Bagian 7
Pagi kembali datang menyambut hari baru bagi semua siswa di sekolah tersebut. Hari ini semua angkatan XII berkumpul di aula mendengarkan pengumuman yang akan di sampaikan oleh wakil kepala sekolah.
Raut tegang bercampur haru tidak bisa terelakan. Mereka sadar jika sebentar lagi langkahnya hendak memasuki dunia baru. Dunia yang tidak pernah mereka sangka bisa seperti apa. Menuju dewasa dan menghadapi kehidupan yang lebih kejam lagi.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi semuanya. Tidak terasa perjalanan kalian menempuh pendidikan di sini sudah mencapai titik terakhir. Sebelum itu kami sepakat akan melakukan study tour terakhir bagi kalian untuk mengenang kebersamaan kita semua. Tahun ini sekolah kita akan pergi ke pantai yang berada di luar kota Jakarta. Tepatnya berada di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur, yaitu Pantai Pink." jelas Pak Geri membuat keadaan heboh seketika.
"Wwoouuhhhh"
"Bagus, pak"
"Yyeeeaaahhhh. Akhirnya kita ke pantai juga."
"Yahooooooo"
Pprrookk!!
Pprrookk!!
Pprrookk!!
Tepuk tangan serta aungan kebahagiaan menggema. Mereka antusias menyambut berita tersebut. Semuanya tidak sabar untuk segera pergi ke sana. Pantai Pink, terkenal dengan keindahan pasirnya yang berwarna merah muda.
"Kita akan berangkat pekan depan, sekarang bubar dan lanjutkan belajar. Selamat bersiap-siap." Tutup Pak Geri lalu meninggalkan podium.
Semua murid berhamburan keluar dengan perasaan suka cita. Semangatnya semakin membara kala mengetahui ke mana mereka akan pergi. Celotehan demi celotehan berdengung di sepanjang lorong. Satu dengan yang lain membicarakan berbagai persiapan.
Pantai pink cocok bagi mereka yang sudah memiliki pasangan sah. Bisa dibilang tempat tersebut menjadi salah satu devinisi yang tepat untuk berbulan madu bagi mereka yang masih pengantin baru. Namun, kenapa sekolah mereka bertujuan pergi ke sana? Pikir beberapa siswa. Dan sebagain besar dari mereka menyambut dengan suka cita, tidak peduli ke mana tujuannya.
"Sayang yah, seharusnya kita bisa pergi berpasangan sah ke sana. Hah andai aku sudah menikah." Keluh Rahel yang tengah berjalan di lorong bersama sahabatnya, Erina.
Gadis itu sempat berpikir jika ini adalah liburan yang bagus baginya dan Dimas. Namun, saat mendengar perkataan Rahel ia tersadar. Karna tidak mungkin mereka bisa menghabiskan waktu bersama meskipun sudah menjadi pasangan yang sah.
"Yah, kamu benar hahaha. Kalau begitu kamu cepat cari pasangan dan nanti langsung menikah saja hahahahaha" goda Erina berhasil membuat Rahel menoleh.
"Hah~ memang mudah kalau bicara. Apa jadinya jika aku menikah muda dan masih berstatus pelajar? Apa kata orang-orang nanti?" seketika itu juga Erina terdiam. Ucapan Rahel kali ini tepat mengenai ulu hatinya.
Ia tidak pernah berpikiran sampai ke sana mengenai statusnya. Bagaimana jika orang-orang tahu jika ia sudah menikah dengan pemuda pintar seperti Dimas? Apa ia akan baik-baik saja? Pikirnya kemudian.
"Aku tidak peduli orang-orang menganggapku apa. Tapi aku tidak bisa jika itu ditunjukan pada, Dimas." Cemasnya.
"Bagaimana pun juga kita nikmati saja ada ataupun tanpa pasangan" ujar Rahel lagi sembari merangkul bahu sahabatnya.
Sedangkan tidak jauh dari keberadaan mereka, Dimas yang sedang berjalan bersama Ilham dan Reina juga tengah membahas study tour tersebut.
Reina terlihat bahagia saat tahu ke mana mereka akan pergi. Pikirannya berpurar cepat merencanakan apa yang hendak dilakukannya nanti di sana.
