Alesha membeku di bawah sentuhan Arya. Bisikan sang Raja yang lembut namun penuh kepemilikan (“meragukan cintaku... itu akan menjadi hal yang jauh lebih buruk”) terasa seperti racun yang lebih mematikan daripada ramuan Tiongkok yang tersembunyi.Ia sadar, berbohong tentang "logistik asing" hanya menunda kehancuran. Arya telah melihat huruf Alfabet. Ia tidak bisa lari dari fakta bahwa Aksara Kawi adalah bahasa keraton, dan tulisan yang ia sembunyikan itu berasal dari dunia Alesha.Satu-satunya cara untuk meredakan kecurigaan Arya adalah dengan mengakui sebagian kebenaran.Alesha menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberaniannya—keberanian yang sama yang ia gunakan saat memimpin pasukan di medan perang. Ia menjauhkan tangannya dari lontar, membiarkan Arya melihat tulisan 'M, S, S, R' dan lingkaran-lingkaran di bawahnya."Paduka," kata Alesha, suaranya pelan dan malu, namun dipaksa stabil. Ia menundukkan kepala, menghindari tatapan Raja yang tajam. "Ini... ini memang bukan perhitunga
Empat hari telah berlalu sejak malam di pelabuhan. Setiap hari adalah penyiksaan bagi Alesha. Ia harus menjaga penampilan sebagai Rakryan Tumenggung yang cakap, menyusun laporan, dan menghadiri rapat, sementara di dalam dirinya, ia menghitung detik-detik kedatangan siklus. Jika siklusnya terlambat, itu berarti kepastian yang harus ia hadapi.Pagi itu, Alesha mengambil risiko besar. Ia berada di ruangan kerjanya di kompleks kepatihan—ruangan yang seharusnya menjadi benteng terakhir privasinya.Lontar-lontar laporan resmi ia singkirkan. Di hadapannya kini terbentang selembar lontar lain yang tampak mencolok. Bukan karena bahan dasarnya, tetapi karena isinya.Alesha sedang memaksakan ketenangan seorang auditor untuk menganalisis risiko kehamilan. Ia telah mengambil pena bulu dan, alih-alih menggunakan Aksara Kawi atau Pallawa, ia menulis menggunakan aksara paling akrab di benaknya: Huruf Alfabet Latin.Ia membagi lontar itu menjadi tujuh kolom, menandai hari-hari: M, S, S, R, K, J, S (Mi
Alesha melangkah cepat, jubah Gaja Mada membungkusnya rapat, namun di dalamnya, jantungnya berpacu seperti genderang perang. Udara Majapahit yang biasanya terasa megah kini terasa mencekik. Ia menyusuri jalan setapak di luar benteng, melintasi persawahan yang sunyi di bawah bulan sabit, hingga akhirnya tiba di jantung peradaban yang berdetak paling kencang: Pelabuhan Wilwatikta.Pelabuhan itu adalah wujud nyata dari kebesaran Majapahit—tempat bertemunya Nusantara dan dunia.Di sini, malam tak pernah benar-benar tidur. Lampu-lampu minyak dan obor dari kapal dagang yang bersandar memantulkan cahaya di permukaan air, menciptakan jalur emas yang bergetar. Aroma garam laut, rempah-rempah, dan kayu basah bercampur dengan suara tawar-menawar dalam berbagai bahasa: Melayu kuno, Tamil, dan aksen asing Tiongkok.Alesha, yang kini menyamar sebagai Gaja Mada, berjalan menuju area pedagang asing, tempat transaksi yang lebih tersembunyi terjadi.Dia segera menemukan seorang pedagang Tiongkok, bertu
Tubuh Alesha membeku, kengerian modern menyergapnya di jantung abad ke-14. Jika kehamilan terjadi, itu bukan sekadar aib; itu adalah eksekusi bagi penyamaran Gaja Mada dan malapetaka bagi masa depannya. Di Wilwatikta, tidak ada apotek 24 jam yang menjual morning-after pill. Yang ada hanya ramuan warisan, risiko, atau keputusasaan.Ia memaksa dirinya bernapas. Panik harus disembunyikan.Dengan sisa kekuatan yang dimiliki, Alesha mengangkat wajahnya dari dada Arya. Ia menatap Raja itu, matanya berkaca-kaca—bukan karena cinta, tetapi karena kebutuhan mendesak untuk melarikan diri."Aku berjanji, Yang Mulia," bisik Alesha, suaranya terdengar tulus, padahal di dalamnya ada perhitungan dingin seorang auditor yang sedang mencoba menyelamatkan saldo hidupnya. "Kau adalah yang pertama. Dan... yang terakhir."Janji itu, yang bagi Arya adalah ikrar posesif yang ia dambakan, bagi Alesha adalah kunci keluar dari pintu bangsal Raja.Wajah Arya melembut. Ia tampak puas, namun masih ada bayangan kera
Alesha mengikuti Arya Wuruk melintasi koridor istana. Punggung Raja itu tampak tegap dan berkuasa, namun setiap langkahnya terasa seperti tali yang menarik Alesha semakin dalam menuju jurang rahasia. Ia tahu ke mana langkah ini membawanya: ke tempat di mana gelar dan jubah tidak lagi berarti, ke dalam ruang yang semalam telah merobek semua pertahanannya.Pintu menuju bangsal pribadi Arya Wuruk tertutup rapat di belakang mereka. Bunyinya yang tenang seakan menyegel ruangan itu dari seluruh dunia Wilwatikta, dari semua mata dan telinga yang mengawasi.Arya tidak menoleh. Ia hanya berdiri mematung di depan pintu, membiarkan keheningan itu melilit mereka. Lalu, tanpa peringatan, tangannya bergerak cepat — merobek kain penutup wajah Alesha yang sudah longgar.Kain itu jatuh ke lantai, seperti perisai terakhir yang dihancurkan.Saat wajah Alesha terbuka sepenuhnya, Arya berbalik. Ekspresi di matanya berubah dari ketenangan seorang Raja menjadi sesuatu yang liar dan mendesak.Ia melangkah, d
Pagi di Balairung Wilwatikta seakan menahan napas. Asap dupa menari pelan di antara tiang batu, sementara cahaya matahari menembus kisi-kisi tinggi dan jatuh membentuk garis-garis tipis di lantai yang dingin.Barisan rakryan telah hadir, bersila rapi di tempat masing-masing. Di tengah mereka, berdiri sosok Rakryan Tumenggung Gaja Mada — tegap, berseragam lengkap, tapi langkahnya sedikit tertahan. Tidak ada yang menyadari, bahwa di balik sikapnya yang tegak itu, tubuhnya masih menyimpan sisa-sisa dari malam yang membuatnya sulit tidur… dan sulit berjalan.Dari singgasana, Paduka Raja Arya Wuruk menatap diam. Mata raja itu tenang, tapi tatapan itu menusuk, seperti sedang membaca hal yang tak boleh dibaca di tengah rapat resmi. Alesha — di balik sosok Gaja Mada — berusaha tidak menoleh, tidak bereaksi. Tapi pipinya terasa panas, bukan karena udara balairung yang hangat, melainkan karena ia tahu tatapan siapa yang kini sedang menelusuri tiap gerak tubuhnya.Rendra duduk tak jauh di s