"Aku tidak bersedia menjadi istrimu!" teriak Janna di hadapan Dominic Freud, seorang kepala militer Kesultanan Yagondaza.
"Kalian selalu memaksa perempuan menjadi Growib* dengan dalih menghasilkan keturunan unggul! Kalian manusia jahat!" Janna Braun menunjuk-nunjuk Dominic. Janna tidak segan melontarkan keberatannya akan keputusan negara mereka."Aku ingin kebebasanku!" jeritnya lagi dengan tangan mengepal.Mendadak Dominic menarik Janna dengan kasar lalu mencengkram lehernya."Apa kau masih ingin berbicara? Lehermu bisa saja aku patahkan. Kau pikir aku sudi menikahimu, kalau bukan karena keputusan negara, detik ini juga kau akan ku lemparkan menjadi santapan singa peliharaanku," ancam Dominic dengan tatapan kebencian.Tubuh Janna gemetar mendengar gertakan Dominic, tetapi ia tidak boleh lengah menunjukkan kegentaran pada calon suami yang tidak diinginkannya.Dominic melepas Janna hingga tubuh wanita itu membentur dinding keras di belakangnya. Dominic keluar dari ruang isolasi, tempat khusus di kantornya, ia enggan satu ruangan dengan Janna."Lepaskan aku!!" pekik Janna sia-sia sewaktu Dominic mengunci ruang isolasi.Keesokan harinya, Janna dikeluarkan dari ruang isolasi menuju kamp khusus perempuan terpilih usai melakukan tes pewarisan sifat unggul untuk kedua kalinya. Dia mengamati anggota militer yang hilir mudik di luar kamp, mereka dalam penjagaan ketat.Saat malam tiba, Janna melapor pada petugas. "Aku ingin buang air kecil."Dia diantarkan oleh seorang penjaga yang dipinggangnya terselip pedang. Pria itu tidak boleh begitu dekat jaraknya dengan Janna. Kamar kecil terletak agak jauh dari kamp hampir mendekati pintu keluar daerah belakang areal kamp.Lama penjaga itu menunggu, Janna tidak kunjung keluar. Kecurigaan muncul saat penjaga memanggil-manggil Janna. "Nona, apakah Anda telah selesai?" Tidak ada sahutan hingga tiga kali penjaga bertanya.Di kediamannya, Dominic berang mendapat laporan calon istrinya melarikan diri dari kamp konsentrasi. Pria itu geram mendengarnya.Dia memimpin sendiri pencarian Janna di kegelapan malam.Janna berlari sekencang-kencangnya menghindari anggota militer yang sedang mengejarnya saat ini. Dia memasuki hutan akasia dengan keringat membasahi sekujur tubuhnya.Bunyi suara hentakan kaki kuda begitu terdengar hebat di telinga Janna."Kejar, jangan sampai lepas!"Janna terus menambah kecepatan lari, mengangkat gaun lusuhnya tinggi-tinggi, dia cemas tertangkap untuk ketiga kalinya. Kaki Janna telah dipenuhi luka, berkali- kali menginjak duri perdu, tetapi diabaikan rasa sakitnya.Malang tak dapat ditolak, Janna tersungkur setelah kaki terantuk pada batang pohon rubuh yang merintangi langkahnya. Pundaknya sampai menabrak batang pohon akasia besar, sebelum terjerembab ke tumpukan dedaunan lebar akasia.Saat Janna akan bangkit, seekor kuda palomino emas kecoklatan meringkik tepat di hadapannya, Janna refleks termundur.Nafas Janna tersengal dengan jantung berdegup kencang saat seorang pria mendekat dan menyasarkan karabin hingga menyentuh dagunya."Mau ke mana kau tikus kecil?" Sorot mata biru itu menyimpan ketidaksukaan padanya. "Seret dan masukkan kerangkeng!"Beberapa orang mengangkat tubuh Janna yang lemah. "Tidak, aku tidak mau!! Lepaskan!" Janna masih berusaha berontak, bahkan dia meronta-ronta agar terlepas dari prajurit yang mencengkram lengannya.Mereka tidak bisa berbuat banyak sebab dilarang menggunakan senjata sebab bisa menyakiti Janna.Alhasil, Janna kembali lepas lalu berlari dengan sisa-sisa tenaga.Pemilik mata biru laut menyorot tajam pada punggung Janna yang mulai menjauh. Ia menggeram marah karena buruannya berusaha melarikan diri lagi."Kalian