Bapak mengangguk, membuatku sontak menutup mulut, tak menyangka tetangga sendiri mau menjerumuskan ibu, yang jelas-jelas melakukannya karena membelaku.
"Untung saja, Pak Tohir memberi kesaksian lain. Dia memperlihatkan rekaman video dari hp cucunya." Aku memperbaiki posisi duduk agar lebih fokus pada bapak. Sepertinya ceritanya cukup menegangkan. "Si Udin merekam ibunya Tama pas marah-marah dan menghinamu. Semua tergambar jelas bagaimana kronologinya. Hingga ibumu menampar ibunya Tama." Aku mengangguk-angguk. "Atas bukti itu, beberapa warga menyarankan untuk melapor balik, karena Ibunya Tama masih menolak untuk damai. Sebenarnya bapak nggak mau berurusan dengan polisi, Nin, tapi bapak juga nggak rela kalau keluarga bapak disakiti." Bapak menghela napas. "Ibumu memang bersalah di mata hukum, karena melalukan tindakan kekerasan. Semoga saja dengan bukti bahwa kamulah yang difitnah, bisa mengurangi tuduhan pada ibumu." Mendengar penuturan bapak, mau tak mau pikiranku langsung tertuju pada beberapa kasus yang sering berseliweran di sosial media. Tentang hukum yang terkesan membingungkan. Di mana status korban, bisa berubah menjadi tersangka. Begitu juga sebaliknya. "Anin minta maaf, Pak. Gara-gara Anin, bapak harus berurusan dengan polisi." Bapak mengelus kepalaku. "Anggap saja ini sebagai pembelajaran. Kamu tak perlu terlalu memikirkannya. Sekarang, kesehatan ibumu yang lebih penting." "Pak Firman! Tolong cabut laporan kalian. Anggap saja tak pernah terjadi apa-apa. Saya berjanji akan secepatnya menyuruh Tama mengurus perceraiannya dengan Anin!" Tak hanya aku dan bapak, beberapa orang yang ada di tempat ini langsung menoleh ke asal suara. Ibu Hani tergopoh-gopoh menghampiri kami. Melihatnya aku langsung berdiri, jika saja tidak ditahan bapak, aku sudah melakukan hal yang lebih dari yang ibu lakukan padanya. Seperti tak punya malu, Mas Tama dan Raya juga ikut datang. Apa mereka tidak capek? "Pak, tolong cabut laporannya," ucapnya. Padahal napasnya masih tersengal-sengal. "Anin, kita saling memaafkan ya, Nin." Dia tetap berusaha. Bukannya aku salut dengan usahanya yang tak ingin menderita itu. Sikapnya semakin membuatku muak. Manusia-manusia tak tahu malu. "Berkas laporan sudah saya serahkan ke kantor polisi, Bu. Jadi, saya tidak bisa menariknya." "Tolong lah, Pak. Apa Bapak lupa dengan hubungan kita selama ini? Semua ini salah paham saja, Pak." "Anin, Sayang. Maafkan mama ya, Nak. Mama terbawa emosi. Mama sakit hati pas tahu surat dari dokter itu. Mama nggak terima, wong buktinya Raya hamil anaknya Tama. Kalau kamu nggak mau dimadu. Ya udah, nggak pa-pa. Nggak usah fitnah Tama mandul." "Kalian tinggal tes lagi aja jika ragu dengan hasil tesnya. Nggak usah mencari kesalahan orang lain untuk menutupi kesalahan sendiri," sahutku ketus. "Anin, tolong mama, Nak ...." Mas Tama dan Raya menjerit ketika tubuh Bu Hani tiba-tiba sempoyongan. Keduanya terlihat panik. Beberapa perawat jaga berdatangan untuk memberi pertolongan. Sementara orang-orang hanya memperhatikan dari tempatnya masing-masing. Mas Tama dan Raya mengikuti suster yang membawa Bu Hani. Dasar tukang drama! Plin-plan! Menyebalkan! Gerutuku dalam hati. Siang setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan dan dinyatakan hasilnya baik, ibu akhirnya dipindah ke ruang rawat