Seperti yang kukatakan kepada Mas Irsyad bahwa aku tidak akan bertahan di rumah ini lebih lama lagi sebab Dia tidak memberiku alasan untuk tetap berada di sini dan mengabdi padanya. Dia seperti dua sisi munafik yang sekalinya mengatakan sangat mencintaiku tapi sisi kontradiktifnya kemudian timbul, dia sangat melindungi dan menjaga perasaan Elsa melebihi menjaga hati dan perasaanku.
Sembari menunggu anak anak pulang sekolah, aku akan berkemas dan merapikan pakaian kami. Kucari akomodasi di aplikasi perjalanan dan wisata lalu memesan beberapa hari kamar di homestay terdekat. "Untuk sementara aku akan tinggal di sana, dan membawa anak-anakku. Tidak mungkin aku akan pulang ke desa dalam kondisi begini. Belum genap lima bulan menikah sudah renggang lagi, aku akan jadi korban tertawaan semua orang dan aku mungkin tidak akan bisa mengangkat wajahku untuk berjalan bahkan untuk mampir di warung beli gula." Aku membatin sambil menurunkan koper dan mulai mengambil bajuku yang tergantung di lemari. Sesaat ketika kuletakkan baju itu, tiba tiba terketiknbosikan dalam hatiku untuk kembali berpikir dan bertanya pada diri sendiri. Selama ini aku terlalu impulsif,mengambil keputusan tanpa berpikir panjang, berorientasi pada pembalasan dendam tanpa berpikir seharusnya yang aku prioritaskan adalah hal hal yang membuat aku dan anak anak nyaman terlebih dahulu. Sungguh, aku tidak bijak sama sekali. "Sebaiknya kutelpon ibu dan memberi tahu beliau yang sebenarnya." Kuraih ponsel lalu langsung menekan nomor ibu dengan cepat. "Halo assalamualaikum," jawab wanita berhati lembut yang penuh ketulusan dan kasih tersebut. Mendengar sapaan seperti itu saja jiwaku rasanya sangat tentram dan bahagia. "Ibu ...." "Iya, Nak, ada apa?" tanyanya. "Aku jujur tentang apa yang menimpaku sebenarnya, aku ingin ibu mendengar semuanya sebelum memberikan tanggapan," ungkapku menahan tangis. Terduduk diri ini di ranjang sambil menatap pantulan diri di kaca rias. Aku terlihat lelah, kusut dan tidak bersemangat sekali. "Ada apa Nak?" "Mas irsyad Bu, mungkin semuanya akan terdengar mencengangkan tapi percayalah bahwa apa yang terlihat belum tentu itulah kenyataan." "Ibu makin gak paham, sebenarnya apa yang terjadi antara kamu dan suamimu?"Ibu semakin penasaran dan mendesakku dengan kalimat yang tidak sabar. Sebenarnya lelah diri ini menceritakan tapi aku tidak punya pilihan selain mulai mengutarakan semuanya dari awal, dari A sampai Z, tentang bagaimana kelakuan dan perlakuan suamiku. Tentang bagaimana dia dan obsesi istri pertamanya, tentang Mas Irsyad yang tidak tegas menolak namun sebaliknya malah memberi perhatian dan kesempatan. Kuceritakan sampai hati ini merasa lega dan plong. "Jadi begitu?" "Iya Bu. Rumah tangga kami seperti neraka, setiap kali kami berjumpa, kami layaknya anjing dan kucing yang selalu bertengkar dan saling meneriaki. Anak-anak bingung dan mulai ketakutan. Aku juga tidak mau terjadi hal yang sama seperti hal yang pernah kami lakukan saat bersama dengan mas Hamdan." "Separah itukah?" "Sungguh, demi Allah, Bu. Aku sudah memberinya kesempatan untuk meninggalkan Elsa, sudah kucoba untuk menjadi pasangan yang baik yang menerima kekurangan dan kelebihannya sudah aku coba juga untuk memahami bagaimana posisinya dan bagaimana seharusnya dia bersikap kepada mantan istrinya, tapi tetap saja mereka begitu lengket layaknya pasangan yang dimabuk asmara." "Sebegitu dekatnya?" "Bahkan aku istrinya saja sampai