LOGINKirana berdiri di depan cermin, menatap bayangannya. Riasan di wajahnya sederhana. Rambutnya dikuncir rendah, pakaian yang ia kenakan bukan lagi gaun mahal, melainkan kaos polos warna krem yang dibelikan Aditya dua hari lalu. Entah kenapa, pakaian itu terasa sangat asing di tubuhnya.
Ia menarik napas panjang.
"Mulai hari ini, aku bukan lagi Kirana Prameswari yang hidup di rumah besar dengan segala kemewahan. Aku hanya istri dari Aditya pemuda miskin dengan mimpi kecil."
Ia menutup matanya sesaat. Bayangan pernikahan mereka kembali terlintas di kepala ucapan ijab kabul dengan mahar lima ratus perak, sorot mata sinis para tamu, dan wajah ibunya yang menahan malu. Kirana menggigit bibir bawahnya, menahan getir yang masih belum hilang.
“Lima ratus perak…” gumamnya lirih. “Bahkan sekarang pun aku masih sulit menerimanya.”
Ia teringat senyum tipis Aditya saat menyerahkan mahar itu. Senyum yang penuh rahasia tapi juga penuh keyakinan.
Namun, bagi Kirana, yang tertinggal hanyalah luka di harga dirinya.
Ketukan lembut di pintu memecah lamunannya.
“Kirana?” suara lembut ibunya terdengar dari luar.
“Masuk, Ma.”
Sulastri membuka pintu perlahan. Perempuan itu tampak anggun seperti biasa, meski wajahnya tak lagi setegas biasanya. Ada sesuatu di matanya—rasa berat yang berusaha disembunyikan di balik senyum tipis.
Kirana berusaha tersenyum. “Mama udah bangun pagi-pagi.”
“Mama nggak bisa tidur,” jawab Sulastri pelan. Ia melangkah masuk, lalu duduk di tepi ranjang. “Hari ini kamu pergi, Nak. Mama hanya ingin melihatmu sebelum—” Suaranya tertahan. “Sebelum kamu benar-benar meninggalkan rumah ini.”
Kirana menunduk. “Aku nggak pergi jauh, Ma. Rumah yang Aditya sewa masih di kota ini.”
“Ya, Mama tahu,” jawab Sulastri. “Tapi rasanya tetap berat, Kirana. Kamu anak satu-satunya Ibu.”
Ia menghela napas. “Mama nggak akan menahanmu, tapi tolong jaga dirimu baik-baik, ya.”
Kirana mendekat, duduk di samping ibunya. “Ma masih nggak yakin dengan Aditya, ya?” tanyanya pelan.
Sulastri terdiam sejenak, lalu menjawab jujur, “Mama ingin percaya, tapi sulit. Kamu tahu sendiri bagaimana hidupnya. Mama takut kamu nggak bahagia.”
Kirana tersenyum hambar. “Bahagia itu bukan cuma soal uang, kan, Ma?”
Sulastri menatap putrinya dalam-dalam. “Iya, tapi uang juga bukan hal sepele, Kirana. Kamu dibesarkan dalam kemewahan, terbiasa dengan kenyamanan. Sekarang kamu harus hidup dengan seseorang yang bahkan pekerjaannya tidak tetap. Kamu sudah siap menghadapi semua itu?”
Kirana menatap lantai. Ia tidak menjawab segera.
Sebenarnya ia belum benar-benar siap. Bahkan bayangan hidup sederhana saja sudah membuatnya cemas. Ia teringat Aditya yang sering bekerja serabuta dan mendapatkan upah kecil.
“Aditya memang bukan orang kaya, Ma,” katanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik. “Tapi dia selalu berusaha.”
Sulastri memegang tangan putrinya. “Berusaha saja tidak cukup, Nak. Kamu butuh seseorang yang bisa menjagamu, bukan seseorang yang justru akan membuatmu menyesal.”
Kalimat itu menancap tajam di hati Kirana. Ia menunduk, matanya mulai panas.
“Ma.” suaranya gemetar, “Kalau aku menyesal, mungkin penyesalan itu sudah terjadi dari dulu. Waktu aku—”
Ia berhenti. Tenggorokannya tercekat.
