Share

Bagian 4

last update Last Updated: 2025-11-02 14:42:23

Malam, Lampu redup di sudut ruangan menyinari wajah Kirana yang sedang tertidur pulas di ranjang kecil. Napasnya teratur, rambut panjangnya terurai di bantal, dan wajah yang biasanya keras kini tampak tenang. 

Aditya duduk di tepi ranjang, memperhatikan perempuan itu lama. Ada senyum tipis yang tak bisa ia tahan.

"Kamu keliatan sangat cantik bahkan saat tidur, Kirana. Sayangnya kamu harus terjebak dalam kasur itu."

Ia tahu, di balik sikap dingin dan cemberut Kirana selama ini, ada hati yang sedang berjuang menyesuaikan diri. Mungkin Kirana belum bisa mencintai kehidupannya yang sekarang, tapi Aditya yakin waktu akan menuntun semuanya.

"Maaf, tapi aku akan berusaha sebisaku."

Perlahan, ia menundukkan kepala, menatap jemari Kirana yang halus. “Kamu nggak pernah tahu, Ran, seberapa besar artinya kamu buat aku,” bisiknya lirih.

Aditya kemudian menoleh ke meja kecil di dekat jendela. Di sana, sebuah toples bening berisi uang logam 500 perak berdiri tenang. Ia berjalan mendekat, mengambil toples itu dengan hati-hati, lalu duduk di lantai. Matanya menatap koin berwarna keemasan itu lama, dan pikirannya perlahan kembali ke masa lalu—masa di mana segalanya dimulai.

Kala itu, Aditya hanyalah bocah kecil yang lusuh dan lapar. Pakaian compang-camping menempel di tubuh kurusnya, dan tangannya menggenggam kaleng berkarat. Di pinggir jalan, orang-orang berlalu-lalang tanpa menoleh. Sebagian melemparkan uang receh, sebagian lagi berpaling seolah ia tak ada.

“Uang receh lagi,” gumam Aditya kecil lirih sambil menatap uang 100 perak di telapak tangannya. “Nggak ada yang peduli.”

Langit sore mulai menguning ketika sebuah mobil berhenti di dekat taman tempatnya duduk. Dari dalam mobil, keluar seorang gadis kecil bergaun putih dengan rambut dikepang dua. Wajahnya cerah dan bersih, seolah ia datang dari dunia lain yang tak tersentuh debu jalanan.

Gadis itu berjalan mendekat dengan langkah ringan, lalu berhenti di hadapan Aditya. Ia menunduk, tersenyum. “Kamu kenapa sedih?”

Aditya terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa.

Gadis itu kemudian merogoh saku kecil di bajunya dan mengeluarkan sesuatu, sebuah uang logam 500 perak yang berkilau, nyaris tampak seperti emas di bawah cahaya matahari sore. Ia mengulurkan tangan. “Nih, buat kamu.”

Aditya menggeleng. “Aku nggak mau receh.”

Gadis itu tersenyum lagi. “Kamu salah. Bahkan dalam 500 perak pun orang bisa kaya, asal dia mau kerja keras.”

Kata-kata itu sederhana, tapi menembus hati kecil Aditya yang lelah. Ia memandangi koin itu lama, lalu akhirnya menerimanya. Gadis itu tertawa pelan, lalu berlari ke arah mobilnya. Sebelum masuk ke dalam, Aditya sempat melihat liontin berbentuk bunga kecil menggantung di leher gadis itu, memantulkan cahaya jingga sore hari.

Sejak hari itu, segalanya berubah.

Ucapan gadis kecil itu seperti mantra. Setiap kali Aditya merasa putus asa, ia selalu menggenggam koin itu dan mengingat senyum polos serta kata-katanya. Ia mulai bekerja keras, mengambil botol bekas, mencuci kendaraan, membantu pedagang. Ia belajar bahwa hidup bukan soal besar kecilnya uang, tapi tekad dan hati.

Ia tak pernah tahu siapa gadis itu, hanya mengingat liontin di lehernya. Dan bertahun-tahun kemudian, ketika ia bertemu Kirana, perempuan dengan liontin bunga yang sama, Aditya tahu, semesta akhirnya mempertemukan mereka kembali.

Kini, di ruang kecil itu, Aditya menatap koin itu lagi. Ia tersenyum lembut, perasaan hangat memenuhi dadanya.

“Bahkan setelah semua waktu berlalu,” katanya pelan." Aku masih pegang kata-kata kamu, Ran. Kamu nggak pernah tahu, tapi dari koin kecil inilah aku belajar hidup.”

Ia menatap ke arah Kirana yang masih tertidur lelap. Cahaya lampu membuat wajah Kirana tampak lembut. 

"Semoga saat kamu tahu nanti, kamu bisa mengerti kenapa aku memberikan. Koin ini sebagai mahar. Aku bisa mencari uang dan bekerja seharian untuk memberikan mahar yang jumlahnya lebih besar dari ini. Tapi, percayalah, uang 500 ini bahkan tidak ada tandingannya dengan uang yang aku hasilkan."

