Share

Bab 7

Author: Puspita
last update Last Updated: 2025-08-09 07:01:24

Bapak mengangguk, membuatku sontak menutup mulut, tak menyangka tetangga sendiri mau menjerumuskan ibu, yang jelas-jelas melakukannya karena membelaku.

"Untung saja, Pak Tohir memberi kesaksian lain. Dia memperlihatkan rekaman video dari hp cucunya."

Aku memperbaiki posisi duduk agar lebih fokus pada bapak. Sepertinya ceritanya cukup menegangkan.

"Si Udin merekam ibunya Tama pas marah-marah dan menghinamu. Semua tergambar jelas bagaimana kronologinya. Hingga ibumu menampar ibunya Tama."

Aku mengangguk-angguk. "Atas bukti itu, beberapa warga menyarankan untuk melapor balik, karena Ibunya Tama masih menolak untuk damai. Sebenarnya bapak nggak mau berurusan dengan polisi, Nin, tapi bapak juga nggak rela kalau keluarga bapak disakiti." Bapak menghela napas.

"Ibumu memang bersalah di mata hukum, karena melalukan tindakan kekerasan. Semoga saja dengan bukti bahwa kamulah yang difitnah, bisa mengurangi tuduhan pada ibumu."

Mendengar penuturan bapak, mau tak mau pikiranku langsung tertuju pada beberapa kasus yang sering berseliweran di sosial media. Tentang hukum yang terkesan membingungkan. Di mana status korban, bisa berubah menjadi tersangka. Begitu juga sebaliknya.

"Anin minta maaf, Pak. Gara-gara Anin, bapak harus berurusan dengan polisi."

Bapak mengelus kepalaku. "Anggap saja ini sebagai pembelajaran. Kamu tak perlu terlalu memikirkannya. Sekarang, kesehatan ibumu yang lebih penting."

"Pak Firman! Tolong cabut laporan kalian. Anggap saja tak pernah terjadi apa-apa. Saya berjanji akan secepatnya menyuruh Tama mengurus perceraiannya dengan Anin!"

Tak hanya aku dan bapak, beberapa orang yang ada di tempat ini langsung menoleh ke asal suara. Ibu Hani tergopoh-gopoh menghampiri kami. Melihatnya aku langsung berdiri, jika saja tidak ditahan bapak, aku sudah melakukan hal yang lebih dari yang ibu lakukan padanya.

Seperti tak punya malu, Mas Tama dan Raya juga ikut datang. Apa mereka tidak capek?

"Pak, tolong cabut laporannya," ucapnya. Padahal napasnya masih tersengal-sengal. "Anin, kita saling memaafkan ya, Nin." Dia tetap berusaha. Bukannya aku salut dengan usahanya yang tak ingin menderita itu. Sikapnya semakin membuatku muak. Manusia-manusia tak tahu malu.

"Berkas laporan sudah saya serahkan ke kantor polisi, Bu. Jadi, saya tidak bisa menariknya."

"Tolong lah, Pak. Apa Bapak lupa dengan hubungan kita selama ini? Semua ini salah paham saja, Pak."

"Anin, Sayang. Maafkan mama ya, Nak. Mama terbawa emosi. Mama sakit hati pas tahu surat dari dokter itu. Mama nggak terima, wong buktinya Raya hamil anaknya Tama. Kalau kamu nggak mau dimadu. Ya udah, nggak pa-pa. Nggak usah fitnah Tama mandul."

"Kalian tinggal tes lagi aja jika ragu dengan hasil tesnya. Nggak usah mencari kesalahan orang lain untuk menutupi kesalahan sendiri," sahutku ketus.

"Anin, tolong mama, Nak ...."

Mas Tama dan Raya menjerit ketika tubuh Bu Hani tiba-tiba sempoyongan. Keduanya terlihat panik. Beberapa perawat jaga berdatangan untuk memberi pertolongan. Sementara orang-orang hanya memperhatikan dari tempatnya masing-masing. Mas Tama dan Raya mengikuti suster yang membawa Bu Hani. Dasar tukang drama! Plin-plan! Menyebalkan! Gerutuku dalam hati.

Siang setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan dan dinyatakan hasilnya baik, ibu akhirnya dipindah ke ruang rawat inap. Wanita terkasihku itu sudah sadar walaupun kondisinya masih lemas.

