"Hati-hati, Mas!" Kusodorkan minuman pada Mas Damar. Kuabaikan Tari yang langsung membersihkan pecahan gelas. Beruntung aku tak minta ganti rugi. Kerja baru sebentar sudah pecahin gelas.
"Ayo makan yang cepat. Sudah akan terlambat." Aku menyuruh Wulan dan Aziz yang sekali memperhatikan Tari."Mas, setelah antar anak-anak, pulang dulu kerumah lagi. Kita akan bahas sesuatu. Lagian kamu masih punya kesempatan libur satu hari lagi kan?" tanyaku. Aku tahu betul kebijakan di perusahaan di mana Mas Damar bekerja."Iya, Dek. Nanti aku pulang lagi." Mas Damar mengulurkan tangan. Tari mendekat, namun seketika aku langsung mengandeng tangan Mas Damar agar tak sampai bersalaman dengan Tari. Bisa curiga anak-anak.Seperginya Mas Damar, aku kembali masuk. Kulihat Tari yang tengah melihat dari balik kaca jendela."Kasian! Punya suami tak bisa mengantar pergi kerja. Makanya jangan punya suami orang!" Aku berbisik tepat di telinganya. Ia tentu kaget, namun aku tersenyum dan langsung meninggalkannya."Jangan lupa cuci pirang dan bersih-bersih! Mas Damar ngga suka ada debu. Nanti dia bersin-bersin!" Teriakku.Aku menyusuri anak tangga. Aku yakin membawa Tari kesini bukan tanpa alasan. Tari itu tak bisa hamil, hingga aku pasti dapat merebut hati Mas Damar melalui anak-anak, dari anak-anak, untuk anak-anak. Selebihnya perasaanku, aku tak utamakan itu.Banyak yang bilang perselingkuhan itu sudah mendarah daging. Sekali selingkuh tetap selingkuh. Namun, apa iya pernikahan yang kubina sudah lebih dari lima belas tahun, harus disamakan dengan orang yang baru menikah beberapa tahun terus selingkuh? Aku yakin, sikap Mas Damar selama membina rumah tangga, baru kali ini ia tergoda."Dek!" Dapat kudengar suara Mas Damar memanggil. Dia pasti sudah pulang dari mengantar anak-anak. Segera kuturun. Melihat aku masih di atas, Tari langsung mendekat kepada Mas Damar. Mungkin baginya itu sebuah kesempatan.Hasiimmm! Hasimmm!Mas Damar langsung bersin. Itu pasti karena Tari membawa partikel debu. Aku tersenyum penuh kemenangan. Dengan begitu, Tari tak bisa mendekat pada Mas Damar sementara waktu."Ehh, Mas! Sudah pulang, ayo duduk! Tari ayo duduk!" kubawa sebuah map di tangan."Kamu ganti baju dulu! Aku alergi debu!" Mas Damar berkata pada Tari. Dia lebih banyak diam. Entah sedang pura-pura mengalah atau apa, sejak tadi tak keluar sepatah katapun."Ini perjanjian kita, Mas. Kamu masih ingat?" tanyaku pada Mas Damar. Wajahnya langsung tegang."Dulu saat kita baru memiliki Aziz. Kamu bikin surat perjanjian dengan yakin jika kamu tak mungkin pernah perpaling. Nyatanya?"Terdengar nada nafas berat pada Mas Damar. Sedangkan Tari menyimak."Dalam surat perjanjian itu, masih kuingat bagaimana kamu dengan mudahnya menuliskan surat itu dengan yakin dan mantap tentunya." Aku mengambil map itu. Kuperlihatkan keaslian dari tanda tangan di atas materai."Aku bacakan. Dengarkan baik-baik, Tari!" Dia langsung mengadah.Kubaca tiap bait dan bab. Satu dua membuat Tari melonggo ketiga dan seterusnya langsung membuat nafas Tari sesak. Itu pasti karena dalam perjanjian yang kubaca jika ada yang berkhianat dalam pernikahan ini. Baik aku ataupun Mas Damar, akan dengan senang hati menuruti apa yang diperintahkan oleh si korban. Entah itu minta cerai atau memerintah untuk membunuh itu