Rendy memenuhi janjinya. Siang itu, Aaron pun resmi dilantik untuk menduduki jabatan tertinggi perusahaan milik mendiang papanya. Mungkin peristiwa itu akan menjadi hal yang paling mengecewakan bagi Rendy jika saja Aaron tak menyetujui keinginannya untuk bergabung menjadi pemilik bisnis supermarket yang telah diincarnya. Dengan kembalinya perusahaan yang selama ini dipimpinnya ke tangan anak pemilik perusahaan yang sesungguhnya, praktis dia pun tidak lagi bisa leluasa seperti sebelumnya untuk menguasai setiap jengkal perusahaan. Kini, meski telah kehilangan kekuasaan penuh atas perusahaan properti milik mendiang kakaknya tersebut, setidaknya dia akan tetap memiliki kuasa atas calon anak perusahaan yang akan segera direalisasikannya itu. "Masalah supermarket itu, silahkan Om urus. Cukup kasih tahu aku laporannya saja nanti," ucap Aaron siang itu usai Rendy mengajaknya berbincang di ruang direktur yang kini telah berpindah ke tangannya. Rendy tentu senang. Menurutnya, keponakannya it
"Kamu kemana aja sih, Sayang? Habis ketemu klien tadi kok nggak balik ke kantor?" Suara lembut kekasihnya membuat pria yang sedang bersantai merebahkan diri di bangku pinggir kolam renang rumahnya sore itu mengembangkan senyum."Sebenarnya tadi aku mau balik ke kantor. Tapi rasanya malas aja karena ada anak itu di sana," ujar lelaki yang sedang bertelanjang dada itu dengan nada sedikit kesal. Kemudian terdengar suara desahan panjang dari seberang. "Kamu jadi nggak tahu kan kalau Faisal mengundurkan diri hari ini?" "Faisal? Kamu serius, Sheil?" Mata Rendy membulat. Sebenarnya berita pengunduran diri lelaki tua itu tak akan membuatnya terkejut jika saja tak terjadi di hari pelantikan keponakannya menjadi direkturm"Mana pernah sih aku bercanda? Dia pamitan setelah keponakanmu itu memanggilnya ke ruangannya." Terdengar nada lebih kesal dari wanita di seberang telepon. Lalu untuk beberapa saat lamanya tak terdengar suara apapun lagi. Sepertinya baik Rendy maupun Sheila sedang larut da
Sierra Cassandra Hadinata adalah teman dari kecil Aaron. Ibunya Sierra adalah sahabat dekat ibunda Aaron sejak di bangku sekolah. Saat kemudian keduanya menikah, hubungan pertemanan itu berlanjut ke ranah bisnis. Kedua wanita itu tak ubahnya seperti keluarga. Sampai sampai, Rendy pun ikut mengenal baik keluarga Sierra. Sementara itu, kedekatan Sierra dengan Aaron tak sebatas hanya karena pertemanan kedua orangtua mereka saja. Keduanya bahkan bersekolah di tempat yang sama hingga akhirnya lulus SMA. Sierra dan Aaron juga sempat sama-sama memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Jerman. Aaron kembali ke Indonesia saat mendapat kabar meninggalnya kedua orang tuanya. Pemuda itu lalu berhenti kuliah dan lebih memilih menemani adiknya pindah ke kampung halaman sang ayah. Setahun setelah itu, Aaron baru melanjutkan kuliahnya di sebuah universitas swasta di kota kecil itu sambil mengurus kantor cabang perusahaan milik ayahnya yang ada di sana."Ini kan hari pelantikan kamu. Tapi tampangmu k
Sulit untuk bisa percaya, bahwa pamannya, satu-satunya keluarga yang masih dia punya, tega mengkhianati dengan cara yang begitu licik. Rasanya begitu menyakitkan dan dia benar-benar tidak tahu harus percaya pada siapa sekarang. Aaron telah memarkirkan mobil di depan minimarket. Dia berniat untuk menyelidiki lebih jauh mengenai pamannya untuk bisa menemukan lebih banyak petunjuk. Namun, ketika dia sampai di sana, dia hanya membiarkan dirinya duduk saja di dalam mobil. Menatap ke gedung supermarket dan masih berpikir. Kenapa pamannya begitu tega? Apa salah dia dan adiknya?Sudah selama hampir sepuluh menit, pemuda itu hanya duduk terdiam di kursi pengemudi dengan tangan menggenggam setir. Seolah dengan memelototi pintu masuk supermarket itu, dia akan menemukan jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaannya. Namun tentu saja, itu tak memberinya apapun.Dia hanya tidak yakin, apa yang akan dilakukannya setelah dia masuk nanti. Bagaimana caranya mencari petunjuk itu? Kebingungan itu membuat
