MATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI 5
Pagi ini cacing diperutku mulai berdemo, demo yang mulai anarkis karena dari kemarin belum di isi nasi. Ibu yang tak kuat menahan lapar, pulang dengan Doni. Menyebalkan sekali, enaknya bareng-bareng. Giliran susah tanggung sendiri, nasib... nasib.
Suara mobil terdengar dari luar.
"Bu, Raffi ga mau tinggal disini, di rumah tadi aja."rengek Raffi yang terdengar olehku.
"Sabar, sayang."sahut perempuan yang kupastikan itu adalah Karina.
Duh, kenapa jantungku berdebar-debar begini.
"Assalamu'alaikum..."salam mereka serentak.
"Wa'alaykumussalam..." jawabku dan membuka kan pintu.
Wajah cerah Karina tersenyum tipis, tanpa menyalami tanganku terlebih dahulu, Karina masuk kerumah.
"Dek, kamu ga salaman dulu sama suami sendiri!"hardikku.
"Oh...!" Rina berhenti melangkah lalu menoleh padaku.
"Maaf, suamiku sayang. Lima tahun di negri orang membanting tulang memeras keringat, hampir membuatku lupa jika aku memiliki suami!"pelan tapi tajam. Sekilas Karina meraih tanganku dan menciumnya asal.
"Kok, kamu ngomong begitu?"cetusku.
"Hmm... Maaf aku hanya asal bicara."kelitnya tanpa memandang wajahku.
"Dek, Mas lapar. Bagi uang dong! Mas ga megang uang sama sekali!"pungkasku. Rasa lapar ini membuatku tak bisa berpikir jernih.
"Bapak cari uang, dong! Minta Ibu terus!"celetuk Raffi.
"Heh! Anak kecil ga sopan!"bentakku.
Rina terkekeh.
"Bukankah itu memang benar Mas!" aku tak menjawab, kuakui seharusnya memang begitu, tapi selagi ada yang bisa menanggung hidup kita kenapa harus capek-capek bekerja.
"Hayolah, Sayang. Mas lapar."cicitku.
"Aku ga punya uang cash, Mas. Semua uangku ada di ATM."sahutnya cuek.
"Kamu gimana sih!"suaraku meninggi. Tapi langsung terhenti kala melihat tatapan tajam mata Rina. Ya Amplop, kenapa mati gaya begini.
"Ga usah teriak-teriak! Nih aku cuma ada nasi sisa Raffi tadi. Kalau kamu mau, ya silahkan." Rina mengeluarkan sebuah kotak makanan dan menyodorkan padaku.
Hanya beberapa suap nasi dengan ayam goreng yang tinggal tulangnya. Ah dari pada lapar lebih baik aku habiskan saja. Bod* amat dengan tatapan Rina yang menghina.
Baru saja usai makan.
"Surat rumah ini mana, Mas?"tanya Rina. Aku yang sedang minum tersedak.
"Ada, buat apa?"jawabku setelah bisa normal lagi bicara.
"Tolong bawa sini, Mas!"titahnya.
"Mas, tanya buat apa?" aku mulai kesal.
"Kamu itu sudahlah tak mengirimkan Mas uang, pulang tiba-tiba tak mengabari Mas. Sekarang minta surat rumah. Aneh!"suasana memanas, tapi Rina cuek saja.
"Kamu yang aneh, seharusnya kamu senang aku pulang, tapi sepertinya kamu gelisah sekali!"sindirnya.
"Eh anu ga, sayang. Mas senang kok."desisku.
"Ya udah, tolong bawa kesini sertifikat rumah dan itu tabungan kita eh tabunganku maksudnya selama lima tahun yang katamu untuk masa depan Raffi itu."katanya dengan mata menatapku tajam.
"Bim... Bima...! Rina mana?" suara Ibu terdengar lantang dari luar.
"Eh, menantu Ibu, sudah pulang! Ibu rindu sama kamu, Nak." Ibu tergopoh-gopoh mendekati Karina.
Karina hanya diam tak menyambut, kok dia berubah angkuh begini.
"Kamu sehat, Nak?" tanya Ibu yang telah memeluk Rina yang tak bereaksi apa-apa.
"Seperti yang Ibu, lihat!"cetusnya.
"Wah, Ibu senang kamu kembali. Mana makin cantik. Duh, Ibu beruntung sekali punya menantu seperti kamu."seloroh Ibu dusta. Mana mungkin Ibu senang Rina pulang, mustahil!