wajib dilakukan. Karena disana benar-benar ditegaskan.Tari mengeleng, ketika aku terus saja membaca perjanjian itu."Cukup! Itu perjanjian tak masuk akal!" Kali ini Tari tak terima, "Pah! Bilang kalau semua itu hanya rekayasa!"Mas Damar mengeleng. Ia tak akan mengingkari apa yang ia tulis sendiri."Maaf, Tar. Tapi semua itu aku tulis dengan sadar. Karena aku yakin dulu, aku tak akan pernah menghianati cinta sejati ku." Tentu jawaban Mas Damar membuat Tari tak terima."Ini gila, Pah!" Tari masih belum terima, "bagaimana kalau Fatwa meminta kamu untuk melukaiku! Apa kamu akan mau?""Tenang, Tar. Aku tak sebar-bar itu. Aku tak akan membuat orang untuk melakukan tindakan kriminal." Aku mulai berdiri."Aku hanya meminta, kalian tak bermesraan didepan anak-anak. Aku tak mau mereka tahu jika Ayah yang ia sayangi telah memiliki wanita lain. Tentu hatinya akan hancur dan Mas Damar tak lagi punya wibawa. Apa kamu mau begitu, Mas?""Tidak, Dek. Aku tak mau anak-anak berubah padaku. Aku sangat menyayanginya. Aku akan berusaha menutupi semua ini dari mereka. Aku kemarin sempat takut saat kamu tahu dan akan menjauhkan ku dari anak-anak. Aku tak akan bisa, Dek!""Baik, itu artinya point' itu kalian setujui ya, Mas, Tar?"Mas Damar mengangguk tapi tidak dengan Tari. Wajahnya tentu menjadi muram."Yang selanjutnya. Untuk membuat anak-anak percaya jika kalian tak punya hubungan. Tari akan bekerja di sini sebagai pembantu juga tukang kebun!"Mas Damar dan Tari sontak menatapku. Aku mengangkat dagu. Mempertanyakan apakah mereka keberatan?"Kenapa?""Ngga, Dek. Aku setuju itu.""Diingat ya Tari! Dandananmu seperti ART, bukan seperti nyonya! Ingat!" Kutegaskan padanya.Dia menatap aku dan Mas Damar bergantian. Pasti hatinya kesal. Ini baru dua point', dia udah kelabakan. Itu belum apa-apa. Akan kubuat ia tak bisa berkutik seujung kuku pun di rumah ini.Tunggu selanjutnya!"Kok bisa begitu, Fat. Pah, jangan diam saja! Ini namanya tak adil!" Tari mulai protes. Tentu hatinya kesal, bagaimana tidak? Sudah tak bisa bermesraan dirumah, lebih lagi ngga boleh bergaya.Dia pikir enak, menikah dengan seorang Damar Wulan Anggito. Seorang manager di sebuah perusahaan minyak. Melihat aku yang mungkin dia pikir bisa cantik, bersih dan nyaman. Tentu ia iri. Apalagi semua dapat kumiliki, walau tentunya semua itu butuh perjuangan. Yang melihat pasti akan mengira jika Mas Damar bergaji besar. Memang, tapi kemewahan ini, bukan hanya hasil kerjanya."Terima saja lah, Tar. Kita memang sudah salah. Aku tak mau menambah salah." Mas Damar berkata dengan sadar."Good! Mas Damar saja sudah menerima, kamu jangan terlalu banyak protes! Mari kita lanjutkan." Aku kembali serius."Selain kepentingan urgent tak boleh sekalipun kamu mengajak Mas Damar. Kalau kamu perlu di antar, pesan taxi ataupun kalau aku sedang bisa, minta antar aku! Bukan Mas Damar! Tak ada alasan ataupun. Tak ada