tunggu di sini." Dominic Freud memacu palomino kesayangannya menuju arah pelarian Janna. Tidak butuh waktu lama, Dominic kembali menemukan Janna yang kelelahan terduduk menyender di salah satu pohon akasia dengan nafas terengah."Hutan ini sangat luas, kau berlari memasuki hutan terlarang. Kau akan diburu binatang buas yang akan merobek tubuhmu." Dominic menurunkan tubuhnya, menyamakan tinggi dengan Janna yang terduduk.Janna menyapu pandangan ke areal hutan lebat, ia bersandar pada akasia terakhir. Penglihatan Janna berhenti di wajah Dominic, Janna menyemburkan ludah ke wajahnya."Itu lebih baik, daripada... aku harus dipaksa menjadi budak untuk melahirkan bayi-bayi stratum Armyasa."Dominic menggeram penuh amarah, ia melayangkan tamparan hingga wajah Janna menyentuh tanah. Dominic mencengkram rambut Janna hingga wajahnya terangkat ke arah Dominic."Kau pikir siapa dirimu, hah!? Stratum Royusha, keturunan pemberontak! Kalau bukan karena keputusan negara, kepalamu sekarang juga akan ku penggal. Kau merendahkan kami!" Dominic melepas kasar tubuh Janna yang langsung merosot kembali ke tanah. Rasa lelah mendera Janna, ia berharap mati saat ini juga agar masa depannya tidak dimanfaatkan oleh stratum Armyasa dalam balutan keputusan negara.Dominic mengibaskan mantel seragam coklat militernya seolah ada debu di sana, terpaksa ia membawa Janna ke atas tubuh palomino bernama Jud."Ayo, kembali," ucap Dominic pada pasukan khususnya saat ia kembali. Dia bersama Janna di atas kuda yang sama, tidak memungkinkan menaruhnya di kerangkeng yang mengharuskan tawanan berdiri. Mereka berkuda menuju Pamdos, areal militer, yang dikelilingi oleh hutan padang rumput.Setibanya di Pamdos, Dominic tidak mengembalikan Janna ke kamp konsentrasi dalam keadaan tidak sadar. Ia meminta bawahannya, Letnan Adrian Bour, untuk menghubungi seorang medikus. Dominic merebahkannya di salah satu kamar di kediamannya."Jenderal, gadis ini mengalami kelelahan dan dehidrasi, aliran darah dan oksigen di tubuhnya terhambat sehingga jatuh pingsan. Saya telah meresepkan ramuan untuknya, ada pada Letnan Adrian.""Hanya itu hasilnya?"Si medikus memahami maksud Dominic. "Anda juga bisa berkonsultasi dengan kepala peneliti untuk mendapat kepastian tentang keadaan gadis ini dan terlebih... pewarisan sifatnya."Usai kepergian medikus, tibalah kepala peneliti yang langsung dihubungi oleh Dominic tadi."Apa dia berusaha melarikan diri lagi?" tanya pria bernama Swayata Tan."Begitulah, aku lelah menangkapnya terus-menerus, pekerjaanku sebagai kepala militer terabaikan.""Ingatlah ini juga tugas negara," ujar Swayata, pria berusia 60 tahun. "Anda tidak boleh sering-sering mengasarinya, itu akan berpengaruh pada suasana hatinya dalam jangka lama dan bisa menghasilkan sifat unggul yang gagal.""Persetan dengan itu semua! Apa tidak ada perempuan lain? Gadis ini terlalu rumit dan keras. Aku tidak menyukainya!" ketus Dominic.*Growib - pengantin atau istri pejabat kesultananJanna terbangun dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya terutama areal wajah. Saat berusaha duduk, tubuh Janna tidak kuat sehingga kembali terhempas ke ranjang.Janna menyapu pandangan, ia menduga bukan berada di kamp konsentrasi atau pelayanan kesehatan. Ini seperti di sebuah kamar milik pejabat stratum tinggi. Warna gelap mendominasi ruangan terkesan menakutkan bagi siapa pun yang berada di dalamnya.Pintu terbuka, seberkas cahaya masuk ke dalam ruangan. Meski dilengkapi sinar lampu, tetapi tidak seterang dari luar. Seorang pria berjubah putih masuk."Halo Nona Janna Braun, Anda sudah bangun."Janna menatap tanpa memberi ekspresi apapun."Saya Swayata Tan, kepala peneliti Kesultanan Yagondaza." Swayata menundukkan sedikit kepalanya.Janna belum pernah sebelumnya bertemu dengan Swayata secara langsung, hanya mendengar nama yang dikenal masyarakat Yagondaza sebagai kepala peneliti yang bertugas mencari perempuan dengan pewarisan sifat unggul melalui peneletian untuk dinikahkan dengan st
