Suamiku bergegas pergi sebelum aku betul2 sadar dari keterkejutanku.
Aku hanya mendapati ruang kosong. Bukan hanya di rumah ini, tapi juga jauh di dasar hatiku. Kosong. Benar-benar kosong. Ada sedikit nyeri di sana. Air Mataku tumpah. Ku keluarkan gumpalan yang terasa sangat menyesakkan dada. Ku peluk erat lututku. Biarlah sejenak seperti ini.Aku marah, aku kecewa, aku sakit, aku benci, aku cinta. Ya, aku masih merasakan cinta. Cinta yang selama ini menguatkan, cinta yang saat ini terasa begitu menyakitkan.Aku berusaha mengumpulkan kewarasanku. Bergegas meraih handphone, juga kontak motor. Setengah berlari aku keluar rumah, dan mengunci pintu dengan tergesa.Tanganku sedikit bergetar saat memasukkan kunci motor. Berhenti sejenak. Oh, ayolah, aku tak bisa pergi dengan kondisi seperti ini, bisikku dalam hati. Kuhela nafas dan membuangnya kasar.Pelan ku kendarai motor pemberian suamiku. Aku belum ingin mati konyol, karena itu ku pusatkan konsentrasi ke jalan raya.Tiga puluh menit kemudian aku sampai di rumah berpagar biru, rumah Raina. Ku temukan motor suamiku terparkir di sana. Apalagi yang ku harapkan? Semakin jelaskan? Dia pergi meninggalkan aku, dan memilih menemui calon ibu dari anaknya.Aku baru akan meninggalkan rumah itu saat teriakan terdengar dari dalam rumah disusul pintu yang terbuka dan menampakkan wajah kusut suamiku. Dia terkejut menyadari kehadiranku."Pergi …, aku bilang pergi …!" teriak Raina. Ku lihat dia terus mendorong tubuh suamiku dari dalam rumahnya."Na, dengerin dulu aku ngomong," sela suamiku."Mau ngomong apalagi kamu? Aku sudah bilang aku nggak butuh tanggung jawab kamu!" seru Raina. Sepertinya dia belum menyadari kedatanganku.Beruntung rumah Raina berada di komplek yang masih minim penghuni. Jadi teriakannya tidak mengundang perhatian tetangga."Na, kamu nggak akan bisa hadapi ini sendiri. Kamu butuh aku, Na.""Tutup mulut kamu, berkali-kali aku bilang jangan sampai kamu ngomong yang enggak-enggak sama Marta. Jangan jadi cowok be** dua kali!"Tangan kurus Raina menunjuk ke arah suamiku. Matanya menyorot tajam.Kemudian sepertinya dia menyadari keberadaanku. Raina menoleh cepat, secepat itu pula dia berlari menghampiriku. Wajahnya sangat kacau."Ta …, suami kamu ngomong ngaco Ta, jangan dengerin ya … please …." Suaranya penuh permohonan. Aku bergeming.Raina, gadis kurus ini tumbuh besar bersamaku. Dia sepertiku, sebatang kara. Kami hidup bertiga dengan kakek setelah kecelakaan hebat merenggut nyawa orangtua kami secara bersamaan. Dia dan aku tak pernah bertengkar selama ini. Usianya hanya terpaut jarak dua bulan denganku. Satu tahun setelah pernikahanku, Raina bertunangan dengan kekasihnya.Aku masih diam, saat Raina mencoba memelukku. Erat. Seerat itu, tapi entah kenapa aku merasa ada sekat di antara kami.Di teras, suamiku menatap ke arah kami. Entah tatapan macam apa yang dia tunjukan. Aku tak merasakan apapun kini.Raina mundur saat menyadari tak ada respon dariku."Ta …," ucapnya lirih."Kamu hamil, Na?" tanyaku."A-aku …,""Kamu hamil, Raina?" seruku sekali lagi.Airmata Raina mengalir. Aku menyeret tangannya dan dengan langkah cepat menghampiri suamiku