Delapan tahun yang lalu ….
Waktu itu hari ulang tahun Alzian. Mamanya bikin pesta besar di rumah mereka yang ada di atas bukit. Ada balon, pita, dan dekorasi warna-warni di sekitar kolam renang. Aku datang bareng sahabatku, Daniar. Saat itu Alzian lagi seru bermain bersama teman-teman cowoknya. Mereka bahkan enggak melirik ke arah cewek. Lalu muncullah Almorris dan Alvaro, kakak-kakaknya Alzian, ditambah Luno, sahabatnya Alzian sekaligus teman sekelas kami. Begitu mereka lepas kaus dan nyemplung ke kolam, semua cewek langsung melongo. Sekali lompatan saja, kolam dan semua camilan di pinggirannya langsung basah kuyup. Alzian duduk di pinggir kolam, terlihat canggung saat kakaknya mulai mengejek, karena cowok dan cewek di pesta itu seperti punya zona masing-masing. Setelah itu kami mulai main game, sepertinya, sih itu ide dari Mamanya juga. Lomba renang, kejar-kejaran di air, dan pokoknya makin lama makin campur semua antara cowok dan cewek. Semua cewek bilang Alzian itu ganteng, dan memang iya. Dia juga lucu dan manis. Tapi aku tahu, banyak dari mereka cuma suka karena dia dari keluarga 'Sunya'. Keluarga paling terkenal di Pecang. Kota kecil yang terletak di ujung pulau Jawa ini. Semua cowok di keluarga Sunya adalah pemain sepak bola di SMA. Almorris waktu itu kapten, sedangkan Alvaro katanya bakal langsung jadi pemain Timnas U-17 begitu masuk kuliah karena prestasinya yang luar biasa. Dan Alzian? Ekspektasiku untuk dia jelas lebih tinggi. Tapi alasanku kenapa bisa suka sama Alzian itu berbeda. Dua tahun sebelumnya, teman sekelas kita, Tedy, pernah mengerjaiku. Dia tarik celanaku sampai terlihat celana dalam pelangi yang kupakai, dan dari situ aku diberi julukan Si Rainbow Girl. Malunya benar-benar enggak tertolong. Tapi tahu, enggak, apa yang Alzian lakukan? Dia bela aku. Waktu kegiatan pentas seni, dia balas dendam dengan menarik celana Tedy di depan semua orang. Terus, waktu dia dibawa sama Guru BK, dia sempat-sempatnya berkedip ke arahku. “Main chicken fight, yuk!” teriak Luno. Itu jadi momen yang bikin aku teringat saat aku mulai menaksir Alzian. Dalam dua tahun, banyak hal yang berubah. Suara Alzian mulai dewasa dan badannya makin berisi. Sementara aku ... ya, tubuhku juga sedikit berubah. Dan seiring waktu, kami mulai saling melihat dari sudut pandang orang dewasa. “Udah sana, jadi partner-nya Alzian,” kata Daniar sambil menyikutku. Aku geleng-geleng. “Males, ah.” “Yah elah, Khal. Nggak usah ngelak. Aku tahu kamu naksir dia!” Aku cuma diam, menendang-nendang air. Sementara itu, ada cewek lain yang sudah lebih dulu nyebur, memancing perhatian di depan Alzian. Bikin aku makin sebal. “Aku tahu dia juga naksir kamu,” kata Daniar lagi. “Kamu nggak tahu apa-apa.” “Khal, semua orang udah tahu sejak Tedy bikin kamu jadi Rainbow Girl.” Aku sayang dia, tapi itu dua tahun yang lalu. Lagipula hidup Alzian sekarang ribet, masalah keluarga, drama orang tuanya. Jadi, bisa saja perasaannya juga sudah berubah. Tiba-tiba Luno muncul. “Eh, kalian berdua gimana? Mau ikutan?” Disusul Almorris, cowok playboy yang sekarang berdiri di depan kami. Dia kakak kandung Alzian. “Kamu Khalisa, kan?” katanya. Daniar langsung tertawa karena dia tahu namaku. Luno memanggil Alzian. Begitu dia datang, jelas banget badannya sudah jauh lebih kekar dari pesta wisuda dua tahun lalu di sekolah. “Kamu sama Khalisa aja. Jadi tim,” kata Almorris, lalu mengajak kita nyebur. “Ayo, naik ke bahunya.” Aku angkat alis, kaget. “Aku harus naik ke bahunya?”