"Supermarket? Nggak salah, Om?" Mata pemuda itu sampai menyipit menatap pamannya. Pengembangan bisnis memang sempat diutarakan oleh pamannya itu padanya beberapa waktu yang lalu. Tapi rasanya mengherankan jika bisnis bidang property ayahnya akan merambah ke pertokoan seperti yang dikemukaan oleh lelaki itu barusan. Rendy baru saja kembali ke kantor dan langsung mengajak Aaron pulang ke rumahnya. Usai memerintahkan beberapa pembantunya untuk menghidangkan makanan spesial untuk keponakannya, lelaki yang sudah mengganti setelan jasnya dengan pakaian casual itu mulai berbicara dengan hati-hati tentang rencananya untuk menanamkan modal ke sebuah bisnis supermarket yang baru saja dikunjungi siang harinya. "Sebenarnya ini bukan keinginan Om, Ron. Dulu, semasa hidup, mamamu pernah punya keinginan untuk memiliki bisnis supermarket. Hal itu pernah diutarakan pada papamu dan aku. Sayangnya, sebelum sempat merealisasikan keinginan mamamu, mereka sudah pergi duluan." Tentu saja Rendy berkata boh
Bu Dharma menyambut kedatangan suaminya malam itu dengan secangkir teh hangat seperti biasa. "Apa anak itu pulang?" tanya pak Dharma usai istrinya meletakkan minumannya di atas meja. Sementara dirinya mulai melepas jaket dan sepatu yang rasanya sudah sangat lengket di badan lelaki itu tua. "Iya, Pak. Tadi siang dia datang. Katanya habis ketemu sama teman yang menawarkan pekerjaan untuknya.""Syukurlah, kalau akhirnya dia bekerja lagi. Apa jam segini mereka sudah tidur?" Pak Dharma melirik arloji di tangannya sekilas. Sebenarnya dia tak begitu yakin bahwa anak lelaki bungsunya itu pulang ke rumah bersama istrinya. Tapi rasa penasaran memaksanya untuk tetap bertanya."Mereka siapa?" Bu Dharma pura-pura tak paham dengan pertanyaan suaminya. Wanita paruh baya itu pun kemudian menyibukkan diri dengan majalah lama yang dia ambil dari laci bawah meja. "Jangan bilang dia pulang ke sini sendirian tanpa istrinya, Bu," ujar pak Dharma dengan nada tak suka. Lalu terlihat bu Dharma menatap suam
Teringat dengan perkataan ayahnya, rasanya tak mungkin Genta kembali lagi ke rumah orangtuanya. Jiwa kelaki-lakiannya tiba-tiba tertantang untuk menghadapi apa yang ada di depannya saat ini dan membuktikan pada mereka bahwa dia bisa berubah menjadi lebih baik. Perlahan Genta melangkah memasuki halaman rumah diiringi sorot tajam si satpam Joni yang terang-terangan menunjukkan tatap tidak suka padanya. Sesampainya di dalam, masih sempat dilihatnya Aaron memasuki kamarnya di lantai atas. Sementara dia sendiri pun melangkah menuju kamar Olivia. Diketuknya pintu itu tiga kali untuk memastikan bahwa istrinya masih terjaga di dalam. Namun rupanya tak ada suara apapun yang didengarnya. Hingga kemudian saat dia mengangkat tangannya untuk kembali mengetuk, Genta dikejutkan dengan suara dari arah belakangnya."Mas Genta!" Lalu pelukan erat sang istri yang ternyata baru saja naik ke lantai atas mendarat di tubuhnya yang masih berbalut jaket itu dengan sempurna. "Aku kira kamu nggak akan pula
Rendy memenuhi janjinya. Siang itu, Aaron pun resmi dilantik untuk menduduki jabatan tertinggi perusahaan milik mendiang papanya. Mungkin peristiwa itu akan menjadi hal yang paling mengecewakan bagi Rendy jika saja Aaron tak menyetujui keinginannya untuk bergabung menjadi pemilik bisnis supermarket yang telah diincarnya. Dengan kembalinya perusahaan yang selama ini dipimpinnya ke tangan anak pemilik perusahaan yang sesungguhnya, praktis dia pun tidak lagi bisa leluasa seperti sebelumnya untuk menguasai setiap jengkal perusahaan. Kini, meski telah kehilangan kekuasaan penuh atas perusahaan properti milik mendiang kakaknya tersebut, setidaknya dia akan tetap memiliki kuasa atas calon anak perusahaan yang akan segera direalisasikannya itu. "Masalah supermarket itu, silahkan Om urus. Cukup kasih tahu aku laporannya saja nanti," ucap Aaron siang itu usai Rendy mengajaknya berbincang di ruang direktur yang kini telah berpindah ke tangannya. Rendy tentu senang. Menurutnya, keponakannya it