"Tar, buka pintunya. Jangan ngambek begitu!" Mas Damar tengah berdiri di pintu kamar Tari. Seperti ia takut kehilangannya. Ah, muak sekali melihatnya."Pergi, Mas! Turuti saja semua permintaan Fatwa. Aku di jadikan babu saja kamu diam saja malah setuju!" terdengar teriakan dari kamar Tari. Membuat gaduh saja.Aku duduk menyeduh kopi. Aku memang penikmat kopi, tak kalah dengan Mas Damar."Mau kopi, Mas?" tawarku dengan senyum. Mas Damar yang tengah menggaruk kepalanya seketika menoleh.Sudah kusiapkan dua cangkir kopi. Aku duduk dan menikmati kopi dengan rileks. Sengaja kubuat nikmat, agar Mas Damar yang masih berdiri didekat pintu tergoda. Benar saja, tanpa menunggu lama ia langsung mengambil kursi dan duduk."Kopi yang sedap! Kopi apa ini, Dek. Baunya harum, beda kaya biasanya?" tanya Mas Damar yang langsung mengecap kopinya."Kopi sianida, Mas!""Uhhuuuukkk!" Mas Damar memuntahkan kopi itu. "Yang benar, Dek. Kamu mau membunuhku?""Kenapa kamu ketakutan seperti itu, Mas? Bukankah du
Kumenatap ruangan berukuran 2X2. Tak ada siapapun disana. Hanya ada sprei yang berantakan. Kemana mereka? Aku menerka-nerka, berfikir sejenak. Kira-kira kemana? Jangan-jangan mereka sedang di ruang tamu atau?Segera aku menuju kesana. Saat baru sampai ruang tengah. Aku mendengar suara orang yang tengah sedikit berdebat. Kupelankan langkah. Aku harus tahu apa yang sedang mereka lakukan."Ayo, Pah. Lama bener cuma buka pintu saja!" Terdengar suara Tari.Apa maksudnya? Jangan-jangan ia sedang membuka pintu kamar tamu. Aku segera datang tak lagi mengenap-endap."Apa yang kalian lakukan!" Aku memencet saklar lampu. Sontak mereka terperanjat.Obeng yang di pegang Mas Damar jatuh kelantai. Aku yakin, Mas Damar sedang berusaha membuka kunci kamar. Sedangkan Tari membantu dengan menyenteri agar Mas Damar dapat melihat lubang baud.Mereka berdiri salah tingkah, seperti maling yang ketangkap basah. "Kamu mau buka pintu kamar itu, Mas? Mau buat kelon!" Selidikku."Eee, a-anu, Dek. Tari bilang d
Terdengar deru gerbang di buka. Betulkan apa yang aku katakan. Baru Lima belas menit yang lalu mereka pergi, sudah balik lagi.Mas Damar terlihat masuk dengan gegoboh. Dia sendirian. Kemana Tari?"Loh, Mas. Kok udah balik?" tanyaku pura-pura. Dalam hati bersorak ria."Aku tinggal di jalan. Abis maksa tetap pergi. Padahal badanku gatal semua!" ujar Mas Damar dengan tangan tak henti menggaruk.Apa? Di tinggal di jalan? Duh kasian sekali dia. Bagaimana coba kalau tersesat? Ah ...sudahlah. bukan itu baik. Biar KAPOK! Mas Damar masih terus menggaruk. Bahkan ia sampai melepas bajunya. "Gatal banget nih, Dek. Garukin dong!" Ia meminta tolong padaku. Tadinya aku mau menolak, namun ... Sepertinya suasana tidak tepat. Biar aku garuk saja sekarang. Biar nanti saat Tari lewat akan kupanas-panasi.Mas Damar duduk. Aku menggaruk pungungnya yang sudah merah-merah. Bagaimana akan sembuh kalau terus di garuk. Serbuk ini kan akan lebih efektif jika digaruk. Reaksinya akan nyata.Aku memang sengaja me
"Yah, ngapain Mbak Tari dandan begitu? Apalagi mau ikut kita. Memangnya Ayah mengajaknya!" Wulan bersuara. Entah kenapa aku merasa jika Wulan tak menyukai Tari sejak ia datang kemarin."Apa perlu aku katakan sejujurnya, Mas?!" Bisikku pada telinga Mas Damar."Ja-Jangan, Dek!" jawab Mas Damar bergetar."Kalau begitu, urus dia! Aku tak mau dia menjadi pengacau di acara keluarga seperti ini!" Mas Damar menurut. Iya turun dan menyuruh Tari untuk masuk. Entah apa yang di katakan Mas Damar hingga akhirnya dia keluar sendirian."Ayuk berangkat!" ujar Mas Damar. Aku heran, tapi tak berani bertanya karena posisi sedang bersama anak-anak.Tiba disana, acara sudah mulai. Cukup riuh tamu yang hadir. Dari semua yang hadir, aku hanya kenal beberapa saja. Itu juga karena satu grup di WA."Hai, Fatwa!" Panggil seseorang yang kutahu dia adalah istri direktur."Hai juga, Nay!" Kami berpelukan, tak ketinggalan juga beberapa rekan yang lain. Saling menyalami dan berbasa basi sekedar menanyakan kabar."Ib
