"Siapa tuh tadi? Kok pulang naik mobil, May?"Sesampainya di kontrakan, Maya malah bertemu dengan Ibu Neneng di halaman. Mata wanita berbadan subur itu memicing melihat kepergiaan mobil yang mengantar Maya.Maya menggigit bibir. Urusan akan menjadi ribet kalau Ibu Neneng ikut campur. Beliau adalah ketua julid di kawasan ini sekaligus pemilik kontrakan Maya.Maka, alangkah baiknya jika Maya menghindar saja."Maya mesan taksi online, Bu. Pagi tadi mau ke sekolah tapi motornya gak mau nyala."Ibu Neneng hanya ber-oh. Mengerti maksud Maya. Walaupun perkiraan umur sudah lima puluhan, beliau tetap melek perkembangan terkini.Harus dong. Kan beliau orang yang berpengaruh di sini."O, iya, Bisma sudah balik juga 'kah?" tanyanya kemudian.Bisma?Maya mengusap leher. Terlupa satu informasi kalau Ibu Neneng adalah orang tua laki-laki itu.Maya menggeleng. Kali ini berlaku jujur. "Enggak tahu sih, Bu. Tapi ini emang udah jamnya pulang sekolah."Ibu Neneng menggemeletakkan gigi lantas berkacak ping
[Mau keluar malam ini?]Maya yang tadinya sibuk mengisi rapor siswa, membaca pesan Bisma dengan dahi berkerut."Biasanya Bisma gak gini," ucap Maya heran.Jalan-jalan ke luar? Ya, ini memang malam Minggu, sih. Maya seharusnya tidak memikirkan pekerjaan saat dirinya sendiri perlu hiburan.Mumpung ada yang mengajak, kenapa tidak? Apalagi Maya baru saja mendapat uang dadakan yang bisa digunakan untuk sedikit bersenang-senang.Wanita itu mengetikkan balasan.[Mau ke mana dulu nih?]Tidak lama kemudian, Maya mendapat pesan jawaban.[Terserah, sih. Kamu maunya ke mana, May?]Maya memandang laptop sambil berpikir. Satu tempat terbesit di pikirannya.[Ke mal aja gimana?]Maya mengetukkan jari ke meja, kembali menunggu balasan.[Setuju. Aku jemput setengah jam lagi.]Yes!Tanpa merapikan meja kerja, Maya segera bangkit untuk bersiap-siap. Wanita itu memakai sweter dan celana jin. Berhias sedikit. Tidak lupa mengikat rambut kuncir kuda dan mencangklongkan tas selempang sebagai sentuhan akhir.K
"Kamu tahu 'kan kalau diabetes itu penyakit keturunan, Lia?"Maya tertegun, refleks menaruh minuman dan berdiri bersamaan dengan Bisma. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.Sedang apa Angga dan Dira di sini?!Tapi yang paling membuat Maya heran, kenapa Angga harus menyinggung soal diabetes? Seolah-olah dia tahu apa yang terjadi.Spekulasi muncul cepat di otak Maya. Apakah Angga mengawasinya?Tidak. Tidak mungkin. Pasti cuma kebetulan. Bukannya Angga memang ketat dalam urusan perut? "Mama, tadi Dila beli buku balu loh!"Maya yang dari tadi mengarahkan atensi pada Angga, beralih menatap Dira. Anak kecil itu begitu antusias, lalu mengambil sesuatu dari paper bag yang dipegang sang ayah."Ini, Mama. Bukunya bagus 'kan?" tanya Dira sambil menyerahkan buku dengan hard cover itu.Maya tersentak. Mengerjapkan mata. Wanita itu dua kali lebih terkejut dari sebelumnya.Buku itu adalah buku sama yang dipegangnya di toko buku tadi!"Bagus 'kan, Ma?" tanya Dira lagi."Ah?" May
Maya memeluk Dira. Di dalam lubuk hatinya terbesit sayang pada gadis kecil itu. Sesuatu yang Maya sendiri tidak tahu apa sebabnya."Iya, Dira. Kakak gak akan ke mana-mana." Maya melepaskan pelukannya. Menatap Dira dan tersenyum tulis. "Kakak percaya Dira pasti bisa!"Dira balas tersenyum. Kepercayaan dirinya bangkit. Anak kecil itu meneguhkan diri, lalu mulai berjalan dengan pelan di jembatan.Kenapa sekarang malah Maya yang deg-deg-an?Maya menunggu Dira sampai ke seberang. Anak kecil itu melambaikan tangan ketika sampai tujuan. Dan itu berhasil melegakan perasaan Maya."Kakak tunggu di bawah, ya!" kata Maya nyaring."Oke, Mama!" balas Dira tidak kalah nyaring.Maya segera turun dan menunggu di bawah perosotan. Wanita itu bisa melihat Dira dari sana. Seorang petugas membantu. Anak kecil itu meluncur dengan riang.Melihat keberanian Dira, Maya merasa tidak perlu khawatir lagi anak kecil itu meluncur sesukanya. Maya duduk di lantai dekat perosotan dan bermain bola. Waktunya menunggu D