"kkkyyyaaa, aku senang sekali. Tidak sia-sia aku memilih sekolah ini. Hei, Dimas mungkin ini waktu untuk kita bisa berkencan lagi." Cerocosnya begitu saja.
Ilham mengerutkan dahi seraya mengerucutkan bibirnya bingung, "apa maksudmu Reina? Apa kau masih menyukai Dimas?" pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulutnya.
Dimas pun tercengang mendenganya lalu beralih melihat Rerina yang tengah memukul sahabatnya. Kemudian bola matanya bergulir keluar jendela menerawang langit cerah hari ini. "Apa Erina juga menyukainya? Seharusnya kami pergi berdua saja, eehhh apa yang aku pikirkan? Hahaha aku kenapa?" ia pun bermain dengan pikirannya sendiri.
***
Saat ini Erina sedang menemani Rahel pergi ke toko baju. Mereka berbinar senang saat pakaian bermerk menyambut kedatangannya. Kebahagiaannya bertambah kala netranya melihat potongan setengah harga membuat gadis gila belanja itu semakin bersemangat.
"Lihat Erina ini bagus sekali. Aku ingin memakai ini ke pantai nanti" Rahel langsung menyambar gamis modis yang terpajang di sudut toko.
Erina mengrenyitkan dahinya, "apa itu tidak terlalu berlebihan? Maksudku itu cocoknya untuk pergi ke pernikahan." Ujarnya.
"Ah, iya kamu benar juga. Hah~ senangnya jadi pengantin." Celoteh Raehl seraya kembali menempatkan baju itu ditempatnya semula.
Erina pun lagi-lagi disadarkan dengan ucapan Raehl barusan. "Senangnya jadi pengantin? Justru aku malah sebaliknya, kehidupan pernikahkanku terhalang oleh status kami. Hah~ bodohnya" bibirnya mengerucut kecewa dengan pikirannya sendiri.
Mungkin, jika telah terlepas dari status pelajar mereka bisa bebas melakukan apapun layaknya sepasang suami istri. Terkadang kehidupan tidak selalu berjalan mulus, meskipun Tuhan telah memberikan pendamping pasti ada ujian lain yang diberikan untuk menguji kesabaran hamba-Nya. Mungkin itulah yang saat ini tengah Erina dan Dimas jalani. Bertahan dalam status baru mereka.
Ujian hidup dan ujian pernikahan tengah berjalan berdampingan.
Setelah berkeliling berkali-kali, akhirnya Rahel menemukan pakaian yang di inginkannya. Gamis sederhana dengan renda mengelilingi bahunya cocok ia gunakan ke pantai. Gadis itu tersenyum lega setelah mendapatkannya.
"Erina, kenapa kamu tidak sekalian beli?" tanyanya ketika mereka dalam perjalan pulang.
"Ah, tidak perlu. Aku tidak punya cukup uang untuk membeli barang-barang seperti itu" seketika senyum kecut tergambar di wajah cantiknya, membuat Rahel merasa bersalah "Ahh maaf, aku tidak bermaksud untuk_"
"Tidak apa-apa. Sudahlah jangan dipikirkan lagi." Malas Erina jika harus membahas hal seperti itu.
Seketika ia pun jadi teringat dengan mendiang orang tuanya. Ketika masih hidup Erina selalu di manjakan oleh kedua orang tuanya. Meskipun keluarga Erina hanya memiliki usaha kecil-kecilan, tapi setiap hari mereka selalu terlihat bahagia. Tidak pernah sedikit pun mengeluh akan hal-hal yang terjadi dalam kehidupannya.
Namun sayang, nyawa kedua orang tuanya harus pupus begitu cepat. Sampai sekarang ia masih tidak mengerti bagaimana ayah dan ibunya bisa meninggal dengan bekas tembakan di tubuh mereka.
Hingga tahun berganti, kasus orang tuanya masih terombang-ambing. Bagaikan ombak di lautan lepas, tak kunjung selesai. Bahkan mungin telah terlupakan. Sampai saat ini pun Erina masih menyimpan derita dan kesakitan atas kehilangan dua orang paling berharga dalam hidupnya. Sampai kapan pun ia tidak akan pernah bisa melupakan kesakitannya pada hari itu.