Sulastri menatapnya dengan lembut, tapi matanya menyiratkan luka lama yang sama. Mereka berdua tahu apa yang dimaksud Kirana.
Waktu dia hamil di luar nikah. Waktu semua hal berubah.
“Aku tahu, Ma,” lanjut Kirana dengan air mata yang tertahan. “Kalau waktu bisa diulang, aku mungkin tidak akan membiarkan semuanya terjadi. Aku mungkin tidak akan memaksa Aditya menikahiku. Tapi semua sudah terlambat.”
Sulastri menarik napas dalam. “Tidak ada yang terlambat kalau kamu ingin memperbaiki hidupmu, Kirana.”
“Aku tidak ingin memperbaikinya dengan menyesal, Ma,” balas Kirana dengan lirih. “Aku hanya ingin belajar menerima apa yang sudah terjadi. Aditya mungkin bukan lelaki sempurna. Tapi dia mau bertanggung jawab. Itu sudah cukup.”
Suara langkah berat terdengar dari luar kamar. Sesaat kemudian, pintu diketuk lagi.
“Boleh papa masuk?” suara Wijaya terdengar.
Kirana buru-buru menyeka air matanya. “Masuk, Pa.”
Wijaya masuk dengan pakaian rumah, meski tetap terlihat berwibawa. Di tangannya ada sebuah amplop kecil. Ia menatap putrinya lama, lalu mengulurkan amplop itu.
“Papa tahu kamu tidak mau menerima uang dari kami lagi,” katanya dengan nada datar. “Tapi ini bukan bantuan, hanya tabungan kecil yang dulu papa sisihkan untukmu. Simpan saja. Mungkin berguna.”
Kirana mengambil amplop itu dengan ragu. “Terima kasih, Pa. Tapi aku—”
Wijaya memotong dengan tegas. “Sudah. Terima saja. Anggap ini doa dari papa untuk kamu dan Aditya.”
Ia lalu menatap Sulastri sekilas, kemudian kembali pada putrinya. “Papa hanya ingin kamu tetap menjaga hubungan baik dengan kami. Apa pun yang terjadi nanti, jangan merasa kamu sendirian. Rumah ini akan selalu jadi tempatmu pulang.”
Kirana terdiam. Suara papanya terdengar tegas seperti biasa, tapi kali ini ada getar halus yang jarang ia dengar sebelumnya.
“Pa.” Ia menunduk. “Papa tidak marah aku menikah dengannya?”
Wijaya menghela napas. “Marah? Tentu papa marah. Tapi lebih dari itu, papa kecewa. Kamu anak papa yang cerdas, cantik, dan punya masa depan besar. Tapi kamu memilih jalan yang berat.”
Ia berhenti sejenak. “Namun, karena kamu sudah memilih, papa akan tetap mendoakanmu. Meski hati papa belum sepenuhnya bisa menerima Aditya, papa tidak akan mencabut restu yang sudah diberikan.”
Kirana menatap ayahnya, bibirnya bergetar. “Terima kasih, Pa.”
Sulastri menatap mereka berdua dengan mata yang kini mulai basah. “Sudahlah, jangan menangis di pagi begini,” katanya pelan. “Hari ini harusnya awal baru buat kamu.”
Kirana tersenyum getir. “Awal baru, ya...”
Tak lama kemudian, suara mesin motor terdengar dari luar pagar. Kirana tahu, itu pasti Aditya yang datang menjemput.
Ia berdiri perlahan, mengambil tas kecilnya. Pandangannya menyapu kamar sekali lagi — tempat ia tumbuh, tertawa, menangis, dan bermimpi. Kini semuanya harus ia tinggalkan.
Sulastri mendekat, merapikan ujung kerudung Kirana. “Kamu pasti bisa, Nak,” katanya lembut. “Tapi kalau ada apa-apa, jangan sungkan pulang.”
Kirana mengangguk pelan. “Iya, Ma.”
