Share

Perjanjian dulu

Author: Pipit Aisyafa
last update Last Updated: 2023-12-07 13:00:22

"Hati-hati, Mas!" Kusodorkan minuman pada Mas Damar. Kuabaikan Tari yang langsung membersihkan pecahan gelas. Beruntung aku tak minta ganti rugi. Kerja baru sebentar sudah pecahin gelas.

"Ayo makan yang cepat. Sudah akan terlambat." Aku menyuruh Wulan dan Aziz yang sekali memperhatikan Tari.

"Mas, setelah antar anak-anak, pulang dulu kerumah lagi. Kita akan bahas sesuatu. Lagian kamu masih punya kesempatan libur satu hari lagi kan?" tanyaku. Aku tahu betul kebijakan di perusahaan di mana Mas Damar bekerja.

"Iya, Dek. Nanti aku pulang lagi." Mas Damar mengulurkan tangan. Tari mendekat, namun seketika aku langsung mengandeng tangan Mas Damar agar tak sampai bersalaman dengan Tari. Bisa curiga anak-anak.

Seperginya Mas Damar, aku kembali masuk. Kulihat Tari yang tengah melihat dari balik kaca jendela.

"Kasian! Punya suami tak bisa mengantar pergi kerja. Makanya jangan punya suami orang!" Aku berbisik tepat di telinganya. Ia tentu kaget, namun aku tersenyum dan langsung meninggalkannya.

"Jangan lupa cuci pirang dan bersih-bersih! Mas Damar ngga suka ada debu. Nanti dia bersin-bersin!" Teriakku.

Aku menyusuri anak tangga. Aku yakin membawa Tari kesini bukan tanpa alasan. Tari itu tak bisa hamil, hingga aku pasti dapat merebut hati Mas Damar melalui anak-anak, dari anak-anak, untuk anak-anak. Selebihnya perasaanku, aku tak utamakan itu.

Banyak yang bilang perselingkuhan itu sudah mendarah daging. Sekali selingkuh tetap selingkuh. Namun, apa iya pernikahan yang kubina sudah lebih dari lima belas tahun, harus disamakan dengan orang yang baru menikah beberapa tahun terus selingkuh? Aku yakin, sikap Mas Damar selama membina rumah tangga, baru kali ini ia tergoda.

"Dek!" Dapat kudengar suara Mas Damar memanggil. Dia pasti sudah pulang dari mengantar anak-anak. Segera kuturun. Melihat aku masih di atas, Tari langsung mendekat kepada Mas Damar. Mungkin baginya itu sebuah kesempatan.

Hasiimmm! Hasimmm!

Mas Damar langsung bersin. Itu pasti karena Tari membawa partikel debu. Aku tersenyum penuh kemenangan. Dengan begitu, Tari tak bisa mendekat pada Mas Damar sementara waktu.

"Ehh, Mas! Sudah pulang, ayo duduk! Tari ayo duduk!" kubawa sebuah map di tangan.

"Kamu ganti baju dulu! Aku alergi debu!" Mas Damar berkata pada Tari. Dia lebih banyak diam. Entah sedang pura-pura mengalah atau apa, sejak tadi tak keluar sepatah katapun.

"Ini perjanjian kita, Mas. Kamu masih ingat?" tanyaku pada Mas Damar. Wajahnya langsung tegang.

"Dulu saat kita baru memiliki Aziz. Kamu bikin surat perjanjian dengan yakin jika kamu tak mungkin pernah perpaling. Nyatanya?"

Terdengar nada nafas berat pada Mas Damar. Sedangkan Tari menyimak.

"Dalam surat perjanjian itu, masih kuingat bagaimana kamu dengan mudahnya menuliskan surat itu dengan yakin dan mantap tentunya." Aku mengambil map itu. Kuperlihatkan keaslian dari tanda tangan di atas materai.

"Aku bacakan. Dengarkan baik-baik, Tari!" Dia langsung mengadah.

Kubaca tiap bait dan bab. Satu dua membuat Tari melonggo ketiga dan seterusnya langsung membuat nafas Tari sesak. Itu pasti karena dalam perjanjian yang kubaca jika ada yang berkhianat dalam pernikahan ini. Baik aku ataupun Mas Damar, akan dengan senang hati menuruti apa yang diperintahkan oleh si korban. Entah itu minta cerai atau memerintah untuk membunuh itu wajib dilakukan. Karena disana benar-benar ditegaskan.

Tari mengeleng, ketika aku terus saja membaca perjanjian itu.

"Cukup! Itu perjanjian tak masuk akal!" Kali ini Tari tak terima, "Pah! Bilang kalau semua itu hanya rekayasa!"

Mas Damar mengeleng. Ia tak akan mengingkari apa yang ia tulis sendiri.

"Maaf, Tar. Tapi semua itu aku tulis dengan sadar. Karena aku yakin dulu, aku tak akan pernah menghianati cinta sejati ku." Tentu jawaban Mas Damar membuat Tari tak terima.

