Share

Bagian 3

last update Last Updated: 2025-11-02 14:41:18

Pagi di sekitar rumah terasa aneh bagi Aditya. Biasanya orang-orang tersenyum ramah ketika ia lewat, tapi sejak pernikahannya dengan Kirana, semua berubah. Setiap langkahnya diiringi bisikan-bisikan yang menusuk seperti duri di telinga.

“Lihat tuh, pengantin baru. Mahar cuma 500 perak,”

“Beli permen aja nggak cukup. Kirana pasti nyesel setengah mati.”

"Kenapa mereka terus membahas itu, gimana kalau Kirana dengar ini," gumam Aditya.

"Lihat itu, suaminya. Bahkan berpenampilan menarik aja dia nggak bisa. Kerja serabutan."

Ibu-ibu tersebut menatap sinis pada Aditya. Mereka tidak takut didengar oleh Aditya. Seakan terang-terangan menjelekkan Aditya dan Kirana. 

Aditya menunduk, berusaha seolah tidak mendengar. Tapi dari pantulan kaca jendela toko di pinggir jalan, ia bisa melihat senyum sinis dan lirikan tajam yang mengikuti langkahnya. Tangannya mengepal di saku celana, menahan emosi yang mendesak keluar. Namun ia tetap melangkah.

Sesampainya di rumah kecilnya, Aditya menghela napas panjang. Dinding papan itu bergoyang setiap kali angin berhembus. Lantai kayu yang lapuk berderit di setiap langkahnya. Ia tahu Kirana yang dibesarkan dalam kemewahan pasti akan kesulitan menyesuaikan diri. Tapi ia tidak menyangka reaksi istrinya akan sejauh ini.

Kirana duduk di kursi reyot dengan wajah cemberut. Rambutnya yang indah kini diikat seadanya, tapi bahkan dalam kesederhanaan itu, ia tetap tampak cantik—dan marah.

"Mas,” katanya dingin. "Aku nggak nyangka rumahnya sekecil ini. Kamu lihat aku? Apa aku terlihat seperti seseorang yang lahir dari keluarga sederhana? Sangat berbeda!”

Aditya menatapnya hati-hati. “Aku sudah bilang sebelumnya, hidup kita nanti nggak akan mudah.”

“Bukan nggak mudah, Mas. Ini menyedihkan,” balas Kirana. “Lihat deh, pintunya aja hampir copot. Atapnya bocor. Aku nggak bisa bernapas tinggal di sini. Ini debunya juga banyak. Nggak tau berapa kali aku bersin karsna debunya.”

“Kita bisa perbaiki pelan-pelan. Aku akan coba bersihkan debunya.”

Kirana berdiri dan mendengus. “Pelan-pelan? Dengan penghasilan kamu yang serabutan itu?” Suaranya meninggi, “Aku malu. Orang-orang di luar sana ngatain aku! Mereka bilang aku perempuan bodoh yang mau dinikahi dengan uang 500 perak! Mikir nggak sih? kuping aku panas setia hari denger ibu-ibu ngomongi aku. Jelekin aku.”

Aditya menatap lantai. “Aku tahu orang-orang bicara begitu, aku sangat sedih dengarnya. Tapi aku nggak menikahimu untuk pamer. Aku menikahimu karena aku sayang. Aku akan coba meredam omongan jahat itu.”

“Sayang?” Kirana tertawa miris. “Kalau sayang, kamu nggak akan ngasih aku mahar kayak gitu. Uang 500 perak yang udah kusam! Itu penghinaan namanya!”

Suasana menjadi dingin. Hanya suara ayam berkokok dari luar yang memecah keheningan. Aditya tidak membalas. Ia berjalan ke kamar, mengambil kaleng kecil berisi uang logam itu, lalu menatapnya.

“Suatu hari kamu bakal tahu, kenapa aku kasih mahar ini. Sekarang belum saatnya,” katanya lirih.

