"Teman Marta kan? Soalnya Marta bilang mau makan siang dengan temannya."
Tak ada jawaban, dan suasana mendadak tegang. Ya Tuhan, ingin sekali ku pukul wajah tak berdosa itu dengan ransel.
Panji menatapku, seolah menuntutku memberi pengakuan atas keberadaannya.
Pak Arka dengan tenang mengambil air mineral yang tersedia di setiap meja.
"Sepertinya wajah anda tidak asing, hmm … apa kita pernah bertemu? Oh, sebentar, sepertinya aku ingat sesuatu. Kamu pernah membawa paket besar ke penginapan dekat butikku kan?"
Paket besar? Ah ya, aku juga pernah mendapat paket besar berisi boneka. Mungkinkah boneka waktu itu dari Panji?
Kulihat Panji tersenyum samar. "Ingatanmu sangat kuat," u
Aku melangkah menyambut kedatangan Panji. Namun dalam dua langkah aku berhenti.Mataku nanar melihat sesuatu yang ia bawa. Rasa kesal yang sempat hilang kembali muncul.Ya Tuhan … apakah hanya itu yang ada di dalam pikirannya?Setelah sampai di depanku, Panji menyerahkan kantong makanan yang dibawanya dari warung makan."Ayo kita makan dulu," ujarnya seolah tak menghiraukan wajahku yang tertekuk."Mau makan sendiri, atau ku temani? Ta …, aku tidak bisa membiarkan perempuan yang sedang bersamaku sakit karena terlambat makan," celetuknya sambil meletakkan kantong di atas meja teras.Perempuan? Kenapa tak terbesit di hatinya untuk menyebut namaku saja? Atau, kata perempuan di ganti dengan kata 'kamu'.Aku menatap malas ke arahnya.
"Ish, dasar janda! Dimana-mana selalu menggoda dan tebar pesona!"Aku dan Pak Arka menoleh ke sumber suara. Tika terlihat bersandar di pintu masuk.Perempuan itu, bagaimana bisa tahu kalau aku janda?"Beb, kamu nggak risih deket-deket sama janda? Atau … kamu tidak tahu tentang statusnya?" Tatapan sinis tersorot dari matanya yang sekarang berwarna biru.Aku tak berani melihat ke arah Pak Arka."Kenapa kalau dia janda? Bukankah dengan begitu statusnya jelas. Jelas juga siapa yang membuatnya nggak perawan, kan?"Aku tercekat mendengar kalimat vulgar yang baru saja Bosku katakan. Namun ajaib, kalimatnya berhasil membuat Tika gelisah. Mulut Tika sebentar terbuka, lalu detik berikutnya tertutup. Persis seperti ikan yang diangkat dari air."Apa kabar kamu Tik?
Pak Arka memilih gaun navy untukku. Dia bilang, gaun pink hanya akan membuatnya seperti mengajak pesta anak SMP. Sedikit kesal saat dia mengatakan itu. Kenapa tidak bilang kalau dia takut jika aku terlihat lebih muda darinya?Berarti dengan gaun navy, aku terlihat tua? Begitukah?"Jangan cemberut! Merusak suasana tahu," ucapnya sambil tetap menggoreskan pensil diatas kertas. Sebentar lagi pasti dia mencari pensil warna.Benda panjang warna warni itu sering kali menghilang entah kemana. Beberapa minggu yang lalu aku masih bodoh, mau saja di mintanya membeli pensil warna. Sekarang tidak.Aku membeli beberapa pack sekalian kemarin. Apalagi Ita memberikan kartu ATM yang berisi uang cukup banyak. Untuk kebutuhan si Bos, juga untuk keperluan kantor lain. Katanya tidak ada pengecekan. Dan katanya aku juga bisa menggunakannya untuk keperluan pribadi. Anggap s
