LOGINSuara tawar-menawar bercampur dengan aroma tanah basah dan sayuran segar yang baru dibongkar dari karung. Di tengah hiruk pikuk itu, seorang pemuda dengan kemeja lusuh tampak sibuk menata tumpukan telur di meja kayu. Aditya berjualan telur karena sang pemilik sedang keluar kota dan Aditya dikenal sebagai pria serba bisa di pasar.
“Dua kilo, Dit. Yang gak retak ya,” seru seorang ibu langganan sambil membawa tas belanja. "Iya, Bu. Saya pilihkan yang bagus." Aditya menatap tumpukan telur, lalu dengan cekatan menghitung dan menimbang. “Pas dua kilo, Bu. Empat puluh ribu aja. Saya tambahin satu bonus, biar besok belanja lagi di sini.” Senyum kecil mengembang di wajah pelanggan. “Wah, rezekinya istri kamu tuh, suami rajin dan murah hati.” Aditya tersenyum kikuk, mengelap peluh di kening. “Hehe, iya, Bu. Rezekinya istri saya memang di sini.” "Makasih ya, Dit." "Sama-sama, Bu. Balik lagi besok ya, Bu." Ibu itu hanya mengangguk dan buru-buru pergi. Pembeli kian berdatangan, tapi Aditya masih lincah melayani pembeli. Dia bukan hanya cepat dalam bergerak, tapi juga pandai berhitung tanpa kalkulator. Semua harga dan jumlah langsung diingatnya. Tak sedikit pedagang lain yang iri dengan ketelitiannya. Di sela aktivitasnya, Mang Ari, pedagang sayur yang lapaknya bersebelahan, datang menghampiri dengan senyum lebar. “Wih, Dit! Habis nikah, mukalu makin cerah aja. Gimana, pengantin baru? Bahagia, kan?” Aditya sedikit salah tingkah. Ia menunduk sambil menata telur ke dalam wadah. “Biasa aja, Mang. Ya gitu, hidup jalan terus.” “Biasa aja katanya!” Mang Ari tertawa lebar. “Udah nikah, pasti ada semangat baru. Dulu kerja males-malesan, sekarang kayak dikejar target. Jangan-jangan takut sama istri, ya?” Aditya ikut tertawa, meski senyumnya menahan sesuatu. “Bukan takut, Mang. Sekarang saya punya tanggungan. Ada Kirana di rumah, jadi harus lebih giat cari uang.” Mang Ari menepuk bahu Aditya keras-keras. “Bagus! Tapi inget, Dit. Istri tuh bukan cuma buat dikasih makan, tapi juga disayang. Jangan lupa bawa pulang senyum, bukan cuma keringat.” Aditya tertawa kecil. “Iya, Mang. Saya inget kok.” Mereka berdua lalu saling bercanda ringan tentang rumah tangga. Hingga akhirnya Mang Ari menatap Aditya serius. “Eh, ngomong-ngomong, gue denger mahar lu cuma lima ratus perak, ya?” Senyum di wajah Aditya perlahan pudar. Tangannya yang semula sibuk menata telur kini terhenti. “Iya, Mang... cuma segitu.” Mang Ari menggeleng tak percaya. “Astaga, Dit! Lu nih cowok rajin, kerja keras, masa cuma kasih mahar segitu? Gak malu sama mertua?” Aditya mengangkat wajahnya perlahan, menatap Mang Ari dengan senyum tenang tapi matanya sendu. “Saya punya alasan, Mang. Itu bukan soal angka tapi ada hal yang penting. Saya cuma bisa kasih apa yang saya punya waktu itu. Tapi saya niat buat bahagiain Kirana sampai kapan pun.” Mang Ari terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang. “Yah... asal niatmu baik. Tapi inget, Dit, dunia ini kadang gak ngerti maksud baik kita. Orang bisa salah paham.” Aditya hanya mengangguk. “Saya tahu, Mang. Tapi biar waktu aja yang jelasin.” Siang pun datang. Terik matahari memantul dari atap seng pasar, membuat udara gerah luar biasa. Setelah menghitung hasil penjualan dan menyetor uang ke pemilik lapak, Aditya menyisihkan sebagian untuk membeli beras dan minyak goreng. Namun langkahnya terhenti di depan kios sembako ketika mendengar bisik-bisik beberapa ibu-ibu yang sedang berbelanja. “Itu tuh, Aditya yang baru nikah sama Kirana. Istrinya berasal dari keluarga berada,” bisik salah satu dari mereka. “Iya, aku dengar maharnya cuma 500 perak. Astaga, tega banget ya.” “Padahal tiap hari keliatan di pasar, duitnya ada. Masa segitu doang kasih buat istrinya?” “Kasian si Kirana. Pasti nyesel sekarang.” Aditya menunduk, pura-pura sibuk menimbang beras di tangan, padahal telinganya jelas mendengar. Suara mereka bagai jarum yang menancap perlahan di dadanya. Ia menahan napas