Karina adalah seorang wanita tangguh yang begitu menyayangi keluarga. Ekonomi yang sulit membuat dia memutuskan bekerja ke Taiwan sebagai TKW. Awalnya baik-baik saja, Karina selalu mengirimkan uang untuk suami dan anaknya di Indonesia. Namun, ditengah-tengah perjalanan. Karina mendapat kabar jika Bima telah menyalahgunakan uang yang dia kirim, bahkan sudah menikah lagi. Karina sakit hati, diam-diam Karina pulang dan memergoki suaminya. Tak hanya membuat Bima menyesal, tapi Karina membuat laki-laki itu sengsara. Apa saja yang dilakukan Karina? Apakah dia akan menerima kembali suami yang sudah mengkhianatinya?
View More"Bim, Ibu mau beli mobil seperti Bu Romlah, dong. Masa kamu tega Ibu kemana-mana jalan kaki."rengek Ibu.
"Kan uangnya sudah dipakai buat renovasi rumah, Bu. Bima mana ada uang lagi." Kataku memberi pengertian.
"Kamu kan tinggal minta sama Rina, emang istri mu itu belum ngirim uang?"
"Belum Bu, kan bulan ini dia belum gajian. Lagipula nanti kalau dia tanya uang nya kemana Bima harus jawab apa?"
"Halah, bilang aja buat biaya pendidikan Raffi, susah amat!"
Aku hanya geleng-geleng kepala, Raffi masih SD, mana mungkin Rina percaya kalau biaya pendidikan sebanyak itu.
"Bang, Doni juga dong mau ganti motor. Motor yang dibeli kemarin sudah ketinggalan jaman. Doni mau motor sport seperti punya Andre." Doni yang baru bangun langsung merengek, membuatku makin pusing.
"Ini lagi, udah syukur dibelikan!" Rutukku.
"Pelit amat sih Bim, sama keluarga sendiri."kata Ibu sambil mencebikan bibir.
"Ya udah, nanti Abang belikan, satu-satu dulu. Tapi motor lama kamu dijual ya, buat nambah-nambah."
"Oke bos, siap!" Doni begitu senang. Bangga rasanya bisa membahagiakan Ibu dan adikku satu-satunya.
"Ibu, kapan Bim?"rengek Ibu.
"Sabarlah, Bu. Nunggu Rina dapat bonus." Jawabku. Ibu mengerucutkan bibirnya, aku terkekeh melihat Ibu seperti anak kecil saja.
Sorenya Raffi datang, sepulang sekolah dia memang langsung Mabar alias main game bareng dengan teman-temannya.
"Pak, kuota Raffi habis." Todongnya.
Baru kemarin aku memberi uang lima ribu untuk membeli kuota, sekarang sudah habis. Luar biasa anakku ini.
"Ini jangan boros-boros, Raf." Nasehatku.
"Ah elaah Bapak, lima puluh ribu mana cukup. Sehari juga sudah habis."
Aku menghela nafas panjang.
"Nih Bapak tambahin lima puluh ribu lagi."
Sambil teriak girang, Raffi langsung lari keluar.
Aku pun kembali melanjutkan game onlineku yang tertunda.
Menjelang sore aku pamit kepada Ibu, biasa jatah malam dirumah Marni, istri mudaku.
Sambutan hangat dan perhatian Marni membuatku tak pernah kesepian walau sudah lima tahun tak bertemu Rina, istriku.
*****
Lagi santai bersama Marni.
[Mas, aku mau pulang.]
Pesan dari Rina yang tiba-tiba membuat nafasku terhenti.
[Kenapa, sayang?] balasku.
Aku merenggangkan pelukkan Marni yang menempel ditubuhku. Wah, bahaya ini kalau Rina minta pulang.
"Kenapa, Mas?" Tanya Marni heran.
Aku tak menjawab, moodku mendadak tak baik. Kalau Karina pulang siapa lagi yang akan mengirimkan uang padaku.
