Mas Danang bercerita tentang perjuangan Pak Har untuk bisa membuatku terbebas dari segala tuntutan orang-orang yang terlibat.
“Dari mana kamu tahu, Mas? Dan kapan kamu tahu itu?” tanyaku setelah sekian lama terdiam.
“Bapak bercerita semuanya setelah kita menikah. Bapak menceritakan ini saat memintaku mengelola kembali showroom milik bapak kamu. Namun, aku diminta merahasiakan ini dari kamu karena tidak ingin kamu terluka lagi dengan kejadian di masa lalu saat kamu kehilangan mereka,” jawab Mas Danang lancar.
“Dan sekarang, memberikan luka baru lagi dengan memintaku berbagi suami dengan Firna?” ujarku jujur.
Mas Danang terdiam tidak bisa menjawab.
“Mas, bolehkah aku bekerja di showroom? Aku ingin mendapatkan uang. Toh bagaimanapun, tempat itu yang merintis adalah orang tuaku. Jadi, berikanlah sedikit tempat agar aku merasa menjadi or
Danang menatap wajah Rasti yang tertidur lelap. Diusapnya perlahan dahi yang tertutup rambut. Ada sakit yang menyayat hati, kala mengingat segala masa lalu dari wanita yang telah ia nikahi selama bertahun-tahun itu. Tentang sebuah hal yang ia ikut sembunyikan, dan juga sikap orang tuanya terhadap Rasti.Segala hal yang ia pikirkan tentang sang istri membuat hatinya semakin mantap akan keputusan untuk mengakhiri pernikahannya dengan Firna. Sebuah hubungan yang hanya status semata demi menyenangkan hati wanita yang telah melahirkannya. Dan ia sama sekali tidak mencintai wanita dengan status aduk ipar."Sabarlah, semua akan kembali seperti sedia kala. Aku berjanji," ucapnya lirih seraya mengecup dahi Rasti.*"Kenapa menatapku seperti itu, Mas?" tanya Rasti penuh selidik suatu pagi kala sepasang suami istri itu masih berada di dalam kamar. Kedua anaknya telah diantar ke sekolah."Ka
Pesan terakhir Rasti tidak dibalas. Ia lalu duduk termenung di sofa, melempar pandangan ke arah taman yang ada di luar. Tatapannya terhenti pada sebuah anggrek yang ia tanam. Bunga yang juga disukai mendiang ibunya.'Bila aku mendapatkan suami dan ayah dari anak-anakku kembali, dan hidup tanpa bayang-bayang Firna, aku tak perlu mencari tahu kebenaran dari masa lalu. Aku akan menganggap semuanya sudah menjadi sebuah barang yang harus dikubur. Tak ada yang aku inginkan selain Mas Danang dan anak-anak. Biarlah semua menjadi masa lalu yang takkan pernah terungkap, asalkan aku masih bisa hidup bersamanya, merenda hari yang damai dan mengukir masa depan yang lebih indah. Karena dialah yang aku punya setelah kematian Bapak dan Ibu.' Hati Rasti berkata.Ia mengabaikan isi pesan yang dikirimkan Huda, lalu beranjak untuk beraktivitas seperti sedia kala.*"Mama, hari ini Mama sepertinya gembira sekali," ujar R
Sepulang dari bekerja, Danang melajukan kendaraan menuju rumah orang tuanya. Niat hatinya sudah mantap, ingin menyelesaikan hubungan dengan Firna. Apapun yang terjadi. Meski harus melawan kedua orang yang sangat ia hormati.Danang sudah bertekad, akan melindungi Rasti apapun yang terjadi.Di tengah perjalanan, bahgan bakar kendaraannya hampir habis. Lelaki itumampir ke tempat pengisian bahan bakar yang ada di pinggir jalan yang ia lalui. Di saat bersamaan, hasrat untuk buang air tidak terbendung lagi. Dengan cepat ia berlari mencari toilet. Dan saat menemukannya, Danang tanpa hati-hati melepas celana, hingga ponselnya terjatuh ke dalam ember yang berisi air. Saat ia mencoba menghidupkannya, benda pipih itu ternyata rusak.“Tak mengapa, aku nanti akan pulang cepat agar Rasti tidak khawatir,” gumamnya seorang diri.Selesai melakukan segala kegiatan di tempat itu, Danang kembali meneru
