“Bik, jadi minta aku buatin catetan buat ditanyakan ke mantan RT?” Rasti masih saja menggoda, ketika Sumarti turun dari motornya.
“Jangan berlaku tidak sopan sama orang tua!” bisik Sumarti. Takut bila candaan Rasti didengar Maryam.
Rasti tertawa terbahak-bahak. “Pulang dulu ya, Bik. Besok-besok, aku antar catatan pertanyaan ke rumah Bibik,” candanya lagi.
“Bocah nggak sopan sama orang tua. Eh, ingat! Kalau ke sini lagi, bawa anak-anakmu. Bibik pengin kenalan juga. Keluarga kamu cuma Bibik. Jangan buat mereka tidak kenal.” Sumarti berkata sambil membenahi jilbab instannya.
Rasti hanya memberi kode ok, dengan menautkan jari jempol dan telunjuknya. Ia lalu menarik tuas gas meninggalkan rumah wanita yang berbibir merah itu.
“Maafkan aku, Bik, aku belum bisa membawa Nadine dan Raline ke rumah Bibik. Itu karena, aku masih mera
“Kenapa kamu hanya bisa bersikap tegas sama aku, Mas? Tidak pada ibu kamu. Sekarang jawab pertanyaan aku! Apa kamu sudah menceraikan Firna? Mengucapkan talak pada dia yang sudah kamu nikahi secara agama itu?” Bola mata Rasti menatap tajam wajah Danang yang hanya berjarak dua puluh senti darinya.“Rasti, ini berbeda. Aku adalah pemimpin kamu. Jangan mengaitkan dengan hal itu,” ujar Danang membela diri.“Jawab pertanyaan aku! Apa kamu jadi menceraikan Firna? Atau justru, kamu menikmati peran seorang suami saat berdua dengannya di rumah sakit?” tegas Rasti.“Rasti, aku tidak mungkin melakukan hal itu di saat Firna sakit.”“Ok, jadi, aku juga tidak bisa berhenti bekerja di saat kondisiku dan anak-anak berada di ujung tanduk. Dan kami terancam harus angkat kaki dari rumah ini.”“Itu tidak akan terjadi, rasti. Kamu harus
“Sampai kapan kamu akan diam seperti ini, Rasti?” tanya Danang suatu malam saat anak-anak sudah tertidur.Rasti masih berkutat dengan laptop dan laporan pembelian bahan baku.“Rasti!” panggil Danang keras.“Kenapa, Mas? Tidak bisakah kamu memberikan aku sebuah waktu, untuk aku bisa hidup dengan alam pikiranku sendiri? Toh, selama bertahun-tahun, aku sudah menjadi istri yang menuruti semua aturan kamu? Aku juga pribadi yang ingin memiliki senggang waktu untuk hidupku sendiri,” jawab Rasti datar. Tatapannya masih tertuju pada layar di hadapannya. Namun, jemari telah berhenti mengetik.“Apa kamu punya rahasia?” tanya Danang lagi. Ia mendekatkan wajah pada wajah Rasti yang duduk di lantai.“Apa kamu menyembunyikan rahasia dari aku, Mas?” Rasti melempar pertanyaan yang sama.“Rahasia apa? Bahkan, pe
“Mah, nanti acaranya jam dua siang, ya? Kamu kalau bisa jangan kerja. Aku jemput ke rumah pas Zuhur,” ucap Danang saat akan pergi bekerja.“Iya,” jawab Rasti singkat.“Tas yang ada di kamar, itu buat kado. Nanti kamu bungkus, ya?”“Maaf, Mas, aku sibuk sekali. Kan harus pulang cepat. Kamu aja yang mbungkus, ya? Sekalian berangkat kerja. Mampir aja di toko aksesori,” tolak rasti halus.“Hemh, baiklah.” Danang tersenyum dan membelai pipi sang istri, kemudian pergi.“Sudah siap?” tanya Rasti saat melihat dua anaknya ke teras dalam keadaan berseragam dan memakai tas.“Sudah,” jawab mereka kompak.Sebelum pergi, tidak lupa, Rasti mengunci pintu terlebih dahlu.“Mah …,” panggil Nadine ketika sang ibu baru selesai mengunci
Part 35“Iya, Pak, saya ingat diajak ke sini. Itu sebabnya, saya datang untuk meminta bantuan.”“Hal yang dapat kamu lakukan hanya memblokir sertifikat itu. Dan menggantinya dengan yang baru. Karena memang, pergantian sertifikat tanah bagi orang yang sudah meninggal, itu harus dilakukan oleh ahli waris. Apabila kasusnya seperti kamu, sertifikat ada pada mereka, maka, yang dapat kamu lakukan ya itu, memblokir semua sertifikat dan menggantinya yang baru. Masalahnya, apa kamu tahu, berapa asset yang dimiliki orang tuamu?”Rasti menggeleng.“Rasti, kamu ini terlalu lugu atau bodoh?” ujar Aris setengah kesal. “Baiklah, nanti, saya coba cari file yang bertahun-tahun lalu. Semoga masih ada ya? Tapi, saya memang menyimpan berkas satu tahun itu dalam sebuah flashdisk. Dan untuk data yang tahun-tahun sebelum ada benda itu, juga ada file-nya