"Oh ya, Nak. Mana oleh-oleh dari luar negeri? Ibu ga sabaran nih, hmmm sekalian mentahnya alias uangnya juga boleh Sayang, Ibu lagi kehabisan uang, nih!"rajuk Ibu, duh Ibu kok sempat-sempatnya minta uang sih.
Karina hanya tersenyum sinis.
"Mas, sekali lagi aku meminta kamu, agar menyerahkan sertifikat rumah dan tabungan masa depan Raffi yang setiap bulan aku kirim!"tegas Rina.
"Ada apa ini, Nak?"tanya Ibu heran.
Aku menyugar rambutku. Masalah dengan Bank saja belum selesai, bulan depan jika tak dicicil juga maka rumah Ibu akan mereka sita.
"Rina minta uangnya, Bu!"jelasku singkat.
"Lho...lho udah dikasih masa diminta lagi!"seru Ibu.
"Saya tak pernah memberikan kepada Mas Bima, tapi itu tabungan masa depan Raffi. Dan sebagian untuk merenovasi rumah ini. Tapi, apa? Rumah yang saya tinggal lima tahun lalu, sama sekali tak berubah. Otomatis uangnya utuh dong."lirih Rina.
"Kamu kok perhitungan sekali, kamu kira suami kamu ga makan? Anak kamu ga makan?"sembur Ibu.
"Saya tak bodoh untuk menghitung pengeluaran suami dan anak saya sebulan, Bu. Setiap bulan saya selalu mengirimkan uang yang dijatah untuk tabungan juga jatah buat makan dan kebutuhan sehari-hari Raffi juga Mas Bima. Seharusnya uang itu sudah banyak, karena selama lima tahun tabungan itu tidak diambil-ambil!"cecar Rina.
Aku mati kutu. Ibu pun terdiam.
"Cepat Mas, jangan buang-buang waktuku!"hardik Rina.
"Jangan belagu kamu!baru jadi TKW saja sudah belagu!"hina Ibu.
"Jadi TKW lebih terhormat dari pada jadi benalu!"seru Rina.
"Kurang aj*r kamu!" Ibu mendekat hendak menampar Rina. Tapi, tepat saat itu dua orang laki-laki bertato masuk dan berdehem kencang, membuat ibu menghentikan aksinya.
"Tak apa, tunggu perintah saya saja!"titah Rina yang membuat dua algojo itu mengangguk.
Aku terperanjat, begitu juga dengan Ibu. Doni yang sedari tadi sibuk dengan gawainya tanpa mempedulikan yang terjadi menyimpan gawainya dan duduk beringsut ke pojokan karena takut.
Wajah sangar dan tato yang memenuhi tubuh mereka yang hanya memakai baju tanpa lengan membuat nyali ciut seketika.
"Cepat!" pekik Rina.
"Sebelum para algojo ini membuat kalian tak mampu lagi menatap dunia!"lanjut Rina dengan nada mengancam.
"Bim... Bima buruan berikan sertifikat rumah ini."cicit Ibu takut.
"Sertifikatnya ada dirumah Ibu, Dek. Tak ada disini."
Rina yang sudah berubah menjadi wanita angkuh itu, tersenyum mengejek.
"Bukan alasan, kita kesana sekarang!" Rina bangkit mendahului langkah keluar dari rumah ini.
"Kalian pastikan mereka hidup sampai saya mendapatkan hak saya!"bisiknya pelan tapi masih terdengar jelas olehku.
Aku, Ibu dan Doni bergegas mengunci pintu dan menaiki kendaraan kami menuju rumah Ibu. Aduh, Rina apa-apaan sampai bawa-bawa bodyguard segala!
"Bim, gimana ini." bisik Ibu, panik.
"Tenang aja, Bu jangan panik."ucapku, padahal aku sendiri panik setengah mati. Bagaimana jika nanti Rina menanyakan tabungannya, mati aku!
Bersambung.
MATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI 6Motorku dan Doni sudah sampai dihalaman rumah. Diiringi mobil yang membawa Karina dan Raffi berikut algojonya. Gil*! Rina benar-benar tak seperti Rina lima tahun lalu. Wajahnya yang makin cantik malah bertambah angkuh. Sebenarnya apa pekerjaan dia di Taiwan? Aku tak yakin jika hanya seorang operator produksi, bod*h nya aku tak pernah peduli soal itu."Bim... Ibu ga mau terseret urusan rumah tangga kamu! setelah sertifikat rumah itu kamu ambil, buruan pergi dari sini. Urusan kamu dengan Karina dan Marni, Ibu jangan dilibatkan!"cecar Ibu pelan.Astaga naga! Aku lupa tentang Marni. Semoga saja Rina tak tahu jika aku sudah menikah lagi. Kenapa urusan menjadi rumit begini."Sssst... Ibu ga usah sebut-sebut nama itu. Nanti Karina dengar!"rutukku. Bisa dikutuknya nanti aku."Cepet, Mas! nunggu apa lagi!"bentak Rina. Aku dan Ibu bergegas masuk kerumah. Kalau saja Rina tak membawa bodyguard sudah kutampar muka angkuhnya itu."Dek, kita masuk dulu, yuk.