Dominic memandang Janna dari kaki hingga kepala, tubuh kurus Janna berbalut gaun panjang yang digunakan untuk istirahat malam."Aku minta kau makan," ucap Dominic tanpa basa basi.Janna tidak gentar menghadapi Dominic. "Lebih baik aku mati daripada bernasib buruk dengan menjadi istrimu."Tangan Dominic mengepal erat, ia geram dengan pembangkangan gadis dari stratum terendah yang terpaksa diisolasi ini."Jangan membuat kesabaranku habis," ucap Dominic. Mereka saling menatap sengit seakan-akan ingin saling membunuh, jarak mereka lima langkah kaki orang dewasa."Kau tak berhak memaksaku, Jenderal Dominic Freud. Sebaiknya kau keluar dari kamar ini!" jerit Janna.Kesabaran Dominic berangsur tergerus, ia merasa direndahkan dengan diperintah oleh gadis muda yang tidak selevel dengannya.Dominic melangkah cepat mendekati Janna, ia mencengkram leher Janna. "Aku berhak mengatur di rumahku sendiri," ketus Dominic sambil menyorot tajam manik Janna.Refleks Janna menyentuh kulit lengan Dominic yan
Dominic mengepalkan tangannya, pelajaran tata krama dari guru yang diperintahnya belum mendapat hasil yang baik. Ucapan Janna sangat merendahkan Dominic. Hanya saja Dominic mencoba menahan diri sebab tidak ingin mempermalukan diri sendiri di pesta besar kenegaraan."Selamat untuk pernikahan Anda, Jenderal Freud," ucap sultan Bayezidan diikuti oleh istri dan anak-anaknya. "Saya yakin militer Kesultanan Yagondaza akan semakin baik di tangan Anda dengan pernikahan ini," puji sultan Bayezidan. "Terima kasih, Sultan Bayezidan dan Permaisuri Neha." Dominic menunduk sebagai tanda hormatnya diikuti oleh Janna.Janna terkesima melihat kecantikan dan ketampanan sultan dan permaisuri, seumur-umur baru kali ini Janna melihat mereka dari dekat. Masyarakat stratum Royusha jarang mendapat kunjungan dari pemimpin negara karena riwayat pemberontakan di masa lalu."Terima kasih Sultan dan Permaisuri, suatu kehormatan bertemu Sultan dan Permaisuri," ujar Janna tersenyum sambil melakukan gerakan curtsy
Usai pesta, Dominic menahan kepergian Swayata. Ia ingin mengonfirmasi sesuatu."Rasa kejut atau setrum itu hal wajar, Jenderal, menandakan Anda dan Nona Braun memang terhubung. Dengan kata lain, Anda sebenarnya tertarik secara fisik terhadap Nona Braun.""Itu mustahil," sanggah Dominic. "Bahkan aku tidak nyaman berada di sampingnya." Dominic masih bersikeras menolak pernyataan Swayata. "Maaf Jenderal, ini sulit untuk dijelaskan, pengalaman Anda bersama Nona Braun akan membuktikan segalanya."Dominic berdecak tidak puas dengan pernyataan Swayata yang diplomatis."Seharusnya kau bisa memberi penjelasan lebih baik. Sekarang, keluarlah!" ucap Dominic tak tertarik memperpanjang urusan dengan Swayata."Jenderal, saya ingin mengingatkan sesuatu waktu terbaik membuahi Nona adalah dua hari setelah pernikahan tepat bulan purnama bersinar terang. Menjelang itu, moga Anda bisa menahan diri," jelas Swayata sembari tersenyum penuh makna."Swayata, mengapa hal semacam itu juga diatur?""Ini sesuai
