Share

MARTA, cinta kedua
MARTA, cinta kedua
Penulis: Tri Nur

1. Dia Hamil

Aku menghela nafas kasar, untuk yang kesekian kali dalam seminggu ini suamiku pergi keluar malam. Protesku tidak ia dengar.

"Ini sudah jam sembilan lo, Mas," ujarku sambil terus menatapnya yang sedang sibuk mengenakan jaket.

"Cuma bentar, Sayang, nggak enak lah kalau mas nggak dateng," sahutnya. Tangannya meraih dompet di atas meja. Tak lupa jam tangan warna coklat tua ia kenakan.

"Pakai jam tangan juga percuma, Mas, palingan kamu nanti nggak ingat waktu kalau sudah asyik ngobrol sama temen-temen kamu," cetusku.

"Kok kamu makin hari makin cerewet aja sih, Yang," sahutnya.

Nada bicaranya sudah berubah. Aku memilih diam.

"Dah, aku berangkat. Nggak usah nungguin aku pulang." Dia berlalu setelah mengecup dahiku. Suara motor terdengar meninggalkan halaman rumah.

Aku beranjak mengunci pintu, dan tak lupa kucabut anak kunci. Agar saat suamiku pulang dia bisa membuka kunci rumah dari luar.

Kurebahkan badan di atas kasur. Mataku menatap ke tempat kosong yang biasa ditempati suamiku. Pelan airmata ku menetes.

Suamiku berubah semenjak dia gabung di sebuah komunitas, dua bulan yang lalu. Entah komunitas apa. Yang ku tahu beberapa teman kerjanya juga ikut bergabung di komunitas yang sama. Awalnya mereka berkumpul tiap malam minggu di alun-alun kota. Namun akhir-akhir ini intensitas pertemuan mereka semakin meningkat.

Entah mereka membahas apa, melakukan apa. Aku pernah ingin ikut di pertemuan mereka, tetapi suamiku melarang. Katanya tidak ada perempuan yang ikut gabung. Hanya ada laki-laki saja. Aku merasa sedikit lega, rasa cemburu menguap saat itu.

Suamiku beberapa kali juga mengajak beberapa temannya untuk berkunjung ke rumah. Biar aku kenal beberapa temannya, begitu katanya saat itu. Aku merasa senang. Suamiku mau mengenalkan teman-temannya padaku.

Tak terasa jam dinding sudah bergeser dari angka dua belas. Belum juga ada tanda suamiku akan pulang. Ku periksa telepon genggam, tidak ada pesan sama sekali. Aku merasa cemas sekarang. Mataku semakin enggan terpejam.

Menjelang pukul dua, terdengar suara pintu depan terbuka. Langkah kaki terdengar pelan menuju ke kamarku. Aku pura-pura memejamkan mata. Suamiku melongokkan kepala, tapi urung masuk ke kamar. Hening. Kemudian ku dengar gemericik air dari arah kamar mandi.

Tak ku dengar suara motornya tadi. Mungkin sengaja dimatikan mesinnya saat masuk ke komplek. Entah khawatir mengganggu tetangga, atau takut jika aku terbangun.

Beberapa saat kemudian suamiku sudah merebahkan diri di sampingku. Meraih selimut, kemudian memejamkan mata.

Walau samar aku mencium ada bau aneh menguar dari badannya. Entah bau apa. Aku tak tau, karena baru kali ini aku mencium bau seperti itu.

______

Pagi ini aku enggan beranjak dari tempat tidur. Rasa kesal masih melingkupi hatiku. Namun panggilan alam memaksaku untuk menuju kamar mandi.

Di dalam kamar mandi kulihat jaket dan baju suamiku teronggok di ember. Saat akan ku pindahkan ke dalam mesin cuci, kembali indra penciumanku menemukan bau asing yang cukup menyengat. Aku yakin ini bukan aroma parfum. Ku pikir tak ada orang yang mau mempunyai parfum dengan aroma seperti itu.

Ah, sudahlah. Nanti akan saat suamiku bangun aku akan bertanya padanya.