Namun, sekarang kehidupannya sudah berubah. Ada seseorag yang rela menanggung kehidupannya. Dimas dan keluarganya turut membantu membiayai sekolah dan hidupnya. Terutama adik dari ibu Dimas yang selama ini paling semangat membantunya.
Terkadang saat hari libur tiba Dimas selalu bekerja di perusahaan peninggalan sang ayah. Ia pun mendapatkan upah yang cukup bagi mereka. Itulah kenapa Erina sudah tidak seperti gadis lain, yang senang berhura-hura dengan uang orang tua mereka. Bahkan ia juga kadang merasa segan saat meminta uang pada Dimas untuk kebutuhan rumah tangga.
"Terima kasih sudah mengantarkanku. Hati-hati di jalan." Erina pun turun dari taksi di persimpangan jalan.
"Aku masih tidak tahu ke mana Erina pindah. Kenapa dia tidak memberitahuku?" tanya Rahel pelan seraya menatap jalanan setelah menurunkan sahabatnya.
Erina tengah berjalan di trotoar seorang diri. Kepalanya menunduk dalam menatap kedua kakinya yang melangkah bergantian. Tidak banyak orang di jalanan tersebut, hanya langit gelap yang menemaninya.
Bintang satu persatu mulai bermunculan, ia berhenti di depan toko kue yang sudah tutup. Kepalanya mendongak melihat langit seraya berbisik, "ayah, ibu aku merindukan kalian." Bisiknya sarat akan kerinduan yang mendalam.
Tes...!!! Air mata pun jatuh tak tertahankan. Erina menangis dalam keheningan.
Kembali ke pertandingan basket, saat ini skor yang di hasilkan oleh para pemain JHS berhasil mendapatkan 2-0. Pertandingan semakin meriah saja, para pendukung dari masing-masing sekolah berteriak antusias ketika para pemain bersemangat memasukan bola ke ring lawan.Saat bola berada di pihak lawan Ilham berhasil merebutnya. Ia pun segera melemparkannya ke arah Dimas yang tengah berada di depan ring lawan. Namun sayang, dari pihak lawan seseorang yang tidak suka dengan kehebatan Dimas pun diam-diam menggelindingkan bola basket ke arahnya. Di saat Dimas berhasil melompat dan mencetak angka, dari arah depan bola menggelinding tepat ke arahnya hingga.....Brughh!!Ia terjatuh menginjak bola tersebut. Semua orang yang melihat hal itu tidak percaya dan segera berlarian menuju pada Dimas yang tengah kesakitan."Dimas, kamu tidak apa-apa?" Tanya Ilham melihatnya tengah meringkuk seraya men
Angin berhembus perlahan, air mata terus saja mengalir membasahi pipinya. Erina menerjang dinginnya udara malam ini. Ia membenci dirinya sendiri yang terlihat lemah akan hal seperti tadi. Terlebih ia juga sudah menepis tangan hangat itu dari wajahnya.Kejadian itu juga entah kenapa membuatnya kembali mengingat tentang kematian orang tuanya. Darah yang mengalir dari bekas tembakan menembus jantung dua orang paling berharga baginya membuat ia terpaku. Kala itu hanya ada keheningan dan kekosongan yang menemani. Sakit. Satu kata yang mengawali perasaannya. Irisnya harus menangkap momen mengerikan secara langsung. Hingga hal itu membuatnya takut akan hal-hal berbau mistis.Rasa sakit pun kembali saat kenangan hari itu teringat lagi. Erina merasa gagal menjadi seorang anak. Ia tidak bisa melindungi orang tuanya sendiri. Itulah penyesalan yang sampai sekarang terus melekat dalam ingatannya."Bodoh.... Bodoh.... Bodoh.... Seha