Wijaya menepuk bahunya. “Dan jangan biarkan harga dirimu hilang hanya karena kamu ingin terlihat kuat. Kalau kamu butuh sesuatu, bilang.”
“Iya, Pa.”
Mereka bertiga terdiam sejenak. Hening yang menggantung terasa lebih menyayat daripada kata-kata apa pun.
Akhirnya, Sulastri berkata, “Sudah, pergilah. Aditya pasti menunggu di luar.”
Kirana melangkah menuju pintu. Setiap langkah terasa berat.
Sesampainya di depan rumah, ia melihat Aditya berdiri di samping motor tuanya yang penuh goresan. Pemuda itu tersenyum lembut.
“Sudah siap?” tanyanya pelan.
Kirana menatapnya lama sebelum menjawab. “Aku, sudah.”
Aditya mengangguk. Ia mengambil tas dari tangan Kirana, memasangnya di jok motor. “Terima kasih sudah mau ikut denganku,” ucapnya dengan tulus.
Kirana hanya diam. Ia menoleh sekali lagi ke arah rumah besar di belakangnya—melihat wajah ayah dan ibunya yang berdiri di ambang pintu, menatap kepergian mereka dengan pandangan yang sulit dijelaskan: antara cinta, khawatir, dan keraguan.
“Selamat tinggal, Pa, Ma,” ucap Kirana lirih.
Sulastri hanya mengangguk, sementara Wijaya mengangkat tangan kecil sebagai isyarat.
Aditya menyalakan motor, suara mesinnya kasar, hampir tak layak untuk perjalanan panjang. Kirana duduk di belakangnya, memeluk erat tas di pangkuannya, bukan tubuh Aditya.
Saat motor perlahan menjauh, angin pagi menyapu wajahnya. Air matanya jatuh satu per satu.
Di kepalanya, satu kalimat bergema pelan, “Andai waktu bisa diulang, mungkin pernikahan ini tidak akan terjadi. Tapi sekarang, tidak ada jalan kembali.”
Suara tawar-menawar bercampur dengan aroma tanah basah dan sayuran segar yang baru dibongkar dari karung. Di tengah hiruk pikuk itu, seorang pemuda dengan kemeja lusuh tampak sibuk menata tumpukan telur di meja kayu. Aditya berjualan telur karena sang pemilik sedang keluar kota dan Aditya dikenal sebagai pria serba bisa di pasar. “Dua kilo, Dit. Yang gak retak ya,” seru seorang ibu langganan sambil membawa tas belanja. "Iya, Bu. Saya pilihkan yang bagus." Aditya menatap tumpukan telur, lalu dengan cekatan menghitung dan menimbang. “Pas dua kilo, Bu. Empat puluh ribu aja. Saya tambahin satu bonus, biar besok belanja lagi di sini.” Senyum kecil mengembang di wajah pelanggan. “Wah, rezekinya istri kamu tuh, suami rajin dan murah hati.” Aditya tersenyum kikuk, mengelap peluh di kening. “Hehe, iya, Bu. Rezekinya istri saya memang di sini.” "Makasih ya, Dit." "Sama-sama, Bu. Balik lagi besok ya, Bu." Ibu itu hanya mengangguk dan buru-buru pergi. Pembeli kian berdatangan, tapi Adity
Malam, Lampu redup di sudut ruangan menyinari wajah Kirana yang sedang tertidur pulas di ranjang kecil. Napasnya teratur, rambut panjangnya terurai di bantal, dan wajah yang biasanya keras kini tampak tenang. Aditya duduk di tepi ranjang, memperhatikan perempuan itu lama. Ada senyum tipis yang tak bisa ia tahan."Kamu keliatan sangat cantik bahkan saat tidur, Kirana. Sayangnya kamu harus terjebak dalam kasur itu."Ia tahu, di balik sikap dingin dan cemberut Kirana selama ini, ada hati yang sedang berjuang menyesuaikan diri. Mungkin Kirana belum bisa mencintai kehidupannya yang sekarang, tapi Aditya yakin waktu akan menuntun semuanya."Maaf, tapi aku akan berusaha sebisaku."Perlahan, ia menundukkan kepala, menatap jemari Kirana yang halus. “Kamu nggak pernah tahu, Ran, seberapa besar artinya kamu buat aku,” bisiknya lirih.Aditya kemudian menoleh ke meja kecil di dekat jendela. Di sana, sebuah toples bening berisi uang logam 500 perak berdiri tenang. Ia berjalan mendekat, mengambil t