merasa iri dan dikalahkan," keluhku. "Jika sudah begitu, ibu juga tak bisa berkomentar apapun Nak, jadi, apa langkah yang akan kau ambil, tidak bisakah kalian memperbaiki hubungan dan berdamai lagi?" "Itulah yang telah aku lakukan beberapa minggu terakhir. Aku lelah Bu, lelah dengan tingkah laki laki yang ada di hidupku, entah kenapa setiap kali bersuami aku selalu dirundung kemalangan takdir." "Jadi, kau mau kemana?" "Aku akan mengontrak rumah, aku akan tinggal sementara di kota, siapa tahu Mas Irsyad punya kesadaran untuk minta maaf dan menjemput kami." "Bagaimana jika itu tak terjadi?" "Akan kuajukan gugatan perceraian." "Bercerai lagi, Nak?" Ada helaan napas berat yang terdengar dari seberang sana. Nampaknya ibu kurang setuju, tapi bagaimana pun dia pasti mementingkan kenyamanan dan kemaslahan aku dan kedua anakku. "Apa boleh buat ....." Tiba tiba aku tak kuasa membendung lelehan panas yang sejak tadi menganak sungai di kelopak mata. Aku luruh, menangis sejadi jadinya sembari menatap pantulan wajah cengengku di depan kaca. Aku heran, mengapa hidupku serumit ini, mengapa aku yang tidak banyak tingkah dan tidak pernah merugikan orang lain harus selalu disakiti dan dirugikan. Rasanya aku sudah menjadi sasaran bullying malaikat dan tetawaan penduduk bumi, saking tak berdayanya diri ini. Ya Allah, aku seakan tidak berdaya padahal dulunya aku adalah wanita tangguh dan penuh kepercayaan diri. "Tinggal di rumah hanya akan membuat aku terhina dan dan tidak punya harga diri. Mas irsyad sudah mengancam dan berkali kali menyebut kata pisah seakan aku wanita yang bisa diancam seenaknya." "Jika kau dihadapkan kepada dua pilihan maka ambil pilihan yang paling mudah, seperti itu hal yang diajarkan Rasulullah. Ambillah jalan terbaik yang sekiranya bisa kau tempuh dan hadapi. Jangan merumitkan hidup dan diri sendiri karena ada anak-anak yang harus kau jaga hati dan kewarasannya," balas ibu sembari memberi nasehat yang sangat menyejukkan hatiku. "Terima kasih Ibu, maaf karena selama ini aku tidak pernah sesuai dengan harapan Ibu." "Tidak apa apa Nak, tidak ada seorangpun yang mencita-citakan kesengsaraan di dalam hidupnya. Bagi ibu kamu adalah wanita terpilih yang Allah yakinkan bahwa kau tangguh untuk menghadapi berbagai cobaan dan ujian hidup." "Terima kasih karena kata-kata Ibu sungguh menguatkan perasaanku." "Sama-sama anakku sekali lagi ibu mohon untuk tetaplah berpikir positif dan lakukan langkah yang terbaik." "Insya Allah." Pukul dua siang, Raihan dan Zahra sudah kembali ke rumah. Kusuruh mereka makan dan mengemasi barang pribadi dan alat sekolahnya. "Kita mau kemana, Bund, bukannya kita baru pindah. Bunda bikin capek Deh," keluh Raihan dengan wajah lesu dan kesal. "Bunda tidak bermaksud mempermainkan kalian, apalagi membuat kalian jenuh dan kelelahan, langkah yang kita ambil sekarang itulah langkah terbaik daripada Bunda dan Om Irsyad selalu ribut dan bikin drama yang buat kalian gak nyaman di rumah ini. Bagaimanapun rumah ini bukan rumah pribadi kita sehingga kita tidak bisa berbuat semaunya?" "Ya Allah ... sampai kapan kita begini Bunda?" Raihan mengacak rambut dengan frustrasi dan terus mengghela napas sedih. "Tolong persingkat lah waktu Karena kita harus pergi secepatnya sebelum Om Irsyad pulang ke rumah." "Apa Bunda ingin mengajak aku dan adikku kabur?" "Tepatnya, pindah sebentar untuk menenangkan diri." "Tapi Bunda harus minta izin dulu dengan suami Bunda, dia bisa marah