Home / Rumah Tangga / MANTAN WITH BENEFIT / Pelajaran Pertama di Keluarga Baru

Share

Pelajaran Pertama di Keluarga Baru

Author: DityaR
last update Last Updated: 2025-04-22 21:17:38

Aku tahu ini keliru. Membiarkan masa lalu hadir di tengah-tengah titik balikku. Merelakan Alzian tergeletak di sana, sementara aku harus melawan pikiranku sendiri.

Pening.

Berat.

Dia menghilang lagi, setelah ciuman tadi. Meninggalkan kalimat yang hingga kini belum bisa kupahami, “Kamu harus hati-hati sama keluarga suamimu, Khal!”

Begitu saja, lalu dia pergi entah ke mana. Yang tersisa hanyalah suara langkah sepatunya yang tergesa-gesa menghantam lantai, disusul dentuman tembakan dari luar rumah.

Semua yang terjadi malam ini membuatku ingin berteriak, "Haarrrgh!!! Kenapa aku harus percaya sama kamu? Kamu itu siapa, sih, sebenarnya?"

Meski ruangan ini telah kembali terang, pandanganku terhadap masalah ini tetap saja gelap. Aku berkeliling, membereskan barang-barang yang sempat terjatuh dari meja, lalu menuju kamar mandi untuk membasuh tubuhku. Tubuh yang tak lagi suci.

Sepanjang perjalanan, kulihat ceceran darah mewarnai lantai. Kami sama-sama berdarah malam ini. Bedanya, dia terluka di dada, sementara aku ... di pangkal paha.

Sial.

Aku hendak kembali ke ruang pesta untuk memastikan keluarga baruku. Tapi belum sampai di ambang pintu, Alzian membuka suara, "Eh ... Arghh ... Kha—Khalisa!"

Aku menoleh ke arah ranjang, tempat Alzian terbaring. Dia hanya menggenggam kepalanya, lalu melanjutkan kalimat yang sempat tertahan, "Ada apa ini? Tadi aku mau matiin lampu kamar, terus kayak ada yang gigit di leher, terus ...."

"Ada rampok!" potongku, cepat-cepat menuju pintu dan menarik turun gagangnya. "Kalau Mas Alzian masih di situ aja, ya nggak mungkin tahu apa yang terjadi. Ayo, buruan!"

Aku melangkah cepat, sedikit mengangkat gaunku agar enggak menghalangi gerak. Di ruang tamu, kulihat banyak orang menutup hidung, menarik kerah baju mereka ke atas. Asap pekat mengepul di udara, memaksaku memejamkan mata. Perih rasanya, dan baunya amat menyengat.

"Ada apa ini?" gumamku dalam hati.

Aku terus berlari kecil, berusaha keluar dari rumah ini. Asap yang kian pekat mulai membuat napasku sesak. Syukurlah, seseorang tiba-tiba menarik tanganku, menuntunku ke depan, ke tempat kedua mertuaku dan para kerabat telah berkumpul.

"Pa, ini ada apa, sih, sebenarnya?" tanyaku, sambil menatap bergantian antara pria berpakaian serba hitam dengan senjata laras panjang di tangannya dan ayah mertuaku yang berusaha menyembunyikan kecemasannya di balik senyum sinis itu.

"Nggak apa-apa, Nduk. Kamu tenang aja, ya, Sayang," sahutnya, berusaha menenangkan.

Aku tertunduk lesu, berusaha mempercayai kalimat itu. Namun, semakin mataku menelusuri sekeliling, menyapu barisan pria-pria kekar bersenjata yang mengepung kami, jujur saja, hanya rasa takut yang tertinggal.

Mengapa begitu banyak peristiwa aneh di malam pertamaku?

Kini, pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku. Entah apa yang telah kuperbuat pada keluarga Sunya, hingga aku harus menanggung konsekuensinya.

Keluarga yang konon telah puluhan tahun menguasai aset mineral negeri ini. Emas dan uranium, begitu kata berita-berita yang selalu disiarkan di breaking news.

Tapi apa pun alasannya, aku sudah enggak peduli. Pikiranku kini justru melayang pada Heksa, terutama setelah salah satu pria bersenjata itu menyodorkan sepotong pakaian dalam berwarna putih, robek, atau lebih tepatnya terputus di bagian ujung segitiganya.

"Maaf, Boss. Tapi cuma ini yang bisa kami temuin di dekat parkiran. Mereka udah kabur Boss."

"Hemm. Coba sini lihat!" ucap ayah mertuaku, seraya memeriksanya dengan ekspresi jijik yang tak berusaha ia sembunyikan. "Huftt. Bau! Cawet siapa, sih. Gak pernah di ganti?"

