Sepuluh tahun yang lalu ...
Waktu itu hari ulang tahun Alzian. Mamanya bikin pesta besar di rumah mereka yang ada di atas bukit. Ada balon, pita, dan dekorasi warna-warni di sekitar kolam renang. Aku datang bersama sahabatku, Daniar. Saat itu Alzian lagi seru-seruan main sama teman-temannya. Mereka bahkan nggak melirik ke arah cewek. Lalu muncul Almorris dan Alvaro, kakak-kakaknya Alzian, plus Luno, sahabatnya Alzian sekaligus teman sekelas kami. Begitu mereka lepas kaus dan nyemplung ke kolam, semua cewek langsung melongo. Sekali lompatan saja, kolam dan semua cemilan pinggirannya langsung basah kuyup. Alzian duduk di pinggir kolam, kelihatan canggung saat kakaknya mulai mengejek karena cowok dan cewek di pesta itu seperti punya zona masing-masing. Setelah itu kami mulai main game, sepertinya ide dari Mamanya juga, lomba renang, kejar-kejaran di air, pokoknya makin lama makin campur semua. Semua cewek bilang Alzian ganteng, dan memang iya. Dia juga lucu dan manis. Tapi aku tahu, banyak dari mereka cuma suka karena dia 'Sunya', keluarga paling terkenal di Negara ini. Semua cowok di keluarga Sunya adalah tim sepak bola di SMA. Almorris waktu itu kapten, sedangkan Alvaro katanya bakal langsung jadi pemain Timnas U-17 begitu masuk kuliah karena prestasinya gokil. Dan Alzian? Ekspektasiku untuk dia jelas lebih tinggi. Tapi alasanku suka Alzian berbeda. Dua tahun sebelumnya, teman sekelas kita, Tedy pernah jahilin aku, narik celanaku sampai kelihatan dalaman pelangi, dan kasih aku julukan "Rainbow Girl". Malunya nggak ketulungan. Tapi tahu apa yang Alzian lakukan? Dia belain aku. Waktu pentas perpisahan, dia balas dendam dengan menarik celana Tedy di depan semua orang. Terus, waktu dia ditarik sama Bu Guru BK, dia sempat berkedip ke arahku. Luno teriak, “Main chicken fight, yuk!” Itu jadi momen yang bikin aku teringat saat aku mulai naksir Alzian. Dalam dua tahun, banyak hal berubah. Suara Alzian mulai dewasa. Badannya makin berisi. Sementara aku ... ya, tubuhku juga berubah. Seiring waktu, kami mulai saling melihat dari sudut pandang orang dewasa. “Udah sana, jadi partner-nya Alzian,” Daniar menyikutku. Aku geleng. “Males, ah.” “Yah elah, Khal. Nggak usah ngelak. Aku tahu kamu naksir dia.” Aku cuma diam, nendang-nendang air. Sementara itu, Daniar sudah lebih dulu nyebur, memancing perhatian di depan Alzian. Bikin aku makin sebal. “Aku tahu dia juga naksir kamu,” kata Daniar lagi. “Kamu nggak tahu apa-apa.” “Khal, semua orang udah tahu sejak Tedy bikin kamu jadi Rainbow Girl.” Aku sayang dia, tapi itu kejadian dua tahun lalu. Lagian hidup Alzian sekarang ribet, masalah keluarga, drama orang tuanya. Jadi, bisa jadi perasaannya juga sudah berubah. Tiba-tiba Luno muncul. “Eh, kalian berdua gimana? Mau ikutan?” Disusul Alvaro, cowok playboy yang sekarang berdiri di depan kami. Dia kakaknya Alzian. “Kamu Khalisa, kan?” katanya. Daniar langsung ngakak karena Alvaro tahu namaku. Luno memanggil Alzian. Begitu dia datang, kelihatan jelas badannya sudah jauh lebih kekar dari perpisahan dua tahun lalu di sekolah. “Kamu sama Khalisa aja. Jadi tim,” kata Alvaro, lalu mengajak kita nyebur. “Ayo, naik ke bahunya.” Aku kaget. “Aku harus naik ke bahunya?” Setengah ingin, setengah malas. Alzian langsung geleng-geleng. “Alvaro, udah deh.” Luno cengengesan. “Aku bantu, bro. Kamu bakal makasih nanti.” Alzian cuma ngedumel, suaranya pecah kayak kodok belajar ngomong. Luno malah ketawa dan nepuk bahunya. “Santai." Aku mengerti kenapa banyak orang yang iri sama keluarga Sunya. Mereka kelihatan solid, ramai, saling kasih dukungan. Kayaknya enak punya kakak cowok yang siap