PoV Damar"Apa? Fatwa kecelakaan!" Bergegas aku turun kebawah. Aku panik menerima telfon dari pihak rumah sakit yang mengabarkan tentang Fatwa.Ini masih pukul sepuluh pagi, akupun langsung pergi menuju rumah sakit Mitra Siaga. Sampai di sana aku langsung ke IGD. Kata suster Fatwa masih di tangani.Kuhubungi semua keluarga. Tentu aku tak ingin melakukan kesalahan. Ibu Fatwa bilang ia akan segera datang berbeda dengan Ibuku. Dia bilang belum bisa datang karena terkendala ongkos. Aku khawatir, bagaimanapun dia adalah Ibu dari anak-anakku. Selama ini dia tak punya cela. Hanya aku saja yang memang lelaki bodoh. Naluri sebagai lelaki tertantang saat Tari mengungkapkan perasaannya.Ternyata imanku masih lemah. Aku tak kuat menahan godaan setan yang terus berbisik. Terlebih melihat penampilan Tari yang terlihat masih energik di usianya yang sama seperti Fatwa. Mungkin karena Tari belum pernah turun mesin.Saat Tari depresi karena di ceraikan. Memang aku tak pernah melihatnya. Itu semua kar
Aku mencoba membuka mata, rasanya berat sekali. Setelah aku merasa jika aku sudah tidur terlalu lama. Badan sakit, kaki, dada bahkan kepala terasa nyeri. Silau dari cahaya lampu membuat aku mengedipkan mata beberapa kali."Dok, pasien sudah sadar!" terdengar suara perempuan. Aku masih menatap lamat lampu ruangan bernuansa putih hijau."Aku di rumah sakit?" gumamku dalam hati. Mencoba mengingat apa yang terjadi padaku.Ah! Aku kecelakaan, membanting setir saat tiba-tiba ada gerobak yang menyebrang."Kamu sudah sadar, Fat?" Suara Ibu. Aku meliriknya. Tak salah itu suara ibuku."Biar kami periksa dulu!" Seorang dokter langsung menggunakan stetoskopnya.Setelahnya mencabut selang oksigen dan beberapa yang menempel di bagian tubuh. Kini hanya tinggal infus saja."Ibu sejak kapan di sini?" tanya dengan suara masih tertahan."Baru tadi, Fat. Damar yang mengabari," ujarnya membuat aku sadar. Di mana dia? Apa dia menggunakan kesempatan ini untuk berdua dengan Tari. Memang kurang ajar!"Di man
"Jawab, Mar!" Ibu membentak Mas Damar. Baru kali ini selama 15 tahun lebih, ibu membentak menantunya itu."Kamu, Fat! Kenapa tak jujur sama Ibu. Dia itu telah menodai sucinya pernikahan dan kamu ... Justru memasukan dalam istanamu!" Ibu mengeleng keras. Pasti ibu sangat kecewa dengan apa yang aku lakukan."Bu, semua tak seperti yang Ibu pikirkan!" Mas Damar berusaha membela diri. Nyatanya memang dia tetap saja salah. Apapun alasannya."Terus apa? Apa namanya lelaki yang berkhianat! Dia tak lebih dari lelaki yang pengecut!" Ibu berdecis.Mas Damar terlihat frustasi. Mungkin ia merasa begitu tersinggung atas apa yang baru saja di ucapkan oleh Mertuanya."Pokoknya, kamu ceraikan Tari, atau aku bawa pulang Fatwa!" ancam Ibu. Tentu aku terpana. Tak menyangka jika Ibu semarah ini."Bu!" Aku mencoba menenangkan Ibu."Diam kamu, Fat! Kamu itu terlalu membela dia, terlalu patuh padanya dan terlalu cinta. Hingga membuat kamu buta, bahwa laki-laki yang dulunya kere! Sekarang bisa seperti ini kar
"Apa? Tari pingsan di gudang!" Mbak Ani mengabarkan. Dia seperti gemetar ketakutan. Itu pasti karena semalam ia di takuti oleh Ibu dan Mbak Ani."Bu, bagaimana ini? Tari pingsan!" ujarku pada Ibu. Ibu juga sepertinya terlihat bingung."Tolong coba kamu sadarkan dulu! Kalau tidak berhasil, baru hubungi ambulan agar segera di bawa ke RS!" Perintahku pada Mbak Ani. Aku menyuruhnya untuk tenang dan tak panik."Bu, bagaimana kalau Tari kenapa-kenapa?" tanyaku pada Ibu. Tentu aku khawatir."Alah ngga usah terlalu di pikirkan. Pasti dia itu cuma pingsan biasa!" ujar Ibu. Aku menghela nafas."Kalau Mas Damar tahu, pasti dia marah!" "Biar! Suruh marah. Suruh bawa pelakor itu keluar dari rumah! Enak saja mau jadi benalu!" Ibu berdecis. Pikiran Ibu dengan pikiranku tak sejalan. Aku makin bimbang.Sekarang kamu tak usah pikirkan macam-macam. Pikirkan agar kondisimu segera pulih.Aku mengangguk. Tak lama Mbak Ani kembali mengabari jika dia memanggil ambulan. Ternyata Tari terkena gigitan tikus, m
