Share

BAB 4

“Ibu mau kemana malam-malam begini?” Pak Arpin bertanya pelan sambil memperhatikan Aruna meneteskan alkohol pada kapas.

“Kantor polisi. Saya harus segera bergerak cepat, Pak. Sebelum Tibra menyadari rencana yang akan saya lakukan dan menyumpal para oknum itu menggunakan orang-orangnya.” Aruna meringis saat membersihkan beberapa luka di bagian tubuhnya.

“Mari saya antar.”

“Ya?” Aruna mengangkat kepalanya.

“Mari saya antar. Kantor polisi lumayan jauh dari sini.”

Aruna menarik napas lega. Akhirnya ada yang mau membantunya. Wanita itu memang terkenal baik selama ini, dia sering membawakan para satpam makanan dan minuman saat pulang dari mengontrol tempat usaha. Sesekali dia juga memberikan tips pada mereka. Sehingga, dia mempunyai hubungan yang cukup baik dengan Pak Arpin dan teman-temannya.

Aruna tersenyum.

“Tunggulah kehancuranmu sebentar lagi, Mas,” desis Aruna.

“Pak Arpin tahu mobil warna merah menyala yang sering ke sini? Kalau tidak salah plat mobilnya berakhiran ADR.” Aruna melirik Pak Arpin sekilas, dia menginformasikan detail plat karena sistem perumahan ini selalu mencatat plat mobil tamu yang keluar masuk untuk mengantisipasi hal-hal buruk yang mungkin terjadi.

“Oh, mobil Bu Andhira bukan maksudnya, Bu”

Ujung bibir Aruna terangkat. Bahkan satpam komplek pun sampai hafal, itu artinya tidak sekali dua kali wanita itu datang.

Sejak kapan wanita j*alang itu mulai sering bertandang ke rumahnya? Seingat Aruna, dia hanya sekali mengajak wanita itu ke rumah. Dulu, saat dia menemukan wanita itu dalam keadaan menyedihkan di jalanan.

“Ah!” Aruna memekik kecil saat betadine menyentuh kulitnya yang terluka. Perih terasa saat obat berwarna merah itu mulai menyerap ke dalam kulitnya yang terkelupas. Setelah menutup luka dengan kain kasa, Aruna membereskan kotak P3K dan menyerahkannya kembali pada Pak Arpin.

“Terima kasih.”

Pak Arpin mengangguk dan menyimpan kembali kotak putih berlambang PMI itu di tempatnya semula.

“Bu Andhira rutin kemari setiap satu bulan sekali, katanya diminta ibu menjaga anak-anak selagi Bu Aruna ke luar kota.”

Aruna menggigit bibirnya untuk mengalihkan perih yang tiba-tiba menyayat hatinya. Wanita itu meremas kencang ujung bajunya yang lembab. Betapa bodohnya dia selama ini sampai tidak menyadari pengkhianatan Tibra.

Bagaimana dia bisa sadar? Lelaki itu masih bersikap sangat manis padanya walau dengan cara yang cukup sederhana. Sesederhana ucapan “jangan lupa makan siang, bidadariku.” yang selalu mampir tanpa pernah terlewat sehari pun di ponselnya. Atau sarapan yang selalu sudah tersedia setiap pagi saat dia membuka mata. Tibra memang seromantis itu bahkan sejak mereka masih memakai seragam putih biru. Perhatiannya tidak berubah sedikitpun sejak lima belas tahun yang lalu.

“Bu, hujannya sudah mulai reda. Mau tunggu sampai benar-benar berhenti atau berangkat sekarang saja?” Pak Arpin memecah lamunan Aruna.

Wanita itu menoleh ke luar, hujan tinggal gerimis kecil. Ujung mata Aruna melirik jam dinding, pukul 21.00. Dia menarik napas panjang, sepertinya kalau menunggu hujan benar-benar reda sudah sangat kemalaman. Angin kencang sesekali masih berhembus, membuat Aruna sedikit menggigil karena bajunya yang lembab.

“Saya boleh pinjam motor Pak Arpin saja? Tidak perlu diantar, nanti pos kosong.” Aruna tersenyum, membuat lelaki berusia empat puluh delapan tahun itu sedikit salah tingkah. Wanita dengan kulit seputih pualam dan wajah sehalus porselen itu memang mempunyai pesona yang sangat kuat.

“Boleh saja sih, Bu. Tetapi, memangnya Bu Aruna bisa mengendarai motor?”

Aruna tertawa kecil mendengar pertanyaan Pak Arpin. Lelaki itu tidak tahu saja, bertahun lalu dia terbiasa mengendarai motor membawa puluhan kilo tepung dan ayam potong sendirian. Bagaimanalah, dia harus berbagi tugas dengan Tibra jika ingin pekerjaan cepat selesai.

