Aku duduk di depan ruang tindakan. Suamiku sedari tadi masih sibuk mengurus administrasi.
Dadaku sesak, penuh dengan rasa yang tak ku mengerti. Aku sangat menyayangi Raina. Dia satu-satunya keluarga yang kumiliki. Tak pernah terpikirkan olehku, Raina bisa menyakiti aku sedalam ini.Aku hanya bisa duduk termenung. Bahkan aku lupa berdoa untuk Raina. Ah, entahlah.Ku dengar suara langkah kaki mendekat, kemudian berhenti tepat di depan kakiku.Mas Akmal, suamiku, menyodorkan sebotol air mineral. Aku bergeming. Bahkan untuk menatapnya saja aku malas.
Mas Akmal mendesah kasar. Diletakkannya botol air dan sebungkus roti di bangku kosong sebelahku.Aku memilih berdiri. Berniat pergi meninggalkan tempat ini. Toh sudah ada Mas Akmal, dan ku pikir Raina lebih membutuhkan kehadirannya. Aku hanya akan terlihat semakin menyedihkan jika tetap diam di sini."Yang, mau kemana?" Tangan Mas Akmal meraih lenganku."Pulang." jawabku ketus."Tolong jangan pulang. Kasihan Raina, dia butuh kamu …," ucapnya pelan, namun tatapannya tajam seolah ingin menusukku."Apa kamu bilang Mas? Aku? Jangan mulai kamu Mas," sentakku. Aku masih cukup waras untuk tidak berteriak di sini.Suamiku itu meremas rambutnya. Selalu begitu saat dia dalam masalah. Biasanya aku akan menenangkannya dengan meletakkan kepala Mas Akmal di pangkuanku. Kemudian membelai rambutnya hingga dia tertidur.Dan itu tak mungkin sekarang ataupun besok ku lakukan lagi. Jangankan menyentuh rambutnya, berada dekat dengannya pun aku merasa jijik."Jangan egois Ta …, Raina cuma punya kamu," suara Mas Akmal melemah."Cuma punya aku? Nggak salah Mas? Bukannya sekarang terbalik. Raina punya kamu dan calon anakmu. Aku yang nggak punya siapa-siapa disini." Aku tak bisa menahan laju airmataku. Dadaku sesak.Mata suamiku memerah. Tatapan tajamnya kini meredup."Maaf Yang …, maaf …."Aku tak sempat menghindar dari pelukannya. Dan pelukan ini masih sama, hanya hatiku yang kini berbeda.Ini tentang rasa. Kesetiaanku terhianati. Kejujuranku telah di bohongi. Kesabaranku dia nodai.Tubuh Mas Akmal bergetar. Ku tahu dia menangis. Entah apa yang dia tangisi. Cintaku, sedihku, lukaku, atau kebodohanku."Yang …, balas pelukanku. Sakit sekali melihatmu diam begini …" lirih suaranya membisiki telingaku.Sakit dia bilang?Lalu yang ku rasakan ini apa?Perlahan aku mencoba melepaskan diri. Bukan karena tak ingin berjarak, tapi energiku seolah terkuras habis.Aku memilih kembali duduk. Hatiku meronta meminta segera pergi. Namun sungguh ragaku tak bisa ku ajak kompromi. Akan sangat menyedihkan jika nanti aku terjatuh di jalan.Tangan Mas Akmal berusaha menggenggam telapak tanganku. Ku lihat sekilas wajahnya, penuh bekas lelehan airmata.Kemudian kami memilih diam. Aku sendiripun sedari tadi kehilangan onggokan kosakata.Hari ini sangat cerah, namun tak cukup mampu membuatku sedikit hangat.Pintu ruang tindakan terbuka."Maaf, keluarga ibu Raina?" Seorang perawat yang muncul memecah kebisuan."Iya, kami saudaranya." Mas Akmal menjawab dengan suara pelan."Ehm, apakah suaminya tidak ada disini? Dokter ingin berbincang sebentar di dalam."Mas Akmal menoleh ke arahku."Masuklah Mas,""Kamu saja Yang." Sanggahnya."Kamu pikir aku bisa masuk ke dalam dan bersikap baik-baik saja?" Aku menahan geram. Tak habis pikir dengan jalan pikirannya.Perawat tadi mengisyaratkan seorang dari kami mengikutinya masuk ke dalam ruangan."Aku masuk, ku mohon kamu tetap