inap. Wanita terkasihku itu sudah sadar walaupun kondisinya masih lemas. "Terima kasih," ucap ibu dengan suara lirih ketika aku selesai menyuapinya. "Terima kasih untuk apa sih, Bu?" Aku meletakkan nampan di meja. Mengalihkan wajah dari tatapannya. Sebisa mungkin aku menahan agar air mata ini tidak menetes. "Aku yang minta maaf, gara-gara aku, ibu jadi seperti ini." Suaraku bergetar. "Semua sudah takdir, Nin. Kamu nggak usah sedih. Mungkin, ini juga merupakan teguran buat ibu. Agar lebih hati-hati jika bertindak." Aku tak mampu lagi berkata. Sungguh, melihat senyum ibu, semakin membuatku terluka dan merasa bersalah. Apa yang terjadi dengannya, jika tahu ada yang melaporkannya ke kantor polisi? "Kamu kalau mau apa-apa, pergi aja. Ibu mau tidur lagi. Rasanya kok ngantuk banget." Belum juga aku menjawab ucapan ibu. Terdengar keributan di luar. "Ada apa ya, Nin?" "Nggak tahu, Bu." Ibu menatapku sekilas, kemudian kembali menutup matanya. Sebenarnya aku juga penasaran dengan keributan yang terjadi. Rasa penasaran membuatku menoleh, betapa terkejutnya ketika mendapati Bariq sedang berbicara dengan polisi dan perawat. Setelah memastikan ibu masih terpejam, perlahan aku melangkah keluar. "Ada apa ini, Riq?" Bariq menoleh. Begitu juga dengan kedua petugas kepolisian tersebut. "Mereka ingin bertemu Ibu." "Untuk apa? Tentang laporan yang ajukan Bapak?" "Bukan. Tentang laporan Bu Hani." Tanpa sadar aku beristighfar. "Ibu saya benar-benar sakit, Pak. Jadi, saya memohon pada Bapak berdua untuk menunda menemuinya. Ibu saya baru saja keluar dari ICU." "Kami hanya ingin memastikan apakah terduga tersangka benar-benar sakit." "Terduga tersangka? Hanya karena seorang ibu membela anaknya dijadikan tersangka?" "Apapun alasannya, jika ada yang melaporkan tindakan kekerasan, maka akan kami tidak lanjuti. Sepertinya terduga tersangka—" "Bisa nggak, Pak? Bapak sebut nama ibuku saja, nggak usah pakai kata seperti yang Bapak ucapkan tadi?" "Dalam kasus ini, memang itu sebutan untuk ibu Anda." Mataku memejam. "Bapak bisa bertanya pada dokternya langsung kan?" "Iya, Mbak, dan sepertinya memang Ibu Anda benar-benar sakit." "Bapak pikir kami mengarang semua ini? Ibu saya kemarin masuk ICU, Bapak pikir itu hanya sandiwara? Keterlaluan. Kami ini bukan keluarga pejabat, Pak. Yang ibu saya lakukan itu sebagai bentuk membela diri." "Kami hanya menjalankan tugas, Mbak. Ternyata memang terdu—, eh ibunya memang sedang sakit." Setelah berucap kedua petugas itu pun pergi. Menyisakan tatapan penuh tanya pada semua yang ada di tempat kami. Kasak-kusuk pun mulai terdengar. "Maaf, Sus. Kami sudah membuat keributan." "Sebaiknya kalau ada masalah, bicarakan baik-baik, Mas, Mbak. Ini rumah sakit," ketus perawat tersebut sambil melangkah menjauh. "Udah." Bariq mencegahku saat hendak membalas ucapan perawat tersebut. "Aku tahu kamu lelah, Mbak, tapi jangan sampai terbawa emosi. Takutnya semakin memperkeruh keadaan." Aku mengangguk. Setelah itu kami melangkah masuk menuju ranjang ibu. Wanita yang telah melahirkan kami berdua itu sudah terlelap. Barik duduk di kursi plastik di sisi kaki ibu. "Kamu kalau mau kerja, berangkat aja, Riq," ucapku dengan suara pelan. "Hari ini aku masih cuti," sahutnya. Tangannya menyentuh kaki ibu. Kemudian hening sesaat. "Oh, kalau gitu aku pulang ya. Mau