. Alzian langsung geleng-geleng. “Almorris, udah deh.” Luno malah cengengesan. “Kita bantuin, nih bro. Kamu bakal makasih nanti.” Alzian mengomel dan Luno malah tertawa sambil menepuk bahunya. “Santai." Aku mengerti kenapa banyak orang yang iri sama keluarga Sunya. Mereka terlihat solid, ramai, saling kasih dukungan. Kayaknya enak kalau punya kakak cowok yang siap menjagaku seperti mereka. Luno terus memaksa. Akhirnya, Daniar dapat Tedy buat jadi partner-nya, padahal dulu dia benci banget sama Tedy, dan aku ... ya, aku akhirnya naik ke pundak Alzian. Tangannya memegang betisku, dan pelan-pelan aku naik. Jantungku deg-degan waktu tangan dia menyentuh kulitku. Luno kasih aba-aba, “Satu ... dua ... tiga!” Aku dan Daniar malah ketawa-ketawa, bukannya dorong-dorongan. Cowok-cowok jadi kesal. Tapi yang aku rasakan cuma satu, sentuhan tangan Alzian bikin hormonku meledak-ledak. Daniar akhirnya berhasil mendorongku jatuh. Aku kalah … aku nyemplung, dan Alzian langsung membantuku kembali ke permukaan. Tangannya masih menempel di pinggangku. “Maaf ya,” bisikku. Dia tersenyum kecil, menyibak rambutnya, “Nggak apa-apa. Kamu oke?” Aku mengangguk. Jarak kami hanya beberapa senti. Dia masih memegang pinggangku. Tatapannya turun ke bibirku. Reflek, aku cuma menelan ludah. Lalu ... “HALOOO .... CHICKEN SPRING ALA MAMANYA ALZIAN UDAH SIAAAAAP!” teriak Hapsari. Semua orang langsung keluar dari kolam. Alzian justru berenangi. Tapi cara dia melepaskan tangannya dari tubuhku itu, pelan banget ... seakan-akan dia enggan melepaskannya. Itu momen saat aku merasa, “Oke, kayaknya aku memang ditakdirkan bareng Alzian.” Sepulang dari pesta malam itu, aku sampai menulisnya di buku jurnal harianku.୨ৎ A L Z I A Nજ⁀➴ Setahun kemudian... Aku sama Khalisa masuk ke Brine & Barrel malam sebelum musim turis dimulai di Pecang. Tempatnya ramai banget, seperti biasa. Khalisa tertawa waktu lihat banyak minuman Khalisa Takes Flight mejeng di meja-meja. “Kenapa, Marlin?” tanyaku saat dia menyodorkan minuman favoritnya Khalisa, Melting Heart, terus geser ke arah dia. Habis itu, dia tuangkan juga punyaku, No Stout for You. “Enggak apa-apa, aku baru aja balik dari Bandung, naik penerbangan pagi buta. Capek banget.” “Oh iya, liburan cewek-cewek, ya? Kedengaran seru,” kata Khalisa. Aku lingkarkan tangan ke bahu Khalisa dan menarik dia makin dekat. “Enggak lebih seru dari liburan sama aku plus minuman warna-warni pakai payung kecil, kan?” Kita baru saja balik dari Bali. Bisa dibilang, kita lebih sering di kamar daripada di pantai. Itu bulan madu kedua kita, dan ya ... worth it banget. Kita memutuskan buat bikin pesta pernikahan sebelum musim turis. Melihat tempat ini penuh beg
✎ᝰ. ──୨ৎ────୨ৎ── Aku lakuin itu. Dan rasanya lebih nyakitin dari apa pun yang pernah aku rasain. Aku ninggalin Alzian pagi ini, dengan alasan yang enggak masuk akal banget. “Aku sudah enggak bahagia” Aku pengecut. Tapi aku tahu, kalau aku enggak bisa kasih dia anak, kita pasti bakal hancur suatu hari nanti. Aku pernah lihat, gimana program Fertilitas ngehacurin pernikahan Papa sama Mama. Dan hatiku enggak bakal sanggup melihat itu terjadi di antara aku dan Alzian. Waktu aku pergi, aku yakinin ke diri aku sendiri kalau aku kuat buat ngelepasin dia. Bahkan saat aku sudah sampai bawah gunung dan mulai ragu. Aku butuh kekuatan penuh buat enggak balik ke rumah itu lagi, ke pelukannya. Alzian udah cukup sering kehilangan orang dalam hidupnya, apalagi setelah Mamanya meninggal. Da