dan kita pun bisa kualat dan celaka," balas Raihan dengan wajah kukuh dan tegas. "Posisinya sekarang sedang tidak baik, Nak." "Sampai kapan lari dari kenyataan? setiap kali ada masalah selalu menghindar, kadang memilih berpisah, kadang juga bertahan seperti orang bodoh yang tak punya akal pikiran. Sudah berapa kali kami katakan bahwa kami sangat berharap bahwa pernikahan Bunda adalah pernikahan yang terakhir kalinya, bahwa kepindahan kita ke kota ini adalah Awal untuk meraih kebahagiaan dan kedamaian hidup, Bunda ingat kalau Bunda pernah menjanjikan itu Iya kan?!" tanya anakku berapi-api. " ... jika masih terus berulang lagi seperti ini kenapa Bunda tidak bertahan kepada ayah saja?! Ah, sungguh aku lelah!" Anakku masuk ke kamar lalu menutup pintunya dengan kencang. Meski aku mencoba mengetuk tetap saja Raihan tidak menanggapi. Di saat bersamaan mobil suamiku datang dan terdengar berhenti di garasi Duh!"Sebenarnya aku sama sekali tidak berniat untuk mengusik keputusan Maura, dia bilang sebaiknya kami berpisah dan kurasa Itu sudah keputusan final.""Tidak mungkin semudah itu dia melupakan anda, kemarin dia begitu bahagia. Begitu bangga dan cantik saat berdampingan dengan anda. Apakah anda sungguh ingin melepaskannya? Saya rasa anda juga punya cinta yang sama untuknya.""Jujur saja, aku agak ragu melihat sifatnya yang tidak bijak seperti tempo hari itu. Aku seorang duda yang punya anak dan tujuanku menjalin hubungan adalah menghadirkan sosok istri sekaligus ibu yang dibutuhkan oleh putra-putriku. Jika dia masih kekanak-kanakan, maka aku ragu dia bisa berdampingan dengan anakku.""Fakta yang tidak Anda ketahui bahwa Raihan anakku pernah tinggal bersamanya selama beberapa bulan dan dia terlihat begitu bahagia dengan ibu sambungnya. Aku tidak melihat ke pura-puraan di wajah Raihan, karena Maura selalu berusaha menuruti kehendak putraku. Kurasa dia ibu yang baik, Meski mungkin dia tukang
"Kau sudah pulang, Bunda?" tanya suamiku saat mendapati diri ini sore hari sudah ada di rumah."Ya, aku baru saja sampai.""Sebenarnya siapa yang kau temui Sayang?" tanya suamiku dengan ungkapan lembut, aku langsung terkejut dan tersanjung mendengar pertanyaan selembut itu."Aku menemui pejabat notaris dan pengurus akta tanah.""Lalu siapa lagi, sayangku?""Tidak ada.""Kau yakin?""Hmm, iya.""Bola matamu mengembang, tandanya kau sedang berbohong.""Tidak sungguh.""Baiklah, Sayang. Aku menghargainya," jawab Mas Hamdan sambil mengulum senyum."Tapi, aku juga ingin mengakui sesuatu dengan sukarela, kuharap kau tak marah, dan menerima semuanya dengan hati terbuka," ujar Mas Hamdan penuh rahasia."Apa itu?""Ini adalah titipan dari orang yang kutemui siang tadi, dia berkendara jauh hanya untuk menemuiku dan menitipkan tas ini," ucap Mas hamdan. Aku terkejut, dia mengeluarkan kantong goodie bag yang cukup familiar dan uang yang ada di dalamnya masih utuh."I-ini, dari mana?""Maura.""Ke
Kurasaa saat ini tubuh wanita berumur 22 tahun itu tak mampu menahan beban bobotnya, dia boleh jadi akan tumbang mendengar ucapanku. Wanita bekulit putih bersih dengan wajah bak model Pakistani itu pasti linglung mendapat pukulan jawaban seperti tadi. Terbukti ia diam saja kemudian.Aku tahu, aku tidaklah lebih cantik darinya, dalam hal penampilan dia unggul, tapi, pelayanan, tentu akulah yang pertama dan paling paham tentang kemauan Mas hamdan. "Oke, Maura, jika ini akan membuatmu senang, maka mari akhiri saja," ucapku."Caranya bagaimana?" jawabnya parau. Kurasa kini tenggorokan wanita itu tersendat kering."Kita bertemu besok, di kediamanmu, aku akan membawa apa yang kau inginkan.""Tidak usah repot repot!" ucapnya."Cukup tunggu saja aku!" tegasku.Setelah mematikan ponsel, kutarik napas dalam lalu aku beralih ke kamar. Kususul segala sesuatu yang akan kuprrlukam besok untuk menemui wanita itu.Sebenarnya, tak pula harus payah terlalu jauh menjerumuskan diri, tapi karena ini be