Pagi pertama Janna bersiap sarapan dibantu oleh beberapa pelayan. Saat dirinya terbangun, Dominic tidak terlihat di dalam kamar. Tidur sekamar? Sebenarnya Dominic semalam tidak kembali ke ruang pribadinya, entah pergi ke mana, Janna tidak tahu dan tidak mau tahu."Silakan duduk, Nyonya," ucap seorang pelayan yang menarik kursi kosong. Janna duduk di sana dengan anggun sesuai dengan pengajaran tata krama yang diperolehnya.Pelayan sibuk menyuguhkan minuman, makanan dipilih sendiri oleh Janna. Menu di meja sangatlah menggiurkan, ingin Janna santap satu per satu. Hanya saja, ia ingat apa yang dikatakan Dominic untuk menjaga citra diri sebagai istri seorang kepala militer. "Kemana Jenderal?" tanya Janna menyapu pandangan ke segala ruangan."Jenderal telah sarapan lebih dulu sebab harus mengikuti pertemuan khusus perwira," jawab pelayan dengan sopan.Senyum mengembang di wajah Janna, ia senang tidak berurusan dengan Dominic pagi ini. Janna juga senang sebab tidak ada yang namanya malam p
"Besok pagi-pagi kita akan berangkat ke wilayah Seaco, di sana selama sepekan," ucap Dominic pada Janna yang berdiri di seberang meja di ruang kerja Dominic. "Untuk apa ke sana? Bukannya Jenderal harus bekerja?" Janna heran dengan keputusan mendadak Dominic. "Sultan memberi hadiah pernikahan, berlibur ke Seaco," sambung Dominic. Janna mulai mengerti makna hadiah dari Sultan Bayezidan."Tidakkah kita dapat mengundurnya? Aku masih mengikuti kelas tata krama dan... kata Madam Wena perkembanganku masih belum memuaskan." Janna berusaha menolak rencana berbulan madu. Dia was-was akan dibuat menderita di Seaco nanti.Dominic menatap tajam Janna, seketika ia memalingkan wajah kembali. Dominic tidak ingin respon tubuhnya dibaca oleh Janna."Sebelumnya aku telah menolak. Berlibur ke Seaco membuang waktu berhargaku. Apa boleh buat, bagian protokoler telah mempersiapkan segalanya."Janna mengerling, Jenderal sombong, ucap Janna dalam hati sembari menarik bibirnya mendatar."Berapa lama kita di
Dominic melepas cengkramannya, ia menatap tak penuh minat pada Janna. Sementara, Janna memeluk tubuhnya sendiri, ia takut pada suara guntur. "Tanpa perlengkapan dan persediaan makanan, kau tak akan mampu bertahan hidup di luar Pandos. Kematianmu akan sia-sia." Dominic mengira Janna ketakutan mendengar fakta mengerikan tentang alam di luar Pamdos sebelum mencapai kampung halaman Janna di Hosmer. Hujan mengguyur Pamdos dengan deras. Dominic ingin menghukum Janna tanpa menyentuh fisik istrinya."Kau seharusnya berterima kasih telah menikah dengan pejabat militer, hidupmu lebih terjamin dibanding seumur hidup bertahan di stratum Royusha!" teriak Dominic di tengah suara keras hujan.Merasa cukup, Dominic meninggalkan Janna yang mulai terisak-isak dan gemetaran sambil mengusap-usap lengan sendiri. Sebelum membalik tubuhnya, suara gelegar guntur dan sambaran kilat membuat Janna melonjak lalu memeluk Dominic yang mendadak membeku di tempat."Jangan tinggalkan... aku. Aku... ta... takut gun
Pertarungan antara prajurit Dominic dan kelompok bersenjata memakan korban jiwa. Dominic tidak pernah mengira kalau perjalanan bulan madu direcoki oleh pihak tak bertanggung jawab.Janna dibawa dengan kuda tunggangan hitam milik Xaviery. Dominic menangkap suara ringkikan kuda lalu ia melompat ke tubuh Jud. Jud lari melesat mengikuti kuda yang membawa Janna lari. Sebagai kuda terlatih di medan pertempuran, Jud memiliki kecepatan yang tak diragukan. Ia mampu mengejar si kuda hitam.Tangan Dominic ingin menggapai tubuh Janna yang duduk di belakang, sayangnya ia hanya mampu menangkap angin sebab Xaviery mengeluarkan pedang dan menjulurkan pada Dominic. Denting pedang kembali terdengar di udara beberapa saat hingga kedua kuda dengan warna kontras berdiri saling berhadapan.Dominic mengamati dengan tatapan panjang dan dalam. Begitu juga Xaviery melempar api amarah."Serahkan dia padaku," ucap Dominic menunjuk Janna yang duduk di belakang tubuh Xaviery. "Kau memaksa seorang perempuan menj