menjagaku seperti mereka. Luno terus maksa. Akhirnya, Daniar dapet Tedy buat jadi partner-nya, padahal dulu dia benci banget sama Tedy, dan aku ... ya, aku akhirnya naik ke bahu Alzian. Tangannya memegang betisku, dan pelan-pelan aku naik. Jantungku deg-degan waktu tangan dia menyentuh kulitku. Luno kasih aba-aba, “Satu ... dua ... tiga!” Aku dan Daniar malah ketawa-ketawa, bukannya dorong-dorongan. Cowok-cowok jadi kesal. Tapi yang aku rasain cuma satu, sentuhan tangan Alzian bikin hormonku meledak-ledak. Daniar akhirnya berhasil dorong aku. Aku kalah, aku nyemplung, dan Alzian langsung membantuku balik ke permukaan. Tangannya masih menempel di pinggangku. “Maaf ya,” bisikku. Dia tersenyum kecil, menyibak rambut. “Nggak apa-apa. Kamu oke?” Aku mengangguk. Jarak kami hanya beberapa senti. Dia masih memegang pinggangku. Tatapannya turun ke bibirku. Refleks, aku menjilat bibir bawah. Lalu ... “HALOOO .... CHICKEN SPRING ALA MAMANYA ALZIAN SUDAH SIAP!” teriak Bu Hapsari. Semua orang langsung keluar dari kolam. Alzian berenang pergi. Tapi cara dia melepaskan tangannya dari tubuhku itu pelan sekali ... seolah-olah dia enggan melepaskan. Itu momen saat aku merasa, “Oke, kayaknya aku memang ditakdirkan bareng Alzian.” Sepulang dari pesta malam itu, aku sampai menulisnya di buku harian.“Ngomong-ngomong, si duo Bucin di mana nih?” tanya Danny.Mama masuk sambil tertawa. Tangan Papa menempel di pinggangnya, takut dia kabur.Harry mengeluh dan langsung buang muka. Aku enggak kebayang sih, bagaimana jadinya kalau hidup serumah sama dua orang itu.“Dengar-dengar kamu nemuin Khalisa di penginapan hari ini?” tanya Mama sambil mengambil barang dari ruang tamu buat dimasukan ke keranjang cucian.Papa duduk di sofa bekas tempat Almorris duduk. Aku enggak nyangka dia bisa kabur dari agenda bersih-bersih hari ini.“Dia lagi di Villa,” jawabku.Mama langsung berhenti dan memperhatikanku. “Sendirian?”Semua mata langsung tertuju padaku. Termasuk Almorris yang sudah siap keluar."Iya," jawabku."Alzian ...." Papa terlihat sangat kecewa."Dia udah gede, Pa!"“Dengan kondisi amnesia? Kita udah janji ke Marwa buat jagain dia,” katanya lagi.“Aku nggak pernah janji apa pun ke Marwa!”"Lupain dulu soal Marwa," potong Mama. "Kita bahkan nggak tahu Khalisa itu masih ingat cara pakai komp
୨ৎ A L Z I A N જ⁀➴Kupikir rumah ini bakal kosong waktu aku parkir mobilku. Tapi ternyata, jalan masuknya penuh dengan mobil Pick-upSial.Sempat terpikir buat mutar balik dan kabur, tapi Papa sudah berdiri di sana, melambai, sepertinya dia sudah menunggu.Aku parkir di posisi strategis, biar gampang kabur kalau sewaktu-waktu ingin pergi.“Alzian, gimana kabarnya?” tanya Papa, menunduk sedikit dari atas balkon.“Ngapain sih, kalian di sini?”“Mama bilang rumah kamu jorok banget. Jadi dia mutusin hari ini buat bersih-bersih.”Aku langsung ingin balik ke mobil. Terakhir kali ‘bersih-bersih’ kayak gini, bikin aku jadi lebih depresi. Mama memang nggak bakal berhenti sebelum semua debu dan sarang laba-laba hilang. Entah kenapa dia sebegitu ambisiusnya. Toh, kami semua di sini, jomblo. Siapa juga yang peduli?Tiba-tiba Harry, adik tiriku yang baru sebelas tahun muncul sambil memainkan bolanya.“Eh, Ry!” seruku sambil nyolong bolanya.“Apa, Alzian?”“Hari ini ada latihan bola nggak?”“Besok