Kirana mendengus. “Alasan? Masih mau alasan juga? Aku capek dengar janji kosong. Sekarang, tolong, aku mau tidur. Kamu tidur di lantai aja, aku nggak bisa tidur kalau sempit-sempitan kayak begini. Dan lihat muka kamu aja aku udah muak.”

Aditya menatap ranjang kecil di sudut ruangan, lalu memandang lantai yang dingin. Tanpa berkata apa-apa, ia mengambil bantal tua dan berbaring di lantai. “Baik. Aku akan ikuti apa maumu, asal kamu nyaman di sana,” ucapnya pelan.

"Nyaman? Aku bahkan malas untuk tidur di kasur ini."

Kirana membalikkan badan, tapi di wajahnya terselip rasa bersalah yang ia tekan rapat-rapat. Dalam hati ia tahu, Aditya tidak pantas diperlakukan seperti itu. Namun harga dirinya—dan rasa malu terhadap cibiran orang—membuatnya semakin keras.

Keesokan harinya, matahari belum tinggi saat Aditya sudah berangkat bekerja. Ia membawa karung bekas di pundak, berjalan menuju proyek tempat ia sering membantu mengangkat bahan bangunan. Peluh menetes di keningnya, tapi hatinya terasa ringan. Meskipun Kirana marah, ia yakin waktu akan menjelaskan semuanya.

Di sela istirahat, seorang pria mendekat.

“Dit,” panggilnya. “Kamu nggak capek terus-terusan diem aja gitu?”

Aditya tersenyum kecil. “Capek pasti, Jaya. Tapi kalau marah, apa gunanya?”

Jaya, teman lamanya, menggeleng pelan. “Aku heran sama kamu. Istrimu itu jelas-jelas udah nginjek harga diri kamu. Aku dengar semalam dia nyuruh kamu tidur di lantai, ya?”

Aditya hanya diam, meneguk air dari botol plastiknya.

“Dit, aku tahu kamu orang sabar. Tapi sampai kapan kamu mau sembunyiin rahasia itu? Kenapa nggak jujur aja ke Kirana soal uang 500 perak itu?”

Aditya menatap langit yang biru kusam. “Semua ada waktunya, Jaya.”

“Waktu? Kamu pikir perempuan sepertinya bisa sabar nunggu waktu? Dia itu anak orang kaya. Kalau kamu nggak jelasin, dia bakal terus ngerasa direndahin.”

Aditya menghela napas. “Aku tahu. Tapi kalau aku ngomong sekarang, semua yang aku rencanakan bisa gagal.” Ia merogoh saku dan mengeluarkan uang logam 500 perak itu. Namun, uang itu bukan sembarang logam, warnanya bukan perak kusam seperti kemarin, melainkan berkilau keemasan saat terkena sinar matahari.

Jaya terdiam. “Dit, ini—”

“Sstt!" Aditya memotongnya, menaruh jari di depan bibir. “Rahasia.”

“Masih tetap nggak mau bilang?”

Aditya tersenyum samar. “Biar waktu yang jawab.”

Sore menjelang. Di rumah, Kirana duduk di depan pintu dengan wajah muram. Ia mendengar suara tetangga dari luar.

“Kasihan, ya, Kirana. Dulu cantik dan punya segalanya. Sekarang tinggal di rumah reyot.”

“Iya, katanya suaminya kerja cuma angkat batu. Mahar aja 500 perak, dasar murahan.”

Kirana memejamkan mata, berusaha tidak menangis. Tapi air matanya jatuh juga. Ia marah, bukan hanya pada mereka, tapi juga pada dirinya sendiri. Kenapa dulu ia terlalu cepat memutuskan menikah?

Saat Aditya pulang, keringat menetes deras dari pelipisnya. Ia membawa sekantong nasi bungkus.

“Kirana, aku beli makan malam,” katanya lembut.