Pagi di sekitar rumah terasa aneh bagi Aditya. Biasanya orang-orang tersenyum ramah ketika ia lewat, tapi sejak pernikahannya dengan Kirana, semua berubah. Setiap langkahnya diiringi bisikan-bisikan yang menusuk seperti duri di telinga.“Lihat tuh, pengantin baru. Mahar cuma 500 perak,”“Beli permen aja nggak cukup. Kirana pasti nyesel setengah mati.”"Kenapa mereka terus membahas itu, gimana kalau Kirana dengar ini," gumam Aditya."Lihat itu, suaminya. Bahkan berpenampilan menarik aja dia nggak bisa. Kerja serabutan."Ibu-ibu tersebut menatap sinis pada Aditya. Mereka tidak takut didengar oleh Aditya. Seakan terang-terangan menjelekkan Aditya dan Kirana. Aditya menunduk, berusaha seolah tidak mendengar. Tapi dari pantulan kaca jendela toko di pinggir jalan, ia bisa melihat senyum sinis dan lirikan tajam yang mengikuti langkahnya. Tangannya mengepal di saku celana, menahan emosi yang mendesak keluar. Namun ia tetap melangkah.Sesampainya di rumah kecilnya, Aditya menghela napas panja
Kirana berdiri di depan cermin, menatap bayangannya. Riasan di wajahnya sederhana. Rambutnya dikuncir rendah, pakaian yang ia kenakan bukan lagi gaun mahal, melainkan kaos polos warna krem yang dibelikan Aditya dua hari lalu. Entah kenapa, pakaian itu terasa sangat asing di tubuhnya.Ia menarik napas panjang."Mulai hari ini, aku bukan lagi Kirana Prameswari yang hidup di rumah besar dengan segala kemewahan. Aku hanya istri dari Aditya pemuda miskin dengan mimpi kecil."Ia menutup matanya sesaat. Bayangan pernikahan mereka kembali terlintas di kepala ucapan ijab kabul dengan mahar lima ratus perak, sorot mata sinis para tamu, dan wajah ibunya yang menahan malu. Kirana menggigit bibir bawahnya, menahan getir yang masih belum hilang.“Lima ratus perak…” gumamnya lirih. “Bahkan sekarang pun aku masih sulit menerimanya.”Ia teringat senyum tipis Aditya saat menyerahkan mahar itu. Senyum yang penuh rahasia tapi juga penuh keyakinan.Namun, bagi Kirana, yang tertinggal hanyalah luka di harg
Di rumah Kirana, kursi-kursi rotan berderet rapi, bunga melati menebar aroma manis, dan di sudut ruangan, tirai putih bergoyang lembut diterpa angin.Akad pernikahan Kirana Prameswari dan Aditya Mahendra disusun sesederhana mungkin, atas permintaan mempelai pria yang tak ingin berlebihan, dan disetujui dengan berat hati oleh keluarga Kirana.Kirana duduk anggun di sisi dalam. Tangannya bergetar di pangkuan, jantungnya berdetak tak karuan. Ia menatap bayangan Aditya di seberang sana, pria yang kini akan menjadi suaminya.Aditya mengenakan jas putih sederhana, rambutnya disisir rapi, dan di antara senyum gugupnya, terlihat ketulusan yang meneduhkan. Di hadapan penghulu, ia menunduk hormat, suaranya tenang namun bergetar oleh emosi.“Baik,” ujar penghulu dengan suara lembut. “Kita mulai akad nikahnya.”Wijaya Kusuma, ayah Kirana, duduk di sisi depan, wajahnya tegas tanpa ekspresi. Di sebelahnya, Sulastri menegakkan punggung, memegang tas kecilnya erat-erat, seolah menahan diri dari sesua