“Papah, nanti Eyang pasti senang lihat kita datang, ya?” celoteh Raline girang.“Iya, dong, ‘kan ini hari bahagia Eyang. Jadi, kalau semua cucunya datang pasti bahagia,” jawab danang seraya melirik wanita di sampingnya.“Aku nanti mau foto berdua sama Eyang, di depan kue dan tumpeng. Ada kue dan tumpengnya ‘kan, Pah? Aku juga nanti mau minta disuapi Eyang. Nanti, fotonya dipajang ya, Yah? Yang berdua aku sama Eyang. Nanti, aku mau tersenyum, Eyang juga tersenyum. Kakak nanti mau foto juga sama Eyang?” Raline, anak yang masih duduk di bangku kelas satu SD itu terus berceloteh.“Kakak, nanti yang fotoin kamu aja, Dek,” jawab Nadine dingin. Dalam hatinya sudah penuh rasa takut, bila neneknya akan memperlakukan mereka dengan tidak baik.“Ah, Kakak gitu deh. Gak asik!” Raline cemberut.Mobil mereka memasuki halama
Danang menatap Rasti dengan tatapan mengasihani. Namun, kepalanya segera berpaling saat sebuah suara memanggil.“Sini, cepat! Kita ambil foto dulu,” teriak Wening. Namun, Danang menggeleng. Sampai akhirnya, ibunya datang dan menggeretnya.Beberapa keluarga dekat yang berada di dekat mereka, masih menatap bingung. Namun, tidak ada satupun yang berani berbicara. Hartono adalah sosok yang paling ditakuti.“Ibu, tapi ….” Belum selesai Danang berbicara, Wening sudah menarik paksa lengannya.“Rasti, Nadine, Raline, kemarilah, kita berfoto bersama,” ajak danang. Ia dalam keadaan dicekal lengannya oleh Wening. Posisinye berdiri di samping san g nyonya yang juga diapit Hartono. Sementara Firna, duduk di hadapan Wening dengan didampingi Yasmin.“Ini untuk acara sekolah Yasmin dulu. Dia disuruh gurunya membawa foto keluarga lengkap. Berhentilah untuk bersikap arogan, Danang. Hanya sebuah foto, demi mendiang adikmu,” bisik Wening. “Atau, Ibu akan beberkan semuanya sekarang,” ancamnya lagi.Dengan
Seketika, Raline merasa bahagia, karena namanya disebut. Ia melangkah dengan gembira, melupakan pertanyaan tentang seragam yang berbeda. Ingin rasanya Rasti mencekal lengan kecil putrinya, tapi ia sadar, itu akan membuat luka lagi. Biarlah, segala pedih ditanggungnya bersama Nadine, yang sudah paham akan sikap neneknya.“Raline berdiri di situ.” Wening mengatur formasi. Menyuruh Raline untuk berdiri agak jauh dari kue indah yang ada di meja. Is sendiri duduk diapit Danang dan Hartono. Di samping depan, Yasmin berdiri. Sementara Firna, ia berdiri di samping dan Hartono.“Nadine tidak mau?” tanya Wening dengan nada yang dibuat ramah.Anak sulung Rasti menggeleng.“Baiklah, acara akan segera dimulai. Ayo, semuanya menyanyi,” ajak Wening.Lagu khas ulang tahun dan tiup lilin bergema. Danang hanya bertepuk tangan dengan pelan, sambil terus mengamati anggota keluarganya satu per satu. Hatinya pun turut merasakan sakit. Akan tetapi, ia seolah terikat dengan sebuah rahasia yang dirinya pernah
“Biarkan dia pergi, tidak usah kamu kejar, Danang!” ujar Hartono saat langkah kaki anak lelakinya hendak melangkah menyusul anak istri.“Tapi, Bapak ….”“Sudah saatnya mungkin, kamu kembali pada apa yang seharusnya menjadi takdir kamu sejak dulu. Tidak sadarkah kamu, Danang, kalau Firna memang ditakdirkan untuk menjadi jodoh kamu? Masuklah, nikmati hidangan. Lihatlah dan buka mata kamu! Wanita yang kamu perjuangkan, tidak punya adab sama sekali. Bahkan, Firna tidak pernah membentak bapak ibumu. Meskipun dia seringkali diminta untuk bertahan dalam posisi yang menyakitkan, dia tetap patuh. Sementara Rasti? Dia tidak punya siapapun di dunia ini, tapi tidak pernah merasa bersyukur, membangkang pada kita yang telah menyelamatkan dia dulu. Mengambilnya agar memiliki keluarga.”“Tapi, Pak, bukankah kita telah mengambil ….”“Apa yang kita dapatkan sudah menjadi rezeki buat kita. Karena, sesuatu tidak mungkin menghampiri, jika itu bukan takdirnya. Jadi, semua yang kita miliki, itu memang jatah