Bagaimana mungkin aku tidak berteriak, sedangkan dia sedang berusaha melakukan sesuatu yang bisa membuatku malu!!Pak Arka terus saja melancarkan aksinya. Beberapa kali aku menahan sakit saat tangannya dengan kasar menarik rambutku.Ya, dia sedang berusaha melepas tatanan rambut yang Maya buat!"Ini pasti ulah temanmu kan!" umpatnya geram.Aku tak bisa membayangkan bagaimana kondisi rambutku saat ini. Rasanya aku ingin menangis!"Aww!" Pekikku tertahan."Sst, diam. Atau orang-orang pikir kita sedang melakukan perbuatan yang iya-iya.""Kenapa Bapak tidak menyuruhku ke toilet saja! Aku bisa melepas sendiri tanpa bantuan laki-laki kasar seperti Bapak!" gerutuku kesal. Lagi-lagi Pak Arka menarik keras rambutku."Kenapa tidak bilang d
"Marta …," panggilnya sekali lagi.Aku masih berdiri di balik punggung Pak Arka, dan Akmal menatapku dengan tatapan … pasrah?"Marta sepertinya tidak ingin berbicara dengan Anda." Pak Arka berkata setelah kami terdiam sekian detik."Saya hanya ingin meluruskan beberapa hal saja. Jika Marta tak nyaman bicara berdua dengan saya, Anda bisa menemaninya."Suara Akmal terdengar lemah. Tak seperti Akmal yang ku kenal dulu. Raut wajahnya juga terlihat kuyu. Bukankah seharusnya dia merasa bahagia?Bisa lepas dariku yang dicap mandul oleh ibunya?Pak Arka menoleh ke arahku, "Bagaimana? Kamu mau?" tanyanya.Aku ingin,
Pak Arka mengajakku pamit pada Bu Anggi dan suaminya. Tak lupa dia juga mohon maaf karena Pak Har pulang setelah meninggalkan sedikit kekacauan. Wanita anggun di depanku itu tersenyum, "Kamu tadi sudah ketemu Tika?" Pak Arka mengangguk. "Ya sudah, Tika sangat antusias menunggu kamu tadi. Eh, sekarang malah Tante nggak tahu anak itu ada di mana." Pak Arka tersenyum sama sebelum memberiku isyarat untuk keluar dari rumah itu. Di depan pintu kami kembali berpapasan dengan Akmal dan Ibunya. Kali ini mereka menunduk. "Tolong pastikan Raina baik-baik saja. Jangan sampai dia strees, karena itu sangat mempengaruhi kondisi janinnya." Aku mendengar dengusan Pak Arka sebagai jawaban atas ucapan Akmal. Meskipun baru bebe
Panji tidak membawaku ke pasar. Dia juga tak menjawab saat ditanya, kenapa mobil mengarah ke jalur lain.Dengan tenang dia melajukan kendaraan. Sesekali ku lihat mata Panji melirik ke arahku.Mobil putih yang kami tumpangi berhenti di sebuah hunian minimalis. Batu alam tertata rapi membentuk pilar-pilar kecil. Beberapa tanaman mempercantik tatanan taman mungil di depannya."Rumah siapa, Ji?" tanyaku sambil menatap kagum pada tatanan rumah yang apik."Arka.""Wow, benarkah? Laki-laki sepertinya mempunyai rumah sebagus ini?""Dia laki-laki seperti apa?" Terdengar nada tak suka dari ucapan Panji."Galak, sombong, angkuh …, hmm, ya seperti itu.""Kamu suka?""Hm? Maksudnya?"
Aku memaksa Pak Arka untuk membawaku menemui Raina. Namun lelaki itu malah berbalik memaksaku untuk berjibaku dengan wajan dan kompor.Tanganku berjuang keras meracik bumbu nasi goreng spesial seperti yang dia mau.Aku memasak, sementara otakku berkeliling liar mencoba menggali setiap waktu yang dengan bodoh ku lalui.Beberapa ucapan Pak Arka tadi cukup mengguncang. Berputar tentang Akmal, Raina dan Pak Har. Entah lakon apa yang mereka bertiga perankan.Panji dan Pak Arka tengah sibuk berbicara tentang pengembangan kafe. Sepertinya Panji menawarkan kerjasama dengan iming-iming jika perputaran uang kafe lebih cepat. Dan juga kafe banyak diminati segala usia, meskipun lebih menyasar pada pasar anak muda.Kurang dari setengah jam, nasi goreng berhasil ku hidangkan."Enak," puji Pak Arka. Semen