"Yah, kalau hanya kata-kata, aku tak percaya. Aku butuh bukti yang nyata yang membuatku yakin kalau mempertahankan dirimu adalah pilihan yang terbaik, Mas," sahut Zia."Akan aku buktikan!""Dengan cara apa?""Nanti akan aku coba.""Enggak percaya aku, lagi pula kamu juga mudah percaya sama orang lain daripada padaku. Jadi percuma mau jungkir balik juga, gak ngaruh." Zia melepaskan pelukan Amran dan mulai sibuk ke kanan dan ke kiri. Sedangkan Amran hanya beriri memperhatikan gerakan istrinya."Apa sebaiknya aku berangkat ke kantor, ya?" tanya Amran bingung. "Terserah. Aku gak maksa, tapi juga gak larang. Lagi pula kamu kerja untuk kamu sendiri. Aku paling dikasih berapa," gerutu Zia membuat amtaj tertawa. "Sepertinya kamu lupa kalau kartu hitamku kan ada di kamu. Kamu bebas mau beli apa dan satu hal lagi, aku kerja untuk kamu dan masa depan kita.""Untukku dan masa depan kita? Kok kamu bisa yakin banget kalau kita bakal bersama?" tanya Zia enteng lagi-lagi membuat Amran marah, namun
Tepat setelah Zia berkata seperti itu, Via--ibu kandung Amran berdiri di ambang pintu."Sayang, apa yang kamu katakan barusan?" tanyanya, namun dia sendiri tidak sanggup mendengarnya. Jadi, dia pun mengalihkan topik ke makanan yang dibawanya. "Lihatlah, Mama bawa banyak makanan kesukaan kamu. Kita makan bareng, yuk? Bareng Zein juga."Via berjalan ke arah dapur dan menyimpan tas makanan yanh dibawanya ke atas meja makan. Lalu, mengambil beberapa tempat dari rak dan memindahkan makannnya."Sayang, Zein, ayo ke sini. Kita makan barang-barang," ajaknya lagi membuat Zia dan Zein sama-sama tidak enak hati untuk menolak. Terlebih jarak rumah Via ke sini sangatlah jauh, jadi mereka tidak mau membuat Via kecewa.Mereka pun berjalan beriringan mendekat. Dengan langkah pelan namun pasti, mereka membuat Via merasa dihargai hingga menunjukkan senyum yang lebar sebagai ungkapan kebahagiaannya.Zein menarik salah satu kursi untuk Zia, setelahnya baru duduk dengan menjaga jarak. Menurut Zein, tidak
"Berhenti, biar aku saja. Aku tidak suka ada orang yang masuk kamar Zia dan aku selain kami," ucap Amran menghentikan langkah Zein."Gapapa, Zein. Lanjut aja. Toh, Rania juga pernah masuk," sahut Zia sambil memasukkan sepotong demi sepotong buah ke dalam mulutnya tanpa menghiraukan perkataan Amran.Zein pun kembali melanjutkan langkahnya. "Ayo kita cek bersama saja," teriaknya kemudian dan Amran pun segera mengikuti langkahnya.Rania menatap tajam ke arah Zia. "Kamu sengaja, kan?" tanyanya sambil berusaha mendekat dengan tangan memegang pisau. Sejak dulu, Rania memang selalu ingin melukai Zia. Dia iri dengan Zia yang sejak kecil sudah memiliki apa yang selama ini dia impikan. Meski ibunya tidak tahu di mana, Zia selalu mendapatkan kasih sayang yang utuh dari ayahnya. Makanya setelah papanua Zia dan mamanya Rania menikah, Rania selalu berpikir dan menjalankan rencana untuk membuat Zia dibenci oleh orang-orang terdekatnya.Zia menjadi terlihat jahat di mata papanya, teman, juga saudara
"Kenapa keduanya pilihannya kejam? Apa tidak bisa yang manis satu agar aku bisa memilih?" Amran mendekat sambil senyum-senyum sendiri, sedangkan Zia malah memasang wajah dingin."Tidak ada. Aku sudah lelah menjalani pernikahan dengan sendiri ini karena kamu bahkan tak pernah menganggapku ada," terang Zia.Kali ini dia sudah bertekad untuk mengatakan semuanya tanpa pribahasa ataupun memikirkan perasaan Amran. Apalagi selama ini hanya dirinya yang menjaga perasaan Amran, sedangkan Arman sendiri cuek terhadap perasaannya. Makanya sekarang Zia enggan untuk menjaga lagi, jika hanya mendapatkan luka."Enggak ada. Aku sudah lelah. Padahal, istrimu adalah aku. Tapi tetap saja Rania yang kamu prioritaskan, seolah orang ketiga di antara kita adalah aku, bukan dirinya.Aku juga lelah selalu disalahkan atas apa yang tidak aku lakukan. Kapan aku akan bahagia jika bertahan di pernikahan yang penuh luka? Apa menurutmu aku bahkan bisa tersenyum? Enggak pernah." Zia terus berbicara, sedangkan Amran h