"Terima kasih," ucap ibu dengan suara lirih ketika aku selesai menyuapinya.

"Terima kasih untuk apa sih, Bu?" Aku meletakkan nampan di meja. Mengalihkan wajah dari tatapannya. Sebisa mungkin aku menahan agar air mata ini tidak menetes. "Aku yang minta maaf, gara-gara aku, ibu jadi seperti ini." Suaraku bergetar.

"Semua sudah takdir, Nin. Kamu nggak usah sedih. Mungkin, ini juga merupakan teguran buat ibu. Agar lebih hati-hati jika bertindak."

Aku tak mampu lagi berkata. Sungguh, melihat senyum ibu, semakin membuatku terluka dan merasa bersalah. Apa yang terjadi dengannya, jika tahu ada yang melaporkannya ke kantor polisi?

"Kamu kalau mau apa-apa, pergi aja. Ibu mau tidur lagi. Rasanya kok ngantuk banget."

Belum juga aku menjawab ucapan ibu. Terdengar keributan di luar.

"Ada apa ya, Nin?"

"Nggak tahu, Bu."

Ibu menatapku sekilas, kemudian kembali menutup matanya. Sebenarnya aku juga penasaran dengan keributan yang terjadi.

Rasa penasaran membuatku menoleh, betapa terkejutnya ketika mendapati Bariq sedang berbicara dengan polisi dan perawat. Setelah memastikan ibu masih terpejam, perlahan aku melangkah keluar.

"Ada apa ini, Riq?"

Bariq menoleh. Begitu juga dengan kedua petugas kepolisian tersebut. "Mereka ingin bertemu Ibu."

"Untuk apa? Tentang laporan yang ajukan Bapak?"

"Bukan. Tentang laporan Bu Hani."

Tanpa sadar aku beristighfar. "Ibu saya benar-benar sakit, Pak. Jadi, saya memohon pada Bapak berdua untuk menunda menemuinya. Ibu saya baru saja keluar dari ICU."

"Kami hanya ingin memastikan apakah terduga tersangka benar-benar sakit."

"Terduga tersangka? Hanya karena seorang ibu membela anaknya dijadikan tersangka?"

"Apapun alasannya, jika ada yang melaporkan tindakan kekerasan, maka akan kami tidak lanjuti. Sepertinya terduga tersangka—"

"Bisa nggak, Pak? Bapak sebut nama ibuku saja, nggak usah pakai kata seperti yang Bapak ucapkan tadi?"

"Dalam kasus ini, memang itu sebutan untuk ibu Anda."

Mataku memejam. "Bapak bisa bertanya pada dokternya langsung kan?"

"Iya, Mbak, dan sepertinya memang Ibu Anda benar-benar sakit."

"Bapak pikir kami mengarang semua ini? Ibu saya kemarin masuk ICU, Bapak pikir itu hanya sandiwara? Keterlaluan. Kami ini bukan keluarga pejabat, Pak. Yang ibu saya lakukan itu sebagai bentuk membela diri."

"Kami hanya menjalankan tugas, Mbak. Ternyata memang terdu—, eh ibunya memang sedang sakit." Setelah berucap kedua petugas itu pun pergi. Menyisakan tatapan penuh tanya pada semua yang ada di tempat kami. Kasak-kusuk pun mulai terdengar.

"Maaf, Sus. Kami sudah membuat keributan."

"Sebaiknya kalau ada masalah, bicarakan baik-baik, Mas, Mbak. Ini rumah sakit," ketus perawat tersebut sambil melangkah menjauh.

"Udah." Bariq mencegahku saat hendak membalas ucapan perawat tersebut.

"Aku tahu kamu lelah, Mbak, tapi jangan sampai terbawa emosi. Takutnya semakin memperkeruh keadaan."

Aku mengangguk. Setelah itu kami melangkah masuk menuju ranjang ibu. Wanita yang telah melahirkan kami berdua itu sudah terlelap. Barik duduk di kursi plastik di sisi kaki ibu.

"Kamu kalau mau kerja, berangkat aja, Riq," ucapku dengan suara pelan.

"Hari ini aku masih cuti," sahutnya. Tangannya menyentuh kaki ibu. Kemudian hening sesaat.

