Aku menghela nafas kasar, untuk yang kesekian kali dalam seminggu ini suamiku pergi keluar malam. Protesku tidak ia dengar.
"Ini sudah jam sembilan lo, Mas," ujarku sambil terus menatapnya yang sedang sibuk mengenakan jaket."Cuma bentar, Sayang, nggak enak lah kalau mas nggak dateng," sahutnya. Tangannya meraih dompet di atas meja. Tak lupa jam tangan warna coklat tua ia kenakan."Pakai jam tangan juga percuma, Mas, palingan kamu nanti nggak ingat waktu kalau sudah asyik ngobrol sama temen-temen kamu," cetusku."Kok kamu makin hari makin cerewet aja sih, Yang," sahutnya.Nada bicaranya sudah berubah. Aku memilih diam."Dah, aku berangkat. Nggak usah nungguin aku pulang." Dia berlalu setelah mengecup dahiku. Suara motor terdengar meninggalkan halaman rumah.Aku beranjak mengunci pintu, dan tak lupa kucabut anak kunci. Agar saat suamiku pulang dia bisa membuka kunci rumah dari luar.Kurebahkan badan di atas kasur. Mataku menatap ke tempat kosong yang biasa ditempati suamiku. Pelan airmata ku menetes.Suamiku berubah semenjak dia gabung di sebuah komunitas, dua bulan yang lalu. Entah komunitas apa. Yang ku tahu beberapa teman kerjanya juga ikut bergabung di komunitas yang sama. Awalnya mereka berkumpul tiap malam minggu di alun-alun kota. Namun akhir-akhir ini intensitas pertemuan mereka semakin meningkat.Entah mereka membahas apa, melakukan apa. Aku pernah ingin ikut di pertemuan mereka, tetapi suamiku melarang. Katanya tidak ada perempuan yang ikut gabung. Hanya ada laki-laki saja. Aku merasa sedikit lega, rasa cemburu menguap saat itu.Suamiku beberapa kali juga mengajak beberapa temannya untuk berkunjung ke rumah. Biar aku kenal beberapa temannya, begitu katanya saat itu. Aku merasa senang. Suamiku mau mengenalkan teman-temannya padaku.Tak terasa jam dinding sudah bergeser dari angka dua belas. Belum juga ada tanda suamiku akan pulang. Ku periksa telepon genggam, tidak ada pesan sama sekali. Aku merasa cemas sekarang. Mataku semakin enggan terpejam.Menjelang pukul dua, terdengar suara pintu depan terbuka. Langkah kaki terdengar pelan menuju ke kamarku. Aku pura-pura memejamkan mata. Suamiku melongokkan kepala, tapi urung masuk ke kamar. Hening. Kemudian ku dengar gemericik air dari arah kamar mandi.Tak ku dengar suara motornya tadi. Mungkin sengaja dimatikan mesinnya saat masuk ke komplek. Entah khawatir mengganggu tetangga, atau takut jika aku terbangun.Beberapa saat kemudian suamiku sudah merebahkan diri di sampingku. Meraih selimut, kemudian memejamkan mata.Walau samar aku mencium ada bau aneh menguar dari badannya. Entah bau apa. Aku tak tau, karena baru kali ini aku mencium bau seperti itu.______Pagi ini aku enggan beranjak dari tempat tidur. Rasa kesal masih melingkupi hatiku. Namun panggilan alam memaksaku untuk menuju kamar mandi.
