แชร์

BAB 4

ผู้เขียน: Asda Witah busrin
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2022-11-02 10:35:19

“Ibu mau kemana malam-malam begini?” Pak Arpin bertanya pelan sambil memperhatikan Aruna meneteskan alkohol pada kapas.

“Kantor polisi. Saya harus segera bergerak cepat, Pak. Sebelum Tibra menyadari rencana yang akan saya lakukan dan menyumpal para oknum itu menggunakan orang-orangnya.” Aruna meringis saat membersihkan beberapa luka di bagian tubuhnya.

“Mari saya antar.”

“Ya?” Aruna mengangkat kepalanya.

“Mari saya antar. Kantor polisi lumayan jauh dari sini.”

Aruna menarik napas lega. Akhirnya ada yang mau membantunya. Wanita itu memang terkenal baik selama ini, dia sering membawakan para satpam makanan dan minuman saat pulang dari mengontrol tempat usaha. Sesekali dia juga memberikan tips pada mereka. Sehingga, dia mempunyai hubungan yang cukup baik dengan Pak Arpin dan teman-temannya.

Aruna tersenyum.

“Tunggulah kehancuranmu sebentar lagi, Mas,” desis Aruna.

“Pak Arpin tahu mobil warna merah menyala yang sering ke sini? Kalau tidak salah plat mobilnya berakhiran ADR.” Aruna melirik Pak Arpin sekilas, dia menginformasikan detail plat karena sistem perumahan ini selalu mencatat plat mobil tamu yang keluar masuk untuk mengantisipasi hal-hal buruk yang mungkin terjadi.

“Oh, mobil Bu Andhira bukan maksudnya, Bu”

Ujung bibir Aruna terangkat. Bahkan satpam komplek pun sampai hafal, itu artinya tidak sekali dua kali wanita itu datang.

Sejak kapan wanita j*alang itu mulai sering bertandang ke rumahnya? Seingat Aruna, dia hanya sekali mengajak wanita itu ke rumah. Dulu, saat dia menemukan wanita itu dalam keadaan menyedihkan di jalanan.

“Ah!” Aruna memekik kecil saat betadine menyentuh kulitnya yang terluka. Perih terasa saat obat berwarna merah itu mulai menyerap ke dalam kulitnya yang terkelupas. Setelah menutup luka dengan kain kasa, Aruna membereskan kotak P3K dan menyerahkannya kembali pada Pak Arpin.

“Terima kasih.”

Pak Arpin mengangguk dan menyimpan kembali kotak putih berlambang PMI itu di tempatnya semula.

“Bu Andhira rutin kemari setiap satu bulan sekali, katanya diminta ibu menjaga anak-anak selagi Bu Aruna ke luar kota.”

Aruna menggigit bibirnya untuk mengalihkan perih yang tiba-tiba menyayat hatinya. Wanita itu meremas kencang ujung bajunya yang lembab. Betapa bodohnya dia selama ini sampai tidak menyadari pengkhianatan Tibra.

Bagaimana dia bisa sadar? Lelaki itu masih bersikap sangat manis padanya walau dengan cara yang cukup sederhana. Sesederhana ucapan “jangan lupa makan siang, bidadariku.” yang selalu mampir tanpa pernah terlewat sehari pun di ponselnya. Atau sarapan yang selalu sudah tersedia setiap pagi saat dia membuka mata. Tibra memang seromantis itu bahkan sejak mereka masih memakai seragam putih biru. Perhatiannya tidak berubah sedikitpun sejak lima belas tahun yang lalu.

“Bu, hujannya sudah mulai reda. Mau tunggu sampai benar-benar berhenti atau berangkat sekarang saja?” Pak Arpin memecah lamunan Aruna.

Wanita itu menoleh ke luar, hujan tinggal gerimis kecil. Ujung mata Aruna melirik jam dinding, pukul 21.00. Dia menarik napas panjang, sepertinya kalau menunggu hujan benar-benar reda sudah sangat kemalaman. Angin kencang sesekali masih berhembus, membuat Aruna sedikit menggigil karena bajunya yang lembab.

“Saya boleh pinjam motor Pak Arpin saja? Tidak perlu diantar, nanti pos kosong.” Aruna tersenyum, membuat lelaki berusia empat puluh delapan tahun itu sedikit salah tingkah. Wanita dengan kulit seputih pualam dan wajah sehalus porselen itu memang mempunyai pesona yang sangat kuat.

