Danang menghitung setiap detik yang bergerak pada jarum jam yang ada di dinding. Hujan lebat membuatnya tidak bisa keluar untuk membawa gawai yang mati ke tempat servis. Ditambah lagi, keadaan inu dan Firna yang sakit.
Mengingat Firna yang sakit, Danang bangun dengan niat ingin melihat keadaan istri keduanya itu.
Bagaimanapun, ia harus memantau keadaan Firna.
Ketika sampai di kamar, wanita itu tengah berusaha untuk meraih gelas yang ada di atas nakas, hingga akhirnya, benda tersebut malah jatuh dan pecah, menimbulkan suara keras.
"Jangan beranjak tetap di sana," ucap Danang, lalu gegas pergi untuk mengambil alat kebersihan guna membersihkan serpihan kaca gelas.
"Minumlah!" ucap Danang seraya mengulurkan gelas yang sudah ia bawa lagu dari dapur.
Dengan ragu, dan tangan bergetar, Firna menerima benda itu. Namun, Danang dengan cepat mencegah. Karena takut, gelas
Demi apapun juga, Rasti merasa marah sekali dengan mertua perempuannya. Ia tidak menyangka kalau problem yang dialami dirinya dan sang suami akan diadukan pada anaknya yang masih kecil. "Tidak benar, Sayang. Papa hanya diminta ikut menjaga Yasmin karena dia masih sangat kecil," ujar Rasti menenangkan hati putri sulungnya. 'Rupanya Bu Wening memang menginginkan aku untuk bertindak lebih jauh lagi,' ucap Rasti dalam hati. "Mama, Raline juga pernah dengar, kalau Yasmin katanya mau panggil Papa, Papa juga. Atau Ayah. Apa dia anaknya Papa?" Si bungsu Raline ikut bertanya. Rasti merengkuh kedua putrinya ke dalam pelukan. Hatinya sangat sakit. Namun, untuk sementara waktu, tidak bisa berbuat apapun selain menunggu Danang pulang dan mendengar keputusan darinya akan hubungan pernikahannya dengan Firna. * Tiga malam sudah, Danang tidak pulang. Selama itu ju
"Iya, Mas, ini aku. Istri yang menunggumu selama tiga hari di rumah dan kamu tidak kunjung memberikan kabar. Maaf, bila aku harus mencarimu ke mari. Mengacaukan kebahagiaan kalian barangkali. Karena aku hanya ingin memastikan, suamiku baik-baik saja. Jadi, aku dan anak-anak tidak perlu cemas. Dan syukurlah, kamu terlihat bahagia dan baik-baik saja di sini," jawab Rasti tegas, menutupi segala pilu dalam hati."Ras, maaf, hape-ku rusak. Aku tidak sempat ke tempat servis karena Ibu dan Firna sakit dan mereka tidak ada yang menjaga. Yasmin sendirian tidak ada yang mengurus. Bapak pergi ke luar kita belum pulang. Aku sampai kerja dari rumah. Maksudku, dari sini. Maksudku, Ibu yang sakit keras, Firna sakit juga. Jadi, Ibu tidak ada yang menjaga. Aku menjaga Ibu." Penjelasan Danang terdengar berbelit."Jadi, siapa yang kamu jaga sebenarnya, Mas? Ibu, Yasmin, atau Firna?" tanya Rasti penuh selidik.Danang tidak bisa menjawab. Ta
Sebelum melanjutkan bicara, Rasti menarik napas panjang."Pertanyaan yang selanjutnya. Ibu ...," ujarnya dengan suara bergetar.Sedih yang berusaha ia tahan, kini tak lagi bisa disembunyikan. "Aku tahu, aku dianggap tidak pantas menjadi menantu di keluarga ini, karena aku tidak memiliki suatu apapun. Atau lebih tepatnya, aku tidak tahu, orang tuaku meninggalkan apa saja untukku karena aku terlalu terpuruk meratapi nasib saat itu. Aku terlalu bodoh percaya begitu saja apa. yang dikatakan orang-orang yang mengaku sebagai penolong." Berkata demikian, Rasti melirik Danang. Namun, beberapa detik kemudian, pandangannya beralih pada Wening kembali. "Akan tetapi, kedua anakku, mereka adalah darah daging Mas Danang. Mereka punya perasaan dan usia mereka masih sangat kecil. Pantaskah apabila Ibu sebagai nenek mereka mengatakan hal yang menyakitkan? Hingga akhirnya, Ibu memberikan pilihan, apakah mereka menerima pernikahan ayahnya atau kami harus hidup