disini. Aku nggak mau kamu kenapa-napa." Tepukan lembut mendarat di atas rambutku.Lembut, sangat lembut. Namun aku merasa kelembutan itu membawa ribuan duri untuk ditancapkan di atas kepalaku.Dan kalau Mas Akmal pikir aku akan mengikuti perintahnya untuk tetap tinggal, salah. Karena aku memilih pergi.Pergi dari hatinya. Tempat ternyaman yang pernah kusinggahi.Aku mematikan ponselku. Seharian aku duduk melamun di taman kota. Menghabiskan sisa airmata yang hari ini belum sempat mengalir.Lelah. Lemah. Tak ada asupan yang masuk seharian ini. Aku memilih menggunakan taksi untuk mengantarku pulang.Halaman rumahku masih gelap. Namun ada nyala lampu dari dalam rumah. Kebiasaan Mas Akmal, selalu lupa menyalakan lampu depan. Berkali-kali aku mengingatkannya untuk menyalakan lampu. Dan Mas Akmal masih saja lupa.Senyum miris terukir di bibirku. Mas Akmal, setelah hari ini akankah kita masih bisa seperti dulu?Kubuka pintu ruang tamu. Sepi. Beberapa puntung rokok tersebar di atas meja. Pecahan cangkir kopi yang tadi pagi berserak sudah tak ada. Namun bekas percikan berwarna coklat masih setia menempel di lantai hingga tembok putih.Aku duduk di sofa. Benar-benar tak ada energi yang tersisa. Perutku mual. Seolah ada gelembung panas merambat dari perut menuju ke dada. Sakit.
Seperti mayat hidup. Mata cekung dan dihiasi lingkaran hitam, rambut tergerai berantakan. Memeluk tubuh sendiri sehari semalam.Hingga pagi Mas Akmal tidak pulang. Dan sampai ketika senja datang tepat waktu suamiku tetap tak datang. Mungkinkah dia tak ingat jalan pulang?Suara gedoran pintu ku abaikan. Tentu bukan suamiku yang datang. Suamiku sedang asyik berkumpul dengan Raina dan calon anak mereka.Kenapa? Kenapa Raina bisa hamil sedang aku tidak! Kenapa Raina?Jika saja itu perempuan lain, mudah bagiku untuk memukul, menendang, menjambak, atau melemparkan kotoran di wajahnya. Tapi kenapa harus Raina?Raina yang dari kecil selalu bersama denganku. Raina yang berdua bersamaku menghadapi kepergian orang-orang tercinta. Raina yang saling bertukar bahu denganku, untuk saling menopang saat kesedihan bertubi datang di masa l
Semalaman aku dan Panji duduk di sofa ruang tamu. Tanpa bicara, masing-masing sibuk dengan hati dan pikiran.Nyatanya ketika fajar menyingsing Mas Akmal tak juga muncul di balik pintu.Aku pun segera berkemas. Membawa beberapa potong pakaian. Dan tanpa kata Panji mendahuluiku masuk ke dalam mobil.Ini pertama kalinya aku pergi jauh tanpa suamiku. Perjalanan panjang ke kota tempat tinggal Panji. Aku pernah beberapa kali berkunjung ke sana, dan tentu saja bersama dengan Raina dan Mas Akmal.Sepanjang jalan aku memeluk tubuh Mas Akmal. Dan suamiku tetap berkonsentrasi mengendarai motornya, meski sesekali satu tangannya menggenggam tanganku yang melingkari pinggangnya.Mas
Sudah dua hari aku tinggal di rumah Tante Nina. Selama aku di rumah ibunya, Panji memilih menginap di apartemen miliknya. Laki-laki dingin itu hanya muncul saat jam makan. Benar-benar datang hanya untuk makan, kemudian pergi lagi.Sesekali aku mengaktifkan ponsel, dan selalu pesan dari Mas Akmal membanjir. Ia memaksa aku untuk pulang. Tak sekalipun aku membalas. Beberapa kubaca, dan sebagian besar ku abaikan.Tante Nina selalu memberiku semangat, menyalurkan energi positif hingga aku merasa lebih baik.Siang ini aku merasa butuh udara segar. Saat makan siang, aku meminta izin kepada Tante Nina untuk pergi keluar.Diluar dugaan, Panji mengajukan diri untuk mengantarku."Kamu nggak tahu jalan. Aku juga yang repot kalau kamu nyas