୨ৎ K H A L I S A જ⁀➴Aku mengeluh pelan waktu dengar ada yang mengetok pintu. Hal terakhir yang harus aku hadapi hari ini ya dua orang itu. Aku sayang banget sama Connie dan Shaenette, tapi semoga saja bukan mereka.Aku matikan TV dan buka pintu. Betapa shock-nya aku saat lihat siapa yang berdiri di sana.Mama.Dia ulurkan tangan dengan ekspresi pahit. "Boleh masuk?" tanya dia.Aku buka jalan dan minggir. Dia sudah jauh-jauh dari Jogja."Ya udah, masuk aja."Aku balik ke sofa dan duduk, menunggu dia ikut duduk juga.Dia malah duduk di kursi depanku, terus taruh satu buku di tengah meja.Aku menatapnya, dan dia mengangguk. Ya, itu jurnal yang sudah lama aku cari."Gimana bisa Mama—"Dia angkat tangan. "Maaf, Khalisa. Mama pikir Mama bisa ngelindungin kamu dengan nyimpan itu. Setelah kamu kecelakaan, Mama masuk kamar kamu buat ambil baju yang mau Mama cuci. Ketemu buku ini ... dan ya, Ma
Enggak ada rencana, sih. Jadi memang agak sedikit berantakan, tapi semoga saat momennya tiba, aku tahu harus berbuat apa. Aku enggak mau melibatkan saudara-saudara cewekku buat persiapan ini.Tapi aku mau Khalisa tahu, walaupun banyak hal yang lagi dipertaruhkan, aku tetap memilih dia. Dan dia juga memilih aku.“Kok semuanya lagi di rumah, sih?” gumamku, saat melihat mobil-mobil di garasi.Mobil semua keluarga.Aku keluar dan dengar ada suara ramai-ramai di halaman belakang, jadi aku ikuti sumber suaranya dan menemukan Danny, Almorris, sama Luno lagi main di belakang bareng sekumpulan anak anjing di kandang kecil.“Kalian mau bisnis anjing, nih?” tanyaku.Luno menengok ke arahku. “Enggak lah, itu anaknya Popol. Dia baru punya anak,” jawab dia sambil senyum.Aku lupa kalau anjing Labrador kuningnya sempat menghamili anjing tetangga. Pemilik si anjing betina enggak mau mengurusi anak-anaknya dan bilang begitu anak-anaknya
୨ৎ A L Z I A N જ⁀➴Aku pelan-pelan geser dari Khalisa, meninggalkan dia di kasur. Terus aku pakai celana training. Setelah itu, jalan ke dapur, ambil Bir.Sudah malam banget, hampir tengah malam. Aku turun ke tempat api unggun. Setelah menyalakan apinya, aku duduk di kursi, menikmati Bir sambil bengong.Jujur saja, aku enggak pernah merasa seputus asa ini dalam hidupku. Rasanya mirip banget waktu aku melihat Papa mencoba menyelamatkan Mama dari ganasnya ombak teluk. Dan ekspresi panik di wajahnya saat sadar dia enggak bisa berbuat apa-apa.Sekarang, wanita yang aku cinta lagi berduka karena peluang dia buat punya anak.Aku mengerti maksud dia. Teman kerjaku, Nick, pernah cerita soal itu. Mahal, makan waktu, dan bikin emosi naik turun. Tapi aku percaya kita bisa jalani ini berdua.Dan setidaknya sekarang aku tahu kenapa dia meninggalkan aku. Itu bikin semuanya lebih mudah diterima ketimbang kalau dia pergi gara-gara cowok lain.
Aku mengangguk pelan. " Yakin.""Emang enggak bisa cari cara lain, ya?"Aku tatap dia lurus. "Dokter tadi itu cara lainnya. Dia lihat hasil yang sama kayak Dr. Agnes. Dan itu alasan aku ninggalin kamu, Alzian. Karena aku ngerasa enggak bisa kasih kamu keturunan. Aku terima kalau sekarang kamu mau ninggalin aku. Aku enggak bisa kasih hal yang kamu pinginin."Dia diam."Jadi sekarang ... kamu mau ninggalin aku lagi?""Aku cuma pingin kamu punya kehidupan yang kamu mimpiin. Kehidupan yang pantas kamu dapetin.""Hidup yang aku mau tuh kamu, Khalisa. Cuma kamu."Aku mengeluh, terus menutup muka pakai bantal. Aku ingin banget teriak, tapi aku tahan."Tapi aku tahu kamu pingin punya keluarga besar. Kamu udah sering bilang gitu dari dulu.""Kamu tadi bilang masih ada opsi pakai fertilitas, kan? Masih ada harapan.""Kamu tahu enggak, itu mahalnya kayak gimana? Dan kemungkinan berhasilnya kecil banget. B