Share

PASRAH DALAM KEMATIAN

Saat hidup yang nyaman mendapat ancaman. Dunia tak lagi teras aman, jika ada yang kian mengerikan harus ada keberanian. Pilihannya melawan dan bertahan atau pasrah dalam kematian

*

Teriakan Adam kian menggema, meraung, berkawin dengingan kardiogram, disertai isakan tangisnya sendiri. Rongga mulut Adam menjadi asin kala cucuran air matanya tak sengaja tertelan. Sementara itu, tubuh Adam terus terseret keluar, menyaksikan tubuh rapuh Jelita istrinya menghilang tertutup barisan perawat berseragam putih.

Begitu Adam terlempar di koridor rumah sakit, pintu kamar Jelita tertutup rapat.

"Jelita, kenapa kamu tinggalin mas sendirian. Mas ngga bisa terima ini semua, kita sudah sejauh ini dan kamu malah meninggalkan aku sendiriannnn!!

Suara Adam menggema di sepanjang koridor, memancing perhatian orang-orang di sana. Pasien, dokter, perawat, sampai para penjenguk memandangi Adam yang menangis tersedu.

Dadanya kini terasa sesak. Napas Adam terlunta-lunta, terseok usai hujan tangis itu menggaung parau di tengah kerumunan.

Saat gulungan ombak emosi di hati Adam perlahan terurai, pintu di depannya terbuka. Seorang lelaki paruh baya berjas putih yang tadi memberikan penanganan, keluar dengan wajah sendu. Tangannya terjulur, mendarat di pundak kanan Adam yang naik turun seiring napasnya mencoba kembali teratur.

"Kami sudah berusaha semampunya Pak.. Kami mohon maaf, dan turut berbela sungkawa..."

Hati Adam remuk menjadi abu.

Sesaat, laju waktu seperti membatu. Suara-suara lenyap tergabung dan menyaru.

Langkah Adam maju, melewati barisan para perawat itu hingga kemudian terantuk sisi ranjang tempat istrinya terbaring dalam geming.

Sekujur tubuhnya tertutup kain tipis berwarna putih, menyelubungkan ketiadaan nyawa dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Kata-kata Adam seperti tercabut dari kamus ingatan, meninggalkan rongga mulutnya menganga tanpa bahasa, tanpa suara.

Begitu Adam s***k kain yang menutup wajahnya, terlihatlah wajah itu untuk terakhir kalinya. Wajah yang menampilkan mata terpejam dipadu lengkung senyum yang rupawan. Senyuman itu seakan mengirimkan sandi sederhana yang segera terurai begitu saja oleh intuisi, bahwa Jelita sedang dalam perjalanan pulang.

berkawan kedamaian. Bahwa Adam, satu-satunya manusia yang ia kenal di ruangan ini, harus mengikhlaskan kepergiannya.

Selama sedetik, Adam merasa hatinya mampu merelakannya. Akan tetapi pada detik berikutnya, Adam ambruk suara, menangis tersedu di samping jasad istrinya.

Jasad yang rapuh, yang telah menyimpan segala rasa sakit jasmani dan rohani, kini tergeletak dalam kekosongan. Jasad tak berjiwa itu tak perlu lagi menampung segala beban penyakit.

*

Rintik hujan masin mewarnai pekatnya alam disertai embusan dingin udara malam itu. Sunyi tanpa menyisakan pekikan kecil jangkrik- jangkrik yang biasa menembang lirih bersahutan di antara rimbunan rerumputan hijau segar.

Hujan yang turun sejak petang dan tak juga berhenti hingga tengah malam, tak menyurutkan niat seorang perempuan baru baya untuk menggali makam. Sambil menunggu keadaan lebih kondusif, perempuan tersebut berdiam di depan gerbang TPU di jam dua belas malam. Perempuan itu duduk terpaku di mobilnya sembari menunggu hujan sedikit reda, ditemani asap nikotin yang melayang-layang hingga memenuhi ruang sempit kendaraan roda empat itu.

Sesekali, perempuan itu memandang ke arah TPU yang tampak mencekam. Ada pergulatan dalam dirinya itu sebenarnya, tentang kebenaran ataukah kekeliruan jika dirinya mengambil jasad seseorang dari dalam sana. Ia tidak akan merasa tenang saat hidupnya kini dihantui rasa bersalah. Bersalah karena tak bisa menjaga seseorang yang paling berarti di hidupnya.

Tak peduli akan hujan yang masih lebat, perempuan itu segera turun dari mobil. la merasa, hujan malam itu sebuah dukungan akan perbuatannya. Tidak akan ada yang tahu apa yang perempuan itu lakukan di pemakaman umum malam-malam.

Malam Jumat Kliwon di ambang pertengahan malam tepatnya, di saat hampir semua orang terlelap dalam buaian alam tidur, sayup-sayup terdengar langkah seseorang menjejak tanah yang becek dan licin. Percikan air seketika menciprat begitu perempuan itu mengenjak terburu-buru menuju suatu tempat. Beberapa kali berhenti, lantas melanjutkan perjalanan dengan

langkah terseok-seok.