Aku refleks menutup mulut dengan kedua tangan, memalingkan wajah ke arah rumah. Namun, suara mereka tetap saja menyelinap masuk ke telingaku.

"Tolong simpan di Lab. Nanti kita cek identitasnya dari cairan yang nempel di cawet itu!" Lanjut mertuaku dengan nada serius, sembari memasang raut wajah seolah ingin memuntahkan isi perutnya. "Terus, bilangin yang lain, perketat keamanan di sekitar rumah! Jangan ada yang tidur, paham?"

"Siap, Boss!" Serentak, semua pengawal menundukkan kepala, lalu membubarkan diri satu per satu.

Sementara aku hanya terpaku di tempat. Wajahku memerah seperti tomat, teringat kembali pada kejadian tadi bersama Heksa. Berusaha mencerna teka-teki yang membelit ini. Bahkan aku sendiri saja belum tahu siapa sebenarnya Pak Sahar Sunya, mertuaku. Ayah dari Alzian.

Apakah dia ketua gangster atau mafia?

Ah, tentu saja itu mustahil.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Diana
kayaknya bapaknya emang sengaja deh mancing si mantan buat muncul
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • MANTAN WITH BENEFIT   Pelukku Bukan Rumah Bagimu

    Tujuh hari kemudian …ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩"… Ku tak tahu namanya patah hati. Perasaan ini tak terbukti. Sampai aku bertemu kamu. Dan kita saling memanggil kamu … Bohong, aku tahu kamu berbohong. Cinta dan setia hanyalah kata. Aku tidak baik-baik saja. Ku terluka di tempat yang sama …”Lagu Aruma/Raim Laode – Ekspektasi mengalun pelan dari sudut kamar. Ruangan ini memang tak pernah ramai. Hanya lampu meja yang selalu menyala temaram, menunggu pemiliknya menyalakan lampu utama. Ya, suamiku ... Aku selalu menyambutnya saat pulang. Tapi sekarang sudah pukul sebelas malam dan dia belum membuka pintu itu.Seperti biasa, angin malam berdesir lembut, mengetuk kaca balkon dengan pelan. Aku duduk di depan meja rias, menatap bayanganku di cermin."Benarkah ini aku?"Aku menarik napas perlahan. Tubuhku terasa asing. Tanganku meraba perut, sementara detak jantungku berpacu dengan cepat.Bagaimana kalau aku nanti benar-benar mengandung anak yang bukan darah daging suamiku?Papa sering menyetubuhiku se

  • MANTAN WITH BENEFIT   Mertua Durjana VII 🥀

    Papa beranjak, melepaskan cacingnya yang sejak tadi bersarang di rahimku. Ia lalu mendekatkannya ke mulutku, tepat saat aku menguap karena masih mengantuk. Sebuah senyum mengembang di bibir mertuaku ketika ia merasakan sentuhan lembap dari ujung lidahku yang terulur, mengulas ujung cacingnya. Jujur saja, aku merasa jijik. Bau amis dan anyirnya sama sekali tak mencerminkan pria yang katanya berdarah bangsawan itu. Papa tampak menikmati sensasinya. Senyumnya melebar saat aku tersedak oleh cacingnya yang sempat menyentuh tenggorokan. “Hummmm ... Emmm-emmm ... Mmm-mmm.“ Kedua tangan Papa mencengkram kepalaku kemudian mendorongnya maju mundur. Mata Papa tampak sayu menatap ke bawah ketika kerongkonganku berkontraksi meremas-remas kepala cacingnya. Aku berontak, menarik kepala cacing Papa, dan tiba-tiba cairan aneh keluar dari mulutku. Ya ampun, sebanyak ini cairannya, sampai meledak di dalam mulutku? Tanganku terangkat, melindungi wajah dari semburan benih yang sesekali masih m

  • MANTAN WITH BENEFIT   Mertua Durjana VI 🥀

    15 menit kemudian … “Ah??! Pa … Lepasin!!!" "Mmmmhhhh … Mmmhhhhh," balas Papa sambil menyumpal bibirku yang tengah berteriak-teriak antara takut dan marah. Semakin keras aku berteriak, semakin rakus Papa melumat bibirku hingga aku terengah, kehabisan napas, dan berhenti berteriak. Ciuman pagi ini, kenapa aku malah mendapatkannya dari orang yang salah. Papa menarik kedua cup bra-ku ke bawah. Sepasang bukit kembar yang putih dan padat pun tersembul. Dihiasi kismis berwarna cokelat kemerahan yang mulai mengeras. “Pa ... Udah cukup!" desisku. Papa sibuk meremasi dadaku dan aku hanya menggeliat menerima sentuhan dari mertua yang tersenyum mesum sambil terus memainkannya. “Oh-Ohhhhhh ... Nduk. Mmmmhhh.“ Tubuhku tiba-tiba tersentak ketika kepala Papa mendarat dan mencaplok kismis imutku yang sebelah kanan. Belum sempat aku mengendalikan diri, tiba-tiba lidah Papa yang kasar itu bergerak-gerak di atas kismisku. “Pa ... Ahhh ... Dosa besar Pa, Istighfar!” Suara rintihan kecil m

