“Ibu mau kemana malam-malam begini?” Pak Arpin bertanya pelan sambil memperhatikan Aruna meneteskan alkohol pada kapas.
“Kantor polisi. Saya harus segera bergerak cepat, Pak. Sebelum Tibra menyadari rencana yang akan saya lakukan dan menyumpal para oknum itu menggunakan orang-orangnya.” Aruna meringis saat membersihkan beberapa luka di bagian tubuhnya.“Mari saya antar.”“Ya?” Aruna mengangkat kepalanya.“Mari saya antar. Kantor polisi lumayan jauh dari sini.”Aruna menarik napas lega. Akhirnya ada yang mau membantunya. Wanita itu memang terkenal baik selama ini, dia sering membawakan para satpam makanan dan minuman saat pulang dari mengontrol tempat usaha. Sesekali dia juga memberikan tips pada mereka. Sehingga, dia mempunyai hubungan yang cukup baik dengan Pak Arpin dan teman-temannya.Aruna tersenyum.“Tunggulah kehancuranmu sebentar lagi, Mas,” desis Aruna.“Pak Arpin tahu mobil warna merah menyala yang sering ke sini? Kalau tidak salah plat mobilnya berakhiran ADR.” Aruna melirik Pak Arpin sekilas, dia menginformasikan detail plat karena sistem perumahan ini selalu mencatat plat mobil tamu yang keluar masuk untuk mengantisipasi hal-hal buruk yang mungkin terjadi.“Oh, mobil Bu Andhira bukan maksudnya, Bu”Ujung bibir Aruna terangkat. Bahkan satpam komplek pun sampai hafal, itu artinya tidak sekali dua kali wanita itu datang.Sejak kapan wanita j*alang itu mulai sering bertandang ke rumahnya? Seingat Aruna, dia hanya sekali mengajak wanita itu ke rumah. Dulu, saat dia menemukan wanita itu dalam keadaan menyedihkan di jalanan.“Ah!” Aruna memekik kecil saat betadine menyentuh kulitnya yang terluka. Perih terasa saat obat berwarna merah itu mulai menyerap ke dalam kulitnya yang terkelupas. Setelah menutup luka dengan kain kasa, Aruna membereskan kotak P3K dan menyerahkannya kembali pada Pak Arpin.“Terima kasih.”Pak Arpin mengangguk dan menyimpan kembali kotak putih berlambang PMI itu di tempatnya semula.“Bu Andhira rutin kemari setiap satu bulan sekali, katanya diminta ibu menjaga anak-anak selagi Bu Aruna ke luar kota.”Aruna menggigit bibirnya untuk mengalihkan perih yang tiba-tiba menyayat hatinya. Wanita itu meremas kencang ujung bajunya yang lembab. Betapa bodohnya dia selama ini sampai tidak menyadari pengkhianatan Tibra.Bagaimana dia bisa sadar? Lelaki itu masih bersikap sangat manis padanya walau dengan cara yang cukup sederhana. Sesederhana ucapan “jangan lupa makan siang, bidadariku.” yang selalu mampir tanpa pernah terlewat sehari pun di ponselnya. Atau sarapan yang selalu sudah tersedia setiap pagi saat dia membuka mata. Tibra memang seromantis itu bahkan sejak mereka masih memakai seragam putih biru. Perhatiannya tidak berubah sedikitpun sejak lima belas tahun yang lalu.“Bu, hujannya sudah mulai reda. Mau tunggu sampai benar-benar berhenti atau berangkat sekarang saja?” Pak Arpin memecah lamunan Aruna.Wanita itu menoleh ke luar, hujan tinggal gerimis kecil. Ujung mata Aruna melirik jam dinding, pukul 21.00. Dia menarik napas panjang, sepertinya kalau menunggu hujan benar-benar reda sudah sangat kemalaman. Angin kencang sesekali masih berhembus, membuat Aruna sedikit menggigil karena bajunya yang lembab.“Saya boleh pinjam motor Pak Arpin saja? Tidak perlu diantar, nanti pos kosong.” Aruna tersenyum, membuat lelaki berusia empat puluh delapan tahun itu sedikit salah tingkah. Wanita dengan kulit seputih pualam dan wajah sehalus porselen itu memang mempunyai pesona yang sangat kuat.