Kirana menatapnya tajam. “Mas pikir aku nggak punya selera sampai mau makan makanan kayak gitu?”

Aditya terdiam. “Aku cuma ingin kita makan bareng. Aku tahu kamu belum makan.”

Kirana memalingkan wajah. “Aku nggak lapar.”

Aditya duduk di lantai, membuka bungkus nasi itu, lalu makan perlahan tanpa suara. Hanya sendok yang beradu dengan piring yang terdengar. Setelah beberapa menit, Kirana berbisik, “Kenapa kamu bisa sesabar ini?”

Aditya tersenyum, menatapnya penuh kasih. “Karena kamu istriku. Aku janji di depan Tuhan buat jagain kamu, nggak peduli kamu marah atau benci aku.”

Malam itu, setelah Kirana tertidur, Aditya membuka peti kecil di bawah tempat tidur. Di dalamnya tersimpan uang 500 perak yang kini bersinar terang bagai emas murni. Ia menatapnya dalam diam, senyum lembut tersungging di bibirnya.

“Belum saatnya,” gumamnya pelan. “Biarlah mereka semua menertawakan aku sekarang. Suatu hari nanti, mereka akan tahu nilai dari 500 perak ini.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MAHAR 500 PERAK   Bagian 5

    Suara tawar-menawar bercampur dengan aroma tanah basah dan sayuran segar yang baru dibongkar dari karung. Di tengah hiruk pikuk itu, seorang pemuda dengan kemeja lusuh tampak sibuk menata tumpukan telur di meja kayu. Aditya berjualan telur karena sang pemilik sedang keluar kota dan Aditya dikenal sebagai pria serba bisa di pasar. “Dua kilo, Dit. Yang gak retak ya,” seru seorang ibu langganan sambil membawa tas belanja. "Iya, Bu. Saya pilihkan yang bagus." Aditya menatap tumpukan telur, lalu dengan cekatan menghitung dan menimbang. “Pas dua kilo, Bu. Empat puluh ribu aja. Saya tambahin satu bonus, biar besok belanja lagi di sini.” Senyum kecil mengembang di wajah pelanggan. “Wah, rezekinya istri kamu tuh, suami rajin dan murah hati.” Aditya tersenyum kikuk, mengelap peluh di kening. “Hehe, iya, Bu. Rezekinya istri saya memang di sini.” "Makasih ya, Dit." "Sama-sama, Bu. Balik lagi besok ya, Bu." Ibu itu hanya mengangguk dan buru-buru pergi. Pembeli kian berdatangan, tapi Adity

  • MAHAR 500 PERAK   Bagian 4

    Malam, Lampu redup di sudut ruangan menyinari wajah Kirana yang sedang tertidur pulas di ranjang kecil. Napasnya teratur, rambut panjangnya terurai di bantal, dan wajah yang biasanya keras kini tampak tenang. Aditya duduk di tepi ranjang, memperhatikan perempuan itu lama. Ada senyum tipis yang tak bisa ia tahan."Kamu keliatan sangat cantik bahkan saat tidur, Kirana. Sayangnya kamu harus terjebak dalam kasur itu."Ia tahu, di balik sikap dingin dan cemberut Kirana selama ini, ada hati yang sedang berjuang menyesuaikan diri. Mungkin Kirana belum bisa mencintai kehidupannya yang sekarang, tapi Aditya yakin waktu akan menuntun semuanya."Maaf, tapi aku akan berusaha sebisaku."Perlahan, ia menundukkan kepala, menatap jemari Kirana yang halus. “Kamu nggak pernah tahu, Ran, seberapa besar artinya kamu buat aku,” bisiknya lirih.Aditya kemudian menoleh ke meja kecil di dekat jendela. Di sana, sebuah toples bening berisi uang logam 500 perak berdiri tenang. Ia berjalan mendekat, mengambil t

