Share

MATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI
MATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI
Penulis: Mutiara Sukma

Karina Mau Pulang

"Bim, Ibu mau beli mobil seperti Bu Romlah, dong. Masa kamu tega Ibu kemana-mana jalan kaki."rengek Ibu.

"Kan uangnya sudah dipakai buat renovasi rumah, Bu. Bima mana ada uang lagi." Kataku memberi pengertian.

"Kamu kan tinggal minta sama Rina, emang istri mu itu belum ngirim uang?" 

"Belum Bu, kan bulan ini dia belum gajian. Lagipula nanti kalau dia tanya uang nya kemana Bima harus jawab apa?" 

"Halah, bilang aja buat biaya pendidikan Raffi, susah amat!"

Aku hanya geleng-geleng kepala, Raffi masih SD, mana mungkin Rina percaya kalau biaya pendidikan sebanyak itu.

"Bang, Doni juga dong mau ganti motor. Motor yang dibeli kemarin sudah ketinggalan jaman. Doni mau motor sport seperti punya Andre." Doni yang baru bangun langsung merengek, membuatku makin pusing.

"Ini lagi, udah syukur dibelikan!" Rutukku.

"Pelit amat sih Bim, sama keluarga sendiri."kata Ibu sambil mencebikan bibir.

"Ya udah, nanti Abang belikan, satu-satu dulu. Tapi motor lama kamu dijual ya, buat nambah-nambah."

"Oke bos, siap!" Doni begitu senang. Bangga rasanya bisa membahagiakan Ibu dan adikku satu-satunya.

"Ibu, kapan Bim?"rengek Ibu.

"Sabarlah, Bu. Nunggu Rina dapat bonus." Jawabku. Ibu mengerucutkan bibirnya, aku terkekeh melihat Ibu seperti anak kecil saja.

 Sorenya Raffi datang, sepulang sekolah dia memang langsung Mabar alias main game bareng dengan teman-temannya.

"Pak, kuota Raffi habis." Todongnya.

Baru kemarin aku memberi uang lima ribu untuk membeli kuota, sekarang sudah habis. Luar biasa anakku ini.

"Ini jangan boros-boros, Raf." Nasehatku.

"Ah elaah Bapak, lima puluh ribu mana cukup. Sehari juga sudah habis."

Aku menghela nafas panjang. 

"Nih Bapak tambahin lima puluh ribu lagi."

Sambil teriak girang, Raffi langsung lari keluar. 

Aku pun kembali melanjutkan game onlineku yang tertunda.

Menjelang sore aku pamit kepada Ibu, biasa jatah malam dirumah Marni, istri mudaku.

Sambutan hangat dan perhatian Marni membuatku tak pernah kesepian walau sudah lima tahun tak bertemu Rina, istriku.

*****

Lagi santai bersama Marni.

[Mas, aku mau pulang.]

Pesan dari Rina yang tiba-tiba membuat nafasku terhenti.

[Kenapa, sayang?] balasku.

Aku merenggangkan pelukkan Marni yang menempel ditubuhku. Wah, bahaya ini kalau Rina minta pulang.

"Kenapa, Mas?" Tanya Marni heran.

Aku tak menjawab, moodku mendadak tak baik. Kalau Karina pulang siapa lagi yang akan mengirimkan uang padaku.

[Aku capek, Mas. Udah lima tahun disini, aku kangen sama Raffi.] 

[Sabar sayang, Raffi baik-baik saja kok. Demi impian kita, semangat sayang. Mas akan setia menantimu disini.]

Aku berusaha merayu Karina. Jangan sampai dia kembali, bisa-bisa aku dicincangnya nanti.

[Raffi butuh masa depan, sayang. Kamu inginkan anak kita menjadi orang sukses. Uang yang kamu kirim sudah Mas bangunkan rumah sebagian Mas tabung untuk masa depan Raffi.] Lanjutku.

[Baiklah, Mas. Demi kalian aku akan terus berjuang.]

Aku tersenyum lebar, nah gitu dong. Selama kamu disana, aku disini bisa hidup enak. Rumah ibuku sudah megah begitu juga dengan rumah yang kubeli untuk Marni. Perempuan yang sudah kunikahi dua tahun ini.

[Mas, sangat mencintaimu. Mmmuuaach...]

Karina pun membalas dengan kata-kata yang sama. Lega, dia tak gigih untuk minta pulang.

"Mas, kita ke pasar, yuk. Aku mau beli kalung. Teman-teman arisan pada pake kalung. Sedangkan aku hanya punya gelang saja." Rajuk Marni. Melihat bibir seksinya manyun begitu aku makin gemas.

"Hmmm... beliin ga ya?" Ledekku.

"Ah, Mas mah. Beliin dong, kan kalau aku ga terlihat keren, Mas juga yang malu." 

Benar juga kata Marni. Aku bisa malu kalau ada yang mencela penampilan istri mudaku itu.

"Baiklah, yuk kita berangkat."

"Asiiiik... Makasih ya, Mas.

Kalung seberat dua puluh gram itu begitu cantik bertengger dileher Marni. Berkali-kali wanita seksi itu menghadiahkan ciuman padaku.

Walau sebenarnya aku sedikit takut, uang tabungan yang merupakan kiriman dari Karina Istriku makin lama makin menipis. Belum lagi untuk membeli motor sport permintaan Doni. Tapi, ah namanya rejeki ga akan kemana.

Semoga Karina mendapat bonus lagi dari perusahaannya.

****

"Bang, mana motornya?" Doni mulai uring-uringan. Sudah dua bulan sejak dia meminta motor, tapi aku belum bisa membelikannya.

Rina belum bisa mengirim uang, perusahaan tempat dia bekerja sebagai operator mengalami penurunan pendapatan, otomatis Rina tak lagi mendapatkan lembur ataupun bonus.

"Sabar, mbakmu belum ngirim uang." Doni malah mengamuk dan melempar barang yang ada disekitarnya.

"Doni...! Ga boleh gitu! Sabar, Abang mu pasti belikan. Tapi, tunggu sampai dia dapat kiriman." Seru Ibu berusaha menenangkan Doni.

Laki-laki tujuh belas tahun itu menghentakkan kaki, berlalu ke kamar sambil membanting pintu kencang.

"Bim, pinjam uang Marni dulu. Kasian Doni." Ibu terlihat sangat sedih.

"Gimana kalau Bimo, pinjam sertifikat rumah ini dulu, Bu. Biar sekalian beli mobil buat Ibu. Nanti gampang setiap bulan dicicil."

Awalnya Ibu tampak keberatan, tapi setelah aku membujuknya Ibu akhirnya setuju.

Dalam waktu dua minggu, sebuah motor sport dan sebuah mobil berwarna silver sudah terparkir di depan rumah.

Hati ini begitu puas melihat Ibu dan Doni yang bahagia.

****

[Sayang, sudah tanggal satu, kok belum transfer juga.]

Pesan terkirim tapi belum dibaca. Ini sudah pesan yang ke lima kalinya hari ini. Dari kemarin Rina tak memberi kabar, bahkan pesanku pun tak dibaca.

Sebentar lagi jadwalnya cicilan ke Bank. Aku harus bayar pakai apa? Sementara aku sama sekali tak bekerja hanya mengandalkan uang dari Karina.

Gimana ini?

[Sayang, plis jawab. Kamu baik-baik saja, kan?]

Kucoba mengirim pesan lagi, tapi hasilnya sama.

Duh, Tuhan.

Karina kemana sih!

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status