“Boleh saja sih, Bu. Tetapi, memangnya Bu Aruna bisa mengendarai motor?”Aruna tertawa kecil mendengar pertanyaan Pak Arpin. Lelaki itu tidak tahu saja, bertahun lalu dia terbiasa mengendarai motor membawa puluhan kilo tepung dan ayam potong sendirian. Bagaimanalah, dia harus berbagi tugas dengan Tibra jika ingin pekerjaan cepat selesai.Di awal usaha mereka dulu, dia dan Tibra mengerjakan semuanya hanya berdua. Sejak pagi Tibra berkeliling menjajakan jualan dengan gerobak, sementara Aruna berangkat ke tempat pengepul ayam potong dan tempat kulakan tepung.Sepulang dari sana dia langsung mengungkep ayam, mempersiapkan tepung, dan meracik bahan untuk saus. Malam harinya dia dan Tibra mengemas saus racikan sendiri ke dalam plastik kecil yang sudah diberi label nama usaha mereka.Lepas subuh, Aruna mempersiapkan ayam yang sudah di ungkep, saus, dan tepung yang sudah diadon ke dalam wadah untuk dibawa Tibra berjualan menggunakan gerobak.Kenangan bertahun lalu mendadak melintas di pikiran Aruna. Dia tersenyum kecil mengingat perjuangan mereka dulu sebelum sampai di titik ini. Sayang, Tibra terlena dan tergoda. Merasa memiliki kuasa dan harta, mudah saja lelaki itu melupakan setiap tetes keringat dan air mata Aruna selama jatuh bangun mendampingi dirinya.“Saya pandai mengendarai motor loh Pak Arpin.” Aruna tertawa menampakkan giginya yang putih dan rata.“Hehehe, saya kira Ibu tidak bisa. Maklum, selama ini Bu Aruna tidak pernah terlihat mengendarai motor. Kemana-mana selalu mengendarai mobil.” Pak Arpin terkekeh.“Ini kuncinya, Bu.”Aruna menerima kunci motor dengan gantungan miniatur ka’bah dari Pak Arpin. Sejenak dia memperhatikan gantungan kunci itu.“Buat penyemangat, Bu. Siapa tahu suatu saat kelak saya bisa menyentuh ka’bah yang asli, bukan miniaturnya saja.” Pak Arpin tertawa kecil melihat Aruna memperhatikan gantungan kuncinya.“Aamiin,” sahut Aruna.“Ibu tidak takut keluar sendirian malam-malam?” Pak Arpin kembali bertanya saat Aruna mulai beranjak keluar.Aruna menggeleng. Dia tahu jalanan masih ramai, perumahan itu terletak di tengah kota sehingga tidak akan melewati jalan yang sepi. Lagi pula, Aruna mempunyai kemampuan bela diri yang cukup mumpuni. Semasa SMA dia mengikuti ekstrakulikuler bela diri. Itulah sebabnya tadi dia dapat menerjang Tibra dengan mudah karena Aruna tahu persis titik lemah tubuh seseorang.“Saya pinjam dulu motornya ya, Pak.” Aruna sudah menarik gas motor saat mengatakan kalimat itu.“Hati-hati, Bu.” Dia masih sempat mendengar seruan Pak Arpin. Wanita itu melambaikan tangan ke atas sebagai ucapan terima kasih.Pak Arpin menutup kembali pintu gerbang setelah motor yang dikendarai Aruna hilang dari pandangan. Lelaki itu menarik napas panjang. Tidak lama lagi, pasti gerbang perumahan yang selalu sepi ini akan ramai oleh awak media. Bagaimana tidak? Bahtera pasangan pebisnis yang namanya cukup dikenal karena keharmonisan keluarga itu tiba-tiba saja oleng. Bukan hanya sekedar oleng, kapal itu bahkan hampir karam.Aruna memacu motor dengan kecepatan sedang. Sesekali dia mengusap butiran air hujan yang memenuhi kaca helm yang dipakainya. Tujuan pertamanya adalah cabang utama usaha mereka. Dia meninggalkan ponsel bisnis dan beberapa kartu debit ATM di brankas dalam ruangannya. Dia tidak bisa bergerak jika tidak memegang ponsel dan tanpa uang di tangan.Beruntung dia menyimpan kontak dalam akun gmailnya, nanti dia tinggal masuk saja ke akun itu, sehingga nomor-nomor penting yang dia butuhkan akan langsung muncul di kontak ponsel.Terpaan angin malam selama perjalanan membuat Aruna harus menahan dingin. Tangannya bahkan mati rasa, susah payah dia mengendalikan diri agar tetap bisa mengendarai motor. Sekuat tenaga dia meneguhkan hati agar bisa sampai ke cabang utama yang berjarak sekitar lima belas kilometer dari perumahan.“Dulu, aku matian-matian berjuang mendampingimu untuk mendapatkan semua ini, Mas. Maka kini aku tidak keberatan sedikitpun untuk berjuang sekali lagi mempertahankan milikku dan hak anak-anakku.”Terpaan angin malam selama perjalanan membuat Aruna harus menahan dingin. Tangannya bahkan mati rasa, susah payah dia mengendalikan diri agar tetap bisa mengendarai motor. Sekuat tenaga dia meneguhkan hati agar bisa sampai ke cabang utama yang berjarak sekitar lima belas kilometer dari perumahan.