Di dalam kamar mandi kulihat jaket dan baju suamiku teronggok di ember. Saat akan ku pindahkan ke dalam mesin cuci, kembali indra penciumanku menemukan bau asing yang cukup menyengat. Aku yakin ini bukan aroma parfum. Ku pikir tak ada orang yang mau mempunyai parfum dengan aroma seperti itu.Ah, sudahlah. Nanti akan saat suamiku bangun aku akan bertanya padanya.Selesai urusan di kamar mandi, aku memulai kegiatan dapur. Menjerang air untuk membuat kopi yang pertama kali ku lakukan. Pagi tanpa secangkir kopi, aku tak yakin hariku akan baik-baik saja.Jam tujuh suamiku bangun. Dan aku sudah selesai mengerjakan pekerjaan rumah. Tinggal berdua di rumah mungil, membuat tak banyak aktifitas rumah tangga yang harus aku lakukan.Pernikahan kami berumur empat tahun, belum ada tanda-tanda kehidupan di rahimku. Mungkin itu juga yang membuat suamiku jenuh, dan lebih memilih menghabiskan waktu bersama teman-temannya."Tadi malam pulang jam berapa, Mas?" tanyaku sesaat setelah dia duduk sofa."Ehm, jam berapa ya … aku lupa. Tapi kayaknya nggak lebih dari jam dua belas deh," sahutnya datar."Itu baju sama jaket kenapa, Mas?""Hah? Oh … itu, tadi malam si Reno minum, mabuk dia. Pas buka botol nggak sengaja airnya nyiprat gitu ke jaket." Suamiku mengalihkan pandangan matanya. Sedikit tak nyaman mungkin."Kok bisa ada yang bawa minuman sih mas?" seruku. "Kamu ikut minum juga?""I-iya. Nyobain dikit." Dia menunduk. Sibuk memainkan cangkir kopi di tangannya."Ya Allah, Maaasss … kok kamu jadi ikut-ikutan temen kamu sih," seruku kesal."Nyoba dikit aja kok. Kamu nggak usah berlebihan gitu dong," jawabnya."Berlebihan gimana maksudmu mas? Mana ada istri diem aja tahu suaminya minum walau cuma 'dikit' katamu tadi," cercaku."Udahlah, pagi-pagi jangan ngajak ribut. Aku capek," cetusnya. Mataku membesar."Hah … capek kamu bilang? Capek ngapain? Nongkrong? Kalau ngerasa capek, ngapain nongkrong sampai pagi? Kalau kamu bilang capek, aku yang lebih capek, Mas. Aku!" Ku tunjuk dadaku. Kulihat rahang suamiku mengeras."Kamu? Kamu capek ngapain? Kerja enggak, anak juga nggak punya. Kamu capek ngapain?" sergahnya cepat.Aku terhenyak. Telunjuknya lurus terarah padaku. Belum pernah dia marah sehebat ini."Anak … sekarang kamu bahas anak. Kemarin kemana aja kamu? Aku sudah ke dokter, aku sudah minum semua ramuan yang ibu kamu beri. Bahkan orang ngomong apa aja aku nurut mas. Demi apa coba?" jeritku."Usaha kamu kurang keras!"Praaaang….!Aku berjengit. Cangkir yang tadi dia pegang, dia hempaskan ke tembok. Hancur. Cangkir keramik itu hancur. Lalu apa kabar hatiku?Wajahnya merah. Dengan cepat dia meraih bahuku, tangannya menekan keras. Aku sampai meringis menahan sakit.Sungguh, laki-laki ini seperti bukan suamiku."Dengar, kamu pikir aku nggak bisa punya anak? Kamu pikir aku mandul … heh?" sentaknya keras. Aku menggigil. Aku merasa takut melihat kemarahannya.Dengan kasar dia meraih daguku. Memaksa aku mendongak menatap wajahnya."Coba kamu pikir, kalau aku mandul … Raina tak mungkin bisa hamil."Bagai ada batu menindih