Share

Bab 8. Pertemuan ke tiga

Johan duduk di teras menatap langit malam tanpa kemilau bintang. Angin bertiup sepoi menerbangkan rambutnya yang hitam. Entah sudah berapa puluh orang dan berapa ratus ribu kali, orang-orang memberinya nasehat.

'Menikah memang mudah, tapi menikah yang melibatkan hati bukan perkara mudah.'

Johan mengembus napas lelah. Lelah harus menjawab bahkan menjelaskan setiap omongan yang menganggapnya belum move on. Jam dinding mengarah pada angka 9.10 menit. Dia termenung sebentar berpikir akan melakukan apa.

Pintu pagar besi, Johan dorong hingga ke batas akhir agar mobilnya bisa keluar, setelah mengambil jaket dan mengunci pintu rumah. Sesaat melihat ponsel ketika ring tone pesan berbunyi. Tidak ada yang penting untuk dijawab.

Johan melajukan mobilnya tanpa arah tujuan. Ingin ke rumah Gusti untuk bermain dengan Melly, tapi yang bersangkutan sedang tidak di rumah sejak sehabis Maghrib. Dia rindu dengan bayi montok yang cukup sering tidur bersamanya di tempat tidurnya.

Dia rindu dengan wanginya, suara tawa, tangisan, dan rengekan Melly. Menggendongnya dan bangun tengah malam mengganti popok saat Gusti tidak terbangun, atau membuatkan susunya. Johan menjadi terbiasa dengan hal-hal yang berbau bayi, sejak Melly sering dibawa Gusti ke rumahnya.  Johan rindu suara bayi di rumahnya.

Bang, datanya gak bisa export ke excel, kenapa ya, Bang? Tumben nih softwarenya heng.

Pesan dari Riska yang harus lembur karena laporan akhir bulan harus selesai sebelum deadline berakhir. Riska yang berada langsung di bawah Johan secara struktural perusahaan, sering menjadikan Johan tempat curhat. Gadis itu menjadikan Johan sosok abang yang tidak dia miliki.

Johan tidak menggubris pesan tersebut gara-gara matanya melihat Marina sedang duduk di pinggir jalan, tepat di bawah sinaran lampu jalan - sedang bersedih.

"Sedang apa dia di situ?"

Dia menarik rem tangan, bermaksud menghampiri janda muda tersebut. Namun, justru berakhir hanya menatap Marina dari dalam mobil. 

“Sedang apa kamu di sini?”

Marina terkejut mendengar suara lelaki yang lumayan dekat dan melihat sosok Johan sudah berdiri di sampingnya. Johan melihat-lihat sekitar –lumayan sepi tanpa banyak kendaraan yang lewat. Motor matic Marina diparkir di sebelah kirinya. Marina bergeming.

“Kenapa kamu duduk di sini sendirian?” ulangnya.

“Gak apa-apa,” lirih Marina cuek.

“Gak baik kamu sendirian di sini, jalanan juga sepi. Kalau ada yang berbuat jahat sama kamu, gimana?”

Mata Marina seketika melirik tajam dan sadis pada Johan yang kebingungan dengan sikapnya yang aneh.

“Kamu tuh anak perempuan. Syukur kalau kamu karateka atau sejenisnya, kalau gak? Kan berabe!”

Dahi Marina mengerut. Johan tidak bermaksud menakut-nakuti, tapi memang perkataannya benar adanya. Marina mencoba menyangkal, tapi hatinya sejujurnya sudah mulai ketakutan.

 “Apaan tuh karateka?” liriknya mengiba.

Johan menarik napas. Dia tahu benar bahwa Marina mulai tidak nyaman dengan ucapannya barusan. Tapi, Johan harus berkata yang sesungguhnya.

“Karateka itu orang yang bisa bela diri karate.”

Johan masih berdiri di tempatnya. Tidak sedikitpun Marina menggeser tubuhnya untuk Johan bisa duduk di sebelahnya. Dan, dia hanya menjawab O.

“Kamu belum jawab pertanyaan saya.”

Johan masih berdiri dengan sabar menagih jawaban dari Marina. Sebetulnya Johan sudah geleng-geleng kepala dengan kelakuan Marina sejak awal jumpa.

“Kalau patah hati jangan duduk di sini, harusnya ke kafe makan es krim atau makan bakso dower yang pedesnya bikin gelepar-geleper.”