“Dulu, aku matian-matian berjuang mendampingimu untuk mendapatkan semua ini, Mas. Maka kini aku tidak keberatan sedikitpun untuk berjuang sekali lagi mempertahankan milikku dan hak anak-anakku.”Empat puluh menit berlalu saat akhirnya motor yang dikendarai Aruna memasuki halaman cabang utama usaha mereka. Resto yang menyajikan makanan cepat saji itu terlihat ramai oleh pengunjung. Resto itu buka dua puluh empat jam dengan sistem shifting bagi karyawannya. Shift pertama pukul 06.00-14.00, shift kedua pukul 14.00-22.00, shift terakhir pukul 22.00-06.00.Aruna berlalu cepat menuju pintu belakang. Dia bahkan mengabaikan petugas keamanan yang sedang membicarakan entah apalah di salah satu sudut ha
"S*ialan!" Tibra menghembuskan napas kencang seraya tangannya bergerak meninju udara. Lelaki itu berkali-kali melemparkan makian saat tidak menemukan keberadaan istrinya disana.Dia menggeleng tidak percaya. Tibra akhirnya melangkah masuk dan menutup pintu ruang kerja Aruna. Dia memperhatikan ruangan itu sejenak. Tibra menajamkan mata saat melihat seperti ada bercak air tertinggal di lantai. Sebelum dia berjongkok untuk memastikan, dia mendadak menyadari kalau bajunya sedikit basah saat berlari dari parkiran tadi.Tibra berjalan menuju meja kerja Aruna dan meletakkan kunci mobil beserta ponselnya. Ruangan itu tidak terlalu besar. Lampu dari bahan kristal berbentuk rangkaian anggur menggantung di plafon. Sofa dengan warna hijau muda senada dengan cat dinding terletak di sudut kanan. Biasanya digunakan oleh Aruna saat ada teman atau rekanan bisnis yang berkunjung kemari.Dua kursi terletak tepat di depan meja kerja Aruna. Biasanya digunakan jika ada karyawan yang datang menghadap atau a
Perasaannya menghangat saat tangan mereka berjabat. Hatinya berbisik, wanita di hadapannya ini butuh perlindungan. Sikap Andhira yang lemah seperti menjadi daya tarik tersendiri bagi Tibra. Dia langsung menyetujui saat Aruna mengusulkan untuk memberi Andhira pekerjaan. Apalagi, mereka memang sedang membutuhkan tenaga tambahan karena manajer yang lama baru saja mengundurkan diri. Seiring berjalannya waktu, pekerjaan membuat mereka sering bertemu.Dari Andhira, Tibra merasakan dirinya menjadi lelaki seutuhnya. Wanita itu rapuh dan sangat bergantung padanya. Tibra merasa kehadirannya sangat dihargai oleh Andhira. Bertahun hidup bersama Aruna yang serba bisa melakukan apa saja, membuat Tibra seperti menemukan kehidupan baru saat bersama Andhira.Bantuan-bantuan kecil yang dia berikan, sering membuat wanita itu berkaca-kaca karena terharu. Ucapan terima kasih yang tulus dari bibir mungil Andhira seolah menjadi candu bagi Tibra. Hal yang tidak pernah dia dapatkan dari Aruna. Wanita yang te
Tibra menarik napas panjang. Sejak mereka menikah beberapa bulan yang lalu, dia memang sengaja meminta Andhira tidur di rumah. Selain dia bisa tetap menjaga Zahir dan Zafar, dia juga bisa menjaga Andhira. Perasaannya sering tidak tenang meninggalkan wanita itu, berbeda dengan Aruna. Dia tidak perlu takut wanita itu akan kenapa-kenapa. Aruna pandai menjaga diri dan bisa berpikir cepat.Bisa berpikir cepat, inilah yang sedikit dikhawatirkan Tibra. Sepuluh tahun berumah tangga, dia masih kesulitan menyelami pikiran Aruna. Dia tidak bisa menebak tindakan apa yang akan diambil Aruna. Satu yang pasti, dia harus menemukan Aruna malam ini. Bukan karena dia khawatir, tetapi agar dia bisa memastikan wanita itu tidak pergi jauh dan tetap dalam pengawasannya.“Mas?” suara di seberang sana kembali terdengar.“Ah iya, Dhir. sudah dulu ya? Mas sudah mengantuk ini.” Tibra berpikir cepat mencari alasan. Lebih baik menyudahi obrolan segera daripada harus menjelaskan pada Andhira apa yang terjadi. Salah