panjang. Di dalam pikirannya, wajah Kirana terlintas, tapi entah apakah perempuan itu benar-benar bahagia bersamanya. Apa Kirana menyesal menikah denganku? batinnya bergetar. Tanpa membalas satu pun komentar, Aditya membayar belanjaannya dan segera meninggalkan tempat itu. Hatinya terasa sesak, tapi langkahnya tetap diarahkan menuju rumah. Sore menjelang. Udara mulai sejuk. Di perjalanan pulang, Aditya berhenti di warung nasi Padang. Ia menatap menu yang tergantung di dinding, menghitung uang yang tersisa. “Satu bungkus nasi rendang, tambah nasi satu ya, Bu,” katanya. “Untuk berdua, Bang?” tanya penjualnya ramah. “Iya. Saya sama istri. Kuahnya dipisah ya, biar nanti masih enak.” Aditya tersenyum kecil saat menerima bungkus nasi hangat itu. Dalam benaknya, ia membayangkan Kirana tersenyum, mungkin memuji meski sederhana. Mereka bisa makan bareng, walau cuma sebungkus. Namun begitu ia membuka pintu rumah kontrakan sederhana mereka, langkahnya terhenti. Kirana duduk di meja makan, mengenakan daster lembut warna biru muda. Di hadapannya ada kotak nasi ayam bakar dari restoran mahal di pusat kota. Aromanya kuat, menggoda. Aditya berdiri kaku di ambang pintu, sementara senyum di wajahnya perlahan hilang. “Kirana, kamu makan dari mana itu?” suaranya lirih tapi terdengar jelas. Kirana menatapnya sekilas, tanpa rasa bersalah. “Aku beli sendiri. Aku lapar. Tadi kamu belum pulang-pulang.” Aditya menatap bungkus nasi di tangannya, lalu tersenyum canggung. “Oh, aku kira kamu belum makan. Aku udah beli nasi Padang buat kita makan bareng. Tapi gak apa-apa, kamu makan aja dulu. Ini bisa buat nanti malam, kuahnya udah aku pisahin biar gak basi.” Kirana mengangkat wajah, matanya datar. “Kamu belum makan?” Aditya buru-buru menggeleng. “Udah kok, tadi di pasar sempat makan.” Padahal perutnya sejak pagi belum diisi apa-apa. Kirana mengangguk ringan, lalu melanjutkan makannya tanpa berkata apa-apa lagi. Suara sendok beradu dengan wadah plastik terasa nyaring di ruangan kecil itu. Aditya menunduk, meletakkan bungkusan nasi di atas meja. “Aku taruh sini aja ya. Nanti malam bisa kita makan bareng.” Ia lalu berpura-pura merapikan barang di dapur, padahal berusaha menyembunyikan rasa perih di dada. Beberapa menit kemudian, dia pamit dengan senyum yang dipaksakan. “Aku balik ke pasar lagi ya,. Ada pesanan telur yang belum diambil orang.” Kirana tak menatapnya, hanya menjawab datar. “Hati-hati.” Aditya mengangguk pelan, lalu melangkah keluar rumah. Begitu pintu tertutup, wajahnya langsung berubah murung. Langkahnya berat, tapi ia tetap berjalan. Angin sore menyapu peluh di wajahnya, namun tak mampu menghapus perih di dadanya. Dalam hati, ia berbisik, "Maaf, Kirana, aku belum bisa kasih kamu hidup yang layak. Tapi aku janji, aku bakal berjuang sampai kamu bisa tersenyum karena aku, bukan meski aku." Dan sore itu, Aditya kembali ke pasar dengan perut kosong.Suara tawar-menawar bercampur dengan aroma tanah basah dan sayuran segar yang baru dibongkar dari karung. Di tengah hiruk pikuk itu, seorang pemuda dengan kemeja lusuh tampak sibuk menata tumpukan telur di meja kayu. Aditya berjualan telur karena sang pemilik sedang keluar kota dan Aditya dikenal sebagai pria serba bisa di pasar. “Dua kilo, Dit. Yang gak retak ya,” seru seorang ibu langganan sambil membawa tas belanja. "Iya, Bu. Saya pilihkan yang bagus." Aditya menatap tumpukan telur, lalu dengan cekatan menghitung dan menimbang. “Pas dua kilo, Bu. Empat puluh ribu aja. Saya tambahin satu bonus, biar besok belanja lagi di sini.” Senyum kecil mengembang di wajah pelanggan. “Wah, rezekinya istri kamu tuh, suami rajin dan murah hati.” Aditya tersenyum kikuk, mengelap peluh di kening. “Hehe, iya, Bu. Rezekinya istri saya memang di sini.” "Makasih ya, Dit." "Sama-sama, Bu. Balik lagi besok ya, Bu." Ibu itu hanya mengangguk dan buru-buru pergi. Pembeli kian berdatangan, tapi Adity
