Share

Bab 6. Kekaguman

MARBOT MASJID ITU TERNYATA KAYA.

Bab 6.

"Kamu itu berbicara asal keluar saja, tanpa berpikir lebih dulu. Bapak memanggil kamu sebenarnya ada alasannya," ucapnya dengan penuh penekanan terhadap Bima.

"Emangnya ada apa Pak, kok saya jadi bingung dengan ucapan Bapak barusan. Apa saya ada salah ya, Pak, Apa ucapan saya ada yang salah, Pak?" cerocosnya dengan begitu banyak pertanyaan sambil menggaruk kepala yang sama sekali tidak gatal.

"Gini loh , Nak Joko. Sebenarnya, Bapak mau memperkenalkan kamu sama anak Bapak ini loh, gadis yang kamu maksud istri saya ini, tidak lain tidak bukan adalah puti saya satu-satunya. Mungkin kamu nantinya akan sering melihatnya dimesjid ini," tutur Pak Jenggot yang sama sekali tidak marah dengan ucapan Bima.

Pak Jenggot pun memperkenalkan anaknya yang sangat cantik. Ah...h.. salah. Lebih tepatnya anaknya yang sholehah, cantik lagi.

"Ma... maafkan saya, Pak. Mungkin omongan saya menyinggung perasaan, Bapak. Sekali lagi saya minta maaf sama Bapak dan juga anak Bapak ya!" ucapnya penuh mohon dengan terbata-bata.

Bima merasa malu karena omongan yang baru saja ia lontarkan. Bima pun rasanya malu untuk bertatap muka meminta maaf dengan anak Pak Jenggot, karena gadis itu lebih banyak menundukkan pandangannya untuk sekedar melihat ke arah Bima. Mungkin karena Bima yang bukan mahramnya, atau karena dia pemalu. Entah lah Bima juga tak mengetahui jelas apa sebenarnya tentang gadis yang katanya putri Pak Jenggot.

"Baiklah kalau begitu, Nak, kami permisi dulu ya! Sebentar lagi akan adzhan. Kami  harus bersiap-siap dulu," ucapnya sambil berjalan bersamaan dengan anak perempuannya.

Bima yang mendengarkan ucapan Pak Jenggot hanya menganggukkan kepala tanda mengiyakan ucapan Pak Jenggot.

"Betapa bodohnya aku, sampai lupa bertanya siapa nama anak Pak Jenggot," batinnya.

Bima sangat malu untuk hanya sekedar bertatap muka dengan gadis sepertinya. Ada apa dengan Bima? Bima yang tidak mengerti tentang jalan pikirannya saat ini, hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berjalan menyusul Pak Jenggot.

******

Bima pun mengerjakan semua pekerjaannya. Ya, pekerjaan layaknya seorang marbot. Bima yang sedang membersihkan pekarangan mesjid tanpa sengaja melihat anak Pak Jenggot yang ada di seberang jalan didepan mesjid. Bima yang melihatnya sedang berhenti, ia menjuali seorang ibu-ibu yang membeli jualannya. Ternyata Bima baru mengetahui kalau ternyata anak Pak Jenggot itu berjualan keliling. Gadis itu bahkan berjualan dengan senyuman yang sangat manis.

Hanya dengan melihat senyumannya saja walau hanya dari kejauhan sudah membuat hati Bima menjadi tak karuan. Hatinya bahkan bernyanyi dangdut, karena riangnya.

Bima tanpa sadar ikut tersenyum ketika melihat senyuman yang terpancar dari wajah gadis yang ada di seberang jalan yang ia pandang. Betapa sejuk hati Bima ketika memandangnya, apalagi melihat senyuman yang terpancar dari wajahnya.

"Mungkinkah dia bidadari surga yang dikirimkan dari langit?" pikir Bima.

"Ah... apa sebenarnya yang ku pikirkan?"

Bima pun bingung dengan pikiran saat ini, segera menggetok kepalanya, karena sudah memikirkan yang tak seharusnya di pikirkannya.

Bima yang baru mengetahui ternyata anak Pak Jenggot itu berjualan kue dan juga nasi keliling. Ya, Bima mengetahuinya karena melihat ibu yang membeli jualannya berupa nasi dan kue. Ternyata selain cantik, ia juga gadis yang rajin dan mandiri, terus pandai berjualan. Wanita yang sangat sederhana tapi mempesona bagi Bima. Dalam sejenak Bima bahkan lupa dengan masalah yang di alaminya.

"Ah.... ada apa denganku," sungutnya sambil mengacak-ngacak rambut.