Keesokan harinya, seperti yang sudah di katakan tadi malam saat ini Erina sudah berada di tempat latihan. Sekolah telah berakhir beberapa menit lalu, setiap murid yang mengikuti lomba juga tengah berlatih bersama.Kedatangan Erina di tempat latihan pun disambut meriah oleh adik kelas serta pelatihnya. Seorang gadis yang lebih dikenal dengan aksi perkelahiannya itu sekarang sudah kembali. Senyum mengembang diwajah ayunya, keadaan seperti inilah yang ia rindukan beberapa bulan terakhir ini. Semenjak menikah tidak ada lagi yang namanya latihan, Erina selalu disibukan dengan belajar, mengurusi rumah tangga dan tentunya janji pada sang suami. Bahwa ia tidak akan lagi berada di dunia tersebut.Namun, sekarang situasinya telah berbeda. Tujuan Erina datang ke sana bukan untuk berkelahi melainkan melatih kemampuannya untuk berlomba. Dan Dimas mengizinkannya untuk kembali."Kak Erina. Aku senang kakak kembali" ucap gadis bernama Ghe
Belajar mengajar tengah berlangsung. Kelas Dimas yang seharusnya pergi ke lapangan untuk mengolah fisik, tetapi kenyataannya mereka malah mendekam di kelas mendengarkan ceramah dari Pak Rio yang memberikan pengumaman penting."Semuanya, seperti yang sudah kita ketahui jika setiap setahun sekali sekolah kita akan mengadakan kompetisi olahraga. Banyak sekolah yang mengikutinya dan kita sebagai tuan rumah harus bekerja keras dalam menghadapi mereka. Olahraga yang dilombakan tahun ini adalah renang, sepak bola, bulu tangkis, tenis, karate dan basket. Bapak harap kalian yang tergabung dalam olahraga tersebut mengikutinya dan berlatih bersungguh-sungguh." Jelas Pak Rio membuat para murid bersemangat.Terutama para siswa begitu antusias mendengar pengumuman tersebut. Sama seperti tahun lalu mereka bekerja keras dan latihan terus menerus untuk memberikan yang terbaik bagi sekolah. Dan usahanya tidak sia-sia. Mereka mendapatkan juara 1 dan 3.
Fajar menyingsing menyunggingkan cahaya pagi pada setiap insan di dunia. Kehidupan rumah tangga Dimas dan Erina pun sudah kembali seperti biasa. Selepas menjalankan kewajibannya, Erina bertugas layaknya istri sesungguhnya. Saat ini ia tengah menyiapkan sarapan untuk dirinya dan sang suami. Dimas yang sedari tadi duduk di meja makan menyunggingkan senyum menawan melihat istrinya."Sepertinya sudah lama kita tidak makan bersama. Aku merindukanmu." Kata Dimas ketika Erina menghidangkan nasi goreng ke hadapannya.Seulas senyum hadir menyambut perkataannya lalu Erina pun duduk di depannya. "Eum, aku juga sudah berhari-hari tidak memasak untukmu. Maaf, aku tidak ikut makan bersamamu dua hari ini."Dimas menatapnya lekat. "Tidak apa-apa, aku mengerti. Mulai sekarang apapun yang terjadi dan apa yang kamu rasakan beritahu aku secepatnya. Aku juga berjanji akan memberitahu segalanya padamu." Erina mengangguk mengiy
Saat ini Reina tengah bersama Dei dan Kil. Ia duduk di samping keduanya merasakan keheningan malam di atap sekolah. Angin menerpa wajah ketiganya, udara dingin tersebut memberikan ketenangan dan kesejukan.Reina tersadar akan apa yang telah diperbuatnya. Perasaan yang di pendam membuat ia buta dengan kenyataan. Harusnya ia lebih bisa menerima kenyataan, jika pemuda yang ia cintai telah bersanding dengan gadis lain. Dan sudah tidak ada tempat lain baginya untuk kembali, untuk itu ia menyesalinya."Aku minta maaf, kalian harus menanggung akibatnya." Ucap Reina menatap mereka bergantian."Sial, seharusnya kau beritahu kami dari awal jika gadis dia itu si pemberontak." Kesal Dei menyentak Reina."Sudahlah Dei, salah kita juga. Biarkanlah, toh semua sudah terjadi." Balas Kil menerima apa yang terjadi padanya.Reina menundukan wajah, menyembunyikan rasa penesalannya pada mereka. Beberapa saat lalu ia