"Ini gila, Pah!" Tari masih belum terima, "bagaimana kalau Fatwa meminta kamu untuk melukaiku! Apa kamu akan mau?"

"Tenang, Tar. Aku tak sebar-bar itu. Aku tak akan membuat orang untuk melakukan tindakan kriminal." Aku mulai berdiri.

"Aku hanya meminta, kalian tak bermesraan didepan anak-anak. Aku tak mau mereka tahu jika Ayah yang ia sayangi telah memiliki wanita lain. Tentu hatinya akan hancur dan Mas Damar tak lagi punya wibawa. Apa kamu mau begitu, Mas?"

"Tidak, Dek. Aku tak mau anak-anak berubah padaku. Aku sangat menyayanginya. Aku akan berusaha menutupi semua ini dari mereka. Aku kemarin sempat takut saat kamu tahu dan akan menjauhkan ku dari anak-anak. Aku tak akan bisa, Dek!"

"Baik, itu artinya point' itu kalian setujui ya, Mas, Tar?"

Mas Damar mengangguk tapi tidak dengan Tari. Wajahnya tentu menjadi muram.

"Yang selanjutnya. Untuk membuat anak-anak percaya jika kalian tak punya hubungan. Tari akan bekerja di sini sebagai pembantu juga tukang kebun!"

Mas Damar dan Tari sontak menatapku. Aku mengangkat dagu. Mempertanyakan apakah mereka keberatan?

"Kenapa?"

"Ngga, Dek. Aku setuju itu."

"Diingat ya Tari! Dandananmu seperti ART, bukan seperti nyonya! Ingat!" Kutegaskan padanya.

Dia menatap aku dan Mas Damar bergantian. Pasti hatinya kesal. Ini baru dua point', dia udah kelabakan. Itu belum apa-apa. Akan kubuat ia tak bisa berkutik seujung kuku pun di rumah ini.

Tunggu selanjutnya!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MADU TAK TAHU MALU, SIAP KUJADIKAN BABU.    Kelumpuhan Damar (TAMAT)

    "Bun!" Aziz tahu perubahan expresiku. Dia langsung mendekat kearahku yang merasa Tek bertulang. Sedangkan Wulan juga dengan sigap langsung menopangku."Ada apa, Bu?" tanya Wulan, berbarengan dengan Aziz yang sampai di dekatku. Aku harus kuat. Aku tak ingin sampai Aziz tak punya foto kenang-kenangan atas prestasinya."Ngga papa, ayok! Ayah minta maaf tak bisa datang karena keadaan." Aku berusaha untuk melangkah keatas podium. Menyambut uluran tangan kepala sekolah, menerima penghargaan kemudian berfoto. Setelah selesai dan turun dari podium aku meminta berbicara dengan Aziz kebelakang sebentar sebelum ia masuk kembali ke barisan teman-temannya."Bunda mau bicara sebentar. Bisa?" Dia mengganuk dan mengikuti langkahku. Aku memilih untuk keluar karena suara yang riuh. Wulan juga kubawa."Aziz, Ayahmu kecelakaan saat akan kesini. Dia katanya kritis." ucapku dengan menahan serak didada. Bagaimanapun dia telah mengisi hariku puluhan tahun, aku tak mungkin abai disaat seperti ini."A-ayah?"

  • MADU TAK TAHU MALU, SIAP KUJADIKAN BABU.    Berfikir

    "Tak semudah itu, Mas! Kami pikir dengan menalak Tari didepanku, aku akan langsung memaafkanmu? Jangan mimpi!" Aku segera beranjak pergi. Malu, masih ada beberapa polisi yang lewat dan memperhatikan kami."Fat! Dek!" Mas Damar memanggil, aku acuh langsung menuju kendaraan. Tak perduli Mas Damar yang mengetuk kaca keras.Kulajukan mobil dengan sedikit kencang. Kepalaku pusing, memikirkan semua masalah yang ada. Rasanya lelah hidup ini. Menghadapi semua masalah yang terus melanda.Ponsel berdering. Dari Lukman!"Hallo, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Bu. Saya mau menginformasikan bahwa resto yang berada di jalan mangga di miliki oleh seseorang dari Pakistan dan menurut yang info saya dapatkan jika perempuan yang di nikahi secara mut'ah bernama Saras."Deg!Mendengar penjelasan Lukman aku kaget. Bukan kaget karena pemilik resto adalah Mbak Saras. Tapi kaget tentang pernikahan mut'ah yang dia lakukan."Kamu yakin jika berita ini akurat, Luk?""Yakin, Bu."Aku menutup sambungan telfon d