“Boleh saja sih, Bu. Tetapi, memangnya Bu Aruna bisa mengendarai motor?”

Aruna tertawa kecil mendengar pertanyaan Pak Arpin. Lelaki itu tidak tahu saja, bertahun lalu dia terbiasa mengendarai motor membawa puluhan kilo tepung dan ayam potong sendirian. Bagaimanalah, dia harus berbagi tugas dengan Tibra jika ingin pekerjaan cepat selesai.

Di awal usaha mereka dulu, dia dan Tibra mengerjakan semuanya hanya berdua. Sejak pagi Tibra berkeliling menjajakan jualan dengan gerobak, sementara Aruna berangkat ke tempat pengepul ayam potong dan tempat kulakan tepung.

Sepulang dari sana dia langsung mengungkep ayam, mempersiapkan tepung, dan meracik bahan untuk saus. Malam harinya dia dan Tibra mengemas saus racikan sendiri ke dalam plastik kecil yang sudah diberi label nama usaha mereka.

Lepas subuh, Aruna mempersiapkan ayam yang sudah di ungkep, saus, dan tepung yang sudah diadon ke dalam wadah untuk dibawa Tibra berjualan menggunakan gerobak.

Kenangan bertahun lalu mendadak melintas di pikiran Aruna. Dia tersenyum kecil mengingat perjuangan mereka dulu sebelum sampai di titik ini. Sayang, Tibra terlena dan tergoda. Merasa memiliki kuasa dan harta, mudah saja lelaki itu melupakan setiap tetes keringat dan air mata Aruna selama jatuh bangun mendampingi dirinya.

“Saya pandai mengendarai motor loh Pak Arpin.” Aruna tertawa menampakkan giginya yang putih dan rata.

“Hehehe, saya kira Ibu tidak bisa. Maklum, selama ini Bu Aruna tidak pernah terlihat mengendarai motor. Kemana-mana selalu mengendarai mobil.” Pak Arpin terkekeh.

“Ini kuncinya, Bu.”

Aruna menerima kunci motor dengan gantungan miniatur ka’bah dari Pak Arpin. Sejenak dia memperhatikan gantungan kunci itu.

“Buat penyemangat, Bu. Siapa tahu suatu saat kelak saya bisa menyentuh ka’bah yang asli, bukan miniaturnya saja.” Pak Arpin tertawa kecil melihat Aruna memperhatikan gantungan kuncinya.

“Aamiin,” sahut Aruna.

“Ibu tidak takut keluar sendirian malam-malam?” Pak Arpin kembali bertanya saat Aruna mulai beranjak keluar.

Aruna menggeleng. Dia tahu jalanan masih ramai, perumahan itu terletak di tengah kota sehingga tidak akan melewati jalan yang sepi. Lagi pula, Aruna mempunyai kemampuan bela diri yang cukup mumpuni. Semasa SMA dia mengikuti ekstrakulikuler bela diri. Itulah sebabnya tadi dia dapat menerjang Tibra dengan mudah karena Aruna tahu persis titik lemah tubuh seseorang.

“Saya pinjam dulu motornya ya, Pak.” Aruna sudah menarik gas motor saat mengatakan kalimat itu.

“Hati-hati, Bu.” Dia masih sempat mendengar seruan Pak Arpin. Wanita itu melambaikan tangan ke atas sebagai ucapan terima kasih.

Pak Arpin menutup kembali pintu gerbang setelah motor yang dikendarai Aruna hilang dari pandangan. Lelaki itu menarik napas panjang. Tidak lama lagi, pasti gerbang perumahan yang selalu sepi ini akan ramai oleh awak media. Bagaimana tidak? Bahtera pasangan pebisnis yang namanya cukup dikenal karena keharmonisan keluarga itu tiba-tiba saja oleng. Bukan hanya sekedar oleng, kapal itu bahkan hampir karam.

Aruna memacu motor dengan kecepatan sedang. Sesekali dia mengusap butiran air hujan yang memenuhi kaca helm yang dipakainya. Tujuan pertamanya adalah cabang utama usaha mereka. Dia meninggalkan ponsel bisnis dan beberapa kartu debit ATM di brankas dalam ruangannya. Dia tidak bisa bergerak jika tidak memegang ponsel dan tanpa uang di tangan.