Selesai urusan di kamar mandi, aku memulai kegiatan dapur. Menjerang air untuk membuat kopi yang pertama kali ku lakukan. Pagi tanpa secangkir kopi, aku tak yakin hariku akan baik-baik saja.

Jam tujuh suamiku bangun. Dan aku sudah selesai mengerjakan pekerjaan rumah. Tinggal berdua di rumah mungil, membuat tak banyak aktifitas rumah tangga yang harus aku lakukan.

Pernikahan kami berumur empat tahun, belum ada tanda-tanda kehidupan di rahimku. Mungkin itu juga yang membuat suamiku jenuh, dan lebih memilih menghabiskan waktu bersama teman-temannya.

"Tadi malam pulang jam berapa, Mas?" tanyaku sesaat setelah dia duduk sofa.

"Ehm, jam berapa ya … aku lupa. Tapi kayaknya nggak lebih dari jam dua belas deh," sahutnya datar.

"Itu baju sama jaket kenapa, Mas?"

"Hah? Oh … itu, tadi malam si Reno minum, mabuk dia. Pas buka botol nggak sengaja airnya nyiprat gitu ke jaket." Suamiku mengalihkan pandangan matanya. Sedikit tak nyaman mungkin.

"Kok bisa ada yang bawa minuman sih mas?" seruku. "Kamu ikut minum juga?"

"I-iya. Nyobain dikit." Dia menunduk. Sibuk memainkan cangkir kopi di tangannya.

"Ya Allah, Maaasss … kok kamu jadi ikut-ikutan temen kamu sih," seruku kesal.

"Nyoba dikit aja kok. Kamu nggak usah berlebihan gitu dong," jawabnya.

"Berlebihan gimana maksudmu mas? Mana ada istri diem aja tahu suaminya minum walau cuma 'dikit' katamu tadi," cercaku.

"Udahlah, pagi-pagi jangan ngajak ribut. Aku capek," cetusnya. Mataku membesar.

"Hah … capek kamu bilang? Capek ngapain? Nongkrong? Kalau ngerasa capek, ngapain nongkrong sampai pagi? Kalau kamu bilang capek, aku yang lebih capek, Mas. Aku!" Ku tunjuk dadaku. Kulihat rahang suamiku mengeras.

"Kamu? Kamu capek ngapain? Kerja enggak, anak juga nggak punya. Kamu capek ngapain?" sergahnya cepat.

Aku terhenyak. Telunjuknya lurus terarah padaku. Belum pernah dia marah sehebat ini.

"Anak … sekarang kamu bahas anak.  Kemarin kemana aja kamu? Aku sudah ke dokter, aku sudah minum semua ramuan yang ibu kamu beri. Bahkan orang ngomong apa aja aku nurut mas. Demi apa coba?" jeritku.

"Usaha kamu kurang keras!"

Praaaang….!

Aku berjengit. Cangkir yang tadi dia pegang, dia hempaskan ke tembok. Hancur. Cangkir keramik itu hancur. Lalu apa kabar hatiku?

Wajahnya merah. Dengan cepat dia meraih bahuku, tangannya menekan keras. Aku sampai meringis menahan sakit.

Sungguh, laki-laki ini seperti bukan suamiku.

"Dengar, kamu pikir aku nggak bisa punya anak? Kamu pikir aku mandul … heh?" sentaknya keras. Aku menggigil. Aku merasa takut melihat kemarahannya.

Dengan kasar dia meraih daguku. Memaksa aku mendongak menatap wajahnya.

"Coba kamu pikir, kalau aku mandul … Raina tak mungkin bisa hamil."

Bagai ada batu menindih dadaku. Mataku membulat tak percaya. Ku gelengkan kepala berulang kali  Telingaku mungkin salah dengar. Tidak mungkin.

Tangannya menyentakku kasar. Hingga aku mundur menabrak tembok di belakangku. Mataku menatap kosong tempat berdirinya tadi.

Raina hamil? Raina … Raina sepupuku hamil?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status