"Sayang, kamu enggak apa-apa?" tanya Alzian. Tatapannya cuma tertuju ke bahuku, "Kamu berdarah?"
"Oh, ini? Ak—" "Enggak-nggak! Aku panggilin dokter. Aku enggak mau kamu kenapa-kenapa!" Alzian tarik HPnya dari atas meja, tapi aku segera menahannya saat nada 'tuut' terdengar. "Beneran … aku enggak apa-apa. Aku cuma mau istirahat. Aku capek," gumamku. Aku ambil langkah dan melewatinya. Lalu menjatuhkan diri di atas ranjang. Waktu mau tarik selimut, mataku malah liar ke arah itu, ke bokser hitam Alzian yang sekarang makin mengembung. "Tapi … kalau kamu mau bulan madu sekarang, aku siap." Tanpa menunggu komando, Alzian pun melompat ke atas ranjang, meraih kedua tanganku, lalu membimbingnya menari di sisi kepala kami. Hanya desis kecupan yang mengisi kamar ini. Tiba-tiba saja suara lain muncul dari HP Alzian yang masih tergenggam di tangan kita berdua, "Halo, Dr. Rennata, di sini!!?" Bibir kami makin liar, saling memandu meski tanpa kata. Tak lama, bibir Alzian bergerak ke tempat yang sebelumnya dijamah Heksa. Bayanganku pun langsung melayang ke peristiwa tadi. "Hallo. Ada yang bisa saya bantu?" HP Alzian terus-menerus berbunyi, tapi tangan kami tetap saling menggenggam di atas kepala. Dan satu-satunya suara yang menjawab dokter itu hanyalah desahan kita berdua. "Baiklah. Hubungi kembali bila anda memerlukan konsultasi klinik. Terima kasih." Alzian tarik mundur kepalanya, tangan kami pun terlepas, begitu pula dengan HP-nya yang entah pergi ke mana. "Sayang, kamu yakin … sekarang?" "Iya, terserah kam—" Belum sempat aku bicara, bibirnya kembali menempel dengan cepat. Secepat tangannya yang menyapu bersih gaun yang kukenakan. "Serius? Kamu pakai GT-Man?" Alzian terkejut, setelah membuang gaun pernikahanku ke lantai. Matanya ragu-ragu, terpaku antara menatap dadaku yang telah terbuka tanpa sehelai benang atau celana dalam Heksa yang masih berjuang melindungi rahimku. "Ehhm, ta—tapi kamu lebih seksi pakai itu." Alzian melepas bokser hitam yang sejak tadi belum sempat ia ganti. Gradasi warna akibat basah, masih kontras hingga sekarang. "Aku suka aja, sih. Soalnya kainnya lembut." Semoga saja alasanku cukup masuk akal di kepalanya. Aku langsung renggangkan kedua kaki sambil menggodanya, "Emmh. Kamu sebenarnya penasaran sama dalemanku atau isinya sih, Sayang?" "Dua-duanya!" Dia masih berdiri di sana, tapi matanya mengarah ke GT-Man yang kupakai. "Sayang, ayo bukain. Aku udah gak tahan, nih!" "Tapi janji dulu!" kataku dengan tegas. Matanya terbelalak, “Apa?” "No question pas kita main. Dan ... Jangan di dalam!" Aku diam beberapa detik, menunggu dia mencerna kata-kataku. Semoga saja dia mengerti maksudku. "Okay." Dia sandarkan janggutnya tepat di atas belahan dadaku, lalu turun ke perut, kemudian jatuh ke ujung kain segitiga milik Heksa, "Janji, deh ... Sekarang ayo bukain, Sayang!" Tanpa sadar, aku turunkan GT-Man itu sampai tersangkut di lutut. Jadi aku harus menekuk sebagian kakiku agar bisa terbebas dari jerat celana dalam. Tapi, tiba-tiba ada hembusan hangat yang menyapu bulu-bulu sensitif di pintu rahimku. Aku merinding menahan hembusan napas Alzian yang begitu dekat dengan area paling sensitifku itu. Gairahku bangkit, dan aku mulai