dadaku. Mataku membulat tak percaya. Ku gelengkan kepala berulang kali Telingaku mungkin salah dengar. Tidak mungkin.Tangannya menyentakku kasar. Hingga aku mundur menabrak tembok di belakangku. Mataku menatap kosong tempat berdirinya tadi.Raina hamil? Raina … Raina sepupuku hamil?Suamiku bergegas pergi sebelum aku betul2 sadar dari keterkejutanku.Aku hanya mendapati ruang kosong. Bukan hanya di rumah ini, tapi juga jauh di dasar hatiku. Kosong. Benar-benar kosong. Ada sedikit nyeri di sana. Air Mataku tumpah. Ku keluarkan gumpalan yang terasa sangat menyesakkan dada. Ku peluk erat lututku. Biarlah sejenak seperti ini.Aku marah, aku kecewa, aku sakit, aku benci, aku cinta. Ya, aku masih merasakan cinta. Cinta yang selama ini menguatkan, cinta yang saat ini terasa begitu menyakitkan.Aku berusaha mengumpulkan kewarasanku. Bergegas meraih handphone, juga kontak motor. Setengah berlari aku keluar rumah, dan mengunci pintu dengan tergesa.Tanganku sedikit bergetar saat memasukkan kunci motor. Berhenti sejenak. Oh, ayolah, aku tak bisa pergi dengan kondisi seperti ini, bisikku dalam hati. Kuhela nafas dan membuangnya kasar.Pelan ku kendarai motor pemberian suamiku. Aku belum ingin mati konyol, kar
Aku duduk di depan ruang tindakan. Suamiku sedari tadi masih sibuk mengurus administrasi.Dadaku sesak, penuh dengan rasa yang tak ku mengerti. Aku sangat menyayangi Raina. Dia satu-satunya keluarga yang kumiliki. Tak pernah terpikirkan olehku, Raina bisa menyakiti aku sedalam ini.Aku hanya bisa duduk termenung. Bahkan aku lupa berdoa untuk Raina. Ah, entahlah.Ku dengar suara langkah kaki mendekat, kemudian berhenti tepat di depan kakiku.Mas Akmal, suamiku, menyodorkan sebotol air mineral. Aku bergeming. Bahkan untuk menatapnya saja aku malas.Mas Akmal mendesah kasar. Diletakkannya botol air dan sebungkus roti di bangku kosong sebelahku.Aku memilih berdiri. Berniat pergi meninggalkan tempat ini. Toh sudah ada Mas Akmal, dan ku pikir Raina lebih membutuhkan kehadirannya. Aku hanya akan terlihat semakin menyedihkan jika tetap diam di sini."Yang, mau kemana?" Tangan Mas Akmal meraih lenganku.
Aku mematikan ponselku. Seharian aku duduk melamun di taman kota. Menghabiskan sisa airmata yang hari ini belum sempat mengalir.Lelah. Lemah. Tak ada asupan yang masuk seharian ini. Aku memilih menggunakan taksi untuk mengantarku pulang.Halaman rumahku masih gelap. Namun ada nyala lampu dari dalam rumah. Kebiasaan Mas Akmal, selalu lupa menyalakan lampu depan. Berkali-kali aku mengingatkannya untuk menyalakan lampu. Dan Mas Akmal masih saja lupa.Senyum miris terukir di bibirku. Mas Akmal, setelah hari ini akankah kita masih bisa seperti dulu?Kubuka pintu ruang tamu. Sepi. Beberapa puntung rokok tersebar di atas meja. Pecahan cangkir kopi yang tadi pagi berserak sudah tak ada. Namun bekas percikan berwarna coklat masih setia menempel di lantai hingga tembok putih.Aku duduk di sofa. Benar-benar tak ada energi yang tersisa. Perutku mual. Seolah ada gelembung panas merambat dari perut menuju ke dada. Sakit.
Seperti mayat hidup. Mata cekung dan dihiasi lingkaran hitam, rambut tergerai berantakan. Memeluk tubuh sendiri sehari semalam.Hingga pagi Mas Akmal tidak pulang. Dan sampai ketika senja datang tepat waktu suamiku tetap tak datang. Mungkinkah dia tak ingat jalan pulang?Suara gedoran pintu ku abaikan. Tentu bukan suamiku yang datang. Suamiku sedang asyik berkumpul dengan Raina dan calon anak mereka.Kenapa? Kenapa Raina bisa hamil sedang aku tidak! Kenapa Raina?Jika saja itu perempuan lain, mudah bagiku untuk memukul, menendang, menjambak, atau melemparkan kotoran di wajahnya. Tapi kenapa harus Raina?Raina yang dari kecil selalu bersama denganku. Raina yang berdua bersamaku menghadapi kepergian orang-orang tercinta. Raina yang saling bertukar bahu denganku, untuk saling menopang saat kesedihan bertubi datang di masa l
Semalaman aku dan Panji duduk di sofa ruang tamu. Tanpa bicara, masing-masing sibuk dengan hati dan pikiran.Nyatanya ketika fajar menyingsing Mas Akmal tak juga muncul di balik pintu.Aku pun segera berkemas. Membawa beberapa potong pakaian. Dan tanpa kata Panji mendahuluiku masuk ke dalam mobil.Ini pertama kalinya aku pergi jauh tanpa suamiku. Perjalanan panjang ke kota tempat tinggal Panji. Aku pernah beberapa kali berkunjung ke sana, dan tentu saja bersama dengan Raina dan Mas Akmal.Sepanjang jalan aku memeluk tubuh Mas Akmal. Dan suamiku tetap berkonsentrasi mengendarai motornya, meski sesekali satu tangannya menggenggam tanganku yang melingkari pinggangnya.Mas
Sudah dua hari aku tinggal di rumah Tante Nina. Selama aku di rumah ibunya, Panji memilih menginap di apartemen miliknya. Laki-laki dingin itu hanya muncul saat jam makan. Benar-benar datang hanya untuk makan, kemudian pergi lagi.Sesekali aku mengaktifkan ponsel, dan selalu pesan dari Mas Akmal membanjir. Ia memaksa aku untuk pulang. Tak sekalipun aku membalas. Beberapa kubaca, dan sebagian besar ku abaikan.Tante Nina selalu memberiku semangat, menyalurkan energi positif hingga aku merasa lebih baik.Siang ini aku merasa butuh udara segar. Saat makan siang, aku meminta izin kepada Tante Nina untuk pergi keluar.Diluar dugaan, Panji mengajukan diri untuk mengantarku."Kamu nggak tahu jalan. Aku juga yang repot kalau kamu nyas
Seketika keringat dingin membanjiri tubuhku. Aku tak berani bicara, apalagi menoleh ke arah Panji.Aku menyesal, kenapa tadi tidak membawa ponselku. Paling tidak aku bisa menghubungi Tante Nina atau Reno. Ya, aku ingat pernah menyimpan nomor ponsel Reno. Hanya dua orang itu yang ku kenal di kota ini.Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Jam digital di atas dashboard menunjukkan pukul tiga. Segala kemungkinan bisa saja terjadi.Panji nampak santai, sesekali melirik ke arahku. Dan tentu saja perbuatannya itu semakin membuatku takut.Sebisa mungkin aku menyembunyikan ketakutanku. Orang yang ingin berbuat jahat akan semakin senang saat melihat calon mangsanya merasa terintimidasi.Jika tadi jalanan penuh pepohonan, sekarang pemandangan berubah drastis. Mataku disuguhi pegunungan gersang berbatu cadas. Entah aku ada dimana s
"Tante mendukung apapun keputusan kamu, Ta," tutur Tante Nina ketika aku menyampaikan maksudku untuk pulang.Sungguh aku tak pernah rela jika rumah peninggalan orang tuaku dijadikan tempat pernikahan orang yang telah menghancurkanku. Semakin terinjak harga diriku sebagai istri. Semakin terkikis cinta yang dulu begitu ku agungkan.Pesan yang dikirim ibu mertuaku seolah membuka kembali luka yang sedang berusaha ku tutup. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Tak adakah sedikit rasa bersalah, ataukah mereka pikir aku begitu mudah mengalah?"Ma, menurutku Marta masih butuh sedikit waktu lagi. Mama nggak ingat bagaimana kondisinya saat ku bawa kemari," tegas Panji."Tapi Ji, cepat atau lambat Marta tetap harus menyelesaikan masalahnya. Kalau dia tetap disini, keluarga Akmal han