[Aku capek, Mas. Udah lima tahun disini, aku kangen sama Raffi.]
[Sabar sayang, Raffi baik-baik saja kok. Demi impian kita, semangat sayang. Mas akan setia menantimu disini.]
Aku berusaha merayu Karina. Jangan sampai dia kembali, bisa-bisa aku dicincangnya nanti.
[Raffi butuh masa depan, sayang. Kamu inginkan anak kita menjadi orang sukses. Uang yang kamu kirim sudah Mas bangunkan rumah sebagian Mas tabung untuk masa depan Raffi.] Lanjutku.
[Baiklah, Mas. Demi kalian aku akan terus berjuang.]
Aku tersenyum lebar, nah gitu dong. Selama kamu disana, aku disini bisa hidup enak. Rumah ibuku sudah megah begitu juga dengan rumah yang kubeli untuk Marni. Perempuan yang sudah kunikahi dua tahun ini.
[Mas, sangat mencintaimu. Mmmuuaach...]
Karina pun membalas dengan kata-kata yang sama. Lega, dia tak gigih untuk minta pulang.
"Mas, kita ke pasar, yuk. Aku mau beli kalung. Teman-teman arisan pada pake kalung. Sedangkan aku hanya punya gelang saja." Rajuk Marni. Melihat bibir seksinya manyun begitu aku makin gemas.
"Hmmm... beliin ga ya?" Ledekku.
"Ah, Mas mah. Beliin dong, kan kalau aku ga terlihat keren, Mas juga yang malu."
Benar juga kata Marni. Aku bisa malu kalau ada yang mencela penampilan istri mudaku itu.
"Baiklah, yuk kita berangkat."
"Asiiiik... Makasih ya, Mas.
Kalung seberat dua puluh gram itu begitu cantik bertengger dileher Marni. Berkali-kali wanita seksi itu menghadiahkan ciuman padaku.
Walau sebenarnya aku sedikit takut, uang tabungan yang merupakan kiriman dari Karina Istriku makin lama makin menipis. Belum lagi untuk membeli motor sport permintaan Doni. Tapi, ah namanya rejeki ga akan kemana.
Semoga Karina mendapat bonus lagi dari perusahaannya.
****
"Bang, mana motornya?" Doni mulai uring-uringan. Sudah dua bulan sejak dia meminta motor, tapi aku belum bisa membelikannya.
Rina belum bisa mengirim uang, perusahaan tempat dia bekerja sebagai operator mengalami penurunan pendapatan, otomatis Rina tak lagi mendapatkan lembur ataupun bonus.
"Sabar, mbakmu belum ngirim uang." Doni malah mengamuk dan melempar barang yang ada disekitarnya.
"Doni...! Ga boleh gitu! Sabar, Abang mu pasti belikan. Tapi, tunggu sampai dia dapat kiriman." Seru Ibu berusaha menenangkan Doni.
Laki-laki tujuh belas tahun itu menghentakkan kaki, berlalu ke kamar sambil membanting pintu kencang.
"Bim, pinjam uang Marni dulu. Kasian Doni." Ibu terlihat sangat sedih.
"Gimana kalau Bimo, pinjam sertifikat rumah ini dulu, Bu. Biar sekalian beli mobil buat Ibu. Nanti gampang setiap bulan dicicil."
Awalnya Ibu tampak keberatan, tapi setelah aku membujuknya Ibu akhirnya setuju.
Dalam waktu dua minggu, sebuah motor sport dan sebuah mobil berwarna silver sudah terparkir di depan rumah.
Hati ini begitu puas melihat Ibu dan Doni yang bahagia.
****
[Sayang, sudah tanggal satu, kok belum transfer juga.]
Pesan terkirim tapi belum dibaca. Ini sudah pesan yang ke lima kalinya hari ini. Dari kemarin Rina tak memberi kabar, bahkan pesanku pun tak dibaca.
