Takdir mempermainkan Clarissa Anastasya, hati gadis itu kini merasa sangat cemas.
Bagaimana jika Helena tahu?
Bagaimana jika sang kakak tidak setuju?
Sepanjang perjalanan, pikiran Clarissa lagi-lagi terkuras memikirkan kemungkinan yang akan terjadi.
Zeland dan David menatapnya yang gelisah sejak tadi. Kedua lelaki itu kini tahu, jika Clarissa punya banyak masalah.
"Mau makan siang dulu atau langsung menuju ke butik, Tuan?" tanya Tiger memecah keheningan.
Tiger adalah supir sekaligus pengawal yang akan mendampingi Clarissa.
"Butik, siapa yang akan belanja?" tanya David.
"Nona Clarissa. Nona akan memilih model gaun untuk acara pertunangan, Tuan."
"Apa!" Ketiganya shock mendengarnya.
Zeland menatap Clarissa, wajah gadis itu berubah pias. Tubuhnya gemetar membayangkan apa yang paling di takutinya, selangkah demi selangkah semakin dekat. Cla frustasi memikirkan bagaimana caranya untuk menggagalkan semua itu.
"Tuan Abraham sudah mengatur semuanya, di harapkan Tuan muda ikut memilih setelan jas serupa dengan warna gaun yang akan di pilih oleh Nona Clarissa."
David tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Dipikiran lelaki itu sekarang adalah. Apa kata orang jika pendamping Abraham Reevand adalah gadis yang baru saja lulus sekolah.
Tanpa di sadari Zeland dan David, air mata membanjiri wajah cantik gadis itu. Impiannya hancur, masa muda akan di habiskan menjadi seorang istri dari lelaki yang sama sekali tidak di cintainya.
Clarissa membuang pandangan ke arah jendela. Gadis itu semakin frustasi dan tidak tahu bagaimana caranya mengakhiri semua ini.
'Ibu, Ayah. Tolong aku,' batinnya.
Jerit tangis Cla di dengar oleh Zeland, pemuda itu akan memberikan sapu tangannya Namun Cla lebih dulu meraih Tissue.
Niat baiknya pun terkubur begitu saja.
Khikk!
Tiba di sebuah butik ternama, mobil yang di kendarai Clarissa parkir dengan sempurna di depan sebuah gedung. Butik ternama itu milik designer terkenal di kota itu, Madam Savista. Madam telah menunggu kedatangan mereka sejak siang tadi.
Angelo sudah tiba lebih awal dan menunggu di dalam, lelaki itu sama terkejutnya kala mengetahui kedatangan mereka untuk memilih gaun.
"Ayo turun, sepertinya hari bahagiamu akan segera di mulai," ucapan Zeland membuat Cla mendongak. Gadis itu di abaikan.
Zeland dan David langsung turun dari mobil, dan berjalan memasuki butik. Cla menangis terseduh, sakit sekali dan rasanya ingin mati saja.
"Ayo, Nona. Madam sudah menunggu lama." Tiger membukakan pintu mobil.
Clarissa lagi-lagi harus menguatkan diri, gadis itu membusungkan dada. Menyeka air mata dan keluar dari mobil dengan elegan. Menangis di depan pewaris Abraham hanya akan menjadikannya olokan.
Madam Savista terlihat sangat bahagia menyambut pria tampan di hadapannya.
"Akhirnya kalian mampir juga setelah sekian lama," ucap sang designer.
Angelo duduk di sebuah sofa dengan tampang bete dan tidak mood, hanya David yang menimpali wanita yang merupakan sahabat Kakeknya itu.
"Terima kasih, Madam. Seperti biasa Madam selalu tampak muda dan cantik."
Senyum wanita itu mengembang. Sekian lama mengabdi pada Abraham dan melihat ketiga pemuda itu tumbuh dan memujinya membuat Savista tersenyum bahagia.
