"Kok bisa begitu, Fat. Pah, jangan diam saja! Ini namanya tak adil!" Tari mulai protes. Tentu hatinya kesal, bagaimana tidak? Sudah tak bisa bermesraan dirumah, lebih lagi ngga boleh bergaya.
Dia pikir enak, menikah dengan seorang Damar Wulan Anggito. Seorang manager di sebuah perusahaan minyak. Melihat aku yang mungkin dia pikir bisa cantik, bersih dan nyaman. Tentu ia iri. Apalagi semua dapat kumiliki, walau tentunya semua itu butuh perjuangan. Yang melihat pasti akan mengira jika Mas Damar bergaji besar. Memang, tapi kemewahan ini, bukan hanya hasil kerjanya."Terima saja lah, Tar. Kita memang sudah salah. Aku tak mau menambah salah." Mas Damar berkata dengan sadar."Good! Mas Damar saja sudah menerima, kamu jangan terlalu banyak protes! Mari kita lanjutkan." Aku kembali serius."Selain kepentingan urgent tak boleh sekalipun kamu mengajak Mas Damar. Kalau kamu perlu di antar, pesan taxi ataupun kalau aku sedang bisa, minta antar aku! Bukan Mas Damar! Tak ada alasan ataupun. Tak ada acara makan yang Tari ikut sertakan. Kalau keluar kerumah bareng anak-anak, Tari tak boleh ikut."Wajah Tari makin mengkerut, "ini mah namanya penyiksaan. Aku hanya di jadikan budak!""Ngga papa, Tar. Iklas demi cintamu pada Mas Damar. Iya kan, Mas?" Aku mengedipkan mata genit."I-iya, Dek. Sebagai ujian hidupnya. Sejauh apa dia berjuang demi aku!"Aku tersenyum. Mas Damar memang dari dulu penurut. Dia jarang membantah setiap apa yang saya sarankan. Itulah, kenapa aku yakin jika Mas Damar mampu untuk kembali padaku, bukan berlari dariku dengan Tari. Bahkan selama ini saja dia masih tetap sama. Tak berubah sedikitpun."Iya, sebagaimana aku berjuang denganmu dari Nol ya, Mas?" kembali aku menatap dua manusia tak punya perasaan itu bergantian."Oh, tentang harta, nanti akan ada pointnya. Pasti kamu juga menunggu kan, Tar?" Aku langsung melempar wajah padanya."Itu arti aku di sini hany jadi pembantu?" Protesnya kembali."Tentu! Bahkan pernikahanmu saja hanya boleh di ketahui oleh keluarga Mas Damar dan aku. Selain itu, tak boleh ada yang tahu!""Kenapa?" Tari sedikit menyondongkan badan."Karena jika pihak kantor tahu, itu beresiko untuk pekerjaan Mas Damar. Kalau sampai orang lain tahu, aku takut mereka ngomong dan mengolok anakku memiliki dua Ibu. Apa kamu mau, Mas?"Mas Damar mengeleng, Tari makin kesal."Tapi ngga kaya gini juga caranya, Pah! Kamu jangan diam saja aku di perlakukan tak adil. Mending kamu itu bela aku, kalau perlu kamu beli rumah yang sama besarnya kemudian kita tinggal disana. Mending bersihkan rumah sendiri dari pada kaya gini di rumah rasa pembantu!"Aku tersenyum getir. Dia pikir uang Mas Damar itu buannyyak. Makanya dia mengoda Mas Damar. Mungkin iri denganku yang ia lihat mampu secara finansial. Dia terlalu naif, hanya melihat covernya saja."Aku ngga bisa begitu, Tar. Uangku mana cukup untuk beli rumah, jika gajiku saja tak mampu memenuhi kebutuhan rumah. Semua di tunjang oleh bagi hasil investasi Fatwa." Keluar juga dengan gamplang dari mulut Mas Damar. Aku pikir nanti biar aku yang jelaskan didepan mata Tari, berapa uang Mas Damar."Maksud kamu apa, Mas? Kamu seorang manager keuangan. Pasti uangnya banyak! Masa beli satu rumah saja ngga mampu?" Tari berdebat. Sudah kuduga dia belum tahu keuangan Mas Damar."Iya, aku memang manager keuangan tapi, aku memegang uang orang, bukan uangku, mana berani aku pakai!""Sudah jangan ribut. Semua nanti akan kita bicarakan. Kamu akan tahu seberapa besar gaji Mas Damar. Ada waktunya nanti, kita akan bahas, tenang saja!"Tari melegos, seperti ia sudah sangat kesal. Kuucapkan point' demi point'. Makin kesini Tari makin kesal bahkan sebelum bahas point' keuangan ia sudah minggat dulu pergi menuju kamarnya.Jederrr!Dengan keras ia membanting pintu."Kenapa ngga di kejar, Mas?" tanyaku yang melihat Mas Damar masih duduk di