Share

PART 4

Dan benar saja, beberapa menit kemudian staf Tata Usaha yang naik ke lantai atas memberitahu bahwa ada seorang wali murid yang ingin menemuinya. Alea pun bergegas ke meja piket, menitipkan tugas untuk kelas berikutnya.

.

.

.

Di ruang tamu, ruang yang biasa digunakan para guru menemui para orang tua atau wali murid untuk membicarakan masalah yang agak privasi, pemuda tadi telah duduk menunggunya.

Dengan sedikit canggung Alea menjabat tangan, bersikap seolah dia belum pernah bertemu dengan pemuda itu sebelumnya.

Pemuda itu pun menyambut uluran tangan Alea sembari bangkit dari duduknya.

Beberapa detik di ruangan itu, barulah Alea memperhatikan dengan seksama sosok tamunya. Seorang pemuda yang ditaksirnya berusia sekitar 25 tahun, atau mungkin kurang. Dengan postur tinggi tegap, bahkan sepertinya lebih tinggi dari suaminya. Penampilannya yang kekinian dengan wajah tak kalah dengan artis-artis jaman sekarang. Dari garis wajahnya memang sangat mirip dengan Olivia. Mungkin memang benar pemuda di depannya adalah kakak dari anak itu, pikir Alea.

"Apa yang bisa saya bantu?" tanya Alea kemudian dengan nada formal. Tentu saja dia harus menjaga imej nya sebagai seorang pendidik yang berwibawa.

"Sebelumnya maaf jika kedatangan saya mengganggu Anda, Bu Alea," ujar pemuda itu.

Untuk ukuran penampilannya yang terlalu santai, blue jeans dipadu dengan t-shirt warna biru laut dan sneaker warna senada, datang ke tempat formal seperti ini, Alea pikir gaya bicara pemuda itu lumayan sopan. Sejenak Alea bahkan merasa telah salah menilai kelakuannya saat bertemu pertama kali dengan dirinya tadi di tangga.

"Saya datang ingin membahas soal adik saya. Oya, perkenalkan nama saya Aaron."

Alea hanya mengangguk saat pemuda itu memperkenalkan diri.

"Sebenarnya saya bukan wali kelas adik anda, tapi silahkan bicara saja. Saya sudah siap mendengarkan," ucap Alea berusaha terlihat tegas. Sejujurnya Alea sedikit terganggu dengan cara berbicara pemuda itu yang sopan. Mungkin akan lebih mudah bagi Alea untuk bersikap masa bodoh jika Aaron bersikap kasar saja. Itu akan membuat Alea punya alasan untuk tak berurusan dengannya.

"Adik saya hamil, Bu." Aaron menatap tepat ke manik mata Alea saat mengatakan kalimat itu. Sejenak membuat Alea tak percaya bahwa pemuda itu bisa berkata sedemikian lugasnya. "Dan ... maafkan saya, karena ... suami Ibu yang seharusnya bertanggung jawab untuk itu," lanjut pemuda itu.

Sebenarnya Alea sudah bersiap dengan kemungkinan terburuk dari pertemuannya dengan kakak dari Olivia itu. Namun tetap saja, kalimat frontal barusan tak ayal membuat jantung Alea nyaris berhenti berdetak.

"Kenapa Anda begitu yakin kalau suami saya yang harus bertanggung jawab untuk kehamilan adik Anda?" Ego Alea menyembul tiba-tiba. Bukan untuk membela suaminya, namun lebih pada keinginannya untuk mempertahankan harga diri, mempertahankan rumah tangganya, jika bisa.

"Mungkin ibu belum tahu, kalau sebelum menikah dengan ibu, adik saya memiliki hubungan dengan suami ibu," ujar Aaron datar.

"Tapi itu bukan berarti bayi yang dikandung adik anda adalah anak dari suami saya kan?" ucap Alea setengah berbisik. Sepertinya dia masih belum ingin seisi sekolah mengetahui permasalaham yang sedang menimpanya.

"Saya sangat mengenal adik saya. Bertahun-tahun kami hidup bersama. Saya hafal betul sifat-sifatnya. Saya bisa pastikan dia bukan tipe anak yang suka berkata bohong." Kalimat itu menampar keras ego Alea. Namun tetap saja wanita itu masih ingin mempertahankan diri.