"Diantara mereka, kau selalu paling menonjol, David. Oh ya, mana gadis itu?" tanyanya.
Clarissa masuk setelah karyawan butik membuka pintu kaca untuknya. Wajah sembab dan hidung memerah, membuat orang bisa menebak jika Clarissa baru saja menangis.
Aura yang terpancar, membuat Madam Savista terpesona.
"Wah, Kakek kalian memang tidak salah pilih calon pengantin," puji Madam Savista.
Langkah Clarissa terhenti, tatapan terluka jelas terlihat membuat raut wajah cantik itu terlihat sayu.
"Oh, Sayang. Apa yang membuatmu sedih? Apa yang terlihat belum tentu akan terjadi, kau seperti bunga, kau akan bahagia seperti selayaknya. jadi tersenyumlah."
David menatap gadis itu. Ya, hanya orang yang tidak memiliki hati nurani yang tidak bisa menebak kesedihan seorang Clarissa. Titik bening hampir saja meluncur, untungnya Clarissa menyeka tepat pada waktunya.
"Ikut, Madam. Kau akan menjadi seorang putri, percayalah. Beberapa gaun akan sangat terlihat sempurna untukmu."
Kata manis Savista tidak mampu mengembalikan keceriaan di wajah Clarissa. Gadis itu dibawa menuju ke sebuah bilik. Zeland dan yang lain langsung berembuk setelah kepergian Madam Savista dan Clarissa.
"Kalian sudah dengar? Kakek benar-benar serius menjadikan dia sebagai istri," ucap Zeland.
"Tu, cewek miskin pasti pake guna-guna. Nggak mungkin kan Kakek bisa bertekuk lutut dan mau menikah dengannya begitu saja. Masih banyak wanita yang lebih cantik dan tentu lebih dewasa," seru Elo.
Mereka diam cukup lama, seolah mencari cara untuk menggagalkan pertunangan itu.
"Ini baru pertunangan, kita harus cari cara buat menjauhkan gadis miskin itu!"
Zeland dan David tidak keberatan dengan kehadiran Clarissa. Tapi, jika gadis itu berniat menjadi Nenek mereka. Hal itu sangat membuat mereka terganggu.
"Caranya gimana?" tanya David.
Pikiran mereka buntu, bingung harus bagaimana?
"Gua ada ide," ucap Angelo dengan seringai licik.
Zelad dan David melihat ekspresi adik bungsunya. itu.
"Jujur saja, aku tidak yakin, kalau idenya datang dari kau, El," ucap David bergidik.
"Sialan, lo! Hanya ini satu-satunya cara untuk menggagalkan pertunangan ini, kalau beruntung. Pernikahan pun tidak akan berlangsung."
Davida dan Zeland mengerutkan kening, sehebat itukah rencana Angelo.
"Baiklah, katakan!"
Angelo maju dan berbisik, wajah kedua saudaranya menegang mendengarnya.
"Kau gila!" ucap Zeland.
Angelo langsung membekap mulut pemuda itu.
"Jangan kencang-kencang, nanti ketahuan." Angelo memikirkan cara yang ekstrem, hanya dengan begitu dia mampu menggagalkan semuanya.
"Aku juga tidak setuju, jangan kelewatan seperti itu, El!" David menentang keinginan sang adik.
Angelo mengembuskan napas kasar.
"Entah, apa yang dilakukan gadis itu hingga kalian seperti ini. Gue juga manusia, nggak mungkin menyuruh orang-orang itu melakukannya secara real. Ini hanya pura-pura, ayolah."
David dan Zeland masih ragu untuk mengiyakan. Tidak lama, tirai di buka membuat ketiganya kompak menoleh ke belakang. Tampak Clarissa muncul di tengah dengan gaun berwarna putih gading. Penampilan gadis itu membuat ketiga pewaris Abraham tercengang.
Clarissa sangat cantik, gaun yang di kenakan pun terlihat sangat sempurna.