"Mama, Dila mau sekolah juga. Boleh gak?"Blaass ...! Pertanyaan Dira membuat Maya tidak tahu harus menjawab apa. Kalau saja Dira anaknya, mungkin Maya bisa mempertimbangkan itu. Lah ini? Maya bukan siapa-siapa. Dia hanyalah orang asing yang tiba-tiba terjebak skenario membingungkan.Wanita itu tersenyum, mengusap kepala Dira lembut. "Nanti tanya sama Ayah aja, ya. Sekarang Dira harus istirahat.""Tapi, tapi, Mama gak ninggalin Dila lagi 'kan?"Untuk pertanyaan itu, Maya lagi-lagi hanya bisa tersenyum. Dia sudah berjanji ini yang terakhir."Dira harus tidur sekarang, ya? Kalau gak tidur, nanti Kakak marah, loh."Anak kecil itu berakhir pasrah. Lagi pula sudah tidak bisa menahan kantuk, bahkan sejak tadi menguap."Oke, Mama," putus Dira.Saat merasa anak kecil itu sudah benar-benar lelap, Maya turun dari ranjang. Namun, wanita itu tidak langsung ke luar kamar. Perhatiannya teralihkan melihat deretan buku Dira di rak sudut ruangan.Luar biasa. Tidak mengherankan jika Dira sudah lancar m
"Selamat pagi, Mama."Maya baru selesai dari kamar mandi ketika Dira menyapa. Anak kecil itu turun dari ranjang dan langsung menghamburkan diri ke pelukan Maya. Entah kenapa Maya merasa pelukan mereka kali ini lebih intim. Mungkinkah terbayangi dengan pertanyaan Angga tentang mama kandung Dira? Wanita itu iba."Selamat pagi, Dira." Maya mengusap rambut lembut dan berantakan anak itu. Ada senyum yang terbit di sana."Dila senang ada Mama di sini!" katanya riang dan memang selalu begitu. "Kakak juga senang di sini!" balas Maya tidak kalah riang.Ya, wanita itu sama sekali tidak menyesal sudah menginap. Paling tidak harus mengakui kalau kualitas tidurnya meningkat. Kasur Dira empuk dan akan sangat menyenangkan jika Maya bisa membelinya.Tapi jelas Maya tidak mampu. Dia yakin harganya bukan untuk kalangan ke bawah seperti Maya. Jadi dia hanya bisa gigit jari dan membayangkan kapan kira-kira bisa tidur di kasur Dira lagi?Tidak. Maya sudah berjanji ini yang terakhir.Dira melepaskan pelu
"Mama!" Anak kecil yang berdiri di samping ayahnya itu langsung menghampiri Maya. Wanita itu tidak menyangka kalau Dira dan Angga akan keluar dari mobil. Paling parah, mereka malah dipertemukan dengan Ibu Neneng!Ini bahaya! Apalagi Dira memanggilnya mama. Maya tersenyum sungkan menampaki Ibu Neneng. "Selamat pagi, Bu," ucapnya basa-basi. Berharap supaya tidak diintegorasi.Tapi itu tidak mungkin terjadi."Kamu tuh kenapa gak bilang-bilang, sih, May, kalo udah punya calon!" celetuk Ibu Neneng dengan lirikan mata ke arah Angga.Maya termangu. Tidak bisa mencerna perkataan Ibu Neneng dengan baik.Heh? Calon apa?Ucapan Ibu Neneng seperti menjawab pertanyaan di kepala Maya. "Gak papa duda anak satu, May. Yang penting mah bertanggung jawab dan berduit!"W-WHAT?"Maksudnya apa, Bu?" Maya tidak mengerti. Atau lebih tepatnya, tidak ingin mengerti."Kok pakai dijelasin lagi, sih?" Ibu Neneng menyenggol lengan Maya, lalu menunjuki Angga dengan dagu.Heh!Jika tidak diluruskan ini akan menja
"Pesan-pesanku kok gak dibalas, May?"Laki-laki itu langsung memburu dengan pertanyaan, walaupun Maya baru mendaratkan diri ke kursi.Bisma yang tadinya hampir sampai ke kelas, putar arah setelah tak sengaja melihat Maya masuk kantor. Hanya ada mereka bertiga di sana. Guru-guru yang lain sudah sibuk dengan urusan masing-masing."Sabar, aku napas dulu." Maya mengintrupsi. Wanita itu mengatur napasnya yang pendek-pendek sedemikian rupa.Bisma menunggu. Laki-laki itu memperhatikan Dira yang tak acuh dengan kehadirannya. "Kok ada Dira di sini, May? Kamu bilang ini yang terakhir. Kamu berhutang banyak penjelasan sama aku."Maya tidak siap menceritakan apa yang baru saja dia alami. Wanita itu mencari alasan. "Ceritanya panjang, Bis. Gak bisa dijelaskan sekarang. Kita harus masuk kelas.""Oke, tapi kapan kamu mau jelasin?" Bisma mencoba maklum.Maya tampak berpikir. "Habis istirahat aja gimana?"Dengan sangat terpaksa laki-laki itu mengangguk. "Tapi janji, ya, kamu bakalan jelasin, May?"Enta