"Oh, kalau gitu aku pulang ya. Mau mandi. Gerah."

"Iya," sahutnya. Kemudian dia mengambil kunci motor dan diulurkan padaku.

"Mau nitip dibawain apa?"

"Nggak usah, Mbak."

"Ya udah, aku pulang dulu ya."

"Iya, ati-ati."

Aku pun bergegas keluar. Langkahku sangat cepat dan lebar. Aku ingin mempercepat langkah, agar segera sampai di rumah dan bisa kembali lagi ke sini. Namun, aku harus menunda rencana setelah bertemu dengan Mas Tama.

"Aku ingin bicara. Ini tentang Ibuku dan Ibumu."

"Sepertinya nggak ada lagi yang harus dibicarakan."

"Ada." Mas Tama menghela napas. Setelah itu dia meraih pergelangan tanganku kemudian melangkah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 69

    Hari pernikahan akhirnya tiba. Sejak subuh, rumah sudah dipenuhi hiruk pikuk suara tamu, tetangga yang datang membantu, dan sanak keluarga yang berdatangan dari jauh. Udara pagi terasa sejuk, tapi hatiku dipenuhi rasa haru yang hangat.Di kamar pengantin, Bariq duduk tenang mengenakan beskap sederhana berwarna putih gading. Wajahnya tampak lebih dewasa dari biasanya. Aku sampai menahan napas melihat adikku yang dulu sering merengek minta dibelikan mainan, kini sudah siap memimpin rumah tangga.Aku mengetuk pintu pelan lalu masuk. “MasyaAllah, ganteng banget, Riq…” suaraku bergetar menahan tangis haru.Bariq tersenyum malu, lalu bangkit memelukku sebentar. “Makasih, Mbak. Kamu jangan nangis dulu, nanti make up-mu luntur.”Aku tertawa di sela isak kecilku. “Iya, iya… tapi tetap aja terharu.”Di pelaminan, Lestari tampak anggun mengenakan kebaya putih berhiaskan payet halus. Wajahnya memancarkan ketenangan yang sama seperti pertama kali aku melihatnya. Saat ijab kabul berlangsung, suasan

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 68

    Kebahagiaan itu semakin bertambah setelah Bariq membawa kabar, setelah sekian purnama, akhirnya kabar itu datang juga. Kembali semua anggota keluarga menangis bahagia. Adik laki-lakiku itu telah mengatakan niatnya untuk melamar seorang gadis.“Serius, Riq?” tanyaku tak percaya, sembari menutup mulut dengan kedua tangan. Mataku sampai terasa panas menahan air mata bahagia.Bariq, dengan wajah penuh senyum malu-malu, mengangguk mantap. “Iya, Mbak. Aku sudah yakin. Namanya Lestari. Kami sudah cukup lama dekat, tapi baru sekarang aku memberanikan diri bicara serius.”Ibu sampai terisak, memeluk adikku erat. “Alhamdulillah… akhirnya. Kamu membuat hati Ibu tenang, Nak. Ibu selalu berdoa agar kamu segera menemukan pendamping hidup yang baik.”Bapak pun tersenyum lebar. “Laki-laki harus berani melangkah, Riq. Kalau memang yakin, jangan ditunda-tunda.”Aku sendiri menatap Bariq dengan rasa haru. Seakan baru kemarin aku melihatnya masih lugu, sibuk dengan hobinya, dan selalu menolak kalau disin

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 67

    [Aku benar-benar menyesal, Nin. Ternyata tak ada yang mencintaiku sepertimu]Pret! Spontan bibirku berucap.[Maafkan aku pernah menyia-nyiakanmu][Sebenarnya aku masih ingin mengulang kisah kita. Namun, itu takkan kulakukan][Bahagia lah, Nin. Kamu berhak mendapatkan itu][Untuk terakhir kalinya, bolehkah aku video call?]Selesai membaca pesannya yang terakhir, aku langsung membalasnya.[Maaf, tak bisa] Setelah pesan terkirim dan sudah dibaca. Aku langsung memblokir nomornya. Biarlah aku dikatakan jahat. Menurutku itu adalah jalan terbaik. Mengenai kejadian yang menimpa Raya, apa itu karma? Entahlah, aku juga tidak mau capek-capek memikirkannya. Mungkin, memang sudah menjadi takdirnya.Aku meletakkan ponsel di meja rias, lalu menatap cermin. Wajahku sendiri terlihat asing. Ada guratan lelah di mata, tapi juga ada cahaya harapan yang tak bisa kusangkal. Malam ini adalah malam terakhir aku tidur dengan status gadis. Besok aku akan menjadi seorang istri. Pikiran tentang masa lalu bersama