membenci diriku sendiri, menyesal … karena telah membiarkan Heksa kembali muncul dalam hidupku. "Sayang, kamu basah banget!" Alzian terkejut, lalu buru-buru mempersiapkan Juniornya. Aku telah siap menahan serangan itu dengan menarik kedua lutut ke samping, tutup mataku dengan kedua tangan, dan berdoa agar dia benar-benar enggak menyelesaikannya di dalam. Meski aku yakin rasanya enggak akan sesakit ketika bersama Heksa, tapi tetap saja ketakutan menghantuiku. Hening. Napasku kian berat. Belum ada sentuhan, cuma rasanya sedikit hangat dan basah di atas perutku. "Khalisa … ngapain sih? Kamu enggak perlu tutup mata segala!" pekiknya. Aku tarik tangan dan buka mata. Saat kubelokkan kepalaku ke kanan, dia sudah sekarat di sampingku dengan tangan menjuntai. "Aku enggak semenyeramkan itu, kok ... Hoooaaammss!!!" Aku lihat ke bawah, ke arah perut. Gumpalan jeli menggenang di pusarku. Aku menggeleng sambil tarik napas panjang, "Huuuffft ... Kamu K.O lagi?!!"୨ৎ A L Z I A Nજ⁀➴ Setahun kemudian... Aku sama Khalisa masuk ke Brine & Barrel malam sebelum musim turis dimulai di Pecang. Tempatnya ramai banget, seperti biasa. Khalisa tertawa waktu lihat banyak minuman Khalisa Takes Flight mejeng di meja-meja. “Kenapa, Marlin?” tanyaku saat dia menyodorkan minuman favoritnya Khalisa, Melting Heart, terus geser ke arah dia. Habis itu, dia tuangkan juga punyaku, No Stout for You. “Enggak apa-apa, aku baru aja balik dari Bandung, naik penerbangan pagi buta. Capek banget.” “Oh iya, liburan cewek-cewek, ya? Kedengaran seru,” kata Khalisa. Aku lingkarkan tangan ke bahu Khalisa dan menarik dia makin dekat. “Enggak lebih seru dari liburan sama aku plus minuman warna-warni pakai payung kecil, kan?” Kita baru saja balik dari Bali. Bisa dibilang, kita lebih sering di kamar daripada di pantai. Itu bulan madu kedua kita, dan ya ... worth it banget. Kita memutuskan buat bikin pesta pernikahan sebelum musim turis. Melihat tempat ini penuh beg
✎ᝰ. ──୨ৎ────୨ৎ── Aku lakuin itu. Dan rasanya lebih nyakitin dari apa pun yang pernah aku rasain. Aku ninggalin Alzian pagi ini, dengan alasan yang enggak masuk akal banget. “Aku sudah enggak bahagia” Aku pengecut. Tapi aku tahu, kalau aku enggak bisa kasih dia anak, kita pasti bakal hancur suatu hari nanti. Aku pernah lihat, gimana program Fertilitas ngehacurin pernikahan Papa sama Mama. Dan hatiku enggak bakal sanggup melihat itu terjadi di antara aku dan Alzian. Waktu aku pergi, aku yakinin ke diri aku sendiri kalau aku kuat buat ngelepasin dia. Bahkan saat aku sudah sampai bawah gunung dan mulai ragu. Aku butuh kekuatan penuh buat enggak balik ke rumah itu lagi, ke pelukannya. Alzian udah cukup sering kehilangan orang dalam hidupnya, apalagi setelah Mamanya meninggal. Da
୨ৎ K H A L I S A જ⁀➴Aku mengeluh pelan waktu dengar ada yang mengetok pintu. Hal terakhir yang harus aku hadapi hari ini ya dua orang itu. Aku sayang banget sama Connie dan Shaenette, tapi semoga saja bukan mereka.Aku matikan TV dan buka pintu. Betapa shock-nya aku saat lihat siapa yang berdiri di sana.Mama.Dia ulurkan tangan dengan ekspresi pahit. "Boleh masuk?" tanya dia.Aku buka jalan dan minggir. Dia sudah jauh-jauh dari Jogja."Ya udah, masuk aja."Aku balik ke sofa dan duduk, menunggu dia ikut duduk juga.Dia malah duduk di kursi depanku, terus taruh satu buku di tengah meja.Aku menatapnya, dan dia mengangguk. Ya, itu jurnal yang sudah lama aku cari."Gimana bisa Mama—"Dia angkat tangan. "Maaf, Khalisa. Mama pikir Mama bisa ngelindungin kamu dengan nyimpan itu. Setelah kamu kecelakaan, Mama masuk kamar kamu buat ambil baju yang mau Mama cuci. Ketemu buku ini ... dan ya, Ma