Seketika keringat dingin membanjiri tubuhku. Aku tak berani bicara, apalagi menoleh ke arah Panji.Aku menyesal, kenapa tadi tidak membawa ponselku. Paling tidak aku bisa menghubungi Tante Nina atau Reno. Ya, aku ingat pernah menyimpan nomor ponsel Reno. Hanya dua orang itu yang ku kenal di kota ini.Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Jam digital di atas dashboard menunjukkan pukul tiga. Segala kemungkinan bisa saja terjadi.Panji nampak santai, sesekali melirik ke arahku. Dan tentu saja perbuatannya itu semakin membuatku takut.Sebisa mungkin aku menyembunyikan ketakutanku. Orang yang ingin berbuat jahat akan semakin senang saat melihat calon mangsanya merasa terintimidasi.Jika tadi jalanan penuh pepohonan, sekarang pemandangan berubah drastis. Mataku disuguhi pegunungan gersang berbatu cadas. Entah aku ada dimana s
"Tante mendukung apapun keputusan kamu, Ta," tutur Tante Nina ketika aku menyampaikan maksudku untuk pulang.Sungguh aku tak pernah rela jika rumah peninggalan orang tuaku dijadikan tempat pernikahan orang yang telah menghancurkanku. Semakin terinjak harga diriku sebagai istri. Semakin terkikis cinta yang dulu begitu ku agungkan.Pesan yang dikirim ibu mertuaku seolah membuka kembali luka yang sedang berusaha ku tutup. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Tak adakah sedikit rasa bersalah, ataukah mereka pikir aku begitu mudah mengalah?"Ma, menurutku Marta masih butuh sedikit waktu lagi. Mama nggak ingat bagaimana kondisinya saat ku bawa kemari," tegas Panji."Tapi Ji, cepat atau lambat Marta tetap harus menyelesaikan masalahnya. Kalau dia tetap disini, keluarga Akmal han
Inikah bukti cinta yang selalu Mas Akmal gaungkan? Dia sampai rela bersimpuh di kakiku, dan meminta izin untuk pernikahannya yang kedua.Inikah buah kesabaran yang harus kutuai?Aku tak pernah menanam luka, tapi kenapa harus menuai air mata?Aku seolah tak berpijak. Tak peduli berapa lama suamiku bersimpuh."Akmal, jangan merendah di hadapan istri yang nggak bisa kasih kamu keturunan!" Ibu menarik tubuh Mas Akmal."Segera nikahi Raina, bahagiakan ibu. Bosan ibu mendengar ocehan orang. Biar kita buktikan kalau anak ibu bisa memiliki keturunan!" Ibu berteriak, kemarahan terlihat nyata.Jadi masih saja ini tentang anak yang tak kunjung hadir di rahimku, karena itu dia mencoba peruntungan dengan wanita lain?"Marta …, tolong biarkan Akmal menikahi Raina. Ibu janji, hanya sampai anak mereka lahir. Dan Raina sudah setuju memberikan anaknya untuk kalian. Ibu mohon …," tangis mertuaku te
Mas Akmal memandangku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sementara Panji, lelaki itu masih berdiri di depan pintu kamarku. Kedua tangannya sibuk mengeringkan rambut dengan handuk."Kamu …," desis Mas Akmal."Kenapa?""Benar kata ibu. Kamu istri yang tak tahu diuntung," tandas Mas Akmal. Aku menatapnya heran."Maksudmu apa?""Aku berusaha mempertahankan kamu, walaupun ibu sering memintaku untuk mencari istri lagi, nyatanya kamu bukan cuma nggak bisa hamil. Kamu juga murahan! Baru berapa malam kita tidak tidur bersama, dan kamu sudah gatal untuk tidur dengan laki-laki lain, hah?"Merasa tak terima dengan ucapan Mas Akmal, aku mendekat dan langsung mendorong bahunya."Kamu pikir kamu apa? Kamu lebih baik dariku?""Sampai