Dari begitu banyak tempat di Jakarta, kenapa dia harus bertemu dengan pria itu lagi sekarang. Itu membuat Alea mulai berpikir tentang nasib yang tidak berada di pihaknya. Bahkan mungkin Tuhan sedang membencinya karena perceraian yang pernah dilakukannya. Alea tak lagi bisa mengerti apakah saat ini dia sedang marah atau malu? Baru beberapa waktu berada di Jakarta, namun ketidakberuntungan terus saja mengikutinya. Dari mulai banyaknya lamaran di lembaga-lembaga pendidikan yang ditolak, lalu dirinya harus terima saat sahabatnya menawari bekerja di tempat dimana tatapan manajernya sering sangat kurang ajar padanya. Dan sekarang, kenapa dia harus juga dipertemukan dengan lelaki yang hanya membuka kembali luka lamanya?"Kamu kok cemberut gitu sih, Al. Kenapa?" Dena mencubit sisi perut Alea, membuat gadis itu memekik kesakitan dan balas mencubit lengan sahabatnya yang sekarang nyengir seolah tidak berdosa. Alea mengangkat bahunya, berharap itu cukup untuk menjawab pertanyaan Dena. Lagi pul
Pemuda berparas rupawan itu, baru saja masuk ke dalam apartemennya. Ruangan itu terlihat sama persis seperti saat dia meninggalkannya. Dia berjalan melalui ruang tamu tanpa repot-repot menyalakan lampu utama, sehingga ruangan itu kini hanya diterangi oleh cahaya redup yang menggambarkan bayang-bayang benda di dalamnya.Keadaan itu rupanya sama seperti suasana hatinya saat ini yang muram. Alih-alih pergi ke kamar dan tidur, pemuda itu malah menghempaskan tubuh ke sofa sembari memijat pelipisnya. Kepalanya terasa sangat berat. Tubuhnya mungkin tidak terlalu lelah, tapi pikirannya serasa bekerja tanpa henti. Kepergiannya ke Jakarta yang sejatinya untuk menghindari Genta, suami adiknya, sekaligus mengambil alih perusahaan setelah sekian lama dipegang oleh sang paman, ternyata justru memberinya masalah tak disangka-sangka.Tak hanya itu, dia pun harus segera mencarikan Olivia tempat tinggal agar adik dan suaminya itu tak terlalu lama timggal di apartemennya nanti. Semua masalah yang membua
Sejak meninggalkan ruangan keponakannya, suasana hati Rendy jadi berubah sangat buruk. Rencana yang sebelumnya dia kira akan berjalan dengan sempurna, tiba-tiba kini sepertinya akan menjadi berantakan. Dia sama sekali tak pernah mengantisipasi jika keponakannya itu akan ikut campur dengan urusan supermarket. Terlebih lagi, hal itu dilakukannya begitu mendadak. Padahal sebelumnya, keponakannya itu terlihat tak tertarik saat dirinya mencetuskan ide pertama kali tentang pembelian bisnis itu. Rendy mulai berpikir jika anak itu memiliki tujuan lain.Rendy bukan jenis orang yang percaya dengan sesuatu yang disebut 'kebetulan'. Itulah kenapa dia juga tidak percaya dengan alasan Aaron yang tiba-tiba mengatasnamakan mendiang mamanya untuk mengambil alih pengelolaan supermarket yang baru saja dibelinya.Anak itu pasti telah mengetahui sesuatu tentang dirinya dan dia harus lebih berhati-hati mulai sekarang. Jika tidak, semua rencana yang telah disusun selama bertahun-tahun bisa hancur berantaka
Rama terlihat duduk di salah satu bangku sebuah restoran yang sebelumnya telah disepakati untuk bertemu dengan Rendy. Pemuda itu tengah menyesap secangkir espresso yang telah dipesannya beberapa menit yang lalu. Beberapa detik kemudian dia mengangkat tangannya, melirik arloji yang melingkar di pergelangan kirinya. Sudah lima belas menit berlalu, tapi pria yang meminta untuk bertemu dengannya itu tak kunjung menampakkan diri.Padahal sebelumnya, Rendy sedikit memaksa saat ingin menemuinya pada jam makan siang. Jika bukan karena prospek uang yang menjanjikan, Rama pasti sudah pergi dari tempat itu sejak tadi.'Lima menit lagi, jika tak muncul juga, aku tinggal saja,' batinnya. Dua kakinya mulai bergerak-gerak tak tenang di bawah meja. Kepalanya sesekali menoleh ke kanan dan kiri memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Entah sudah berapa kali dia pandangi arloji di tangan kirinya itu sambil berdecak. "Sudah lama nunggu ya, Ram?" tanya suara bariton dari balik punggung Rama. Rama yan