Beruntung dia menyimpan kontak dalam akun gmailnya, nanti dia tinggal masuk saja ke akun itu, sehingga nomor-nomor penting yang dia butuhkan akan langsung muncul di kontak ponsel.

Terpaan angin malam selama perjalanan membuat Aruna harus menahan dingin. Tangannya bahkan mati rasa, susah payah dia mengendalikan diri agar tetap bisa mengendarai motor. Sekuat tenaga dia meneguhkan hati agar bisa sampai ke cabang utama yang berjarak sekitar lima belas kilometer dari perumahan.

“Dulu, aku matian-matian berjuang mendampingimu untuk mendapatkan semua ini, Mas. Maka kini aku tidak keberatan sedikitpun untuk berjuang sekali lagi mempertahankan milikku dan hak anak-anakku.”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
ความคิดเห็น (2)
goodnovel comment avatar
vikana_dee
perasaan kata katanya diulang ulang terus
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kebanyakan drama, klu mau lapor segera pergi nyet
ดูความคิดเห็นทั้งหมด

บทล่าสุด

  • MADU SETELAH SEPULUH TAHUN PERNIKAHAN   [TAMAT] Penyesalan Mendalam

    "Ampun! Ampun! Maaf, Mas." Andhira memeluk lutut dan menyembunyikan kepalanya di sana. Rambut wanita itu kusut masai. Di lantai, ceceran rambutnya terserak banyak karena sering dijambak."Tolong! Tolooong … tolooooong … bantu aku, bantu aku." Andhira kembali berteriak kencang sambil menangis histeris. Tubuhnya bergetar hebat. "Jangan bunuh aku, kumohon. Biarkan aku dan anakku hidup dengan tenang. Kumohon." Andhira menghiba dengan wajah basah.Sepuluh menit kemudian, dia tertidur di lantai dalam posisi bersujud. Seperti biasa, setelah mengamuk dan berteriak histeris, Amdhira akan tertidur begitu saja karena kelelahan. Napasnya terdengar teratur. Tidak lagi menderu seperti tadi.Disini, Tibra mengepalkan tangan kencang. Hatinya perih melihat keadaan Andhira. Sejak kejadian pagi itu sebulan yang lalu, Andhira menjadi lebih pendiam. Wanita itu tidak banyak bicara. Dia bahkan semakin menjaga jarak dengan Tibra dan tidak berani membalas tatapannya setiap kali berbicara.Tepat seminggu setela

  • MADU SETELAH SEPULUH TAHUN PERNIKAHAN   Kebenaran Tentang Masa Lalu

    Tibra meremas selembar foto di tangannya. Lelaki itu menatap nyalang pada foto-foto lain yang berserakan. Disana terlihat foto dua orang yang sangat dia kenal. Andhira dan Devan sedang akad nikah. Keduanya juga tampak tersenyum lebar di pelaminan. Di foto lain, terlihat Devan dan Andhira sedang berfoto di ranjang rumah sakit sambil memeluk bayi mungil dengan papan nama bertuliskan nama Anna. Bukan hanya foto, tapi fotokopi kartu keluarga dan Juga fotokopi buku nikah melengkapi isi amplop coklat yang sampai ke mejanya pagi ini. "Lelucon apa ini?" Tibra tertawa kencang. Kepalanya hampir pecah mengetahui istri dan orang yang telah menghancurkan usahanya ternyata pernah menikah. Lelaki itu benar-benar meraa dipermainkan oleh kehidupan. Tibra langsung membereskan semua foto dan memasukkannya kembali ke dalam amplop besar. Setelah itu dia langsung meninggalkan outlet. Berkali-kali dia memukul kemudi dan membunyikan klakson selama perjalanan. Andai bisa, ingin rasanya dia melajukan kendara