Akhirnya Bima pun memutuskan untuk melanjutkan membersihkan pekarangan mesjid. Dari pada memikirkan gadis yang membuat Bima jadi salah tingkah. Kalau iya gadis itu single, kalau sudah bersuami bisa berkasus Bima di buatnya.

"Tidak... tidak..."  

Bima pun berucap sambil meneruskan membersihkan pekarangan mesjid kembali.

"Maaf, Mas. Apa Mas sudah sarapan?" tanya gadis tersebut yang tiba-tiba datang menghampiri Bima.

Gadis yang berhasil membuat hatinya saat ini menjadi dag dig dug tak karuan, saat ini bahkan ia langsung bertatap muka dengannya. Tanpa di duga, gadis itu menghampiri Bima yang sedang membersihkan pekarangan mesjid ini secara spontan.

Apa dia tahu, apa yang saat ini Bima pikirkan? Sehingga dia menghampirinya dengan secepat itu, sedangkan tadi Bima baru saja melihatnya masih ada di seberang jalan.

Betapa terkejutnya Bima, bahkan gadis itu mempertanyakan [Bima sudah sarapan apa belum]. Pertanyaannya saja suda membuat hati Bima menjadi berbunga-bunga tak karuan. Bunga mawar, bunga anggrek, bunga taik ayam, entah lah... pokoknya banyak bunga yang bertaburan dihatinya.

"Sa.. saya, belum sarapan," jawabnya terbata-bata sambil menggaruk kepala karena gerogi berhadapan langsung.

"Mas kan orang baru disini, mungkin Mas belum tahu mengenai daerah perkampungan ini, Mas juga harus terbiasa memasak sendiri, supaya Mas nggak kelaparan! Disini nggak ada yang jualan sarapan selain saya, Mas." 

"Ya Allah, begini kah yang namanya bidadari? Cantiknya kebangetan," gerutunya dalam hati sambil melihat ke arah gadis yang ada dihadapannya.

"Mas... Mas! Kok malah bengong. Kalau di ajak ngomong itu dengerkan kek, atau jawab kek, jangan cuma bengong," ketusnya yang berusaha merapikan jilbabnya.

"Kakeknya saya sudah meninggal," ucap Bima.

"Nggak ada yang tanya masalah kakek Mas kok? Lagian siapa juga yang bilang kakek?" sungutnya dengan nada agak kesal.

"Tu, barusan kamu bilang kek. Kan kakek saya sudah meninggal. Apa kamu panggil saya dengan sebutan kakek, apa saya tua? Sampai kamu panggil saya dengan sebutan kakek," sungutnya yang mulai bercanda.

"Mas ini apaan sih! Nggak nyambung banget, saya datang kemari itu, karena di suruh Bapak. Mas jangan sok ke pedean gitu." 

"Kamu itu nggak sopan banget ya! Ngomong sama orang tapi kamu bahkan nggak melihat ke arah saya. Emang kamu pikir saya ini setan?" gertak Bima yang masih berusaha berbicara seperti itu agar gadis itu menatap ke arah Bima.

"Saya memang sengaja nggak lihat, Mas, entar takut zina. Ya, zina mata. Entar kalau Mas suka sama saya, terus Mas mikir yang nggak-nggak, kan jadi zina mata," sungutnya masih dalam keadaan menunduk.

"Jangankan menatapmu, bahkan hanya dari kejauhan saja, saya sudah memperhatikan kamu," desisnya.

"Apa mas bilang barusan?" tanyanya dengan raut bingung, tanpa sengaja ia menatap Bima.

"Nggak... nggak ngomong apa-apa kok," ucap Bima yang menahan gerogi karena melihat gadis itu menatap kearahnya. Walaupun ia kembali menundukkan kembali pandangannya.

"Tadi saya seperti mendengar Mas mengucapkan kata-kata, tapi saya nggak dengar pasti," ungkapnya.

"Kamu salah dengar mungkin. Saya bahkan tidsk mengucapkan kata-kata apapun. Lain kali dikorek lagi tu telinga pakek sekop biar keluar semua isinya," ejek Bima.

"Nggak sekalian aja pakek cangkol," sungutnya.

Kenapa Bima jadi salah tingkah seperti ini di hadapan gadis yang bahkan belum ia kenal? Apa yang sebenarnya terjadi pada Bima?

Bersambung..

Komen (1)
goodnovel comment avatar
iwan
Penulis memiliki kebiasaan suka mengulang ngulang cerita, mungkin untuk maksudnya untuk menjelaskan, tp saya yang baca jd bosen membaca cerita yang sdh ditulis didepan Kalau sedang menulis adegan percakapan, jangan diselipin dengan penjelasan yang diulang ulang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status