Aku kira kami bakal langsung tinggal bareng. Tapi, ya ... dia benar juga.Donna datang membawa Sufle dan meletakkannya di depan dia. "Jalapeno bikinin spesial buat kamu,” katanya, lalu berjalan pergi.“Sampaiin makasih ke Jalapeno ya,” jawab Alzian.Rambut poni Donna bergoyang-goyang saat ia berjalan. Ia berhenti di meja lain dan bertanya ke orang-orang apakah mereka menikmati sarapan.“Kamu emang hobi banget, ya, bikin dia kesal,” celetukku.Dia menyuap makanannya dan hanya mengangguk.Kami makan sambil diam, menatap ke arah teluk. Untungnya, Alzian makannya secepat kilat.Donna enggak menagihkan apa pun, dan Alzian langsung mengambil tasku begitu kami keluar. Ia meletakkannya di bagasi belakang.Begitu mobil melaju keluar dari parkiran, perutku tersenyum. Aku berharap, saat benar-benar sampai di rumah tempat kami dulu pernah menjadi suami istri, akan ada sesuatu yang muncul dari kepalaku.Aku sempat menebak kalau rumah kami ada di dekat tempat kerjanya, tapi begitu dia mengambil jal
୨ৎ K H A L I S A જ⁀➴ Sabtu pagi .... Aku baru saja selesai membereskan koper dan langsung membawanya turun ke resepsionis. Di balik meja ada Donna. Dia menyeringai saat melihatku. “Udah siap pulang?” Aku mengangguk. “Iya sih, tapi jangan sampai Alzian dengar.” Dia mengernyit. “Dia telat. Barusan dapat telepon mendadak, harus balik ke kerjaannya. Kamu mau sarapan dulu?” Ia langsung berjalan meninggalkan meja resepsionis. Donna masih dengan rambut merah dan tubuh berisinya seperti yang kuingat. Senyumnya yang usil belum muncul, tapi feeling-ku sih, dia masih sama saja seperti dulu. “Oh. Dia nggak ngubungin aku.” Donna memiringkan kepala. “Serius? Kan, dia punya nomor kamu?” “Punya, kok.” Dia menepuk punggungku. “Kamu tahu sendiri Alzian gimana. Mungkin dia cuma mau mastiin aku yang ngurusin kamu." “Yah, iya juga sih .…” Tapi jujur saja, kita berdua tahu itu cuma alasan doang. Dua hari lalu, waktu dia mengajakku ke tempat dia melamar, aku merasa itu amat menyakitinya. Dia bahk
"Kayaknya emang nggak pernah berubah," gumamku."Serius? Emangnya dulu aku juga kelihatan kayak gurita pas manjat gini?" Aku tertawa. Dia menoleh ke belakang. "Ayo, coba lagi!""Waktu aku ngelamar kamu di sini, aku sempat gigit pantatmu," kataku, lebih ke diri sendiri sebenarnya."Aku, sih nggak nolak kalau kamu mau ngulang itu sekarang."Aku memakai dua tangan untuk mendorongnya sampai benar-benar naik ke atas. "Lain kali aja, kali, ya."Dia mengulurkan tangan untuk membantuku naik, tapi aku malah memilih pakai ranting untuk memanjat sendiri."Itu tinggal lewatin pohon-pohon doang," kataku sambil menunjuk jalan dan menyuruh dia jalan lebih dulu. Aku ingin penyiksaan ini cepat selesai.Dia berjalan pelan melewati pepohonan. Matanya berkeliling ke sana kemari, seperti belum pernah ke sini sebelumnya, padahal kami sudah sering ke tempat ini.Tiba-tiba dia menarik napas panjang. "Ya ampun ...."Aku belum keluar dari balik pohon, tapi aku sudah bisa membayangkan danau biru yang dikeliling
୨ৎ A L Z I A N જ⁀➴"Jadi sekarang kamu udah mau ngomong sama aku?" tanya Khalisa saat kami berdiri di samping mobilku.Melihat dia nongkrong bareng Danny di Bar tadi bikin darahku naik. Mungkin dia lupa kalau Danny itu saudara tiriku. Atau ... ah, apa sih yang aku pikirkan?Kemungkinan besar dia ingat. Tapi bagaimana kalau ... sial, aku enggak mau mikir dia sama cowok lain, apalagi orang dari keluargaku sendiri.“Minum gak bakal nyelesaiin apa-apa!”Matanya merah, jelas banget habis nangis di depan Danny. Dan itu bikin aku makin kesal.“Itu ide dia. Dan yang terakhir kali aku ingat, kamu baru aja minta aku tanda tanganin surat cerai.”Aku mendongak, kesal, tapi dia tetap menatapku. “Ayo deh. Kamu ingin ingat sesuatu, kan? Aku bakal ajak kamu ke suatu tempat.”“Ke mana?”Dia enggak langsung naik ke mobil, jadi aku jalan memutar dan membukakan pintu untuknya, sambil menunjuk dengan tangan agar dia masuk.“Nanti juga kamu tahu.”“Gimana aku bisa percaya kalau kamu gak bakal buang aku dar