“Saya sudah di depan, Bu.”Aruna yang baru saja menyelesaikan sarapan tersenyum tipis membaca pesan di ponselnya. Dia segera kembali ke kamar dan bergegas mengambil paper bag yang dia bawa. Wanita itu kemudian berjalan anggun menuju lobby depan hotel tempat mobil mewah warna biru tua sedang parkir.Sebelum niat Aruna mengetuk kaca mobil terlaksana. Pintu mobil terbuka, lelaki berusia kurang dari empat puluh tahun berpenampilan perlente tersenyum lebar pada Aruna. Aruna langsung masuk setelah dipersilakan.“Saya Lendra.” Lelaki itu mengulurkan tangan sambil melepaskan kaca mata hitam yang dia kenakan. "Pak, tolong suara musiknya agak dikecilkan sedikit." Lendra memberi perintah pada supirnya. Suara musik yang sedikit kencang bisa mengganggu pembicaraan serius yang akan mereka mulai.Aruna tertawa kecil menatap Lendra. Dia langsung membalas jabat tangan pria matang di sampingnya. Siapa yang tidak tahu pengacara yang sedang naik daun ini? Penampilannya yang selalu modis dan rapi namun
Lendra menatap wanita disampingnya lamat-lamat. Lipstik warna merah maroon yang Aruna gunakan tidak dapat menutupi jejak kekerasan yang dia dapatkan tadi malam. Bengkak dan sedikit pecah karena sobek, menjadi bukti kuat ucapan wanita di sampingnya ini bukan sekedar omong kosong belaka.“Saya sengaja tidak mengobatinya.” Aruna tiba-tiba berbicara sambil menoleh pada Lendra yang sedang mengamati wajahnya. Lendra tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya, sedikit salah tingkah karena Aruna bisa membaca pikirannya.“Saya paham maksud pernyataan anda.” Aruna mengangguk pada asisten Lendra yang menawarinya permen. Dia mengambil satu untuk menyegarkan mulut. Mint, adalah rasa yang sangat disukainya.“Thank you.” Aruna tersenyum pada gadis yang memperkenalkan diri dengan nama Viana.“Kita masih punya waktu hingga sampai di kantor polisi, Bu Aruna.” Lendra menatap Aruna lamat-lamat. Wanita di sampingnya ini bahkan masih dibawah tiga puluh tahun. Usia yang masih sangat muda.“Untuk?” Aruna mena
Untuk visum, dia memang berharap visum bisa segera dilakukan. Tanda-tanda penganiayaan masih terlihat jelas di tubuhnya. Lebam bekas tendangan Tibra, telapak tangannya yang membiru dan terluka karena diinjak, bibirnya yang bengkak dan pecah, bahkan kulit kepalanya terasa perih karena Tibra menarik sisir dengan kasar sehingga rambutnya ikut terseret kencang.Namun di atas semua itu, hatinya jauh lebih sakit karena pengakuan Tibra tentang pernikahannya dengan Andhira, wanita yang sudah dia anggap saudara sendiri. Seseorang yang tidak tahu cara berterima kasih pada orang yang telah mengangkat derajat hidup dan menolongnya dari kesulitan dan kesengsaraan.Bukan dia egois hanya memikirkan perasaannya sendiri. Jauh sebelum ini dia telah berpikir matang. Dia bahkan masih bertahan di rumah, bersikap seolah semua baik-baik saja di depan anak-anak setelah memergoki suaminya dan sang wanita penggoda tengah bermesraan.Namun, kejadian tadi malam benar-benar mengikis habis kebesaran hati Aruna. T
“Mas!” Andhira menerobos masuk ke ruangan Tibra. Wanita terlihat panik sehingga lupa kalau mereka sedang dalam suasana kerja. “Maaf, Pak Tibra, ada masalah genting di luar.” Andhira sedikit salah tingkah karena ternyata Tibra sedang ada tamu. Dia berdiri kikuk di depan pintu. Dengan sebelah tangan, Andhira menyibakkan rambut panjangnya yang terurai untuk menetralisir rasa gugup dalam dada. Tibra mengangguk pada Andhira dan memberi kode pada wanita itu untuk meninggalkan ruangannya dengan pandangan mata. Dia bisa melihat wanita bertubuh sintal dengan pakaian membentuk tubuh itu bergegas meninggalkan ruangan.“Maaf, boleh Saya izin sebentar?” Tibra menunjuk arah pintu dengan jempol tangannya. Wajahnya menampilkan senyum lebar pada beberapa tamunya. Mereka memang sedang ada pertemuan khusus.Jauh sebelum pertengkarannya dengan Aruna. Mereka memang berencana membuka usaha baru di luar pulau jawa. Menurut pengamatan Aruna, prospek usaha ini cukup menjanjikan. Wanita itu ingin melakukan p