"Kalau Anda merasa mengenal adik Anda, kenapa sampai terjadi hal seperti ini? Kenapa Anda tidak bisa mendidiknya untuk bergaul dengan lebih baik?" Nada bicaranya mulai bersungut hingga membuat Aaron nampak menggelengkan kepalanya dengan senyum aneh. Sepertinya dia mulai putus asa dengan kekerasan hati Alea.

"Oke, untuk hal itu saya akui saya salah. Tapi jujur saja saya tidak bisa mengawasinya 24 jam penuh."

Sebenarnya bukan urusan Alea apakah pemuda di depannya ini bekerja atau tidak. Namun yang menggelitik, setahu Alea anak didiknya yang bernama Olivia itu adalah anak dari seorang pengusaha kaya raya di daerah itu. Itulah kenapa Olivia bisa masuk dengan mudahnya ke sekolah tempatnya bekerja, padahal laporan pendidikan Olivia untuk pelajaran selain bahasa Inggris sungguh sangat memprihatinkan di sekolahnya yang lama. Bahkan konon kabarnya, Olivia dikeluarkan dari sekolah sebelumnya karena beberapa kali ribut dengan teman-temannya.

"Lalu sekarang apa yang kalian inginkan dari saya?" Pertanyaan yang seharusnya tidak ditanyakan. Tapi entah kenapa meluncur begitu saja dari mulut Alea.

"Sepertinya sudah sangat jelas bahwa kami hanya ingin pertanggung jawaban dari suami ibu."

"Bagi saya ini bukan masalah sepele. Lalu kenapa bukan orang tua kalian yang datang untuk menemui saya? Kenapa bukan mereka yang datang ke sekolah untuk menyelesaikan masalah ini?" tantang Alea setelah beberapa saat terdiam.

"Orangtua kami sudah meninggal. Dan saat ini saya lah yang bertanggung jawab atas adik saya, Bu."

Terluka, tentu saja, mengetahui lebih jelas bahwa suaminya memang benar telah menghamili wanita lain. Namun perbincangan kali ini justru lebih menyakiti Alea dari pada saat dirinya melihat Genta berpelukan dengan Olivia di hari sebelumnya.

Kalimat demi kalimat yang disampaikan pemuda di hadapannya ini seolah ingin mengatakan padanya bahwa dirinya sudah tak mungkin lagi mempertahankan bahtera rumah tangga seumur jagung itu dengan Genta. Dengan kenyataan yang ada, tentu saja suaminya harus segera menceraikannya demi untuk bisa segera menikahi wanita yang dia hamili itu. Kecuali jika Lea mau dan ikhlas dimadu.

"Ingat ya, jika tuduhan Anda dan adik anda tidak terbukti, Anda bisa dituntut. Jadi tolong jangan sembarangan menuduh." Ingin rasanya Alea menyudahi pertemuan itu, namun sepertinya mulutnya masih belum bisa diajak kompromi dengan hatinya. Dia masih tetap saja berusaha mempertahankan harga diri.

Lalu karena kemudian dilihatnya pemuda itu hanya memandanginya tanpa bicara, Alea pun segera bangkit.

"Saya kira pembicaraan kita sudah selesai. Saya harus kembali mengajar," ujarnya ketus.

Namun pemuda bernama Aaron itu tak segera beranjak dari tempat duduknya. Dia justru mendongakkan kepala menatap Alea tajam seperti yang dilakukannya saat mencekal pergelangan tangan wanita itu di tangga tadi.

"Baik. Saya tau ini tidak mudah untuk Anda, Bu. Tapi saya yakin Anda cukup bijak untuk bisa melihat kebenarannya. Saya permisi."

Kali ini Aaron bangkit untuk kemudian meninggalkan ruangan tanpa melihat ke arah Alea lagi.

Andai saja tidak sedang berada di tempatnya bekerja, mungkin saat ini Alea sudah menangis dan berteriak sejadinya untuk meluapkan segala kekesalan dan kekecewaannya. Sesuatu yang dari kemarin masih ingin dianggapnya sebagai sebuah mimpi buruk belaka itu, ternyata telah menjadi kenyataan pahit yang sebentar lagi akan segera mengantarkannya pada gerbang kehancuran rumah tangganya.

'Kuat Alea, kamu harus kuat. Kamu adalah wanita kuat,' bisik suara di dalam dirinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status