  • MADU TAK TAHU MALU, SIAP KUJADIKAN BABU.    perselingkuhan

    Aku terperanjat karena terkena cipratan air juga. Ervan pun langsung berdiri."Apa-apaan ini?" Ervan mengadu saat tahu siapa pelaku penyiraman itu. Melisa."Kamu, Mas, yang apa-apaan. Berdua makan dengan babysitter!" Melisa berkata dengan amarah. Beberapa orang melihat, kami menjadi tontonan, bahkan saat Lukman mencoba mendekat aku menahannya dengan isyarat tangan."Tega-teganya aku di luar negri, kamu main sama seorang pengasuh anakmu! Ngga tau malu!" Melisa masih saja berargumen. Ervan bahkan gelagapan karena tak diberi waktu untuk berbicara."Jadi begitu kelakuanmu, Mas. Kamu benar-benar lelaki tak setia! Dan kamu!" Kali ini ia menunjukku, aku hanya bergeming."Kamu tak akan pernah selevel dengan seorang dokter. Kamu hanya pengasuh! Jangan berharap lebih. Palingan juga Mas Ervan mau karena di guna-guna. Kamu cuma mau hartanya saja kan? Mau meninggikan stratamu!" Dengan jari telunjuk ia mengarahkan padaku."Cukup, Mel!" Akhirnya Ervan bersuara. "Kamu ngomong apa? Pulang dari LN ngga

  • MADU TAK TAHU MALU, SIAP KUJADIKAN BABU.    MISTERI

    " Ya resto itu berdiri di jalan mangga. Kata pelanggan harganya jauh dibawah kita. Tadi sempat berbincang dengan para grabfood jika itu benar adanya. Mereka meminta kepastian jika itu benar-benar cabang kita." Aku terdiam. Jalan mangga? Itu artinya sekitar seratus meter dari Restoku. Kenapa? Apa benar itu milik Mbak Saras? Aku harus secepatnya mencari tahu."Baik, terima kasih, Luk. Biar aku cari tahu. Kamu tetap kerja dengan baik!" "Baik, Bu."Segera aku melajukan mobil dengan cepat. Menuju dimana resto itu berdiri. Aku sangat ingin tahu apa benar Resto itu meniru tempat usahaku."Macet lagi!" Aku menggerutu. Ingin cepat sampai malah terjebak macet.Cukup lama dan panjang. Entah apa yang ada didepan sana. Aku hanya bisa bersabar. "Ada apa ya, Pak. Di depan sana?" tanyaku pada seorang tukang sapu jalanan."Oh, ada truk guling, Bu. Mungkin akan memakan waktu lama. Soalnya alat berat belum datang!" Aku mengangguk, kemudian kembali fokus pada jalanan yang mulai terasa panas walau suda

  • MADU TAK TAHU MALU, SIAP KUJADIKAN BABU.    Manipulasi

    Aku langsung menuju di mana sosok berdiri. Wulan. Ia menatapku dengan pandangan penuh amarah."Kamu belum tidur, Sayang?" tanyaku.Dia menepis tanganku yang hendak menyentuh rambutnya. Kenapa?"Bunda apa-apaan? Pake jalan sama laki-laki lain! Bunda punya pacar?!" Aku tersentak kaget. Bagaimana bisa Wulan berkata demikian. Apa yang membuat dia menuduhku sedemikian rupa."Kamu ngomong apa, si Wulan?" Aku mencari penjelasan."Bunda jangan ngelak! Wulan sudah tahu semua dari ayah!" Nadanya ia naikkan.Kupastikan Mas Damar mengadu pada Wulan. Mencuci otak anak yang masih belum memiliki pikiran dewasa."Bunda cuma pergi sama anak temen Bunda. Dia anak kecil, baru sekolah paud. Ituloh, yang saat Bunda di rumah sakit. Anaknya pak dokter." Aku berusaha menjelaskan. Namun wajah kusut Wulan tak berubah."Iya, makanya Wulan tahu! Bunda dan Dokter tengil itu mulai pacaran kan?"Astaghfirullah. Aku menyebut, apa yang sudah di katakan Mas Damar pada Wulan?"Tidak, Wulan. Kita cuma sahabat. Maklum la

  • MADU TAK TAHU MALU, SIAP KUJADIKAN BABU.    jalan-jalan

    "Tari?" Apa aku tak salah lihat. Tari berada di Paud? Anak siapa? Jangan-jangan dia mau menculik?Ah! Kenapa aku jadi berfikir negatif. Kalau anak itu di culik pasti udan teriak.Aku ingin menyambanginya. Menanyakan bahwa aku sudah melaporkan dia pada polisi. Namun, aku tersadar saat akan membuka pintu."Tante!" Panggil Sifa. Aku tak mungkin meninggalkannya."Iya, Sayang." Aku urung keluar, Sifa terlihat juga menatap ke Tari."Sifa kenal anak itu?""Kenal, Tan. Dia namanya Ines.""Terus itu siapa?" tanyaku memastikan tentang Tari."Dia itu babycitternya. Galak banget!" ujar Sifa polos."Kok tahu kalau dia galak?" ucapku memancing."Iya, Ines sering kena marah-marah sama dia, dia itu kata Ines nenek lampir!"Aku tertawa mendengar penuturan Sifa. Bocah kecil sudah tahu maklampir. Setelah melihat Tari masuk sebuah mobil, akhirnya aku juga melajukan mobilku menuju pusat perbelanjaan. Ada beberapa kebutuhan yang memang ingin kubeli, sekaligus mengajak Sifa main di Playground. Menghabiskan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status