“Aku belum mandi. Karena dari tadi sibuk mengompres Bunda. Kalau keluar belum mandi, aku tidak nyaman.” Yasmin berkata dengan kepala menunduk.“Baiklah. Kamu mandi dulu, ya? Pak Dhe menunggu di ruang tamu.”“Tapi aku tidak bisa ambil baju di lemari. Itu sebabnya juga aku belum mandi.”Danang menghembuskan napas pelan, sebelum akhirnya berkata, “Ayo, kita ambil. Bajunya ada di lemari mana?” tanyanya kemudian.“Ada di kamarku. Bunda juga tidur di sana, katanya biar tidak ingat Ayah.”Dilema. Itu yang Danang rasakan. Di satu sisi, ingin rasanya segera pergi meninggalkan rumah orang tuanya. Akan tetapi, di sisi lain, hati nuraninya tidak tega, membiarkan anggota keluarga dalam keadaan sakit.“Baiklah, ayo kita ambil,” kata Danang lagi. Mereka lalu berjalan beriringan menuju sebuah kamar denga
Part 21"Pak Dhe, bolehkah aku meminta sesuatu?" tanya Yasmin saat kami sudah di dalam mobil hendak pulang."Apa?" tanya Danang yang masih fokus di balik kemudi."Aku ingin duduk di teman kota. Sudah lama aku tidak ke sana. Aku ingin naik motor kecil dan juga beli gulali," jawab Yasmin jujur."Kamu ingin sekali ke sana?" tanya Danang memastikan."Iya. Dulu Ayah sering mengajakku ke sana. Aku sudsh tidak pernah ke sana lagi karena Bunda sangat sedih. Kalau aku mengajak ke sana, pasti akan bilang, takut menangis ingat Ayah." Jawaban dari Yasmin membuat Danang memalingkan wajahnya. Ia melihat seorang anak kecil yang malang, yang harus kehilangan ayahnya sejak usia kecil. Hatinya tentu sedih. Namun, bila diminta menggantikan sosok Adrian, Danang merasa itu tidak adil baginya."Nanti main sama Pak Dhe, sampai Yasmin puas," ujar Danang saat keduanya t
"Yasmin tidur, Nang?" tanya Wening saat melihat anak lelaki sulungnya masuk membopong tubuh Yasmin."Iya. Kenyang dan capek sepertinya,""Tidurkan di kamar Ibu. Biar Firna bisa istirahat. Dan gak ketularan sakit bundanya."Danang menurut dengan perintah sang ibu. Ia lalu kembali ke mobil untuk mengambil makanan yang ia beli."Duh, Firna, kamu kenapa sakit seperti ini? Kamu kenapa tidak sembuh-sembuh? Ibu jadi sangat khawatir. Takut terjadi yang tidak-tidak lagi. Sudah kehilangan Adrian, masa kamu seperti ini sih, Nak?" Suara Wening terdengar telinga Danang dari dalam kamar Yasmin.Ayah Nadine dan Raline memegang ponsel yang sudah mati. Ia kini berada di kamarnya. Seharian ia belum menghubungi Rasti. Dan kini, saat benar-benar butuh, benda itu tidak bisa digunakan. Ingin rasanya segera pulang. Namun, melihat keadaan Wening yang berjalan tertatih, membuatnya merasa tidak tega
Danang menghitung setiap detik yang bergerak pada jarum jam yang ada di dinding. Hujan lebat membuatnya tidak bisa keluar untuk membawa gawai yang mati ke tempat servis. Ditambah lagi, keadaan inu dan Firna yang sakit.Mengingat Firna yang sakit, Danang bangun dengan niat ingin melihat keadaan istri keduanya itu.Bagaimanapun, ia harus memantau keadaan Firna.Ketika sampai di kamar, wanita itu tengah berusaha untuk meraih gelas yang ada di atas nakas, hingga akhirnya, benda tersebut malah jatuh dan pecah, menimbulkan suara keras."Jangan beranjak tetap di sana," ucap Danang, lalu gegas pergi untuk mengambil alat kebersihan guna membersihkan serpihan kaca gelas."Minumlah!" ucap Danang seraya mengulurkan gelas yang sudah ia bawa lagu dari dapur.Dengan ragu, dan tangan bergetar, Firna menerima benda itu. Namun, Danang dengan cepat mencegah. Karena takut, gelas
Demi apapun juga, Rasti merasa marah sekali dengan mertua perempuannya. Ia tidak menyangka kalau problem yang dialami dirinya dan sang suami akan diadukan pada anaknya yang masih kecil. "Tidak benar, Sayang. Papa hanya diminta ikut menjaga Yasmin karena dia masih sangat kecil," ujar Rasti menenangkan hati putri sulungnya. 'Rupanya Bu Wening memang menginginkan aku untuk bertindak lebih jauh lagi,' ucap Rasti dalam hati. "Mama, Raline juga pernah dengar, kalau Yasmin katanya mau panggil Papa, Papa juga. Atau Ayah. Apa dia anaknya Papa?" Si bungsu Raline ikut bertanya. Rasti merengkuh kedua putrinya ke dalam pelukan. Hatinya sangat sakit. Namun, untuk sementara waktu, tidak bisa berbuat apapun selain menunggu Danang pulang dan mendengar keputusan darinya akan hubungan pernikahannya dengan Firna. * Tiga malam sudah, Danang tidak pulang. Selama itu ju