yang hanya diam. Dari dekat terlihat wajah lelaki itu memerah. Mungkin bekas tamparan."Na, laki-laki ini yang menghamili kamu?" Raina menggeleng. "Jangan bohong!" jeritku. "Bukan dia Ta, bukan …."Siapa yang berbohong di sini. Belum sempat aku bicara, ku lihat tubuh Raina terhuyung. Cepat ku tangkap sebelum jatuh ke lantai. Aku ikut jatuh terduduk, tak kuasa menahan berat badannya."Mas, ambil kunci mobil Raina. Cepat!""I-iya …." Lelaki itu berlari ke dalam rumah."Di mana biasanya dia menaruh kunci?" teriaknya dari dalam."Cari di dekat pintu ruang tengah," jawabku.Pelan ku tepuk pipi Raina. Berusaha menyadarkannya. Baru ku sadari tubuh Raina semakin kurus. Sejak kakek meninggal dua tahun yang lalu dia hidup sendiri di rumah ini.Suamiku keluar dari rumah sambil membawa kunci. Bergegas dia menyiapkan mobil, kemudian menghampiriku yang masih memangku kepala Raina."Angkat, Mas!" seruku.Sejenak mata kami bertemu. "Ayo cepat!"Dengan ragu suamiku mengangkat tubuh Raina. Aku segera berlari memasuki mobil, dan duduk di bangku belakang. Suamiku merebahkan Raina dengan posisi kepala di pangkuanku. Kemudian dia membuka pintu kemudi."Cari klinik atau rumah sakit terdekat mas," pintaku. Tak bisa ku pungkiri. Aku mencemaskan Raina. Apalagi saat ku lihat celana Raina basah, dan berwarna merah. Darah.Aku duduk di depan ruang tindakan. Suamiku sedari tadi masih sibuk mengurus administrasi.Dadaku sesak, penuh dengan rasa yang tak ku mengerti. Aku sangat menyayangi Raina. Dia satu-satunya keluarga yang kumiliki. Tak pernah terpikirkan olehku, Raina bisa menyakiti aku sedalam ini.Aku hanya bisa duduk termenung. Bahkan aku lupa berdoa untuk Raina. Ah, entahlah.Ku dengar suara langkah kaki mendekat, kemudian berhenti tepat di depan kakiku.Mas Akmal, suamiku, menyodorkan sebotol air mineral. Aku bergeming. Bahkan untuk menatapnya saja aku malas.Mas Akmal mendesah kasar. Diletakkannya botol air dan sebungkus roti di bangku kosong sebelahku.Aku memilih berdiri. Berniat pergi meninggalkan tempat ini. Toh sudah ada Mas Akmal, dan ku pikir Raina lebih membutuhkan kehadirannya. Aku hanya akan terlihat semakin menyedihkan jika tetap diam di sini."Yang, mau kemana?" Tangan Mas Akmal meraih lenganku.
Aku mematikan ponselku. Seharian aku duduk melamun di taman kota. Menghabiskan sisa airmata yang hari ini belum sempat mengalir.Lelah. Lemah. Tak ada asupan yang masuk seharian ini. Aku memilih menggunakan taksi untuk mengantarku pulang.Halaman rumahku masih gelap. Namun ada nyala lampu dari dalam rumah. Kebiasaan Mas Akmal, selalu lupa menyalakan lampu depan. Berkali-kali aku mengingatkannya untuk menyalakan lampu. Dan Mas Akmal masih saja lupa.Senyum miris terukir di bibirku. Mas Akmal, setelah hari ini akankah kita masih bisa seperti dulu?Kubuka pintu ruang tamu. Sepi. Beberapa puntung rokok tersebar di atas meja. Pecahan cangkir kopi yang tadi pagi berserak sudah tak ada. Namun bekas percikan berwarna coklat masih setia menempel di lantai hingga tembok putih.Aku duduk di sofa. Benar-benar tak ada energi yang tersisa. Perutku mual. Seolah ada gelembung panas merambat dari perut menuju ke dada. Sakit.