mandi. Gerah." "Iya," sahutnya. Kemudian dia mengambil kunci motor dan diulurkan padaku. "Mau nitip dibawain apa?" "Nggak usah, Mbak." "Ya udah, aku pulang dulu ya." "Iya, ati-ati." Aku pun bergegas keluar. Langkahku sangat cepat dan lebar. Aku ingin mempercepat langkah, agar segera sampai di rumah dan bisa kembali lagi ke sini. Namun, aku harus menunda rencana setelah bertemu dengan Mas Tama. "Aku ingin bicara. Ini tentang Ibuku dan Ibumu." "Sepertinya nggak ada lagi yang harus dibicarakan." "Ada." Mas Tama menghela napas. Setelah itu dia meraih pergelangan tanganku kemudian melangkah.Bapak mengangguk, membuatku sontak menutup mulut, tak menyangka tetangga sendiri mau menjerumuskan ibu, yang jelas-jelas melakukannya karena membelaku. "Untung saja, Pak Tohir memberi kesaksian lain. Dia memperlihatkan rekaman video dari hp cucunya."Aku memperbaiki posisi duduk agar lebih fokus pada bapak. Sepertinya ceritanya cukup menegangkan."Si Udin merekam ibunya Tama pas marah-marah dan menghinamu. Semua tergambar jelas bagaimana kronologinya. Hingga ibumu menampar ibunya Tama."Aku mengangguk-angguk. "Atas bukti itu, beberapa warga menyarankan untuk melapor balik, karena Ibunya Tama masih menolak untuk damai. Sebenarnya bapak nggak mau berurusan dengan polisi, Nin, tapi bapak juga nggak rela kalau keluarga bapak disakiti." Bapak menghela napas."Ibumu memang bersalah di mata hukum, karena melalukan tindakan kekerasan. Semoga saja dengan bukti bahwa kamulah yang difitnah, bisa mengurangi tuduhan pada ibumu."Mendengar penuturan bapak, mau tak mau pikiranku langsung tertuju pa
"Tapi bukan berarti itu kebenarannya, Ka." Aku mencoba bersikap biasa saja."Ya mana kami tahu? Ya nggak Bu-Ibu? Kami itu nggak peduli dengan urusan orang lain, Nin, tapi kami beruntung karena sudah mendapat bocoran, jadi bisa mawas diri dan hati-hati. Jangan sampai suami kita kepincut janda lincah," sindirnya.Aku menatapnya. Ada apa sebenarnya dengannya. Sejak dulu Ika memang tidak menyukaiku. Entah mengapa? Dia selalu saja mengusikku, selalu mencari-cari keburukanku, setelah itu dia akan menyebarkan pada teman-temanku yang lainnya. Aneh!"Benar katamu, Ka. Kalian harus berhati-hati. Jaga baik-baik suami kalian, tapi sepertinya sekarang ini janda lincah yang kamu sebut itu sudah banyak berkurang. Kebanyakan janda sekarang lebih mandiri. Yang lebih bahaya lagi ada loh, Ka. Istrinya orang, karena bagi lelaki, katanya istri orang itu lebih menantang."Aku langsung beranjak setelah mengucapkannya. Rasanya tak ada gunanya bicara dengannya. Sebelas dua belas dengan ibu Hani."Janda ya tet
"Itu adalah bukti kalau anakmu tukang selingkuh!" Ibu Hani terlihat sangat percaya diri. Melihat tak ada reaksi dari bapak, dia terlihat semakin puas.Mas Tama mengambil salah satu foto, seketika rahangnya mengeras. Melihatnya seperti itu dahiku mengernyit heran. Apa dia percaya dengan apa yang ada dalam foto tersebut? Sementara bapak masih bersikap biasa saja."Shock kan melihat kelakuan anak Bapak?" ledeknya. Spontan tanganku terulur, kuambil satu foto yang menggambarkan aku sedang berpelukan dengan seorang lelaki yang tak kukenal."Kenapa, Nin? Tak nyangka kan? Kamu pikir kebusukanmu takkan terendus gitu? Ingat ya, Nin. Serapat-rapatnya kamu menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga baunya." Belum sempat aku membuka mulut, dia kembali bersuara. "Dan ini, ini adalah bukti anak yang kamu banggakan adalah tukang fitnah." Ibu Hani mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya. Oh, rupanya itu adalah hasil pemeriksaan kesuburan kami, bukti bahwa yang bermasalah dengan kesehatan adal
