Share

003

Dominic memandang Janna dari kaki hingga kepala, tubuh kurus Janna berbalut gaun panjang yang digunakan untuk istirahat malam.

"Aku minta kau makan," ucap Dominic tanpa basa basi.

Janna tidak gentar menghadapi Dominic. "Lebih baik aku mati daripada bernasib buruk dengan menjadi istrimu."

Tangan Dominic mengepal erat, ia geram dengan pembangkangan gadis dari stratum terendah yang terpaksa diisolasi ini.

"Jangan membuat kesabaranku habis," ucap Dominic. Mereka saling menatap sengit seakan-akan ingin saling membunuh, jarak mereka lima langkah kaki orang dewasa.

"Kau tak berhak memaksaku, Jenderal Dominic Freud. Sebaiknya kau keluar dari kamar ini!" jerit Janna.

Kesabaran Dominic berangsur tergerus, ia merasa direndahkan dengan diperintah oleh gadis muda yang tidak selevel dengannya.

Dominic melangkah cepat mendekati Janna, ia mencengkram leher Janna. "Aku berhak mengatur di rumahku sendiri," ketus Dominic sambil menyorot tajam manik Janna.

Refleks Janna menyentuh kulit lengan Dominic yang terbuka, ia kesulitan bernafas.

Mendadak Dominic seperti tersengat sewaktu Janna menyentuh lengannya, tubuhnya memanas.

Sontak Dominic melepaskan Janna yang mundur terbatuk-batuk. Dominic merasa ada yang aneh dengan tubuhnya saat bersentuhan dengan Janna.

Dominic mengabaikan gelegar yang secara tiba-tiba memasuki tubuhnya.

"Makan atau aku akan memaksamu," gertak Dominic sembari menunjuk ke arah nampan makanan.

Janna mencoba menstabilkan diri dengan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Dadanya bergemuruh amarah dengan nafas terburu.

"Keluar, aku akan memakannya." Janna ingin secepatnya Dominic hengkang dari kamarnya, ia muak dengan keberadaan Dominic.

"Kau pikir aku percaya? Aku akan di sini sampai kau habiskan makanan ini. Aku tidak ingin di rumahku ditemukan mayat kelaparan."

Janna berang mendengar hinaan Dominic, sayangnya ia tidak mampu berbuat apa-apa. Lehernya hampir saja patah, kini masih terasa sakit.

Tidak ingin berlama-lama, Janna duduk di bangku kayu berhadapan dengan makanan yang tersaji. Dengan susah payah Janna menyuap, sekalipun tanpa nafsu makan. Sementara itu, Dominic berdiri sambil bersidekap memandang Janna yang sedang makan.

Usai suapan terakhir, Janna mengusap bibir dengan punggung tangan sampai suara sendawa terdengar lantang. Dominic yang menyaksikan itu menilai Janna tidak pernah diajari etika makan. Sekalipun di medan perang, Dominic merasa cara makannya tidak pernah seperti Janna.

"Apa semua orang stratum Royusha makan seperti ini?" sindir Dominic dengan senyum mengejek.

"Ya," jawab Janna pendek.

Dominic meringis, tetapi cepat menormalkan kembali raut jijik menjadi biasa.

"Itu sebabnya, tidak pantas kau mengambilku sebagai istrimu. Dunia kita berbeda," lanjut Janna berusaha memengaruhi Dominic.

"Seandainya saja bisa. Aku pun tidak tertarik dengan perempuan kurus, pembangkang, dan jorok."

Janna melempar tatapan kesal sambil menggerutu dalam hatinya.

"Aku telah selesai makan. Keluarlah!" Janna kembali memerintah Dominic. "Memuakkan," ucapnya sangat pelan.

Dominic yang hampir saja berjalan keluar, menghentikan gerakan sembari melotot ia berkata, "Kau pikir aku tidak dengar apa yang kau ucapkan?"

Janna bergeming, ia takut tubuhnya akan dibanting atau kali ini kaki dan tangannya akan dipatahkan.

"Aku tidak mengatakan apapun," bela Janna bertampang polos seperti tidak tahu apa-apa.