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 66

    "Ngapain?""Bu, menurut ibu, apa yang dikatakan Mas Arya itu benar nggak sih?""Kamu percaya nggak?""Percaya nggak percaya sih, tapi lihat mukanya bonyok kek gitu, apa iya dia bo'ong?""Minta petunjuk pada Gusti Allah, Nin. Gusti Allah sebaik-baiknya pemberi petunjuk." Setelah berucap ibu bangkit dan masuk ke kamarnya. Meninggalkanku dalam kebimbangan.Aku terdiam. Tatapanku masih tertuju pada pintu kamar ibu yang baru saja tertutup rapat. Kata-katanya menggema di kepalaku. “Minta petunjuk pada Gusti Allah.” Kalimat sederhana, tapi entah mengapa begitu menenangkan sekaligus membuatku semakin bingung. Seolah-olah ibu menyerahkan seluruh keputusan pada diriku sendiri, padahal aku sangat ingin mendengar jawaban pasti darinya.Tanganku meremas ujung bantal sofa. Rasa cemas, lega, takut, dan ragu bercampur jadi satu. Aku tidak bisa menolak bahwa rasa sayangku pada Mas Arya masih ada. Namun bayang-bayang Karin, perempuan yang tiba-tiba hadir dengan segala keberaniannya, masih saja menghant

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 65

    "Ibu." Aku bangkit setelah mendapati ibu sudah berdiri di pinggir pintu. Segera aku menghampirinya."Ibu nggak usah menjelaskan apa-apa sama ibu. Ibu sudah dengar semuanya," ucap ibu setelah kami duduk di bangku yang berseberangan dengan Mas Arya."Maafkan saya, Bu. Tadi, saya kurang tegas menghadapi Karin. Namun, semua itu kulakukan karena ada alasannya. Karin itu orangnya nekad, dia mempunyai sifat yang kurang bagus. Jika tadi aku marah, Karin pasti akan melakukan hal yang lebih gila lagi. Dia itu—""Sudah cukup, kamu nggak usah mejelaskan lagi. Apa kamu bisa memastikan jika wanita itu tak melakukannya lagi?" Ibu terlihat sangat tegas ketika mengucapkannya."Bu—""Kamu diam dulu, Nin. Diam ya." Ibu memotong ucapanku. Padahal aku hanya ingin jika ibu jangan terlalu banyak pikiran. Saat ini kondisinya sedang kurang baik."Saya tadi sudah ke rumahnya, Bu. Dan sudah bicara jujur dengan suaminya. Semoga saja Karin akan jerah," ujar Mas Arya."Apa kamu bisa pastikan wanita itu tidak melak

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 64

    "Iya, Bu. Terima kasih," balas Anin sambil tersenyum. Senyuman itu terlihat begitu tipis, hampir tak ada rona ceria di wajahnya. Ada kelelahan yang nyata, seolah senyum itu hanya sekadar bentuk kesopanan."Ibu sakit?" Tak sabar, aku langsung bertanya setelah petugas kesehatan itu berlalu. Suaraku sedikit bergetar, karena aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres.Anin tak begitu antusias menanggapi pertanyaanku. "Ibu kelelahan," sahutnya dengan suara datar. Sekilas ada keterkejutan di wajahnya ketika tatapan kami beradu. Ada yang berbeda, sorot matanya tak lagi hangat seperti biasanya."Anin, ada yang mau aku bicarakan," cegahku ketika dia hendak masuk ke rumah. Langkahnya terhenti, lalu ia menoleh perlahan."Iya, Mas Arya harus menjelaskan semuanya. Agar aku bisa mengambil keputusan. Mau lanjut apa cukup sampai di sini." Ucapannya tajam, menusuk jantungku."Duduk yuk, Nin," ajakku. Walaupun terlihat jelas kalau Anin kurang nyaman, tapi dia tetap melakukan yang kukatakan. Kami duduk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status