Share

MADU CAP HALAL
MADU CAP HALAL
Penulis: Beelovers

Permintaan Menikah Lagi

"Marni ... Lusa, Mas akan menikah dengan Amira. Keputusan ini sudah bulat," ucapku tanpa ada keraguan. Aku sudah mantap untuk menikahi Amira demi hutang budi Sang Ayah di masa lampau kepada Juragan Empang. Ayah yang sedang sekarat di ruang ICU memintaku menikahi Amira sebagai pelunas hutang.

PLAK!!

Tamparan keras spontan mendarat di pipiku. Aku hanya terdiam tanpa mengaduh kesakitan. Aku sudah tahu, jika hal ini bakal terjadi. Aku pantas menerima amarah Marni yang tak mau aku madu.

"Pokoknya sampai kapan pun, Marni tidak pernah mau punya madu. Marni tidak menyetujui pernikahan Mas galih dengan wanita ilihan Ayah Mas Galih. Ini sama saja penghinaan Mas," ucap Marni keras sambil menangis. Buku -buku jarinya menancap di hamparan meja makan yang terbuat dari triplek.

"Inget Mas!! Kalau Mas memang lakukan itu, ceraikan saja Marni dan pulangkan Marni ke rumah orang tua Marni!!" teriak Marni dengan suara keras.

Marni membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam kamar lalu membanting pintu kamar dengan sangat kencang dan mengunci dari dalam.

Aku masih berdiri tertegun sambil menarik napas panjang lalu duduk di kursi meja makan sambil meneguk air putih yang sejak tadi kupegang gelasnya.

Marni, Dia istriku, cinta pertamaku saat kita msih duduk di bangku sekolah. Dia bersedia menungguku sampai aku lulus menjadi sarjana pendidikan dan kini aku menjadi tenaga pengajar di sekolah negeri.

Pernikahanku sudah memasuki tahun kelima. Namun, kami belum dipercaya untuk mendapatkan keturunan. Aku sendiri tak pernah memaksa Marni untuk segera hamil, karena aku sangat menikmati masa -masa ini.

Aku mencoba mengalah dan meminta pengertian dari Marni.

Tok ... Tok ... Tok ...

Aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar tidur dan meminta Marni untuk membukakan pintu tersebut.

"Marni ... Sayang ... Mas mau masuk. Mas juga lelah mau istirahat," ucapku merajuk agar Marni mau mengasihaniku.

Sekali ... Dua kali ... Tak ada sahutan. Mungkin Marni syok dengan ucapanku barusan. Padahl Marni sudah tahu sejak beberapa hari lalu tentang permintaan Ayah yang ingin menikahkan aku dengan Amira.

Terpaksa malam ini aku tidur di luar kamar. Sofa empuk yang agak panjang menjadi sasaran untuk menyamankan punggung yang terasa pegal karena seharian bekerja. Besok adalah pertemuan pertama dengan Amira. Aku saja belum tahu, seperti apa rupa Amira itu, anak dari juragan empang.

Dulu, hidup Ayah dan Ibu begitu miskin sekali. Ayah hanya menggarap empang miliki juragan, sedangkan Ibu menjadi ibu rumah tangga yang baik Ibu begitu ikhlas menerima semua yang di beri oleh Ayah. Jika kurang, Ibu tak segan -segan meminjam unag juragan agar aku tetap sekolah dan melanjutkan kuliah.

Namun sayang, Ibu lebih dulu di panggil Tuhan karena sakit keras dan tidak ada uang untuk berobat. Ibu bilang smeua unag Ibu untuk biaya kuliah aku bukan untuk biaya berobat Ibu. Ibu hanya ingin melihatku lulus dan di wisuda lalu sukses bekerja.

Kedua mataku lama -lama terpejam karena memang sudah sangat mengantuk lalu tertidur pulas hingga pagi.

Suara adzan shubuh terus memanggil dan membangunkan aku dalam kelelapan. Tubuh ini rasanya enak sekali saat bangun. Mimpi apa semalam? Sepertinya aku bermimpi bertemu dengan bidadari.

Ruangan itu masih gelap, begitu juga dengan ruangan lainnya yang juga belum nyala lampunya. Biasanya, Marni sudah terbangun dan memulai aktivitas di dapur sekedar membuatkan kopi untuk dirinya dan sarapan sederhana sebelum berangkat kerja.