Nyatanya dalam perjalanan tak ada satu kata yang keluar dari bibirku. Sekuat-kuatnya aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja, tetap merasa kehilangan.Sekali lagi, lima tahun bukanlah waktu yang singkat, ada banyak kenangan yang tercipta. Ah, biarlah saat ini aku habiskan sakit, sedikit demi sedikit kulepas kenangan itu selama dalam perjalanan. Agar nanti ketika aku sampai di rumah orang tuaku, semua sudah habis tak bersisa. Semoga.Bariq juga diam. Dia juga tidak banyak protes ketika aku menyadarkan kepala di punggungnya. Sungguh, situasi yang berbanding terbalik dengan beberapa tahun yang lalu. Dulu, punggungku yang menjadi sandaran kepala kecilnya."Mbak udah sampai." Aku merasa guncangan di pundak. Perlahan mataku mengerjap dan betapa terkejutnya ketika menyadari kami sudah sampai rumah. Aku semakin terkejut setelah mendapati ibu dan bapak berdiri di sisi kiri dan kananku. Dalam keremangan subuh, aku masih bisa melihat kaca-kaca di netra teduh milik ibu. Begitu juga dengan bap
"Penyesalan itu memang datang terlambat, Mas. Beda dengan pendaftaran. Nggak perlu ada yang disesali, nikmati saja alurnya. Kamu udah memilih, begitu juga denganku."Sepersekian detik kami saling diam. Sepertinya ada banyak hal yang ingin diucapkannya. Namun, sulit untuk mengungkapkan. Sementara aku, sudah benar-benar tidak ada respect sama dia."Mas, apalagi yang kamu tunggu? Mama itu loh. Biar aku yang jaga rumah, bisa jadi kan, pas kita pergi ada maling!"Sebelum Mas Tama membalas ucapan Bela. Aku bergegas mundur, tanpa menunggu dan berpikir lama, aku membawa satu koper dan satu ransel. Semua berisi barang-barangku yang dulu kubawa ke sini."Nin, mau ke mana?" Mas Tama terlihat khawatir. Berbeda dengan Bela yang nampak tersenyum. "Mau pergi lah, buat apa juga aku di sini.""Ini masih malam, Nin.""Aku bukan anak kecil. Jadi, berhenti mengkhawatirkanku, apalagi sekarang kita bukan suami-istri lagi.""Aku tetap akan berusaha merujukmu, Nin.""Lakukan saja sesukamu, aku tak peduli. P
Setelah usahanya sia-sia, akhirnya dia menyerah. "Baiklah, besok pagi-pagi kamu harus sudah pergi! Dan ingat, jangan bawa barang berharga dari sini. Semua yang ada di sini itu milik Tama!""Aku akan pulang ke rumahku dengan diantar Mas Tama. Itulah yang akan terjadi, karena jika tidak, aku takkan keluar dari rumah ini.""Dasar keras kepala!" Mama mertua nampak kesal."Bukan aku yang keras kepala, tapi Mama yang aneh. Kenapa ngotot banget aku harus pergi sekarang. Memang apa yang Mama rencanakan?"Mama mertua tergelak. "Eh, semakin kurang ajar kamu. Menuduhku merencanakan sesuatu. Nggak ada yang kurencanakan. Aku hanya ingin Tama berpisah denganmu, dan menikah lagi dengan wanita yang mampu memberikan keturunan.""Semoga keinginannya terkabul ya, Ma. Sekarang Mama istirahat. Aku juga akan istirahat, karena besok aku harus melakukan perjalanan. Udah ya, Mama tenang saja. Aku pasti akan pergi.""Tidak akan ada yang pergi. Aku akan merujukmu." Tiba-tiba Mas Tama sudah berada di belakang ib