Sebentar lagi jadwalnya cicilan ke Bank. Aku harus bayar pakai apa? Sementara aku sama sekali tak bekerja hanya mengandalkan uang dari Karina.
Gimana ini?
[Sayang, plis jawab. Kamu baik-baik saja, kan?]
Kucoba mengirim pesan lagi, tapi hasilnya sama.
Duh, Tuhan.
Karina kemana sih!
Bersambung.
"Sayang, kamu baik-baik saja." Mas Ahmad jelas tak melihat Jianheeng di bandara.Tapi aku dengan jelas bisa melihatnya. Aneh, kenapa dia bisa ada disini?"Oh, baik, aku baik-baik saja." Kami baru saja sampai di Taiwan."Mas, aku mau ke toilet dulu, ya." Aku pun bergegas berlari tanpa menunggu jawaban Mas Ahmad. Takut jika aku kehilangan jejak.Aku harus mencari tahu mau kemana perempuan itu, dari raut wajahnya terlihat dia sangat terburu-buru dan ketakutan.Dengan perlahan aku mengintip, ternyata dia mau terbang juga. Mau kemana dia?Setelah aku memastikan perempuan itu pergi, aku baru menemui Mas Ahmad. Dan kami pun melanjutkan perjalanan ke rumah Mama. Sekalian mau menjemput Raffi dan Sarah."Wah, pengantin baru sudah pulang?" sambut Papa senang. "Ada kabar bahagia buat kalian." Lanjutnya.Kami saling beradu pandang."Apa, Pa?" tanya Mas Ahmad tak sabar."Jianheeng sudah tak akan pernah menganggu kalian lagi." Kata Papa yakin."Papa yakin?" Tanya Mas Ahmad."Sangat yakin. Dia di us
Aku menatap rumah yang kubangun dengan keringatku itu, kosong. Keputusanku sudah bulat, aku akan mengabdikan hidup pada suami. Walau sebenarnya Mas Ahmad tak keberatan jika aku di Indonesia dan dia disana. Tapi, aku tak mau mengambil resiko. Tak sedikit rumah tangga yang kandas karena hubungan jarak jauh. Aku tak mau itu terjadi untuk kedua kalinya.Mbak Narsih sudah aku pulangkan, tega tak tega. Karena dia begitu rajin dan royal dalam bekerja itu yang sangat aku suka."Sayang, apa tak ada lagi barang yang mau dibawa?" ujar Mas Ahmad setelah menutup tas terakhir berisi semua pakaian dan mainan Raffi.Aku menggeleng, kurasa sudah semua.Surat keterangan pindah dari sekolah lama Raffi pun sudah aku kantongi. Tinggal, bisnis telah dibangun itu yang belum kutemukan solusinya.Sekiranya Nana tak mengkhianati kepercayaanku pasti aku tak seresah ini.[Karin, maafkan aku. Plis, Rin jangan hukum aku, aku mengaku khilaf.]Pesan dari Nana lagi.[Na, temui aku di toko dua puluh menit lagi.]jawab
Aku memijit keningku, Mas Ahmad terus memegang tanganku seolah memberi kekuatan. Aku dilema harus tinggal di Taiwan dan meninggalkan kehidupanku disini. Atau tinggal disini meneruskan usaha, tapi dengan resiko suami digondol kucing garong."Sayang, Jangan terlalu dipikirkan. Jalani saja, mungkin Nana ingin merasakan apa yang kamu rasakan."Aku menghela nafas panjang, bagaimana dia ingin merasakan hasilnya saja. Sementara dia tak merasakan bagaimana perjuanganku untuk mendapatkan semua ini. Memang jika melihat hasilnya siapa yang tak ingin. Tapi, kalau mereka merasakan apa yang aku rasakan selama menjadi TKW di negeri yang bahkan aku tak punya sanak famili satupun, mereka pasti juga enggan.***Selesai makan di sebuah restoran kami kembali kerumah. Rumah sudah sepi. Dan tampak juga rapi."Bu, ini kuncinya tadi Bu Nana menitipkannya." ucap Udin security rumah ini.Aku mengambil kunci itu, setelah mengucapkan terimakasih akupun berlalu.Rumah sudah rapi, dan tak ada lagi barang-barang m