"Hey, kalian jangan melamun saja. Coba komentari, apa ini cocok?" tanya Madam Savista.
Tidak ada yang menyahut, pandangan mereka masih fokus ke wajah gadis itu. Clarissa tertunduk dan sedih, wajahnya murung. Meski begitu, kecantikannya tetap terpancar.
"Kalian datang untuk mengoreksi, jika tidak membantu sebaiknya pulang saja." Madam Savista mengusir ketiganya.
"Cantik," ucap Zeland jujur.
Angelo menatap saudaranya kesal. Clarissa mendongak perlahan. Tatapan gadis itu membuat Zeland dan David terenyuh. Kesedihan Clarissa seolah bisa dirasakan oleh kedua lelaki itu.
"Aku tahu, gaun ini sangat cocok untuknya." Madam Savista mendekati Clarissa yang murung.
"Sayang, andai saja kita bertemu lebih dulu. Aku tidak akan segan-segan memintamu sebagai model untuk beberapa gaunku. Sayang, Abraham tidak akan mengizinkan hal itu terjadi." Madam Savista mencubit gemas dagu Clarissa.
Gadis itu mencoba tersenyum, dan hasilnya. Clarissa hanya semakin terluka.
Tiger tiba dan masuk terburu-buru.
"Nona, Kakak Anda tiba di kediaman Reevand."
Informasi datang tanpa diduga.
Clarissa terbelalak, kali ini dia tidak mampu membendung air matanya.
"Bagaimana itu bisa terjadi?"
Clarissa ketakutan, Helena akan membencinya seumur hidup jika dia tahu apa yang sebenarnya telah dia gadaikan. Ketiga pewaris Abraham sama kagetnya.
"Entahlah, Nona. Saya mendapatkan kabar dari suster yang menjaga Nona Helena."
Tanpa pikir panjang, Clarissa berlari keluar.
"Aku harus pulang, ya, ini tidak boleh terjadi."
Gaun mahal Madam Savista menyapu jalanan.
"Nona, tunggu!"
Cla bergegas tak peduli apapun.
Madam Savista meringis melihat gaun mahalnya di bawah kabur.
"Sial! Cepat kejar dia!" ucap David.
Bersambung.
Clarissa berlari tanpa henti, suara klakson mobil terdengar di sisi kanan dan kirinya. Gadis itu tak menyadari betapa konyolnya apa yang dia lakukan kini. Bahkan sekarang, gadis itu tengah menjadi sorot perhatian. David, Zeland mengejar sekuat tenaga dan Angelo masih dengan akal sehatnya mengendarai mobil sport miliknya. Gadis nan cantik dengan gaun super mewah melangkah di tengah jalan raya, sedang mobil kontainer melaju dengan kencang dari arah berlawanan. Cla terpaku sekaligus kaget saat melihat mobil dengan ukuran besar itu tepat melajuh ke arahnya. "Acchhhh!!" teriak Cla ketakutan, kematian telah berada di depan mata. "Inikah akhirnya, apa aku akan mati?" batinnya. Sreaatth. Sebuah tangan kekar meraih bahu gadis itu, Clarissa oleng dan jatuh bersamaan. Piiiippp. Klakson panjang tedengar nyaring. Semua mata memandang dan teriakan pak supir memecah kesadaran. "Mau mati jangan di sini woi!! Dasar cewek gila!!" sang supir kesal, dengan sengaja lelaki itu menghembuskan asap k