Kuketuk lagi pintu kamar yang masih terkunci itu. Tapi, lagi -lagi Marni tak menyahut. Entah paa yng dilakukan istriku semalaman di kamar.

Pagi itu aku mulai dengan sholat shubuh dan membuat kopi sendiri. Lalu aku berangkat kerja dengan pakaian kemarin yang aku ganung di kamar mandi. Untung saja belum masuk ke ember cucian.

"Marni ... Mas berangkat kerja dulu," pamitku pada Marni.

Aku bergegas berangkat kerja menggunakan motor matic. Sambil menyetir motor, aku juga mencari warung kecil untuk sarapan. Uang untuk istriku juga sudah aku selipkan di bawah pintu kamarnya.

Kalau Marni masih marah, itu tak masalah. Tapi ini soal baktiku pada Ayah.

Warung Cap Halal, ucapku pelan sambil membaca warung baru yang ada di pinggir sawah. Masih pagi tapi nampak sangat ramai sekali. Aku memang jaraang melewati jalan kecil ini, ternyata semuanya sudah berubah. Aku menghentikan laju motor dan memarkirkan motor itu tepat di depan warung kecil yang terlihat terbuka.

"Pesan apa, Mas?" tanya seorang wanita cantik sambil mengambilkan piring untukku.

"Ada apa saja?" jawabku sambil membaca menu yang ada.

"Banyak Mas, ada ramesan, nasi soto, indomie atau kupat sayur," jawab wanita itu ramah denagn senyum mempesona.

"Kupat sayur saja. Kerupuknya yang banyak," pintaku lalu duduk di pojok sambil menatap beberapa orang yang sdeang fokus menikamti sarapan mereka.

Waungnya tak besar tapi sangat ramai. Ada tiga wanita yang melayani pelanggan, termasuk wanita yang berbeda yang melayaniku tadi.

Satu mangkuk kupat sayur sudah ada di depanku lalu aku memesan teh manis hangat sebagai teman selesai makan nanti.

Wanita yang melayaniku tadi kemudian duduk dan tak melayani siapapun lagi walaupun ramai. Ia malah duduk dan menghitung uang di laci.

Aku hanya sekilas melihat wanita itu dan fokus kembali pada sarapanku dan Marni.

***

Sepulang mengajar, aku langsung menuju rumah sakit dan menemui Ayah yang masih terlelap. Suster hanya memberikan pesan kepadaku, agar aku menunggu hingga tamu Ayah datang.

Tak lama, Juragan Empang dan beberapa anak buahnay datang serta wanita yang tidak asing lagi di mataku. Wanita itu? Bikankah dia pelayang di warung makan tadi?

"Galih?" panggil Juragan empang tegas.

"Iya juragan," ucapku sopan.

"Ayah bagaimana?" tanya Juragan itu pelan.

"Masih sama juragan. Bisa sembuh jika di bawa ke kota," ucapku lirih.

"Hari ini juga, aku akan bawa Ayahmu ke kota untuk berobat. Tapi, malam ini juga kamu nikahi, putriku," ucap Juragan Empang itu lantang.

"Menikah sekarang?" ucapku kaget.

"Iya. Dia Amira, putri semata wayangku. Dia menyukaimu sejak kecil. Tolong jaga dia, jangan sakiti dia," ucap Juragan Empang tegas.

"Ta -tapi, juragan ...," ucapku lirih.

Aku tidak mau ada salah paham disini. Kau lebih baik jujur dengaan posisi dan keadaanku saat ini.

"Apa? Kamu tidak mau menikahi anakku?" tanya Juragan Empanag ketus.

"Bukan itu juragan. Ta -tapi ... saya sudah punya istri juragan," jawabku jujur.

"Akhirnya kamu jujur juga. Amira? Gimana? Galih itu sudah menikah," ucap Juragan Empang menatap ku dengan rasa benci.

"Gimana Ayah aja," jawab Amira merasa kecewa juga.

"Kita batalkan saja kalau begitu. Satu hal lagi. Besok semua uang pinjaman Ayah kamu harus segera di bayarkan!! Saya tidak mau tahu. Dan, saya tidak jadi membawa Ayahmu untuk berobat ke kota!! iTu urusan kamu!! Mau mati atau mau hidup!!" ucap Juragan Empang tanpa belas kasih lalu menggandeng Amira pergi dari rumah sakit itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status