Sejak terakhir kali bertemu Maura bayangan wanita itu seolah terus menghantui, membuat diri ini tidak nyaman, perasaanku jadi tidak aman dan was was akan hati suamiku dan bagaimana tingkah lakunya di kemudian hari.Harusnya ketika pasangan sudah berpisah dan memilih untuk menjalani kehidupan masing-masing maka tidak ada alasan lagi untuk menghubungi apalagi sampai meminta uang, terlebih saat sang mantan suami sudah punya istri dan bahagia dengan kehidupannya, tidak ada alasan untuk meminta bantuan kecuali benar-benar terdesak atau memang tidak punya malu."Astaga, aku banyak membuang waktu dengan memikirkan Maura," gumamku sambil bangkit dari sofa ruang tv lalu membereskannya. Kulanjutkan tugas membersihkan rumah dan dapur sambil menunggu cucianku kering di dalam mesin cuci otomatis.*Usai melipat pakaian, aku langsung mandi dan ganti baju, rencananya aku akan menuju kebun untuk memeriksa pekerja yang sedang menggali kolam ikan yang baru. Aku harus mengantarkan makanan dan minuman a
"Kau itu hanya mantan dan tetaplah bersikap seperti mantan, jangan coba-coba untuk merayu atau memanfaatkan kebaikan Hamdan lagi!""Aku juga tak Sudi!" balasnya sambil membuang muka.Sebenarnya aku gemas sekali ingin menjambaknya namun aku menahan diri untuk tidak mengotori tanganku.Semua orang yang ada di tempat itu membeku dan tidak bisa memberikan komentar apapun atas percakapan dan kejadian yang baru saja lewat. Semua orang terpana, lalu memandang kepada Maura yang pergi begitu saja."Ayo pergi." Mas Hamdan menarik tanganku sambil berbisik."Iya, ayo, tidak ada gunanya tetap di sini," jawabku. Kami berjalan beriringan meninggalkan kafe, dan meski di sana ada beberapa karyawan dan satpam, mereka tidak memberikan komentar apapun atau berusaha hendak mengusir kami. Mereka semua terdiam membisu.*"Aku tidak mengira bahwa kau membaca pesan yang dikirimkan Maura ke ponselku,"ucap Mas Hamdan saat kami berada di dalam mobil."Maafkan Aku, aku tidak sengaja melihatnya sekelebatan lalu se
"Mas kau ada waktu sore nanti tidak?""Aku selalu punya waktu untukmu memangnya kenapa?""Uhm, begini, aku punya janji dengan seorang teman, dan Aku ingin kau mengenalnya agar kita menjalin bisnis. Bisakah kau menemaniku bertemu dengannya?""Laki-laki atau perempuan?"tanya Mas Hamdan dengan alis yang terangkat sebelah seakan-akan dia ingin menunjukkan kecemburuan jika itu memang adalah laki-laki."Perempuan Mas ...""Alhamdulillah kalau begitu," jawab Mas Hamdan puas.Usai menandaskan kopi di dalam cangkirnya, suamiku lantas bangkit dan menciumi pipi ini lalu berpamitan untuk pergi bekerja."Aku harus ke ruko pagi sekali karena ada beberapa paket kargo penting yang harus diawasi pengirimannya.""Iya, hati hati di jalan," jawabku. Karena waktu bergulir begitu cepat dan tidak terasa Ini sudah musim hujan lagi aku selalu tidak lupa untuk mengingatkan suami agar selalu membawa payung di dalam mobilnya."Bawa payung, aku tahu bahwa kau sangat sensitif terhadap cuaca dingin, jadi jangan bia