"Dek! Aku bisa jelaskan. Apa yang kamu lihat tak seperti yang kamu bayangkan. Tadi itu ...."Mas Damar mencoba mengajakku untuk berdamai. Tapi, hati ini rasanya perih melihat pemandangan itu."Sudahlah, Mas. Tidur! Ini sudah malam." Segera aku meraih selimut. Menutupi hingga keatas bahu. Hawa tubuhku serasa dingin dan bergetar. Tenyata sakit di ulu hati mampu membuat semua tubuh merasakan sakit.Aku masih belum terlelap saat Mas Damar mulai menaiki ranjang. Dia melingkarkan tangannya pada pinggangku. Sakit dan jijik! Namun, aku hanya diam tak merespon ataupun mengambil tindakan untuk menyingkirkan. Tangan yang sama yang tadi ia gunakan untuk memeluk wanita lain. Wanita, sahabatku sendiri yang kalau itu drop karena depresi.Air mata yang sedari tadi kubendung, nyatanya lolos juga dari mataku. Wonder women sekalipun, pasti hatinya lembut. Tak akan bisa sekeras baja. Ada masanya dia terpuruk dan terjatuh.Keputusan yang kuambil untuk mempertahankan pernikahan ini, rasanya membuat nyawaku
PoV Damar"Apa? Fatwa kecelakaan!" Bergegas aku turun kebawah. Aku panik menerima telfon dari pihak rumah sakit yang mengabarkan tentang Fatwa.Ini masih pukul sepuluh pagi, akupun langsung pergi menuju rumah sakit Mitra Siaga. Sampai di sana aku langsung ke IGD. Kata suster Fatwa masih di tangani.Kuhubungi semua keluarga. Tentu aku tak ingin melakukan kesalahan. Ibu Fatwa bilang ia akan segera datang berbeda dengan Ibuku. Dia bilang belum bisa datang karena terkendala ongkos. Aku khawatir, bagaimanapun dia adalah Ibu dari anak-anakku. Selama ini dia tak punya cela. Hanya aku saja yang memang lelaki bodoh. Naluri sebagai lelaki tertantang saat Tari mengungkapkan perasaannya.Ternyata imanku masih lemah. Aku tak kuat menahan godaan setan yang terus berbisik. Terlebih melihat penampilan Tari yang terlihat masih energik di usianya yang sama seperti Fatwa. Mungkin karena Tari belum pernah turun mesin.Saat Tari depresi karena di ceraikan. Memang aku tak pernah melihatnya. Itu semua kar
Aku mencoba membuka mata, rasanya berat sekali. Setelah aku merasa jika aku sudah tidur terlalu lama. Badan sakit, kaki, dada bahkan kepala terasa nyeri. Silau dari cahaya lampu membuat aku mengedipkan mata beberapa kali."Dok, pasien sudah sadar!" terdengar suara perempuan. Aku masih menatap lamat lampu ruangan bernuansa putih hijau."Aku di rumah sakit?" gumamku dalam hati. Mencoba mengingat apa yang terjadi padaku.Ah! Aku kecelakaan, membanting setir saat tiba-tiba ada gerobak yang menyebrang."Kamu sudah sadar, Fat?" Suara Ibu. Aku meliriknya. Tak salah itu suara ibuku."Biar kami periksa dulu!" Seorang dokter langsung menggunakan stetoskopnya.Setelahnya mencabut selang oksigen dan beberapa yang menempel di bagian tubuh. Kini hanya tinggal infus saja."Ibu sejak kapan di sini?" tanya dengan suara masih tertahan."Baru tadi, Fat. Damar yang mengabari," ujarnya membuat aku sadar. Di mana dia? Apa dia menggunakan kesempatan ini untuk berdua dengan Tari. Memang kurang ajar!"Di man