"Kamu kemana aja sih, Sayang? Habis ketemu klien tadi kok nggak balik ke kantor?" Suara lembut kekasihnya membuat pria yang sedang bersantai merebahkan diri di bangku pinggir kolam renang rumahnya sore itu mengembangkan senyum."Sebenarnya tadi aku mau balik ke kantor. Tapi rasanya malas aja karena ada anak itu di sana," ujar lelaki yang sedang bertelanjang dada itu dengan nada sedikit kesal. Kemudian terdengar suara desahan panjang dari seberang. "Kamu jadi nggak tahu kan kalau Faisal mengundurkan diri hari ini?" "Faisal? Kamu serius, Sheil?" Mata Rendy membulat. Sebenarnya berita pengunduran diri lelaki tua itu tak akan membuatnya terkejut jika saja tak terjadi di hari pelantikan keponakannya menjadi direkturm"Mana pernah sih aku bercanda? Dia pamitan setelah keponakanmu itu memanggilnya ke ruangannya." Terdengar nada lebih kesal dari wanita di seberang telepon. Lalu untuk beberapa saat lamanya tak terdengar suara apapun lagi. Sepertinya baik Rendy maupun Sheila sedang larut da
Sierra Cassandra Hadinata adalah teman dari kecil Aaron. Ibunya Sierra adalah sahabat dekat ibunda Aaron sejak di bangku sekolah. Saat kemudian keduanya menikah, hubungan pertemanan itu berlanjut ke ranah bisnis. Kedua wanita itu tak ubahnya seperti keluarga. Sampai sampai, Rendy pun ikut mengenal baik keluarga Sierra. Sementara itu, kedekatan Sierra dengan Aaron tak sebatas hanya karena pertemanan kedua orangtua mereka saja. Keduanya bahkan bersekolah di tempat yang sama hingga akhirnya lulus SMA. Sierra dan Aaron juga sempat sama-sama memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Jerman. Aaron kembali ke Indonesia saat mendapat kabar meninggalnya kedua orang tuanya. Pemuda itu lalu berhenti kuliah dan lebih memilih menemani adiknya pindah ke kampung halaman sang ayah. Setahun setelah itu, Aaron baru melanjutkan kuliahnya di sebuah universitas swasta di kota kecil itu sambil mengurus kantor cabang perusahaan milik ayahnya yang ada di sana."Ini kan hari pelantikan kamu. Tapi tampangmu k
Sulit untuk bisa percaya, bahwa pamannya, satu-satunya keluarga yang masih dia punya, tega mengkhianati dengan cara yang begitu licik. Rasanya begitu menyakitkan dan dia benar-benar tidak tahu harus percaya pada siapa sekarang. Aaron telah memarkirkan mobil di depan minimarket. Dia berniat untuk menyelidiki lebih jauh mengenai pamannya untuk bisa menemukan lebih banyak petunjuk. Namun, ketika dia sampai di sana, dia hanya membiarkan dirinya duduk saja di dalam mobil. Menatap ke gedung supermarket dan masih berpikir. Kenapa pamannya begitu tega? Apa salah dia dan adiknya?Sudah selama hampir sepuluh menit, pemuda itu hanya duduk terdiam di kursi pengemudi dengan tangan menggenggam setir. Seolah dengan memelototi pintu masuk supermarket itu, dia akan menemukan jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaannya. Namun tentu saja, itu tak memberinya apapun.Dia hanya tidak yakin, apa yang akan dilakukannya setelah dia masuk nanti. Bagaimana caranya mencari petunjuk itu? Kebingungan itu membuat
Dari begitu banyak tempat di Jakarta, kenapa dia harus bertemu dengan pria itu lagi sekarang. Itu membuat Alea mulai berpikir tentang nasib yang tidak berada di pihaknya. Bahkan mungkin Tuhan sedang membencinya karena perceraian yang pernah dilakukannya. Alea tak lagi bisa mengerti apakah saat ini dia sedang marah atau malu? Baru beberapa waktu berada di Jakarta, namun ketidakberuntungan terus saja mengikutinya. Dari mulai banyaknya lamaran di lembaga-lembaga pendidikan yang ditolak, lalu dirinya harus terima saat sahabatnya menawari bekerja di tempat dimana tatapan manajernya sering sangat kurang ajar padanya. Dan sekarang, kenapa dia harus juga dipertemukan dengan lelaki yang hanya membuka kembali luka lamanya?"Kamu kok cemberut gitu sih, Al. Kenapa?" Dena mencubit sisi perut Alea, membuat gadis itu memekik kesakitan dan balas mencubit lengan sahabatnya yang sekarang nyengir seolah tidak berdosa. Alea mengangkat bahunya, berharap itu cukup untuk menjawab pertanyaan Dena. Lagi pul