Gelap hampir tidak terlihat wujudnya dalam kepekatan, senada dengan baju yang ia kenakan sambil Menenteng sebuah lentera tak menyala, terayun-ayun goyah mengait di jemari tangan kiri. Sesekali menoleh ke belakang, beralih ke samping kiri dan kanan, kemudian memperhatikan arah depan disertai sorot mata tajam dan lenguh napas tersendat-sendat. Bukan karena lelah, akan tetapi seperti tengah mengkhawatirkan sesuatu.

"Selesaikan sesuatu yang sudah kita mulai. Akan aku renggut sesuatu yang paling berarti di hidupmu ADAM SENTANA!" Sambil menenteng cangkul, Perempuan itu mulai memasuki area pemakaman. Petak demi petak kuburan yang dibingkai oleh marmer, dilewatinya tanpa ragu.

Embusan angin kencang menyeret derasnya hujan, membuat Perempuan itu basah kuyup meski sudah memakai jaket hitam bertudung dari bahan parasut. Desir udara dingin dari arah pohon-pohon kersen, mirip desisan dan ringisan perempuan kesakitan. Perempuan itu sempat terpaku dan memandang dahan-dahan berdaun kecil itu bergoyang. Seperti ada yang memanggilnya dari sana.

Perempuan itu mendengkus kasar, tak menghiraukan segala godaan yang mencoba mengalihkan fokusnya. Beberapa menit kemudian, Perempuan itu pun menemukan makam seseorang yang paling ia cari. Makam yang sengaja tak dibingkai dengan nisan bagus itu, mulai dihantam cangkul. Kelopak-kelopak bunga yang sudah kering, beradu dengan air keruh dan tanah yang basah.

Perempuan itu terus membuat cekungan di badan makan, berjibaku dengan air hujan yang seolah tertadah dan menciptakan kolam. la tak peduli meski air turut menggerus ke dalam tanah, ia terus menggali hingga mata cangkulnya terantuk padung. Setelah menyisir air dan tanah yang menutupi deretan kayu itu, Perempuan itu mulai membongkar liang lahat. Samar-samar, jasad kotor anaknya mulai tampak. Kain putih yang membungkus sekujur tubuhnya bertahun- tahun lalu, sudah pekat kecokelatan.

Tubuh tanpa nyawa itu tergenang air. Wajah tanpa lapisan daging dan hanya menyisakan rangka tengkorak itu diguyur air dari dinding tanah. Meski begitu, perempuan itu tak merasa takut. la justru menderita.

Perempuan itu memanggul kerangka sang anak untuk naik. Masih di bawah guyuran air hujan, Perempuan itu melipat kain berisi tulang belulang sang anak, lantas membawanya dengan dimasukan pada tas. la melirik makam anaknya yang belum dirapikan. Lagi-lagi ia tidak peduli, Perempuan itu bergegas.

Dibawanya tas berisi mayat sang anak ke dalam mobil, sebelumnya ia simpan dahulu di jok belakang. Dengan keringat bercucuran, mobil melaju ke tempat yang akan ia tuju. Perempuan itu pun tak peduli saat dalam perjalanannya itu, suasana malam lebih mencekam.

"Ini hanya permulaan, ini semua akan setimpal. Segalanya akan terbalaskan pada malam itu. Malam di mana semuanya menebus dosa-dosanya. Malam itu di peringati dengan nama Malam Penebusan," ucap perempuan paruh baya itu bermonolog.

"Malam penebusan ini terjadi di saat kelahiran anak sang pemilik dosa pertama. Dan dosanya akan menjadi warisan bagi keturunannya."

"Ini yang bisa ibu lakukan untuk keluarga kita Laras. Ibu juga tau ini adalah hal yang salah, tapi ibu tidak punya pilihan. Setelah ini semua selesai, ibu akan menguburkan kamu lagi dengan layak sayang. Sementara ini pinjamkan dulu ibu, jasadmu."

Perempuan itu menoleh ke belakang, tepatnya pada cahaya dari perkampungan yang kian meredup seiring kendaraan roda empatnya menggerus jarak. Di sisi kiri dan kanan, terhampar persawahan yang berselimut gelap karena tengah dicumbu malam. Kakinya kembali bersiap di pedal gas, tetapi pikiran dan hatinya masih terkunci pada nyaman dan hangatnya kediaman.

Tatapan perempuan itu teralih pada pekatnya kegelapan di depan. Bau kamboja seketika tercium ketika perempuan itu melumat kegelapan. Sisi kanan dan kiri dipenuhi dengan pepohonan bambu liar. Saat angin menerobos celah-celah tanaman itu, suara memekakkan akan langsung bertamu ke pendengaran.

Perempuan itu seketika terpejam saat pekikan gagak dan dehaman burung hantu hadir menemani perjalanan. Ia bisa merasakan burung-burung itu mengamatinya di suatu tempat. Perempuan itu tak punya nyali untuk sekadar mencari tahu.

Perempuan itu refleks menutup mulut begitu bau kamboja menyengat hidung. Kegelapan memudar saat perempuan itu sudah berada di depan jembatan. Empat buah obor menyala di tiap sisi jembatan.

TO BE CONTINUED

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status