Share

2. Siapa Yang Benar?

Suamiku bergegas pergi sebelum aku betul2 sadar dari keterkejutanku.

Aku hanya mendapati ruang kosong. Bukan hanya di rumah ini, tapi juga jauh di dasar hatiku. Kosong. Benar-benar kosong. Ada sedikit nyeri di sana. Air Mataku tumpah. Ku keluarkan gumpalan yang terasa sangat menyesakkan dada. Ku peluk erat lututku. Biarlah sejenak seperti ini.

Aku marah, aku kecewa, aku sakit, aku benci, aku cinta. Ya, aku masih merasakan cinta. Cinta yang selama ini menguatkan, cinta yang saat ini terasa begitu menyakitkan.

Aku berusaha mengumpulkan kewarasanku. Bergegas meraih handphone, juga kontak motor. Setengah berlari aku keluar rumah, dan mengunci pintu dengan tergesa.

Tanganku sedikit bergetar saat memasukkan kunci motor. Berhenti sejenak. Oh, ayolah, aku tak bisa pergi dengan kondisi seperti ini, bisikku dalam hati. Kuhela nafas dan membuangnya kasar.

Pelan ku kendarai motor pemberian suamiku. Aku belum ingin mati konyol, karena itu ku pusatkan konsentrasi ke jalan raya.

Tiga puluh menit kemudian aku sampai di rumah berpagar biru, rumah Raina. Ku temukan motor suamiku terparkir di sana. Apalagi yang ku harapkan? Semakin jelaskan? Dia pergi meninggalkan aku, dan memilih menemui calon ibu dari anaknya.

Aku baru akan meninggalkan rumah itu saat teriakan terdengar dari dalam rumah disusul pintu yang terbuka dan menampakkan wajah kusut suamiku. Dia terkejut menyadari kehadiranku.

"Pergi …, aku bilang pergi …!" teriak Raina. Ku lihat dia terus mendorong tubuh suamiku dari dalam rumahnya.

"Na, dengerin dulu aku ngomong," sela suamiku.

"Mau ngomong apalagi kamu? Aku sudah bilang aku nggak butuh tanggung jawab kamu!" seru Raina. Sepertinya dia belum menyadari kedatanganku.

Beruntung rumah Raina berada di komplek yang masih minim penghuni. Jadi teriakannya tidak mengundang perhatian tetangga.

"Na, kamu nggak akan bisa hadapi ini sendiri. Kamu butuh aku, Na."

"Tutup mulut kamu, berkali-kali aku bilang jangan sampai kamu ngomong yang enggak-enggak sama Marta. Jangan jadi cowok be** dua kali!"

Tangan kurus Raina menunjuk ke arah suamiku. Matanya menyorot tajam.

Kemudian sepertinya dia menyadari keberadaanku. Raina menoleh cepat, secepat itu pula dia berlari menghampiriku. Wajahnya sangat kacau.

"Ta …, suami kamu ngomong ngaco Ta, jangan dengerin ya … please …." Suaranya penuh permohonan. Aku bergeming.

Raina, gadis kurus ini tumbuh besar bersamaku. Dia sepertiku, sebatang kara. Kami hidup bertiga dengan kakek setelah kecelakaan hebat merenggut nyawa orangtua kami secara bersamaan. Dia dan aku tak pernah bertengkar selama ini. Usianya hanya terpaut jarak dua bulan denganku. Satu tahun setelah pernikahanku, Raina bertunangan dengan kekasihnya.

Aku masih diam, saat Raina mencoba memelukku. Erat. Seerat itu, tapi entah kenapa aku merasa ada sekat di antara kami.

Di teras, suamiku menatap ke arah kami. Entah tatapan macam apa yang dia tunjukan. Aku tak merasakan apapun kini.

Raina mundur saat menyadari tak ada respon dariku.

"Ta …," ucapnya lirih.

"Kamu hamil, Na?" tanyaku.

"A-aku …,"

"Kamu hamil, Raina?" seruku sekali lagi.

Airmata Raina mengalir. Aku menyeret tangannya dan dengan langkah cepat menghampiri suamiku yang hanya diam. Dari dekat terlihat wajah lelaki itu memerah. Mungkin bekas tamparan.

"Na, laki-laki ini yang menghamili kamu?" 

Raina menggeleng. 

"Jangan bohong!" jeritku. 

"Bukan dia Ta, bukan …."

Siapa yang berbohong di sini. Belum sempat aku bicara, ku lihat tubuh Raina terhuyung. Cepat ku tangkap sebelum jatuh ke lantai. Aku ikut jatuh terduduk, tak kuasa menahan berat badannya.

"Mas, ambil kunci mobil Raina. Cepat!"

"I-iya …." Lelaki itu berlari ke dalam rumah.

"Di mana biasanya dia menaruh kunci?" teriaknya dari dalam.

"Cari di dekat pintu ruang tengah," jawabku.

Pelan ku tepuk pipi Raina. Berusaha menyadarkannya. Baru ku sadari tubuh Raina semakin kurus. Sejak kakek meninggal dua tahun yang lalu dia hidup sendiri di rumah ini.

Suamiku keluar dari rumah sambil membawa kunci. Bergegas dia menyiapkan mobil, kemudian menghampiriku yang masih memangku kepala Raina.

"Angkat, Mas!" seruku.

Sejenak mata kami bertemu. "Ayo cepat!"

Dengan ragu suamiku mengangkat tubuh Raina. Aku segera berlari memasuki mobil, dan duduk di bangku belakang. Suamiku merebahkan Raina dengan posisi kepala di pangkuanku. Kemudian dia membuka pintu kemudi.

"Cari klinik atau rumah sakit terdekat mas," pintaku. Tak bisa ku pungkiri. Aku mencemaskan Raina. Apalagi saat ku lihat celana Raina basah, dan berwarna merah. Darah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status