Enggak ada rencana, sih. Jadi memang agak sedikit berantakan, tapi semoga saat momennya tiba, aku tahu harus berbuat apa. Aku enggak mau melibatkan saudara-saudara cewekku buat persiapan ini.Tapi aku mau Khalisa tahu, walaupun banyak hal yang lagi dipertaruhkan, aku tetap memilih dia. Dan dia juga memilih aku.“Kok semuanya lagi di rumah, sih?” gumamku, saat melihat mobil-mobil di garasi.Mobil semua keluarga.Aku keluar dan dengar ada suara ramai-ramai di halaman belakang, jadi aku ikuti sumber suaranya dan menemukan Danny, Almorris, sama Luno lagi main di belakang bareng sekumpulan anak anjing di kandang kecil.“Kalian mau bisnis anjing, nih?” tanyaku.Luno menengok ke arahku. “Enggak lah, itu anaknya Popol. Dia baru punya anak,” jawab dia sambil senyum.Aku lupa kalau anjing Labrador kuningnya sempat menghamili anjing tetangga. Pemilik si anjing betina enggak mau mengurusi anak-anaknya dan bilang begitu anak-anaknya
୨ৎ A L Z I A N જ⁀➴Aku pelan-pelan geser dari Khalisa, meninggalkan dia di kasur. Terus aku pakai celana training. Setelah itu, jalan ke dapur, ambil Bir.Sudah malam banget, hampir tengah malam. Aku turun ke tempat api unggun. Setelah menyalakan apinya, aku duduk di kursi, menikmati Bir sambil bengong.Jujur saja, aku enggak pernah merasa seputus asa ini dalam hidupku. Rasanya mirip banget waktu aku melihat Papa mencoba menyelamatkan Mama dari ganasnya ombak teluk. Dan ekspresi panik di wajahnya saat sadar dia enggak bisa berbuat apa-apa.Sekarang, wanita yang aku cinta lagi berduka karena peluang dia buat punya anak.Aku mengerti maksud dia. Teman kerjaku, Nick, pernah cerita soal itu. Mahal, makan waktu, dan bikin emosi naik turun. Tapi aku percaya kita bisa jalani ini berdua.Dan setidaknya sekarang aku tahu kenapa dia meninggalkan aku. Itu bikin semuanya lebih mudah diterima ketimbang kalau dia pergi gara-gara cowok lain.
Aku mengangguk pelan. " Yakin.""Emang enggak bisa cari cara lain, ya?"Aku tatap dia lurus. "Dokter tadi itu cara lainnya. Dia lihat hasil yang sama kayak Dr. Agnes. Dan itu alasan aku ninggalin kamu, Alzian. Karena aku ngerasa enggak bisa kasih kamu keturunan. Aku terima kalau sekarang kamu mau ninggalin aku. Aku enggak bisa kasih hal yang kamu pinginin."Dia diam."Jadi sekarang ... kamu mau ninggalin aku lagi?""Aku cuma pingin kamu punya kehidupan yang kamu mimpiin. Kehidupan yang pantas kamu dapetin.""Hidup yang aku mau tuh kamu, Khalisa. Cuma kamu."Aku mengeluh, terus menutup muka pakai bantal. Aku ingin banget teriak, tapi aku tahan."Tapi aku tahu kamu pingin punya keluarga besar. Kamu udah sering bilang gitu dari dulu.""Kamu tadi bilang masih ada opsi pakai fertilitas, kan? Masih ada harapan.""Kamu tahu enggak, itu mahalnya kayak gimana? Dan kemungkinan berhasilnya kecil banget. B