Zia menerima ponsel Amran dengan sepenuh hati, lalu mereka pun berjalan bersama sambil bergandengan tangan."Sekarang mau ke mana dulu?" Amran bertanya dengan lembut."Pantai, aku mau melihat matahari terbenam.""Siap laksanakan, Tuah Putri."Amran langsung menjalankan mobilnya ke arah pantai yang dimaksud oleh Zia. Berhubung jaraknya tidak terlalu jauh, jadi mereka bisa sampai setelah menempuh perjalanan satu jam."Wah, kita datang di waktu yang tepat karena mataharinya akan segera tenggelam," seru Zia.Dia benar-benar merasa sangat bahagia karena mimpi yang selalu ingin dia lakukan di waktu kecil akhirnya tercapai, namun tetap saja dia tidak mau berharap banyak. Zia tahu pasti kalau Amran masih mencintai Rania dan belum bisa menyukainya, jadi ketika waktunya sudah tiba, Zia sendiri yang akan pergi tanpa memberitahu siapa pun.Untuk saat ini, dia hanya mau menikmati kebersamaan sambil menatap yang indah-indah tanpa memikirkan banyak hal berat."Jalannya hati-hati. Lagi pula matahari
"Saya minta berkas pembangunan cabang yang baru, ya," pinta Bara setelah membuat Zia tidak banyak bicara."Ah, ya." Zia menjawab singkat dan terlihat serba salah.Beberapa karyawan wanita mendekat ke arahnya."Akhirnya kamu masuk kerja lagi.""Emang kenapa?" Zia menatap mereka heran secara bergantian."Sejak kamu cuti, Pak Bara jadi terlihat menakutkan. Pokoknya sikap aslinya mulai keluar," sahut seseorang membuat Zia menatapnya tak percaya. "Aku serius. Sejak awal Bos memang begitu. Berubahnya las kamu masuk kerja. Semua mata juga tahu."Semua wanita yang mengerumuni Zia mengangguk cepat."Itu benar. Cuman dua hari ini sikapnya kembali dingin dan itu benar-benar seperti membunuh kami tanpa menyentuh.""Dia memang tampan, sayangnya sangat menakutkan hingga membuat wanita menjauh dan tidak berani mendekat.Zia memicingkan matanya tak percaya, karena selama ini Bara selalu berbicara dengan hangat dan tidak pernah sekalipun menunjukkan sikap dingin.Akan tetapi, Zia memilih untuk percaya
Bara turun dari mobil dengan perasaannya yang sedikit terusik dengan apa yang dilakukan Amran, namun dia tidak akan tenang jika tidak mengucapkan beberapa kata sama Amran."Ada apa?" Amran bertanya tanpa menurunkan kewaspadaannya seolah takut apa yang dia genggam akan direbut oleh pria yang ada di hadapannya."Kalau kamu menyayangi istrimu, jangan biarkan dia tidak nyaman dengan kehadiranmu," ucap Barata.Tanpa sadar, dia pun tersenyum karena Amran saat ini benar-benar menganggapnya saingan."Tenanglah, meski kita bersaing secara bisnis, namun tetap saja sekarang aku hanya berstatus kating Zia di masa lalu," lirih Barata membuat kemarahan Amran semakin membesar, namun dia juga tidak bisa melakukan apa pun karena saat ini di pelukannya ada Zia.Amran tidak ingin membuat Zia kecewa dengan melampiaskan emosi pada atasannya, apalagi jika kekecewaan itu berubah jadi benci. Membayangkannya saja Amran benar-benar tidak bisa."Tentu saja! Jangan katakan yang tidak-tidak, karena aku akan sela
"Masalahnya dia kerja di tempat Bara, Rid. Lu kan tahu Gua dan Bara saingan. Gimana ceritanya dia malah masuk ke sana?" Amran benar-benar tidak berhasil menemukan alasan kenapa Zia memilih untuk bekerja di perusahaan saingannya, padahal Zia bisa memilih perusahaan yang lebih baik."Bisa jadi karena mereka udah lama saling kenal, jadi nyaman. Jadi Zia berpikir daripada ngelamar di tempat lain, ya udah di tempat Bara aja. Seenggaknya dia tahu atasannya siapa sekaligus pemiliknya," terang Farid lagi masuk akal, namun Amran masih kesulitan untuk mengerti."Intinya Lu percaya gak sama Zia?" Farid kembali bertanya."Iyalah.""Harusnya kalau Lu percaya, ya Lu jangan nanya-nanya ke gini lagi. Lu harus yakin kalau ala yang sudah Zia pilih adalah yang terbaik.""Gua tau, tetap aja Gua gak bisa nerima.""Tandanya Lu egois, Ran. Harusnya kalau Ku percaya, Lu tinggal nunggu dia jelaskan alasannya sambil antar jemput. Beres.""Sayangnya tak segampang itu." Amran benar-benar frustasi."Pada kenyataa