Dua hari tak ada kabar dari Rina. Hanya kemarin dia meminta menyiapkan semua perlengkapan Raffi, karena Raffi mau di pindahkan ke pesantren. Daripada di rumah main gawai terus, begitu alasannya. Terserah dia saja kalau masalah itu, bukankah itu lebih baik. Kewajibanku memberi jajan dan menjaga Raffi jadi berkurang.Sorenya seorang laki-laki menjemput semua barang-barang Raffi. Sempat kutanyakan alamat Karina. Tapi, dia tak mau menjawab.Syukur juga sih, berharap Rina lupa dengan tabungannya. Kalau rumah jelek itu, biarkan saja dia ambil. Toh, itu memang miliknya. Aku sudah punya rumah yang kubeli untuk Marni. Rina minta cerai pun tak masalah, masih ada Marni."Apa Ibu bilang, dia cuma gertak sambel doang. Mana berani dia kesini mencelakai kita. Mungkin juga duitnya habis, ga mampu lagi bayar bodyguard, secara hanya TKW bukan pengusaha hahahaha." tawa ibu membahana.Aku hanya menimpali sekadarnya karena lagi fokus chatting dengan Marni yang semlohai.[Sayang, udah mandi belum?] pesanku
Drrttt drrttt drrtttPonselku berbunyi dari tadi, lelah masih tersisa setelah pertarungan tadi."Mas, gawaimu dari tadi bunyi terus."seru Marni sambil menggoyang-goyangkan tubuhku."Apa sih, Dek. Mas masih ngantuk."sahutku dengan nada berat khas orang mengantuk."Itu dari tadi ada yang nelpon, coba lihat kali penting." Marni menyodorkan gawaiku. Dia yang sudah mandi mengeringkan rambutnya."Halo...!""Bimaa...! Buruan pulang, mobil Ibu mau dirampok. Buruan pulang...huhuhu." suara Ibu melengking diiringi tangis histeris."Ya ampun, siapa yang mau merampok, Bu?" aku yang tadi tiduran langsung bangun. Marni ikut menghampiri dan duduk disampingku."Istrimu! Dia mau membawa mobil dan motor Doni. Buruan pulang, Bim! Ibu ga mau mobil Ibu dibawa. Ibu ga mau! pokoknya ga mau...!" aku menjauhkan telepon dari telingaku, suara Ibu membuat telingaku berdenging sakit."Oke, oke Bima segera pulang. Bilang Karina, tunggu Bima sampai dulu, ya Bu!" aku menutup telepon, bergegas mandi dan berpakaian. "
MATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI 8"Sayang, please. Jangan seperti ini. Kita bicarakan lagi baik-baik, lihat kita menjadi tontonan warga." aku mendekati Rina. Wanita cantik itu bahkan tak mau menatapku. Pandangannya lurus ke depan dengan tangan bersedekap di dada."Bima, usir mereka! Apa kata teman-teman arisan Ibu, kalau mereka melihat ini."cecar Ibu frustasi.Sebagian dari mereka memegang gawainya dan mengarahkan kepada kami."Biarkan saja sih, kapan lagi kalian viral dan menjadi artis dadakan."ucap Karina santai, tega sekali dia."Sayang, tolonglah. Mas minta maaf, memang uang tabungan kita terpakai oleh Mas. Tapi, Mas janji akan membayarnya. Ingat sayang, kita ini suami istri."rayuku. Rina diam saja saat aku memegang pundaknya. Ya ampun, Rina-ku yang sekarang sangat beda. Kulitnya halus terawat, bahkan wangi tubuhnya tercium olehku."Kamu kemana kan uang itu?"tanyanya sambil menghempaskan tanganku yang sedang menyentuhnya."Hmm... anu Sayang, anu... hmm... untuk membeli mob
MATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI 9Aku menatap nanar kertas yang tergeletak di atas nakas itu. Surat panggilan dari pengadilan Agama. Rina menggugat cerai, berani sekali dia. Siapa yang mengajarinya menjadi pembangkang begini?Dulu dia begitu penurut dan tak banyak membantah, meski kusuruh bekerja keluar negeri, terpisah dengan Raffi yang saat itu masih berusia lima tahun.Kepalaku masih terasa berat. Kucoba untuk bangun ingin melihat keadaan diluar."Buruan Dino, jangan malas!"teriak Ibu kudengar samar-samar dari luar.Pasti Ibu dan Doni sedang membereskan kekacauan yang tadi dibuat bodyguard nya Rina. Memang keterlaluan istriku itu."Kamu sudah sadar?" Ibu datang dan duduk dipinggir ranjangku. Ranjang yang kupakai bersama Rina jika menginap dirumah Ibu."Kepala Bima masih pusing, Bu." lirihku sambil memijat kening."Kamu sih segala pake dikasih surat-suratnya. Jadi pusing sendiri kan?"sesal Ibu."Kalau ga dikasih, rumah Ibu diobrak-abrik, emang Ibu ikhlas?" desisku. Baru diber
MATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI 10"Heh, apa-apaan kalian!" dua orang bodyguard itu masuk ke rumah. Marni yang berusaha menghalangi dipegangi oleh salah satu diantara mereka."Lepaskan!" Marni berontak, tapi tak berdaya. Aku juga berusaha menghalangi mereka tapi aku takut tewas hari itu juga. Tato tengkorak dilengan salah satu dari mereka membuatku kian tak punya nyali.Satu persatu perabotan didalam rumah dibawa. Televisi dan sofa sudah berpindah keluar rumah."Tolong... tolooong!" teriak Marni membuat warga mulai berdatangan. "Mbak Marni ini kenapa?" tanya salah satu warga yang terlihat prihatin."Mereka mau merampok rumah saya dan isinya, Bu. Tolong panggilkan Pak RT!" pinta Marni yang sudah berurai air mata.Belum sempat aku melarang, perempuan setengah baya tetangga Marni itu sudah berlari cepat. Pasti menuju rumah Pak RT. Aduh, jadi panjang urusannya.Karina yang duduk didalam mobil cuek saja sambil memainkan gawainya.Terbuat dari apa hati wanita itu. Tok tok tokAku me
MATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI 11Hati siapa yang tak mendidih saat hasil jerih payahnya dihabiskan begitu saja. Yang lebih menyakitkan dia memakai uang yang kutabung untuk menikah lagi.Berkali-kali kutatap foto pernikahan yang dikirim Nana padaku. Nana adalah teman akrabku dari kecil. Rumahnya tak jauh dari rumahku. Menurut Nana sejak Mas Bima menikah rumah itu tak pernah lagi dia tempati, keterlaluan.[Pulanglah, Rin. Tak ada keuntungan kamu disana kecuali nanti hanya akan mendapatkan kekecewaan. Raffi juga kecanduan gadget. Mereka hanya mengambil uangmu tanpa menunaikan kewajibannya.]Aku mengusap air mata yang tak henti mengalir."Hey, kamu! Kenapa disini! Kembali bekerja!" bentak seorang laki-laki dengan bahasa Mandarin. Dia yang kuketahui adalah anak dari yang punya perusahaan ini.Ya Allah aku kaget luar biasa. Gegas kusimpan gawaiku dan merapikan penampilanku yang pasti kusut habis menangis. Tadi saat ke toilet iseng aku membuka gawai. Hingga aku membaca pesan Nana itu
MATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI 12"Mommy... " Mei-Yin, memelukku.Putri satu-satunya Tuan Liu sangat dekat denganku. Apalagi Mei-Yin sekarang tinggal di apartemen ayahnya. Hampir tiap malam gadis lima tahun itu diam-diam mengetuk pintu kamarku dan tidur bersama. Hingga tak jarang Tuan Liu memarahi gadis itu karena pagi-pagi sudah mengetuk pintu kamar ayahnya.Setelah satu setengah tahun bekerja sebagai sekretaris Tuan Liu aku memutuskan hendak pulang. Sejak mengetahui kebusukan Mas Bima, aku tak lagi mengirimkan uang seperti sebelumnya. Dia tak protes karena aku beralasan jika perusahaan sedang mengalami penurunan pendapatan. Belum tahu saja, sejak menjadi sekretaris Tuan Liu, gajiku lima kali lipat dari gaji sebelumnya."Kamu yakin, mau pulang?" Tuan Liu menatapku lekat.Aku mengangguk. "Saya harus menyelesaikan masalah rumah tangga saya, Tuan." ujarku berat. Sangat sulit mendapatkan pekerjaan dengan gaji sebesar ini. Pekerjaan yang tak begitu berat, bahkan terkadang aku han