Aditya menutup toples itu perlahan, lalu memasukkannya kembali ke dalam peti kecil yang ia simpan di bawah tempat tidur. Ia tidak ingin Kirana tahu dulu. Belum saatnya. Ia ingin momen itu menjadi pengingat yang indah, bukan beban.

Setelah itu, ia berbaring di lantai seperti biasa—karena Kirana belum mau berbagi tempat tidur dengannya. Namun malam itu, Aditya tidur dengan senyum yang tenang.

Pagi datang dengan lembut. Aditya sudah bangun lebih pagi dari biasanya. Ia bergegas ke dapur kecil yang hanya berisi kompor gas tua dan meja kayu seadanya.

Dengan cekatan memotong bawang dan mulai menumis bawang putih serta cabai. Aroma harum nasi goreng buatan tangannya memenuhi seluruh ruangan. Meski sederhana, ia memasaknya dengan hati, berharap kekesalan Kirana akan berkurang. 

“Nggak banyak yang bisa aku kasih buat kamu, Ran,” gumamnya sambil menata piring. “Tapi aku mau kamu makan enak setiap pagi.”

Setelah semuanya siap, ia menata meja kecil di ruang tengah. Satu piring nasi goreng panas dengan telur mata sapi di atasnya. Di samping piring, ia meletakkan segelas air putih dan secarik kertas kecil bertuliskan:

“Ran, jangan lupa makan ya. Aku udah pel rumah dan nyuci piring. Aku kerja dulu, nanti sore pulang. –Adit.”

Ia menatap catatan itu lama, lalu tersenyum. Setelah memastikan semuanya rapi, Aditya berangkat bekerja.

Beberapa jam kemudian, suara burung sudah berganti jadi riuh jalanan. Kirana membuka matanya perlahan. Sinar matahari menyentuh wajahnya, membuatnya mengerjap. Ia duduk sambil mengucek mata, menatap sekeliling.

Rumah yang biasanya berantakan kini tampak bersih. Lantai mengilap, piring sudah tertata, dan udara kamar terasa segar. Ia berjalan ke ruang tengah dan berhenti. Di meja, piring nasi goreng tersaji rapi, masih hangat.

“Ini Aditya yang masak?” gumamnya pelan.

Ia mengambil kertas kecil di samping piring itu dan membaca isinya. Bibirnya terkatup. Ada rasa aneh di dadanya, sesuatu yang hangat tapi juga mengganggu hatinya.

“Dia bahkan nyapu dan ngepel,” katanya pelan.

Kirana duduk, memandangi nasi goreng itu lama. Ia tahu, seharusnya ia merasa terharu. Tapi gengsinya menolak untuk mengakui itu.

“Bodo amat,” gumamnya akhirnya, meletakkan kertas itu di meja.

Namun saat sendok pertama menyentuh lidahnya, rasa nasi goreng itu membuat dadanya hangat. Gurih, sederhana, tapi penuh perhatian. Ia menatap sekeliling rumah yang bersih, lalu mengembuskan napas panjang.

"Dia sengaja membuatku bersalah apa gimana sih?" kesal Kirana merasa dirinya tidak berguna di sini.

Di dalam hatinya yang keras, ada sesuatu yang mulai retak perlahan. Bukan kebencian, bukan kemarahan, melainkan rasa haru yang belum ia pahami.

Dan di luar sana, di tengah panas terik pagi, Aditya tersenyum sambil berjalan menuju tempat kerja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MAHAR 500 PERAK   Bagian 5

    Suara tawar-menawar bercampur dengan aroma tanah basah dan sayuran segar yang baru dibongkar dari karung. Di tengah hiruk pikuk itu, seorang pemuda dengan kemeja lusuh tampak sibuk menata tumpukan telur di meja kayu. Aditya berjualan telur karena sang pemilik sedang keluar kota dan Aditya dikenal sebagai pria serba bisa di pasar. “Dua kilo, Dit. Yang gak retak ya,” seru seorang ibu langganan sambil membawa tas belanja. "Iya, Bu. Saya pilihkan yang bagus." Aditya menatap tumpukan telur, lalu dengan cekatan menghitung dan menimbang. “Pas dua kilo, Bu. Empat puluh ribu aja. Saya tambahin satu bonus, biar besok belanja lagi di sini.” Senyum kecil mengembang di wajah pelanggan. “Wah, rezekinya istri kamu tuh, suami rajin dan murah hati.” Aditya tersenyum kikuk, mengelap peluh di kening. “Hehe, iya, Bu. Rezekinya istri saya memang di sini.” "Makasih ya, Dit." "Sama-sama, Bu. Balik lagi besok ya, Bu." Ibu itu hanya mengangguk dan buru-buru pergi. Pembeli kian berdatangan, tapi Adity