Malam, Lampu redup di sudut ruangan menyinari wajah Kirana yang sedang tertidur pulas di ranjang kecil. Napasnya teratur, rambut panjangnya terurai di bantal, dan wajah yang biasanya keras kini tampak tenang. Aditya duduk di tepi ranjang, memperhatikan perempuan itu lama. Ada senyum tipis yang tak bisa ia tahan."Kamu keliatan sangat cantik bahkan saat tidur, Kirana. Sayangnya kamu harus terjebak dalam kasur itu."Ia tahu, di balik sikap dingin dan cemberut Kirana selama ini, ada hati yang sedang berjuang menyesuaikan diri. Mungkin Kirana belum bisa mencintai kehidupannya yang sekarang, tapi Aditya yakin waktu akan menuntun semuanya."Maaf, tapi aku akan berusaha sebisaku."Perlahan, ia menundukkan kepala, menatap jemari Kirana yang halus. “Kamu nggak pernah tahu, Ran, seberapa besar artinya kamu buat aku,” bisiknya lirih.Aditya kemudian menoleh ke meja kecil di dekat jendela. Di sana, sebuah toples bening berisi uang logam 500 perak berdiri tenang. Ia berjalan mendekat, mengambil t
Pagi di sekitar rumah terasa aneh bagi Aditya. Biasanya orang-orang tersenyum ramah ketika ia lewat, tapi sejak pernikahannya dengan Kirana, semua berubah. Setiap langkahnya diiringi bisikan-bisikan yang menusuk seperti duri di telinga.“Lihat tuh, pengantin baru. Mahar cuma 500 perak,”“Beli permen aja nggak cukup. Kirana pasti nyesel setengah mati.”"Kenapa mereka terus membahas itu, gimana kalau Kirana dengar ini," gumam Aditya."Lihat itu, suaminya. Bahkan berpenampilan menarik aja dia nggak bisa. Kerja serabutan."Ibu-ibu tersebut menatap sinis pada Aditya. Mereka tidak takut didengar oleh Aditya. Seakan terang-terangan menjelekkan Aditya dan Kirana. Aditya menunduk, berusaha seolah tidak mendengar. Tapi dari pantulan kaca jendela toko di pinggir jalan, ia bisa melihat senyum sinis dan lirikan tajam yang mengikuti langkahnya. Tangannya mengepal di saku celana, menahan emosi yang mendesak keluar. Namun ia tetap melangkah.Sesampainya di rumah kecilnya, Aditya menghela napas panja
Kirana berdiri di depan cermin, menatap bayangannya. Riasan di wajahnya sederhana. Rambutnya dikuncir rendah, pakaian yang ia kenakan bukan lagi gaun mahal, melainkan kaos polos warna krem yang dibelikan Aditya dua hari lalu. Entah kenapa, pakaian itu terasa sangat asing di tubuhnya.Ia menarik napas panjang."Mulai hari ini, aku bukan lagi Kirana Prameswari yang hidup di rumah besar dengan segala kemewahan. Aku hanya istri dari Aditya pemuda miskin dengan mimpi kecil."Ia menutup matanya sesaat. Bayangan pernikahan mereka kembali terlintas di kepala ucapan ijab kabul dengan mahar lima ratus perak, sorot mata sinis para tamu, dan wajah ibunya yang menahan malu. Kirana menggigit bibir bawahnya, menahan getir yang masih belum hilang.“Lima ratus perak…” gumamnya lirih. “Bahkan sekarang pun aku masih sulit menerimanya.”Ia teringat senyum tipis Aditya saat menyerahkan mahar itu. Senyum yang penuh rahasia tapi juga penuh keyakinan.Namun, bagi Kirana, yang tertinggal hanyalah luka di harg
Di rumah Kirana, kursi-kursi rotan berderet rapi, bunga melati menebar aroma manis, dan di sudut ruangan, tirai putih bergoyang lembut diterpa angin.Akad pernikahan Kirana Prameswari dan Aditya Mahendra disusun sesederhana mungkin, atas permintaan mempelai pria yang tak ingin berlebihan, dan disetujui dengan berat hati oleh keluarga Kirana.Kirana duduk anggun di sisi dalam. Tangannya bergetar di pangkuan, jantungnya berdetak tak karuan. Ia menatap bayangan Aditya di seberang sana, pria yang kini akan menjadi suaminya.Aditya mengenakan jas putih sederhana, rambutnya disisir rapi, dan di antara senyum gugupnya, terlihat ketulusan yang meneduhkan. Di hadapan penghulu, ia menunduk hormat, suaranya tenang namun bergetar oleh emosi.“Baik,” ujar penghulu dengan suara lembut. “Kita mulai akad nikahnya.”Wijaya Kusuma, ayah Kirana, duduk di sisi depan, wajahnya tegas tanpa ekspresi. Di sebelahnya, Sulastri menegakkan punggung, memegang tas kecilnya erat-erat, seolah menahan diri dari sesua