Sampai di rumahnya, Rasti segera menenggak sebotol air dingin yang ia ambil dari kulkas. Meskipun ia sadar, air itu tidak mampu untuk meredam gejolak panas dalam hati, tapi setidaknya, tenggorokannya yang kering telah tersiram.Duduk di sofa depan televisi, Rasti menimbang-nimbang langkah yang akan diambil. Jika seblumnya, ia telah memutuskan untuk mengubur keinginan mengungkap masa lalu orang tuanya dalam-dalam, tidak dengan saat ini. Wanita itu memiliki tekad untuk menuntaskan semuanya.Rasti melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas siang. Ia lalu bergegas bangkit lagi, untuk menuju sebuah tempat. Teringat akan ucapan sang suami yang mengatakan tidak bisa pergi ke kantor.Dengan mengendarai motor matic kesayangan, Rasti kembali menembus jalan raya yang padat. Setelah setangah jam lebih berkendara, sampailah ia pada showroom mobil yang kepemilikannya tengah ia ragukan.Dengan melenggang sa
“Aku tanya dulu ya, Mbak, sama Bapak. Kalau tidak bisa pulang, kalau Mbak Rasti pengin ketemu Bapak segera, palingan Mbak yan disuruh ke sana,”“Baik, Huda, hubungi bapak kamu segera dan kasih kabar sama aku,” ucap rasti memutus telepon.Jenuh karena tidak mendapatkan informasi, Rasti memilih bangkit dan berpamitan pada karyawan untuk pulang. Ia lalu menjemput anak-anaknya ke sekolah.***Di rumah sakit, Danang harus mengurus Firna seorang diri. Tidak ada alat komunikasi yang bisa digunakan, membuatnya tidak bisa menghubungi keluarga istri sirinya.Ibu Yasmin sudah ditangani dan masuk ruangan dengan kelas VIP. Danang yang bingung hanya bisa duduk termenung di sofa tunggu seraya menatap tubuh yang terbaring di atas ranjang.“Yasmin …,” rintih Firna. “Yasmin …,” ulangnya lagi.Da
Gadis yang masih memakai seragam SMA itu tersipu malu, saat diperkenalkan dengan putra salah satu rekan ayahnya.Berkali-kali mencuri pandang pada pemuda yang duduk di kursi yang menghadap ke meja yang sama. Saat tatapan matanya tertangkap basah, ia kembali menunduk. Begitu berulangkali terjadi.“Danang akan menunggu sampai dia berambut putih kalau calonnya seimut ini,” kelakar Hartono yang dijawab oleh tawa membahana Cokro.“Tidak. Jangan khawatir! Firna saat ini kelas dua SMA. Sebentar lagi lulus. Kalau Mas Danang memang ingin secepatnya menikah, Firna bisa kuliah sambil menikah. Ya, paling lama tiga tahun lagi menunggu,” jawab Cokro setelah tawanya reda.“Apa Firna mau sama Mas Danang yang sudah tua?” tanya Hartono dengan nada bercanda. Memanmg, saat itu, Danang berusia dua puluh empat tahun. sudah lulus kuliah dan tengah diajari untuk berbisnis jual beli mobil
Danang tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang putih. “Karena katanya kamu suka aku. Aku takut, kalau kamu menolak, nanti kamu nangis dan jadi ngambek gak mau sekolah,” ujarnya kemudian.“Mas Danang, iiiih ….” Firna berteriak khas seorang remaja yang kesal karena digoda.Wening dan Rianti yang kebetulan duduk di ruangan yang tidak jauh dengan mereka, saling melempar senyum bahagia.“Sudah mulai akrab sepertinya,” ujar Wening sembari berjingkat mengintip.“Iya, biarin aja, Mbak. Nanti kalau ketahuan jadi malu,” sahut Rianti.Hari-hari setelahnya, Danang kerap diminta menjemput Firna ke sekolah. Ingin rasanya menolak, tetapi ia selalu kasihan saat mengingat wajah polois Firna.“Dia itu pantasnya dijodohkan sama Adrian,” ujar Danang suatu malam, saat ia dan orang tuanya bersantai di ruang ke
POV FIRNAAku menyukainya sejak pertama kali kami berjumpa. Meski kutahu, ia pemuda yang sudah dewasa, tapi entah kenapa, aku merasa jatuh hati. Pucuk dicinta, ulampun tiba. Ia yang aku kagumi ternyata sosok yang akan dijodohkan denganku.“Jika kamu mau, orang tua Danang mau ke sini untuk ya, sekadar menjalin kesepakatan di depan kalian berdua.” Begitu kata Papa suatu malam saat kami selesai makan.Hati ini berbunga dan penuh kebahagiaan. Namun, aku menyembunyikannya di hadapan Mama dan Papa, serta adik semata wayangku yang saat itu masih duduk di bangku kelas lima. Dia cowok yang jahil dan hobi menggoda. Ole karenanya, aku tidak ingin menunjukkan senyum malu-ku di depannya.Kjepala ini tertunduk seraya mengangguk. Saat mendongak, kulihat senyum Mama penuh godaan.“Mama tahu, kamu suka sama Danang,” ujarnya saat masuk ke kamarku, setelah acar