Di awal usaha mereka dulu, dia dan Tibra mengerjakan semuanya hanya berdua. Sejak pagi Tibra berkeliling menjajakan jualan dengan gerobak, sementara Aruna berangkat ke tempat pengepul ayam potong dan tempat kulakan tepung.

Sepulang dari sana dia langsung mengungkep ayam, mempersiapkan tepung, dan meracik bahan untuk saus. Malam harinya dia dan Tibra mengemas saus racikan sendiri ke dalam plastik kecil yang sudah diberi label nama usaha mereka.

Lepas subuh, Aruna mempersiapkan ayam yang sudah di ungkep, saus, dan tepung yang sudah diadon ke dalam wadah untuk dibawa Tibra berjualan menggunakan gerobak.

Kenangan bertahun lalu mendadak melintas di pikiran Aruna. Dia tersenyum kecil mengingat perjuangan mereka dulu sebelum sampai di titik ini. Sayang, Tibra terlena dan tergoda. Merasa memiliki kuasa dan harta, mudah saja lelaki itu melupakan setiap tetes keringat dan air mata Aruna selama jatuh bangun mendampingi dirinya.

“Saya pandai mengendarai motor loh Pak Arpin.” Aruna tertawa menampakkan giginya yang putih dan rata.

“Hehehe, saya kira Ibu tidak bisa. Maklum, selama ini Bu Aruna tidak pernah terlihat mengendarai motor. Kemana-mana selalu mengendarai mobil.” Pak Arpin terkekeh.

“Ini kuncinya, Bu.”

Aruna menerima kunci motor dengan gantungan miniatur ka’bah dari Pak Arpin. Sejenak dia memperhatikan gantungan kunci itu.

“Buat penyemangat, Bu. Siapa tahu suatu saat kelak saya bisa menyentuh ka’bah yang asli, bukan miniaturnya saja.” Pak Arpin tertawa kecil melihat Aruna memperhatikan gantungan kuncinya.

“Aamiin,” sahut Aruna.

“Ibu tidak takut keluar sendirian malam-malam?” Pak Arpin kembali bertanya saat Aruna mulai beranjak keluar.

Aruna menggeleng. Dia tahu jalanan masih ramai, perumahan itu terletak di tengah kota sehingga tidak akan melewati jalan yang sepi. Lagi pula, Aruna mempunyai kemampuan bela diri yang cukup mumpuni. Semasa SMA dia mengikuti ekstrakulikuler bela diri. Itulah sebabnya tadi dia dapat menerjang Tibra dengan mudah karena Aruna tahu persis titik lemah tubuh seseorang.

“Saya pinjam dulu motornya ya, Pak.” Aruna sudah menarik gas motor saat mengatakan kalimat itu.

“Hati-hati, Bu.” Dia masih sempat mendengar seruan Pak Arpin. Wanita itu melambaikan tangan ke atas sebagai ucapan terima kasih.

Pak Arpin menutup kembali pintu gerbang setelah motor yang dikendarai Aruna hilang dari pandangan. Lelaki itu menarik napas panjang. Tidak lama lagi, pasti gerbang perumahan yang selalu sepi ini akan ramai oleh awak media. Bagaimana tidak? Bahtera pasangan pebisnis yang namanya cukup dikenal karena keharmonisan keluarga itu tiba-tiba saja oleng. Bukan hanya sekedar oleng, kapal itu bahkan hampir karam.

Aruna memacu motor dengan kecepatan sedang. Sesekali dia mengusap butiran air hujan yang memenuhi kaca helm yang dipakainya. Tujuan pertamanya adalah cabang utama usaha mereka. Dia meninggalkan ponsel bisnis dan beberapa kartu debit ATM di brankas dalam ruangannya. Dia tidak bisa bergerak jika tidak memegang ponsel dan tanpa uang di tangan.

Beruntung dia menyimpan kontak dalam akun gmailnya, nanti dia tinggal masuk saja ke akun itu, sehingga nomor-nomor penting yang dia butuhkan akan langsung muncul di kontak ponsel.

Terpaan angin malam selama perjalanan membuat Aruna harus menahan dingin. Tangannya bahkan mati rasa, susah payah dia mengendalikan diri agar tetap bisa mengendarai motor. Sekuat tenaga dia meneguhkan hati agar bisa sampai ke cabang utama yang berjarak sekitar lima belas kilometer dari perumahan.

“Dulu, aku matian-matian berjuang mendampingimu untuk mendapatkan semua ini, Mas. Maka kini aku tidak keberatan sedikitpun untuk berjuang sekali lagi mempertahankan milikku dan hak anak-anakku.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kebanyakan drama, klu mau lapor segera pergi nyet
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status