Abraham menemui seorang paparazi secara empat mata, sudah menjadi kebiasaan Abraham untuk menyelesaikan semuanya sendiri tanpa menyerahkan semua urusan pada sang bawahan. Suasana Cafe sedang ramai, dengan sekali jentikan jari, Abraham bisa mengosongkan tempat itu. Seorang lelaki dengan kamera di tangan masuk ke dalam Cafe dan menenteng tas di tangan kanannya. “Maaf menganggu waktu Anda Pak Abraham,” sapa lelaki itu. Dia adalah seorang yang selalu mengambil keuntungan dari setiap gambar yang di dapatkannya di lapangan. “Tidak masalah, kali ini berita apa yang kau punya?” Abraham bersikap dingin, menyingkirkan satu parasit bukanlah hal yang sangat sulit bagi Abraham. Namun, apa yang di lakukan wartawan itu menurutnya sejauh ini masih dalam ketegori aman. Wartawan itu bernama Jack, dia mengeluarkan beberapa lembar foto dan menyerahkannya pada Abraham. Foto Clarissa sedang berlari mengenakan gaun di tengah jalan terpampang di sana. Foto David yang mengejar serta berguling di jalan me
Helena duduk termenung menyapu rambut Clarissa yang tidur di pangkuannya. Nasib buruk mendekati sang adik karena kondisinya saat itu membuat Helena merasa sangat bersalah. “Kakak akan membantumu lepas dari sini, Cla. Kakak janji,” bisiknya. Clarissa menangis dalam diam. David, Zeland dan Angelo sedang berkumpul di ruang khusus di lantai dua, mereka sedang memikirkan rencana Angelo saat berada di Butik tadi. Raut wajah Clarissa dan Helena tidak memperlihatkan kebahagiaan atau merasa bangga karena rencana pernikahan akan semakin dekat. Hal itu mengusik ketenangan ketiga pewaris Reevand. “Apa ini baik? Mereka sepertinya tertekan dan kita tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka tidak seperti dengan apa yang ada dalam pikiran kita,” ucap David gelisah. Zeland memiliki pemikiran yang sama. Namun, siapa yang bisa membantah keputusan sang Kakek. “Alah, kalian itu gampang banget ditipu oleh akting mereka. Banyak yang di luar berpura-pura menolak tapi kenyataannya, apa? Mereka adalah wanita
Dengan lemah lembut, Clarissa mengoles obat merah dan sesekali meniup luka sayat pada tangan David, dia membalutnya pelan dengan kain kasa. Gadis itu merasa sangat berhutang budi pada pemuda itu. ‘Apa yang ada di pikirannya? Kenapa dia bisa melukai diri sendiri seperti ini,’ batin Cla. Luka di lengan David mencuri perhatiannya, kilasan kejadian tadi siang kembali di ingatan. “Terima kasih,” ucap gadis itu memecah keheningan. David terus menatapnya sejak tadi. “Untuk apa?” “Karena telah menyelamatkanku dari maut.” David tersenyum kecut dan segera bangkit. “Sudah malam, istrahatlah.” Pemuda itu kembali ke kamar dengan perasaan kacau. Tatapan Clarissa menganggu konsentrasinya. Siapa dia? dan apa tujuannya menjadi misteri tersendiri bagi David. Malam berganti dengan cepat, Clarissa ketiduran dan masih terlelap di atas kasur. Helena sudah bangun dari tadi dan dua pelayan telah berdiri di sisi tempat tidurnya. “Selamat pagi, Nona.” Bibi Agnes sang asisten datang membangunkan Cla.