  • MADU SETELAH SEPULUH TAHUN PERNIKAHAN   Dari Balik Jeruji Besi

    “Devan!”Lelaki yang sedang tiduran di kasur tipis sambil menumpukan kaki kanan di atas lutut kirinya itu mengangkat kepala sedikit saat mendengar petugas menyebut namanya.“Ada tamu,” ucap petugas sambil membuka kunci. Bunyi gemerincing rantai dan kunci beradu dengan sel memenuhi pendengaran, membuat beberapa tahanan menoleh dari balik sel mereka.Devan tersenyum tipis pada wajah-wajah penasaran itu. Jangankan mereka, diapun tidak sabar ingin tahu siapa tamu yang datang ini. Hampir dua tahun dia menjalani hukuman, tidak ada yang datang berkunjung. Itulah sebabnya saat mendengar Devan ada tamu, yang lain langsung antusias.“Siapa ya tamunya?”“Bukannya dia psikopat? Ada juga yang mau mengunjungi ternyata.”“Masa sih?”“Iya, makanya itu dia sendirian di dalam sel!”“Oh jadi itu alasannya dia seperti diistimewakan dengan hanya sendiri saja?”“Iya, katanya dulu awal-awal menjadi tahanan, habis rekan satu selnya. Entah dibagaimanakan, hampir saja teman-teman satu selnya mati perlahan. Unt

  • MADU SETELAH SEPULUH TAHUN PERNIKAHAN   Berbanding Terbalik

    “Baiklah, terima kasih pada pembicara kita yang sangat luar biasa. Sesi selanjutnya adalah penyerahan bantuan kepada teman-teman yang usahanya sedang kurang baik. Kepada teman-teman yang namanya disebutkan, harap naik ke atas panggung."Tibra meletakkan gelas minumannya. Sambil merapikan dasi, dia bergegas melangkah ke arah panggung. Beberapa teman yang usahanya juga kurang baik menepuk punggungnya. Mereka berjalan bersama.Hanya Tibra yang tidak didampingi istri. Andhira memilih menemani putri mereka daripada ikut ke sini. Acara itu disiarkan secara live di salah satu televisi swasta. Sehingga, dia bisa ikut mengikuti jalannya acara."Untuk menyerahkan secara simbolis bantuan ini, kami minta dengan hormat kepada Ibu Aruna sebagai sosok yang menginspirasi hari ini untuk memberikan amplop sebagai tanda sahnya teman-teman menerima bantuan. Semoga dengan diberikannya bantuan ini oleh Ibu Aruna, teman-teman sekalian bisa termotivasi untuk berinovasi sehingga usahanya bisa bangkit kembali.

  • MADU SETELAH SEPULUH TAHUN PERNIKAHAN   Bagai Kerumunan Lalat

    “Ah … maaf!” Tibra yang pikirannya sedang melayang kemana-mana tanpa sengaja menabrak seseorang saat akan mengambil gelas minuman.“Tidak apa-apa, tidak apa-apa.”Tibra menautkan alis saat mendengar suara yang sepertinya dia kenal. Dengan cepat, lelaki itu mengangkat kepala dan menoleh ke sumber suara.“Tibra.” Wira menarik napas panjang saat menyadari yang menabraknya barusan adalah mantan menantunya. Ada yang tercubit di dalam sana saat berjumpa lagi setelah sekian lama. Terakhir mereka bertemu di ruang persidangan perceraian saat dia mendampingi Aruna.Tibra menegakkan badan, dagunya sedikit terangkat dengan sebelah tangan masuk ke dalam kantong celana. Sejak dulu, dia dan mantan mertuanya itu tidak pernah dekat. Penolakan Wira padanya saat ingin menjadikan Aruna istri dulu masih membekas jelas dalam ingatan Tibra.“Apa kabar, Nak?” Adya tersenyum sambil mengelus tangan Tibra yang memegang gelas minuman. Hubungannya dengan Tibra memang lebih baik dibandingkan suaminya. Sepuluh tahu

  • MADU SETELAH SEPULUH TAHUN PERNIKAHAN   Tempat yang Sama

    “Sesi Sharing di pertemuan tahun ini kita mulai dari yang wajahnya sedang sangat wara-wiri di seluruh media, baik media cetak, radio maupun televisi. Seorang wanita yang sangat menginspirasi baik dari segi bisnis maupun perjalanan cintanya.”Ruangan itu ramai oleh suara tawa. Beberapa bahkan menutup mulut agar tidak tertawa terlalu kencang.“Beliau membangun usaha dari nol, hingga sekarang sudah sangat maju di usia yang masih terbilang muda. Beliau ini juga baru saja menikah beberapa bulan yang lalu dengan kategori pernikahan termewah tahun ini. Mari kita doakan bersama-sama agar segera dikaruniai keturunan. Aamiin.”“AAMIIN ….” Kompak, hampir semua peserta mengaminkan ucapan pembawa acara. Beberapa bahkan bersuit-suit membuat yang lain tertawa geli.“Untuk menghemat waktu, saya akan segera memanggil seseorang ini. Seseorang yang sangat menginspirasi terutama bagi para wanita. Seseorang yang merupakan gambaran Kartini masa kini. Gigih, mandiri, pekerja keras dan tidak gampang menyera