"Wah, kejutan sekali kamu kembali, Rin." sambut Nana senang.Aku tersenyum tipis, rumah yang kutitipkan padanya sekarang seolah-olah menjadi miliknya sendiri. Berantakan, ceceran makanan memenuhi ruangan. Anak Nana yang masih berumur empat tahun itu berlompat-lompatan di atas sofa."Maaf, keadaan rumahmu seperti ini." Nana sepertinya menyadari atas ketidaksukaanku.Bukan aku melupakan kebaikannya. Tapi, dengan dia memperlakukan rumahku seperti rumahnya sendiri seperti ini, apa tidak lancang?Aku hanya menitipkan agar dia sesekali melihat keadaan rumah. Apalagi kami punya usaha bersama, yang sebenarnya itu juga merupakan usahaku yang kuserahkan penanganan sementara kepadanya."Siapa, Dek?" seru laki-laki dari lantai atas, lalu tanpa menyadari kehadiranku dia turun dengan bertelanjang dada."Astaghfirullah..." Lirihku.Nana terlihat tak enak hati."Mas, ada Karina. Kamu pakai baju dan cepat turun." desisnya.Aku membuang pandangan keluar jendela."Eh, Ibu sudah pulang?" Narsih art yang
***Aku sedang berkemas, ketika kulihat Mas Ahmad sedang sibuk dengan ponselnya. Tak biasa dia begitu serius menatap benda pipih itu."Siapa yang siapa mengirim pesan, Mas?" tanyaku.Mas Ahmad terlihat kaget dan menyembunyikan ponselnya dalam kantong celana.Wajahnya memucat, Ada apa sebenarnya dalam ponsel itu kenapa tiba-tiba raut wajahnya berubah? Aku berusaha biasa saja. Tapi, dalam hatiku sedang menaruh curiga. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan dariku."Ti-tidak ada apa-apa sayang, hanya Manager Mas yang mengabarkan perkembangan perusahaan." ujarnya nya gugup."Oh ya, sudah kalau gitu Mas sekarang istirahat lah. Besok pagi kita akan segera berangkat. Aku khawatir kamu kecapean. Apalagi kamu kan baru sembuh." ujarku.Mas Ahmad tersenyum lalu menarikku dalam pelukannya."Mas, aku belum selesai nanti kalau aku sudah selesai aku akan menyusulmu, oke?"Perlahan aku melepaskan pelukan Mas Ahmad. Dia membalikkan tubuhku dan mencium keningku sesaat."Jangan lama-lama, ya?" katanya ge
Jianheeng menatapku tajam, aroma ketakutan di wajahnya mulai memudar. Berganti wajah penuh kebencian."Kau baru mengenal Liu, Jangan berharap kau bisa mendapatkannya, dengar itu! Sebelum kau datang Aku sudah lebih dahulu mendapatkan hatinya. Jangan berbangga hati jika kamu sekarang menjadi istrinya. Karena nanti kau akan menangis ditinggalkan olehnya, dasar wanita kampungan!"Jianheeng menghempaskan tanganku dan berlalu dengan meninggalkan tatapan yang penuh kebencian. Namun Aku tak tinggal diam dengan cepat aku menarik tangannya kembali."Jangan pernah mimpi kau kan dapatkan Ahmad wanita murahan!" "Kau tak akan mendapatkan Mas Ahmadku. Persiapkan saja dirimu untuk sebuah kekecewaan!" LanjutkuLalu aku melepaskan tangan wanita itu sehingga dia tersungkur ke lantai. Aku pun meninggalkannya tanpa mempedulikan dia yang meringis kesakitan. Tekat ini sudah bulat aku tidak akan melepaskan atau membiarkan suamiku diambil lagi.Tak lama Mas Ahmad keluar dia sedikit heran melihat wajahku masi