Clarissa telah duduk di mobil, setelah meyakinkan Helena semuanya akan baik-baik saja. Gadis itupun pasrah mengikuti David. Tiger dan tuannya saling berembuk, tangan David sakit dan dia meminta Tiger mengalah. Helena menatap khawatir melepas Cla keluar tanpa dirinya. Namun titah Abraham, jelas. Hanya Clarissa dan David yang boleh menghadiri acara penting itu. Klik. Pintu mobil terbuka dan David masuk ke kursi pengemudi. Tanpa bicara, lelaki itu membanting pintu mobil dan menyalahkan mesin, mereka melaju meninggalkan kediaman Reevand. Clarissa terpaku menatap tangan lelaki itu dan bergumam di dalam hati. ‘Kenapa dia harus menyetir sendiri saat tangannya masih cidera, kenapa tidak memakai jasa supir,' batinnya. Mereka telah jauh dari rumah, David berhasil meminta Tiger tidak mengikutinya. “Dengar," ucap David tanpa menoleh. Cla menatapnya segan. "Entah ini akan berakhir baik atau sebaliknya. Aku hanya ingin memberi tahu. Konferensi pers ini sangatlah penting bagi kakek." Cla
David dan Clarissa memasuki ruangan konfrensi pers yang megah, mereka bagai pasangan yang serasi dan langsung mencuri perhatian, para wartawan dan pengawal saling berdesakan demi mengambil foto sesuai angel yang mereka inginkan. Cla gugup sekaligus takut, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Beruntung ada David yang selalu stay di sampingnya. "Kau tidak apa-apa?" tanya pemuda itu perhatian. Cla menatapnya sungkan lalu mengangguk canggung. Di Kejauhan, Elo dan Zeland tampak tenang duduk di depan sana. Mereka diam dan mengamati, penasaran bagaimana akhir dari kekacauan ini. “Selamat siang, Tuan David. Silahkan duduk di kursi yang telah disediakan,” ucap sang pembawa acara. Cla yang bingung akan melangkah kemana, terpaku saat David mengenggam tangannya. "Ikuti aku, oke." Cla seolah terhipnotis. Pemuda itu maju dan berusaha melindungi Cla meski tangannya sendiri masih cidera. "Auww!" Grasak grusuk dari awak media membuat Cla hampir terpeleset. David geram melihatnya, sont
Setibanya di rumah, David langsung keluar dari mobil dan meninggalkan Clarissa di sana. Pengawal dan pelayan sigap datang menyambutnya. “Selamat siang, Tuan David. Tuan besar menunggu anda di ruang kerja.” "Hemm, siang." David bergegas, melihat Bibi Agnes berdiri di sana pemuda itupun lantas menghampirinya. “Dia ketiduran, bangunkan dia setelah saya berada di dalam.” “Baik, Tuan.” David pun berjalan menemui kakeknya di ruang kerja. Angelo dan Zeland berada di ruangan yang sama. Klikkk Pintu terbuka, Zeland dan Angelo kompak menatap ke arah pintu. “Bagus lo pulang, darimana aja lo, udah gua bilang jauhi gadis itu. Sekarang lo susah sendiri, kan.” Angelo terus bicara tidak peduli dengan keberadaan Abraham di sampingnya. David mengabaikan sang adik dan berdiri tepat di hadapan sang kakek. “Apa maksud Kakek tadi? Kenapa nggak terang-terangan saja jika memang kakek mau menikahi Clarissa.” Abraham tersenyum, emosi David bagaikan simfoni di telinganya. “Kakek akan melakukannya, V
Suara keributan terdengar dari lantai bawah, Angelo dan kedua saudaranya sedang bermain di ruang billiar. Mereka saling bertatapan saat suara-suara asing menggema terdengar cukup keras. “Ada apa di bawah?” tanya El pada kedua saudaranya. “Entahlah, aku tidak tahu.” Zeland fokus bermain, sedang David memikirkan masalah yang terjadi. “Pajang bunga itu di sana, ganti dekorasinya sebelah sana. Tuan Abraham menginginkan dekorasi yang elegant dan mewah.” David menyadari sesuatu. “Jangan-jangan.” Pemuda itu berlari keluar. Hal itu memantik rasa penasaran kedua saudaranya. Angelo dan Zeland menatapnya aneh. “Mau kemana dia?” tanya Elo pada Zeland. “Entahlah, kau ini cerewet, aku terus bersamamu. Sama halnya denganmu akupun tidak tahu,” ucap Zeland kesal. “Santai aja kali, gua kan cuman nanya?” Mereka keluar dari ruangan dan melihat begitu banyak orang yang berlalu lalang. Semuanya tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang menyusun bunga dan ada juga yang menyiapkan prasma