  • MADU SETELAH SEPULUH TAHUN PERNIKAHAN   Kemelut Suami-Istri

    Sementara di sini, Tibra menghampiri Andhira yang tertidur di ranjang Zafina. Lelaki itu menyentuh rambut Andhira pelan. Wajah yang dulu selalu terlihat cerah dengan riasan tipis, kini nampak kuyu dan lelah.“Mas.” Andhira terbangun merasakan sentuhan suaminya. Dia langsung membenarkan kuncir rambutnya yang hampir terlepas.“Uangnya sudah kubayarkan. Semoga saja semua sesuai perkiraan dokter dan proses operasi minggu depan berjalan lancar.” Tibra bersimpuh di samping Andhira. Lelaki itu merebahkan kepalanya di pangkuan istrinya.“Aamiin.” Andhira mengaminkan pelan. Sejujurnya, dia ingin menanyakan terkait proses pembagian harta tadi. Namun, dia tidak siap mendengar kabar tentang Aruna.Isaknya kembali terdengar saat pandangannya tertuju pada Zafina. Mata itu terlihat sembab dan bawahnya sedikit menghitam. Hilang sudah cahaya mata Andhira yang dulu terlihat tajam dan seksi yang sangat menggoda. Mata itu diselimuti kabut yang sangat pekat."Setidaknya, uang dari penjualan villa di Punca

  • MADU SETELAH SEPULUH TAHUN PERNIKAHAN   Detail yang Dijabarkan

    “Mas.” Seperti biasa, Aruna dan Tyo memang selalu menyempatkan untuk mengobrol apapun sebelum tidur. Tentang pekerjaan, rencana masa depan, kadang juga hanya sekedar omong kosong belaka.“Hmm.” Tyo yang sedang berbaring dan memperhatikan wajah Aruna berdehem.Aruna menoleh pada Tyo, belum sempat dia berbicara lelaki itu sudah menghadiahinya sebuah kecupan yang hangat. Aruna menepuk bahu Tyo pelan saat lelaki itu melepaskannya. Berada di dekat Tyo memang seumpama candu. Lelaki itu selalu menghujaninya dengan madu, hingga Aruna sering mabuk karena manisnya.“Aku ada rencana membangun rumah untuk Zahir dan Zafar. Villa yang rencananya untuk mereka, sudah sah dijual tadi siang.”Tyo diam tak menanggapi omongan Aruna. Dia sengaja tak menyela sampai Aruna menyelesaikan maksud ucapannya.“Nanti di sana, aku mau mereka mulai belajar usaha kecil-kecilan. Ya biar mereka merasa ada tanggung jawab dan agar mereka tahu bagaimana manisnya uang yang didapat dari jerih payah sendiri.”“Apa tidak ter

  • MADU SETELAH SEPULUH TAHUN PERNIKAHAN   Yang Dikembalikan

    "Bahkan sampai sejauh ini, hatimu masih sekeras batu, Mas." Aruna mengembuskan napas pelan melihat punggung Tibra semakin menjauh. Mantan suaminya itu bahkan merasa tidak perlu mengucapkan maaf pada Aruna. Satu kata yang sangat ditunggu Aruna, sebagai bentuk penghormatan kalau lelaki itu menghargai hubungan mereka dulu saat pernah berjuang bersama.Aruna masuk ke dalam mobil dan menyandarkan kepala ke kursi. Bertahun tak berkomunikasi membuat mereka kaku saat berjumpa. Memang lebih baik seperti ini. Aruna sengaja menjaga jarak dari Tibra dan Andhira.Baginya, jauh dari mereka merupakan salah satu bentuk untuk healing dan memperbaiki hati. Bukan karena belum move on, toh dia sudah mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik menurut versi dirinya kini. Namun, luka itu tetap membekas. Bagaimanapun, pengkhianatan akan selalu terasa menyakitkan.Memaafkan tapi tidak melupakan agar bisa mengambil pelajaran untuk ke depan, itulah prinsip yang dipegang oleh Aruna. Dia bukan malaikat. Dia manus

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status