“Apaan sih? Siapa juga yang patah hati.”

Marina sewot bukan kepalang. Johan menahan bibirnya untuk tersenyum supaya tidak terlihat oleh janda muda itu, tapi dia bersorak sorai dalam hati.

“Nungguin pacar kamu?”

Johan kembali mengamati sekitar mencari sosok yang mungkin sedang ditunggu oleh Marina. Namun, tidak ada tanda-tanda yang terlihat. Johan bingung untuk bersikap melihat Marina tidak kunjung memberi respons.

 “Ya, sudah. Saya balik dulu, ya. Kamu hati-hati.”

Johan langsung balik badan tanpa menunggu jawaban dari Marina. Perempuan itu tercengang dengan sikap Johan yang tidak berbeda dengan pertemuan di pom bensin.

‘Itu orang gimana, sih? Main pergi-pergi aja!’

Marina menatap kepergian Johan dengan muka sungut. Matanya melihat Johan yang membuka pintu mobil tanpa melirik lagi padanya. Tanpa pikir panjang, Marina berdiri dan berjalan ke tempat motornya diparkir.

Dari dalam mobil, Johan bisa melihat dengan jelas Marina yang sedang bersiap untuk pergi. Lelaki itu sengaja menunda melajukan mobilnya untuk memastikan Marina baik-baik saja.

“Mudah-mudahan aja motornya gak ngulah lagi kayak tempo hari.”

Marina melajukan motornya tanpa menghiraukan Johan yang terus memperhatikannya dari belakang. Rencana perempuan itu untuk bertemu dengan teman sekolahnya batal, karena tiba-tiba teman Marina memberi kabar yang tidak menyenangkan. Perempuan itu baru saja berpikir akan tujuan selanjutnya untuk menikmati malam, bersenang-senang menghilangkan penat tanpa ada teman, tetapi Johan justru datang menghancurkan moodnya.

 “Perempuan aneh!”

Kali ke dua kalimat itu terlontar dari mulut Johan sebelum menggeser persneling dan berlalu. Dengan kecepatan rendah, Johan tanpa sadar melajukan mobilnya mengekori Marina. Perempuan itu mengurungkan niat untuk balik ke warung, ketika melihat dari kaca spionnya –Johan berada di belakangnya.

 ‘Ngapain sih dia? Mau ngekorin aku?’

Marina sempat melihat mobil Johan saat berhenti di bawah pohon tadi, bahkan sempat melihat nomor plat mobil lelaki itu –dan terhapal. Perempuan itu meminggirkan motornya ke kiri untuk berhenti di satu swalayan. Bukan untuk membeli sesuatu, tapi untuk menghindari Johan. Sekilas Marina melihat mobil Johan melintas dengan kecepatan sedang di lajur kanan, tidak peduli pada dirinya yang tiba-tiba kerepotan memarkir motor dengan cagak dua. Marina celingak-celinguk melihat sekeliling untuk meminta bantuan.

“Mari saya bantu, Mbak.”

“Euh, ng –eheh, iya, Pak.”

Seorang tukang parkir muncul dari arah belakang setelah membantu mobil yang akan keluar dari parkiran swalayan.

“Ng, terima kasih, Pak.”

“Sama-sama, Mbak. Jangan lupa dikunci setang motornya, helmnya taruh yang benar. Biar gak hilang,” nasehatnya dengan logat jawa yang kental.

Marina mengangguk.

“Saya masuk dulu, Pak,” ujar Marina tersenyum.

Monggo, Nduk.”

Marina terkejut mendengar panggilan si bapak berubah dari mbak menjadi nduk.

Marina menghela napas. Memandangi swalayan sambil berpikir apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Tidak mungkin hanya berdiri di luar seperti orang tidak punya uang, pun masuk ke dalam juga tidak ada yang butuh untuk dibeli, apa lagi tempat untuk duduk.

Janda muda itu melihat sekeliling –mencari kafe atau warung untuk duduk bersantai. Tidak ada yang nyaman menurut pandangan matanya. Dia mulai kesal dan menggerutu nasibnya yang tidak beruntung malam ini.

‘Hah, kenapa juga ketemu sama tuh abang-abang? Gara-gara dia jadi kemari!’

Perempuan itu menarik napas panjang –celingak celinguk berpikir alternatif lainnya untuk menikmati malam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status