  • MAHAR 500 PERAK   Bagian 4

    Malam, Lampu redup di sudut ruangan menyinari wajah Kirana yang sedang tertidur pulas di ranjang kecil. Napasnya teratur, rambut panjangnya terurai di bantal, dan wajah yang biasanya keras kini tampak tenang. Aditya duduk di tepi ranjang, memperhatikan perempuan itu lama. Ada senyum tipis yang tak bisa ia tahan."Kamu keliatan sangat cantik bahkan saat tidur, Kirana. Sayangnya kamu harus terjebak dalam kasur itu."Ia tahu, di balik sikap dingin dan cemberut Kirana selama ini, ada hati yang sedang berjuang menyesuaikan diri. Mungkin Kirana belum bisa mencintai kehidupannya yang sekarang, tapi Aditya yakin waktu akan menuntun semuanya."Maaf, tapi aku akan berusaha sebisaku."Perlahan, ia menundukkan kepala, menatap jemari Kirana yang halus. “Kamu nggak pernah tahu, Ran, seberapa besar artinya kamu buat aku,” bisiknya lirih.Aditya kemudian menoleh ke meja kecil di dekat jendela. Di sana, sebuah toples bening berisi uang logam 500 perak berdiri tenang. Ia berjalan mendekat, mengambil t

  • MAHAR 500 PERAK   Bagian 3

    Pagi di sekitar rumah terasa aneh bagi Aditya. Biasanya orang-orang tersenyum ramah ketika ia lewat, tapi sejak pernikahannya dengan Kirana, semua berubah. Setiap langkahnya diiringi bisikan-bisikan yang menusuk seperti duri di telinga.“Lihat tuh, pengantin baru. Mahar cuma 500 perak,”“Beli permen aja nggak cukup. Kirana pasti nyesel setengah mati.”"Kenapa mereka terus membahas itu, gimana kalau Kirana dengar ini," gumam Aditya."Lihat itu, suaminya. Bahkan berpenampilan menarik aja dia nggak bisa. Kerja serabutan."Ibu-ibu tersebut menatap sinis pada Aditya. Mereka tidak takut didengar oleh Aditya. Seakan terang-terangan menjelekkan Aditya dan Kirana. Aditya menunduk, berusaha seolah tidak mendengar. Tapi dari pantulan kaca jendela toko di pinggir jalan, ia bisa melihat senyum sinis dan lirikan tajam yang mengikuti langkahnya. Tangannya mengepal di saku celana, menahan emosi yang mendesak keluar. Namun ia tetap melangkah.Sesampainya di rumah kecilnya, Aditya menghela napas panja

  • MAHAR 500 PERAK   Bagian 2

    Kirana berdiri di depan cermin, menatap bayangannya. Riasan di wajahnya sederhana. Rambutnya dikuncir rendah, pakaian yang ia kenakan bukan lagi gaun mahal, melainkan kaos polos warna krem yang dibelikan Aditya dua hari lalu. Entah kenapa, pakaian itu terasa sangat asing di tubuhnya.Ia menarik napas panjang."Mulai hari ini, aku bukan lagi Kirana Prameswari yang hidup di rumah besar dengan segala kemewahan. Aku hanya istri dari Aditya pemuda miskin dengan mimpi kecil."Ia menutup matanya sesaat. Bayangan pernikahan mereka kembali terlintas di kepala ucapan ijab kabul dengan mahar lima ratus perak, sorot mata sinis para tamu, dan wajah ibunya yang menahan malu. Kirana menggigit bibir bawahnya, menahan getir yang masih belum hilang.“Lima ratus perak…” gumamnya lirih. “Bahkan sekarang pun aku masih sulit menerimanya.”Ia teringat senyum tipis Aditya saat menyerahkan mahar itu. Senyum yang penuh rahasia tapi juga penuh keyakinan.Namun, bagi Kirana, yang tertinggal hanyalah luka di harg

  • MAHAR 500 PERAK   Bagian 1

    Di rumah Kirana, kursi-kursi rotan berderet rapi, bunga melati menebar aroma manis, dan di sudut ruangan, tirai putih bergoyang lembut diterpa angin.Akad pernikahan Kirana Prameswari dan Aditya Mahendra disusun sesederhana mungkin, atas permintaan mempelai pria yang tak ingin berlebihan, dan disetujui dengan berat hati oleh keluarga Kirana.Kirana duduk anggun di sisi dalam. Tangannya bergetar di pangkuan, jantungnya berdetak tak karuan. Ia menatap bayangan Aditya di seberang sana, pria yang kini akan menjadi suaminya.Aditya mengenakan jas putih sederhana, rambutnya disisir rapi, dan di antara senyum gugupnya, terlihat ketulusan yang meneduhkan. Di hadapan penghulu, ia menunduk hormat, suaranya tenang namun bergetar oleh emosi.“Baik,” ujar penghulu dengan suara lembut. “Kita mulai akad nikahnya.”Wijaya Kusuma, ayah Kirana, duduk di sisi depan, wajahnya tegas tanpa ekspresi. Di sebelahnya, Sulastri menegakkan punggung, memegang tas kecilnya erat-erat, seolah menahan diri dari sesua

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status