah Amira berusaha menguatkan dirinya sendiri.

IItulah AMira, Amira yang terlihat lemah karena seorang perempuan. Tapi ia memiliki jiwa yang kuat dan hati yang begitu tegar.

***

Mendengar suara adzan shubuh telah bergema di Masjid dekat rumahnya. Seperti biasa, aku langsung terbangun dan ambil wudhu dan bersiap ke Masjid untuk melakukan sholat berjamaah.

Kulihat Marni masih terlelap tidur dengan selimut tebal yang makin membuat nyaman dari udara dingin pagi yang cukup menggigit kulit.

Setelah memakai sarung dan baju koko serta peci hitam dikepala. Aku langsung keluar dari rumah menuju Masjid.

Aku membiarkan Marni melakukan apapun yang ia suka. Ini sebagai bentuk permintaan maafku pada isriku atas pernikahan kedua yang tentunya membuat hatinya gundah.

"Pak Galih?" panggil Pak RT menyapa Galih yang baru saja keluar dari Masjid.

"Pak RT ... Apa kabar Pak?" sapaku kembali dengan senyum melebar.

"Saya baik -baik saja. Ada hal yang ingin saya tanyakan pada Pak Galih, mumpung ketemu," ucap Pak RT dengan wajah serius.

Deg ...

Deg ...

Deg ...

Kenapa jantungku rasanya berdetak keras. Apa jangan-jangan, Pak RT mengetahui soal pernikahan kedua yang kemarin aku lakukan?

"Soal apa Pak?" tanyaku begitu ragu dan gugup.

"Soal saudara sepupu Pak Galih," ucap Pak RT mantap.

"Saudara sepupu?" ucapku mengulang dengan sedikit terbata. Kepalaku masih tak bisa menerima maksud ucapan Pak RT.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status