Seperti mayat hidup. Mata cekung dan dihiasi lingkaran hitam, rambut tergerai berantakan. Memeluk tubuh sendiri sehari semalam.Hingga pagi Mas Akmal tidak pulang. Dan sampai ketika senja datang tepat waktu suamiku tetap tak datang. Mungkinkah dia tak ingat jalan pulang?Suara gedoran pintu ku abaikan. Tentu bukan suamiku yang datang. Suamiku sedang asyik berkumpul dengan Raina dan calon anak mereka.Kenapa? Kenapa Raina bisa hamil sedang aku tidak! Kenapa Raina?Jika saja itu perempuan lain, mudah bagiku untuk memukul, menendang, menjambak, atau melemparkan kotoran di wajahnya. Tapi kenapa harus Raina?Raina yang dari kecil selalu bersama denganku. Raina yang berdua bersamaku menghadapi kepergian orang-orang tercinta. Raina yang saling bertukar bahu denganku, untuk saling menopang saat kesedihan bertubi datang di masa l
Semalaman aku dan Panji duduk di sofa ruang tamu. Tanpa bicara, masing-masing sibuk dengan hati dan pikiran.Nyatanya ketika fajar menyingsing Mas Akmal tak juga muncul di balik pintu.Aku pun segera berkemas. Membawa beberapa potong pakaian. Dan tanpa kata Panji mendahuluiku masuk ke dalam mobil.Ini pertama kalinya aku pergi jauh tanpa suamiku. Perjalanan panjang ke kota tempat tinggal Panji. Aku pernah beberapa kali berkunjung ke sana, dan tentu saja bersama dengan Raina dan Mas Akmal.Sepanjang jalan aku memeluk tubuh Mas Akmal. Dan suamiku tetap berkonsentrasi mengendarai motornya, meski sesekali satu tangannya menggenggam tanganku yang melingkari pinggangnya.Mas
Sudah dua hari aku tinggal di rumah Tante Nina. Selama aku di rumah ibunya, Panji memilih menginap di apartemen miliknya. Laki-laki dingin itu hanya muncul saat jam makan. Benar-benar datang hanya untuk makan, kemudian pergi lagi.Sesekali aku mengaktifkan ponsel, dan selalu pesan dari Mas Akmal membanjir. Ia memaksa aku untuk pulang. Tak sekalipun aku membalas. Beberapa kubaca, dan sebagian besar ku abaikan.Tante Nina selalu memberiku semangat, menyalurkan energi positif hingga aku merasa lebih baik.Siang ini aku merasa butuh udara segar. Saat makan siang, aku meminta izin kepada Tante Nina untuk pergi keluar.Diluar dugaan, Panji mengajukan diri untuk mengantarku."Kamu nggak tahu jalan. Aku juga yang repot kalau kamu nyas
Seketika keringat dingin membanjiri tubuhku. Aku tak berani bicara, apalagi menoleh ke arah Panji.Aku menyesal, kenapa tadi tidak membawa ponselku. Paling tidak aku bisa menghubungi Tante Nina atau Reno. Ya, aku ingat pernah menyimpan nomor ponsel Reno. Hanya dua orang itu yang ku kenal di kota ini.Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Jam digital di atas dashboard menunjukkan pukul tiga. Segala kemungkinan bisa saja terjadi.Panji nampak santai, sesekali melirik ke arahku. Dan tentu saja perbuatannya itu semakin membuatku takut.Sebisa mungkin aku menyembunyikan ketakutanku. Orang yang ingin berbuat jahat akan semakin senang saat melihat calon mangsanya merasa terintimidasi.Jika tadi jalanan penuh pepohonan, sekarang pemandangan berubah drastis. Mataku disuguhi pegunungan gersang berbatu cadas. Entah aku ada dimana s
"Tante mendukung apapun keputusan kamu, Ta," tutur Tante Nina ketika aku menyampaikan maksudku untuk pulang.Sungguh aku tak pernah rela jika rumah peninggalan orang tuaku dijadikan tempat pernikahan orang yang telah menghancurkanku. Semakin terinjak harga diriku sebagai istri. Semakin terkikis cinta yang dulu begitu ku agungkan.Pesan yang dikirim ibu mertuaku seolah membuka kembali luka yang sedang berusaha ku tutup. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Tak adakah sedikit rasa bersalah, ataukah mereka pikir aku begitu mudah mengalah?"Ma, menurutku Marta masih butuh sedikit waktu lagi. Mama nggak ingat bagaimana kondisinya saat ku bawa kemari," tegas Panji."Tapi Ji, cepat atau lambat Marta tetap harus menyelesaikan masalahnya. Kalau dia tetap disini, keluarga Akmal han
Inikah bukti cinta yang selalu Mas Akmal gaungkan? Dia sampai rela bersimpuh di kakiku, dan meminta izin untuk pernikahannya yang kedua.Inikah buah kesabaran yang harus kutuai?Aku tak pernah menanam luka, tapi kenapa harus menuai air mata?Aku seolah tak berpijak. Tak peduli berapa lama suamiku bersimpuh."Akmal, jangan merendah di hadapan istri yang nggak bisa kasih kamu keturunan!" Ibu menarik tubuh Mas Akmal."Segera nikahi Raina, bahagiakan ibu. Bosan ibu mendengar ocehan orang. Biar kita buktikan kalau anak ibu bisa memiliki keturunan!" Ibu berteriak, kemarahan terlihat nyata.Jadi masih saja ini tentang anak yang tak kunjung hadir di rahimku, karena itu dia mencoba peruntungan dengan wanita lain?"Marta …, tolong biarkan Akmal menikahi Raina. Ibu janji, hanya sampai anak mereka lahir. Dan Raina sudah setuju memberikan anaknya untuk kalian. Ibu mohon …," tangis mertuaku te