"Ziz?" Kali ini Ibu yang bertanya. Dia masih diam, namun pandangannya tak luput dariku. Apa aku salah?"Kamu ada masalah?" tanyaku dengan mendekat kearahnya. Dia kemudian berdiri dari duduknya. Namun kali ini wajahnya tak lagi menatapku. Justru membuang muka."Katakan! Kamu ada masalah apa di sekolah hingga tak mau berangkat?" Aku berusaha agar dia mau membuka mulutnya.Dia tak menjawab justru langsung pergi keatas meninggalkanku. Aku bingung, Ibu kutatap juga mengangkat tangannya."Bu, coba bujuk dia agar mau berbicara!" Jujur aku khawatir ia memiliki masalah yang besar. Namun, ia enggan untuk bercerita."Baik, coba ibu bujuk dulu. Mbak Ani tolong tata kamar tamu. Sementara waktu biar Fatwa di kamar bawah. Biar ngga susah untuk naik turun." Mbak Ani mengangguk, Ibu menyusul Aziz keatas. "Ayo, Non!" Aku mengangguk. Kemudian menuju kamar tamu yang berada didepan."Tolong nanti ambilkan barang yang kubutuhkan di atas. Jangan lupa kunci lagi!" "Baik, Non. Saya permisi dulu!" Aku me
Aku kembali menata bantal. Mungkin tadi hanya mimpi. Aku menepuk bantal saat suara tangisan Wulan terdengar."Jangan pergi, Ayah! Jangan tinggalin Wulan!" tentu aku terperanjat. Suara itu dengar jelas."Wulan!" Bergegas aku sadar jika itu benar Wulan. Wulan sudah pulang dan mungkin melihat ayahnya yang akan pergi. Kenapa baru mau pergi! Padahal cuma berkemas.Segera aku mengambil kruk. Terdengar suara Wulan yang terus meminta ayahnya untuk tak pergi."Jangan tinggalin Wulan, Ayah! Jangan ... Wulan ngga mau hidup seperti teman Wulan!" Aku trenyuh. Tau apa yang di sampaikan anak bungsuku itu."Ayah, jangan mau ikuti pelakor itu! Mbak! Kenapa Mbak rebut Ayah dari Bunda! Padahal, Bunda dulu baik sama Mbak! Merawat Mbak sakit sampai sembuh! Tahu begitu dulu aku racun kamu, Mbak!" sontak aku menganga. Bagaimana Wulan bisa berkata tentang racun? Anak kelas enam SD itu seolah tahu. Apa mereka benar dewasa sebelum waktunya? Atau hanya karena keadaan?Ibu dan Mbak Ani menghampiri mereka juga. A
Apa maunya? Aku masih tegang. Walau pun ini kantor, Di tempat ini terlihat sepi bahkan ini termasuk pojokan gudang."Apa-apaan kamu, Mas! Aku mau pulang. Urusanku sudah selesai!" Aku mencoba bernegosiasi."Dengar, Dek! Aku ingin bahas semuanya sekarang!" Dia terlihat tak sabar."Apa lagi yang perlu di bahas?! Keputusan nanti ada di pengadilan. Hak asuh tentu keputusan ada pada mereka! Mereka sudah besar, akan tahu dengan siapa mereka memilih tinggal!""Dek! Aku tak mau bercerai darimu!" gigih Mas Damar."Terus?" Aku menatap tajam dua bola mata elang yang dulu pernah mampu membuatku takjup."Aku ingin kamu bisa baik-baikin aku di depan anak-anak. Agar mereka tak membenciku, Dek. Aku akan perbaiki semuanya!""Apa yang perlu di perbaiki? Hubungan ini sudah hancur, menghancurkan anak-anak dan semuanya. Tahukah kamu, jika mereka lebih terluka dari pada aku!" Aku menonyol bahunya. Agar ia sadar jika semua sudah berakhir."Dek, hubungan yang kita jalani bukan baru setahun dua tahun. Belasan
Mas Adam masih mengucek matanya, memperjelas penglihatan."Fatwa?"Akhirnya ia ingat juga. Dengan berlahan tanganya menopang tubuh untuk duduk. Aku ingin membantu namun ia tolak."Dengan siapa kamu kesini? Tari sudah tak ada dirumah ini!" ujarnya. Tentu aku sangat tahu apa yang di maksudkan oleh Mas Adam."Justru itu aku kesini. Semua karena Tari pernah tinggal di rumahku!" Terlihat wajah Mas Adam yang langsung terlonjak. Mungkin kaget atau apapun itu. Kentara sekali wajahnya."Kira-kira hampir tujuh bulan yang lalu. Dia datang kerumahku, saat tengah depresi." Aku menjelaskan."Depresi? Depresi kenapa, bukankah harusnya saat itu tengah berfoya-foya dengan semua uang yang ia bawa kabur?" Mas Adam berkata dengan heran."Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku penuh selidik. Aku ingin menguak semua yang ada di balik Tari."Ceritanya panjang. Intinya saja. Dia mengelapkan uang arisan para Ibu-ibu sosialita yang jumplahnya tak sedikit. Kemudian kabur setelah mengadaikan semua ruko milik kami