"Karina, Jianheeng memang dulu kami jodohkan dengan Liu. Berharap Liu bisa melupakan Lian, mendiang istrinya. Tapi, kami tak pernah memaksa Liu. Karena Liu sendiri tak pernah peduli dengan Jianheeng."Papa menarik nafas dalam-dalam. Sepertinya Papa sudah tahu apa yang terjadi. Kami sedang duduk dikursi panjang lorong rumah sakit pagi ini."Papa curiga, Jianheeng memasukkan obat tidur dosis tinggi kepada Liu. Agar bisa merebut Liu dari Karina, dengan cara tak pantas. Papa akan menyelesaikan semua. Papa janji. Tapi, Papa sangat berharap jangan tinggalkan Liu. Papa tak tahu apa yang akan terjadi padanya jika Karina meninggalkan Liu."Papa memijit keningnya, wajah tua itu tampak begitu lelah. Semalam beliau yang menjaga Mas Ahmad sendirian."Karina, Ahmad sangat mencintaimu. Papa bersumpah dengan nama Allah, bahwa anak Papa tulus mencintai Karina. Dia tak akan berani macam-macam. Papa jamin itu, jika dia berbuat yang tidak-tidak, Papa yang akan membuat dia menyesal seumur hidup."Air mata
"Kenapa baru menghubungi saya sekarang!" sesalnya dengan nada tinggi.Tanpa sempat menjelaskan, dokter itu telah menghubungi ambulance agar segera menjemput kesini.Mas Ahmad langsung dilarikan ke rumah sakit. Aku tak bisa berkata apa-apa. Dan akhirnya ikut bersama Mas Ahmad ke rumah sakit.Sesampainya disana, infus segera dipasang. Aku terduduk diluar karena belum diperbolehkan masuk.Hari sudah menjelang sore. Aku teringat Raffi yang dihotel sendirian. Segera aku menghubungi anakku itu, khawatir dia menelepon Mama dan Papa dan masalah makin runyam."Assalamu'alaikum, maaf Bu. Raffi ketiduran." ujar Raffi setelah beberapa kali panggilanku tak dijawab."Wa'alaykumussalam, oh syukurlah. Ibu kira kamu kemana, Nak. Raffi, udah makan?" "Alhamdulillah sudah, Bu. Tinggal sholat ashar yang belum, karena ketiduran." kekehnya."Ya sudah, setelah ini sholat ya. Oh ya, Ibu pulang agak malam. Raffi gapapa kan disana?" tanyaku memastikan."Gapapa, Bu. Aman InsyaAllah."Hatiku terasa lega. Aku bis
Seorang wanita dengan pakaian seksi berjalan angkuh melewatiku. Wangi parfumnya dapat tercium beberapa meter ke belakang. Aku pun meneruskan langkah hingga kami bertemu lagi dalam lift yang sama.Ternyata lantai yang kami tuju pun sama. Perempuan itu berjalan lebih dulu, bunyi high heels nya terdengar lantang beradu dengan lantai.Dia berbelok menuju arah yang sama denganku. Perasaanku mulai tak nyaman. Hingga benar, dia berhenti tepat didepan pintu kamar Mas Ahmad.Aku terpaku, perempuan itu bisa masuk tanpa perlu mengetuk pintu terlebih dahulu. Mas Ahmad tak terlihat, kaki ini terasa menyatu dengan lantai yang kuijak. Tanganku dingin, tapi hatiku begitu panas.Dengan mengucap Bismillah, aku melanjutkan langkahku.Perlahan kubuka knop pintu. Tampak Mas Ahmad berbaring di ranjang dan ada perempuan itu yang membelai rambut kepalanya mesra. Mata suamiku terpejam rapat, apa dia begitu menikmati sentuhan itu.Brak!Pintu terbanting beradu dengan tembok dinding membuat kedua manusia itu te
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments