Share

3. Terluka

Aku duduk di depan ruang tindakan. Suamiku sedari tadi masih sibuk mengurus administrasi.

Dadaku sesak, penuh dengan rasa yang tak ku mengerti. Aku sangat menyayangi Raina. Dia satu-satunya keluarga yang kumiliki. Tak pernah terpikirkan olehku, Raina bisa menyakiti aku sedalam ini.

Aku hanya bisa duduk termenung. Bahkan aku lupa berdoa untuk Raina. Ah, entahlah.

Ku dengar suara langkah kaki mendekat, kemudian berhenti tepat di depan kakiku.

Mas Akmal, suamiku, menyodorkan sebotol air mineral. Aku bergeming. Bahkan untuk menatapnya saja aku malas.

Mas Akmal mendesah kasar. Diletakkannya botol air dan sebungkus roti di bangku kosong sebelahku.

Aku memilih berdiri. Berniat pergi meninggalkan tempat ini. Toh sudah ada Mas Akmal, dan ku pikir Raina lebih membutuhkan kehadirannya. Aku hanya akan terlihat semakin menyedihkan jika tetap diam di sini.

"Yang, mau kemana?" Tangan Mas Akmal meraih lenganku.

"Pulang." jawabku ketus.

"Tolong jangan pulang. Kasihan Raina, dia butuh kamu …," ucapnya pelan, namun tatapannya tajam seolah ingin menusukku.

"Apa kamu bilang Mas? Aku? Jangan mulai kamu Mas," sentakku. Aku masih cukup waras untuk tidak berteriak di sini.

Suamiku itu meremas rambutnya. Selalu begitu saat dia dalam masalah. Biasanya aku akan menenangkannya dengan meletakkan kepala Mas Akmal di pangkuanku. Kemudian membelai rambutnya hingga dia tertidur.

Dan itu tak mungkin sekarang ataupun besok ku lakukan lagi. Jangankan menyentuh rambutnya, berada dekat dengannya pun aku merasa jijik.

"Jangan egois Ta …, Raina cuma punya kamu," suara Mas Akmal melemah.

"Cuma punya aku? Nggak salah Mas? Bukannya sekarang terbalik. Raina punya kamu dan calon anakmu. Aku yang nggak punya siapa-siapa disini." Aku tak bisa menahan laju airmataku. Dadaku sesak.

Mata suamiku memerah. Tatapan tajamnya kini meredup.

"Maaf Yang …, maaf …."

Aku tak sempat menghindar dari pelukannya. Dan pelukan ini masih sama, hanya hatiku yang kini berbeda.

Ini tentang rasa. Kesetiaanku terhianati. Kejujuranku telah di bohongi. Kesabaranku dia nodai.

Tubuh Mas Akmal bergetar. Ku tahu dia menangis. Entah apa yang dia tangisi. Cintaku, sedihku, lukaku, atau kebodohanku.

"Yang …, balas pelukanku. Sakit sekali melihatmu diam begini …" lirih suaranya membisiki telingaku.

Sakit dia bilang?

Lalu yang ku rasakan ini apa?

Perlahan aku mencoba melepaskan diri. Bukan karena tak ingin berjarak, tapi energiku seolah terkuras habis.

Aku memilih kembali duduk. Hatiku meronta meminta segera pergi. Namun sungguh ragaku tak bisa ku ajak kompromi. Akan sangat menyedihkan jika nanti aku terjatuh di jalan.

Tangan Mas Akmal berusaha menggenggam telapak tanganku. Ku lihat sekilas wajahnya, penuh bekas lelehan airmata.

Kemudian kami memilih diam. Aku sendiripun sedari tadi kehilangan onggokan kosakata.

Hari ini sangat cerah, namun tak cukup mampu membuatku sedikit hangat.

Pintu ruang tindakan terbuka.

"Maaf, keluarga ibu Raina?" Seorang perawat yang muncul memecah kebisuan.

"Iya, kami saudaranya." Mas Akmal menjawab dengan suara pelan.

"Ehm, apakah suaminya tidak ada disini? Dokter ingin berbincang sebentar di dalam."

Mas Akmal menoleh ke arahku.

"Masuklah Mas,"

"Kamu saja Yang." Sanggahnya.

"Kamu pikir aku bisa masuk ke dalam dan bersikap baik-baik saja?" Aku menahan geram. Tak habis pikir dengan jalan pikirannya.

Perawat tadi mengisyaratkan seorang dari kami mengikutinya masuk ke dalam ruangan.

"Aku masuk, ku mohon kamu tetap disini. Aku nggak mau kamu kenapa-napa." Tepukan lembut mendarat di atas rambutku.

Lembut, sangat lembut. Namun aku merasa kelembutan itu membawa ribuan duri untuk ditancapkan di atas kepalaku.

Dan kalau Mas Akmal pikir aku akan mengikuti perintahnya untuk tetap tinggal, salah. Karena aku memilih pergi.

Pergi dari hatinya. Tempat ternyaman yang pernah kusinggahi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status