tempatnya."Untuk apa?" jawabnya santai. Aku justru makin di buat bingung. Kenapa Mas Damar tak sesensitif seperti kepadaku. Dia bahkan akan langsung memelukku saat aku mulai merajuk dulu."Dia kan istrimu juga, Mas?""Iya, aku hanya menikahinya untuk membuat dia kembali hidup normal! Selebihnya perasaanku hanya padamu. Tak pernah berubah."Huh! Bohong, dia pikir dengan mudah akan mengelabuiku. Membuat seolah dia sebagai dewa penolong untuk seseorang. Nyatanya dia rela mengorbankan perasaanku."Maafkan aku ya, Dek! cintaku padamu masih tetap sama." Mas Damar memegang tanganku.Kutepis tangannya,"apa semua akan selesai dengan kata maaf? Apa hatiku ini akan sembuh dengan sebuah kata maafmu?""Dek!""Sudahlah, Mas! Lebih baik kamu bujuk istrimu itu. Kalau perlu turuti saja untuk membelikan dia rumah! Biar dia senang." Aku langsung beranjak naik. Aku yakin Mas Damar begitu karena tahu rincian yang kusodorkan setelah kepergian Tari tentang keuangan.Aku memotong uang untuk kuliah Leli dan juga uang bulanan Ibu. Pasti dia takut di amuk oleh Adik dan Ibunya. Biar tahu rasa, sudah berpihak pada orang yang salah!Gaji Mas Damar yang di bagi-bagi, hanya cukup untuk biaya sekolah Aziz dan Wulan serta untuk Ibu dan Leli separuh untuk kebutuhan rumah. Semua itu sudah habis, bahkan bayar gaji ART dan tukang kebun aku yang handle dan bisnis yang kurintis hingga puluan tahun. Investasi yang sekarang tinggal tuai hasilnya. Semua tak akan aku biarkan tersentuh untuk keperluan Tari. Enak saja!Pikirkan saja bagaimana menafkahi istri yang lain! Belum mampu tapi sudah berasa di awang-awang, poligami tanpa izin dariku. Tak akan mudah hari yang akan kalian lalui.®®®®"Bun!" Aziz tahu perubahan expresiku. Dia langsung mendekat kearahku yang merasa Tek bertulang. Sedangkan Wulan juga dengan sigap langsung menopangku."Ada apa, Bu?" tanya Wulan, berbarengan dengan Aziz yang sampai di dekatku. Aku harus kuat. Aku tak ingin sampai Aziz tak punya foto kenang-kenangan atas prestasinya."Ngga papa, ayok! Ayah minta maaf tak bisa datang karena keadaan." Aku berusaha untuk melangkah keatas podium. Menyambut uluran tangan kepala sekolah, menerima penghargaan kemudian berfoto. Setelah selesai dan turun dari podium aku meminta berbicara dengan Aziz kebelakang sebentar sebelum ia masuk kembali ke barisan teman-temannya."Bunda mau bicara sebentar. Bisa?" Dia mengganuk dan mengikuti langkahku. Aku memilih untuk keluar karena suara yang riuh. Wulan juga kubawa."Aziz, Ayahmu kecelakaan saat akan kesini. Dia katanya kritis." ucapku dengan menahan serak didada. Bagaimanapun dia telah mengisi hariku puluhan tahun, aku tak mungkin abai disaat seperti ini."A-ayah?"
"Tak semudah itu, Mas! Kami pikir dengan menalak Tari didepanku, aku akan langsung memaafkanmu? Jangan mimpi!" Aku segera beranjak pergi. Malu, masih ada beberapa polisi yang lewat dan memperhatikan kami."Fat! Dek!" Mas Damar memanggil, aku acuh langsung menuju kendaraan. Tak perduli Mas Damar yang mengetuk kaca keras.Kulajukan mobil dengan sedikit kencang. Kepalaku pusing, memikirkan semua masalah yang ada. Rasanya lelah hidup ini. Menghadapi semua masalah yang terus melanda.Ponsel berdering. Dari Lukman!"Hallo, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Bu. Saya mau menginformasikan bahwa resto yang berada di jalan mangga di miliki oleh seseorang dari Pakistan dan menurut yang info saya dapatkan jika perempuan yang di nikahi secara mut'ah bernama Saras."Deg!Mendengar penjelasan Lukman aku kaget. Bukan kaget karena pemilik resto adalah Mbak Saras. Tapi kaget tentang pernikahan mut'ah yang dia lakukan."Kamu yakin jika berita ini akurat, Luk?""Yakin, Bu."Aku menutup sambungan telfon d