  • MAHAR 500 PERAK   Bagian 3

    Pagi di sekitar rumah terasa aneh bagi Aditya. Biasanya orang-orang tersenyum ramah ketika ia lewat, tapi sejak pernikahannya dengan Kirana, semua berubah. Setiap langkahnya diiringi bisikan-bisikan yang menusuk seperti duri di telinga.“Lihat tuh, pengantin baru. Mahar cuma 500 perak,”“Beli permen aja nggak cukup. Kirana pasti nyesel setengah mati.”"Kenapa mereka terus membahas itu, gimana kalau Kirana dengar ini," gumam Aditya."Lihat itu, suaminya. Bahkan berpenampilan menarik aja dia nggak bisa. Kerja serabutan."Ibu-ibu tersebut menatap sinis pada Aditya. Mereka tidak takut didengar oleh Aditya. Seakan terang-terangan menjelekkan Aditya dan Kirana. Aditya menunduk, berusaha seolah tidak mendengar. Tapi dari pantulan kaca jendela toko di pinggir jalan, ia bisa melihat senyum sinis dan lirikan tajam yang mengikuti langkahnya. Tangannya mengepal di saku celana, menahan emosi yang mendesak keluar. Namun ia tetap melangkah.Sesampainya di rumah kecilnya, Aditya menghela napas panja

  • MAHAR 500 PERAK   Bagian 2

    Kirana berdiri di depan cermin, menatap bayangannya. Riasan di wajahnya sederhana. Rambutnya dikuncir rendah, pakaian yang ia kenakan bukan lagi gaun mahal, melainkan kaos polos warna krem yang dibelikan Aditya dua hari lalu. Entah kenapa, pakaian itu terasa sangat asing di tubuhnya.Ia menarik napas panjang."Mulai hari ini, aku bukan lagi Kirana Prameswari yang hidup di rumah besar dengan segala kemewahan. Aku hanya istri dari Aditya pemuda miskin dengan mimpi kecil."Ia menutup matanya sesaat. Bayangan pernikahan mereka kembali terlintas di kepala ucapan ijab kabul dengan mahar lima ratus perak, sorot mata sinis para tamu, dan wajah ibunya yang menahan malu. Kirana menggigit bibir bawahnya, menahan getir yang masih belum hilang.“Lima ratus perak…” gumamnya lirih. “Bahkan sekarang pun aku masih sulit menerimanya.”Ia teringat senyum tipis Aditya saat menyerahkan mahar itu. Senyum yang penuh rahasia tapi juga penuh keyakinan.Namun, bagi Kirana, yang tertinggal hanyalah luka di harg

  • MAHAR 500 PERAK   Bagian 1

    Di rumah Kirana, kursi-kursi rotan berderet rapi, bunga melati menebar aroma manis, dan di sudut ruangan, tirai putih bergoyang lembut diterpa angin.Akad pernikahan Kirana Prameswari dan Aditya Mahendra disusun sesederhana mungkin, atas permintaan mempelai pria yang tak ingin berlebihan, dan disetujui dengan berat hati oleh keluarga Kirana.Kirana duduk anggun di sisi dalam. Tangannya bergetar di pangkuan, jantungnya berdetak tak karuan. Ia menatap bayangan Aditya di seberang sana, pria yang kini akan menjadi suaminya.Aditya mengenakan jas putih sederhana, rambutnya disisir rapi, dan di antara senyum gugupnya, terlihat ketulusan yang meneduhkan. Di hadapan penghulu, ia menunduk hormat, suaranya tenang namun bergetar oleh emosi.“Baik,” ujar penghulu dengan suara lembut. “Kita mulai akad nikahnya.”Wijaya Kusuma, ayah Kirana, duduk di sisi depan, wajahnya tegas tanpa ekspresi. Di sebelahnya, Sulastri menegakkan punggung, memegang tas kecilnya erat-erat, seolah menahan diri dari sesua

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status