"Sepekan lagi pernikahan akan digelar besar-besaran, aku tidak mau kau mempermalukanku di depan publik. Seorang guru etika akan mengajarimu cara berbicara dan bersikap sopan."

Dominic keluar dari ruangan isolasi Janna, seorang pelayan masuk mengambil nampan berisi pinggan dan cangkir kosong.

Pernikahan Jenderal Dominic Freud dan Janna Braun digelar secara meriah di pekan yang telah ditentukan. Areal Pamdos disibukkan dengan pesta seharian kepala militer kesultanan Yagondaza.

Pemimpin Yagondaza, Sultan Bayezidan, hadir bersama istri dan anak-anaknya yang masih kecil. Anak-anak mereka juga hasil gemeparasi, penyatuan bibit unggul melalui pernikahan.

Tamu undangan berasal dari setiap stratum, kecuali stratum terendah, Royusha, sebab mereka adalah keturunan pemberontak internal yang diasingkan meski tetap menjadi bagian Yagondaza.

Janna dirias dengan gaun berekor berwarna cerah dari penenun dan penjahit terbaik. Aksesoris dan perhiasan mahal menempel di tubuhnya. Namun, paras ayu Janna tanpa ulas senyum.

"Pernikahan yang tak pernah aku inginkan," ucap Janna pelan menyapu pandangan menatap tamu undangan dengan pakaian pesta yang tak dikenalinya sama sekali. Dominic mendengarnya, tetapi bersikap tidak peduli.

Seorang perempuan paruh baya mendekati Dominic yang berdiri di samping Janna. Selain pesta pernikahan, peristiwa ini menjadi ajang reuni bagi para tamu undangan yang dalam jangka lama belum bertemu satu dengan lainnya.

Mereka tidak begitu memperhatikan raut wajah muram Janna, kecuali ibu Dominic.

"Jangan pudar senyum dari wajahmu, ini adalah acara negara terbesar di penghujung tahun ini. Ingatkan istrimu untuk tersenyum, Anakku."

Ibu Dominic kemudian melangkah kembali ke tempat duduknya.

Dominic menoleh pada Janna, paras kelam menyiratkan rasa tidak senang akan kemewahan pesta pernikahan. Dominic pun memiliki perasaan yang sama, tidak menginginkan perempuan keturunan pemberontak internal kesultanan sebagai istrinya.

Peresmian hubungan antara Janna dan Dominic merupakan mimpi buruk bagi mereka berdua.

"Tunjukkan senyummu, jangan mengumbar kesedihan di acara kenegaraan!" bisik Dominic geram, ia menunduk ke arah telinga Janna.

Janna bergeming malah menoleh ke arah lain, mengabaikan ucapan suaminya. Ya, pernikahan mereka adalah acara resmi kesultanan.

Melihat sikap membangkang Janna muncul ide Dominic untuk mengerjai. Dia menarik lengan Janna mendekati tubuhnya. Spontan Janna merasa terusik menganggap Dominic bersikap semena-mena terhadapnya.

Janna mendongak menatap tajam Dominic.

"Jangan sentuh aku, Jenderal!" ucap Janna ketus, tetapi terdengar sehalus bisikan.

Saat pria itu membalas tatapan Janna dari jarak dekat, sekelebat kilat seperti menyetrum tubuh Dominic. Dengan cepat Dominic melepaskan Janna.

Ini kali kedua, Dominic seperti tersihir bila berada dekat dengan Janna.

Janna terkesiap dengan gerakan tiba-tiba Dominic yang langsung melepas tubuhnya. "Jenderal aneh," gerutunya kesal.

"Ada apa dengan tubuhmu?" tanya Dominic heran. Ia tak lagi ingin menyentuh atau menatap mata Janna dari jarak dekat. Dominic menatap lantai panggung tempat mereka berdiri.

"Tubuhku baik-baik saja, mungkin tubuhmu terlalu tua untuk bersanding dengan gadis muda usia dua puluh tahun sehingga bereaksi buruk," ejek Janna tanpa rasa takut. Mengalahkan Dominic secara fisik tidak mampu Janna lakukan, ia harus punya cara lain untuk membuat Dominic tidak betah berada di sampingnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status