  • MANTAN WITH BENEFIT   Mertua Durjana V 🥀

    Khalisa ────୨ৎ────જ⁀➴ 📞 "Serius, ini Heksa?" jeritku di depan cermin. Daniar hanya mendesah di seberang telepon. "Gila ...." "Kamu dulu nggak kayak gitu juga, kan?" "Enggak, lah! Emang aku sepolos itu, ya?" "Terus, kenapa kamu kaget?" "Enggak tuh, biasa aja." "Yakin?" Aku terdiam, lalu melangkah ke balkon. Biasanya, jam segini aku memperhatikan punggung Alzian yang sedang masuk ke mobil. Tapi kali ini sudah hari kedua sejak dia pamit ke Kalimantan. "Daniar, kamu bilang dia unggah foto lagi. Coba screenshoot, kirim ke aku sekarang!" "Tapi janji dulu, jangan lompat dari balkon, ya!" pekiknya. Aku menengok ke bawah. Ya, cukup tinggi kalau mau lompat dari lantai tiga. "Iya ...." Satu pesan masuk. Aku langsung melempar ponsel ke ranjang. Napasku sesak, antara ingin menangis, marah, dan malu sendiri karena bereaksi berlebihan. Langkahku ragu saat kembali mengambil ponsel itu. Layarnya masih menyala, menampilkan tangkapan layar dari Daniar. Foto itu jelas menu

  • MANTAN WITH BENEFIT   Nama Baik Akademi

    "Aku nggak bisa biarin nama Akademi kamu tercoreng gara-gara aku, Fenya!" seruku, menatap punggungnya yang hanya berjarak beberapa langkah. Dia diam, bahunya sedikit naik turun menahan napas. Jadi aku lanjutkan, "Kata Papamu, resikonya bakal nggak bisa dicegah kalau kita nggak nikah."Dia berhenti. "Terus apa gunanya, Heksa? Kalau kamu nggak punya perasaan apa-apa? Pernikahan kita cuma kamu anggap pelarian, gitu?""Enggak gitu. Aku cuma … cuma belum siap aja untuk hal yang itu." Aku maju selangkah, ragu-ragu menyentuh lengannya. "Fenya, nggak usah lakuin ini lagi, ya? Aku nggak mau kamu celaka."Dia berbalik dengan sorot mata yang menyala. Dia enggak pandai menangis, cuma menekuk alisnya, sambil bilang, "Aku bakal lakuin apa pun yang aku mau. Dan kamu nggak berhak ngelarang!""Aku berhak!" bantahku, suaraku pecah. "Aku nggak mau calon istriku kenapa-kenapa!""Dan aku nggak mau punya suami yang nggak punya perasaan apa-apa!" balasnya, tak kalah keras."Dan aku juga nggak mau istriku cu

  • MANTAN WITH BENEFIT   Kita Sama-Sama Salah

    Aku melangkah menembus pintu aluminium yang dibiarkan terbuka. Bau karat dan oli menyambutku. Di lorong, terdengar suara logam jatuh. Instingku menyala. Perlahan, kurogoh pisau dari balik jaket.“Fenya?” bisikku.Tak ada jawaban. Tapi di ujung sana, aku melihatnya, terbaring enggak sadarkan diri, kedua tangan terikat pada pipa besi. Wajahnya bengkak, bibir pecah, darah menodai pipi dan kausnya.“Fenya!” Aku berlutut, mencoba menyadarkannya. Napasnya masih ada, lemah, tapi cukup memberiku harapan.Lalu suara itu terdengar, “Lama banget, sih!”Aku menoleh cepat.Biron muncul dari kegelapan, menggenggam linggis. Matanya merah, wajahnya gelap, seperti dirasuki setan.“Ha ha ha. Aku tahu kamu bakal datang, Bre,” gumamnya. “Kamu, kan, emang suka jadi pahlawan kesiangan?”Aku berdiri. Tubuhku tegak, meski pikiranku meledak. “Nggak harus kayak gini, Biron. Kita bisa obrolin baik-baik, kan. Kamu bisa—”“Aku udah bilang!” teriaknya sambil melangkah mendekatiku. “Bertahun-tahun, Bre! Tapi kamu m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status