Aku terperanjat karena terkena cipratan air juga. Ervan pun langsung berdiri."Apa-apaan ini?" Ervan mengadu saat tahu siapa pelaku penyiraman itu. Melisa."Kamu, Mas, yang apa-apaan. Berdua makan dengan babysitter!" Melisa berkata dengan amarah. Beberapa orang melihat, kami menjadi tontonan, bahkan saat Lukman mencoba mendekat aku menahannya dengan isyarat tangan."Tega-teganya aku di luar negri, kamu main sama seorang pengasuh anakmu! Ngga tau malu!" Melisa masih saja berargumen. Ervan bahkan gelagapan karena tak diberi waktu untuk berbicara."Jadi begitu kelakuanmu, Mas. Kamu benar-benar lelaki tak setia! Dan kamu!" Kali ini ia menunjukku, aku hanya bergeming."Kamu tak akan pernah selevel dengan seorang dokter. Kamu hanya pengasuh! Jangan berharap lebih. Palingan juga Mas Ervan mau karena di guna-guna. Kamu cuma mau hartanya saja kan? Mau meninggikan stratamu!" Dengan jari telunjuk ia mengarahkan padaku."Cukup, Mel!" Akhirnya Ervan bersuara. "Kamu ngomong apa? Pulang dari LN ngga
" Ya resto itu berdiri di jalan mangga. Kata pelanggan harganya jauh dibawah kita. Tadi sempat berbincang dengan para grabfood jika itu benar adanya. Mereka meminta kepastian jika itu benar-benar cabang kita." Aku terdiam. Jalan mangga? Itu artinya sekitar seratus meter dari Restoku. Kenapa? Apa benar itu milik Mbak Saras? Aku harus secepatnya mencari tahu."Baik, terima kasih, Luk. Biar aku cari tahu. Kamu tetap kerja dengan baik!" "Baik, Bu."Segera aku melajukan mobil dengan cepat. Menuju dimana resto itu berdiri. Aku sangat ingin tahu apa benar Resto itu meniru tempat usahaku."Macet lagi!" Aku menggerutu. Ingin cepat sampai malah terjebak macet.Cukup lama dan panjang. Entah apa yang ada didepan sana. Aku hanya bisa bersabar. "Ada apa ya, Pak. Di depan sana?" tanyaku pada seorang tukang sapu jalanan."Oh, ada truk guling, Bu. Mungkin akan memakan waktu lama. Soalnya alat berat belum datang!" Aku mengangguk, kemudian kembali fokus pada jalanan yang mulai terasa panas walau suda
Aku langsung menuju di mana sosok berdiri. Wulan. Ia menatapku dengan pandangan penuh amarah."Kamu belum tidur, Sayang?" tanyaku.Dia menepis tanganku yang hendak menyentuh rambutnya. Kenapa?"Bunda apa-apaan? Pake jalan sama laki-laki lain! Bunda punya pacar?!" Aku tersentak kaget. Bagaimana bisa Wulan berkata demikian. Apa yang membuat dia menuduhku sedemikian rupa."Kamu ngomong apa, si Wulan?" Aku mencari penjelasan."Bunda jangan ngelak! Wulan sudah tahu semua dari ayah!" Nadanya ia naikkan.Kupastikan Mas Damar mengadu pada Wulan. Mencuci otak anak yang masih belum memiliki pikiran dewasa."Bunda cuma pergi sama anak temen Bunda. Dia anak kecil, baru sekolah paud. Ituloh, yang saat Bunda di rumah sakit. Anaknya pak dokter." Aku berusaha menjelaskan. Namun wajah kusut Wulan tak berubah."Iya, makanya Wulan tahu! Bunda dan Dokter tengil itu mulai pacaran kan?"Astaghfirullah. Aku menyebut, apa yang sudah di katakan Mas Damar pada Wulan?"Tidak, Wulan. Kita cuma sahabat. Maklum la
"Tari?" Apa aku tak salah lihat. Tari berada di Paud? Anak siapa? Jangan-jangan dia mau menculik?Ah! Kenapa aku jadi berfikir negatif. Kalau anak itu di culik pasti udan teriak.Aku ingin menyambanginya. Menanyakan bahwa aku sudah melaporkan dia pada polisi. Namun, aku tersadar saat akan membuka pintu."Tante!" Panggil Sifa. Aku tak mungkin meninggalkannya."Iya, Sayang." Aku urung keluar, Sifa terlihat juga menatap ke Tari."Sifa kenal anak itu?""Kenal, Tan. Dia namanya Ines.""Terus itu siapa?" tanyaku memastikan tentang Tari."Dia itu babycitternya. Galak banget!" ujar Sifa polos."Kok tahu kalau dia galak?" ucapku memancing."Iya, Ines sering kena marah-marah sama dia, dia itu kata Ines nenek lampir!"Aku tertawa mendengar penuturan Sifa. Bocah kecil sudah tahu maklampir. Setelah melihat Tari masuk sebuah mobil, akhirnya aku juga melajukan mobilku menuju pusat perbelanjaan. Ada beberapa kebutuhan yang memang ingin kubeli, sekaligus mengajak Sifa main di Playground. Menghabiskan