Share

007

"Besok pagi-pagi kita akan berangkat ke wilayah Seaco, di sana selama sepekan," ucap Dominic pada Janna yang berdiri di seberang meja di ruang kerja Dominic.

"Untuk apa ke sana? Bukannya Jenderal harus bekerja?" Janna heran dengan keputusan mendadak Dominic.

"Sultan memberi hadiah pernikahan, berlibur ke Seaco," sambung Dominic.

Janna mulai mengerti makna hadiah dari Sultan Bayezidan.

"Tidakkah kita dapat mengundurnya? Aku masih mengikuti kelas tata krama dan... kata Madam Wena perkembanganku masih belum memuaskan." Janna berusaha menolak rencana berbulan madu. Dia was-was akan dibuat menderita di Seaco nanti.

Dominic menatap tajam Janna, seketika ia memalingkan wajah kembali. Dominic tidak ingin respon tubuhnya dibaca oleh Janna.

"Sebelumnya aku telah menolak. Berlibur ke Seaco membuang waktu berhargaku. Apa boleh buat, bagian protokoler telah mempersiapkan segalanya."

Janna mengerling, Jenderal sombong, ucap Janna dalam hati sembari menarik bibirnya mendatar.

"Berapa lama kita di sana?" Dominic menoleh pada Janna membuat perempuan itu sedikit salah tingkah. "Aku perlu tahu berapa waktu bolos mengikuti kelas Madam Wena," lanjutnya.

"Sepekan."

Janna membeliak. "Itu terlalu lama!" Seketika Janna terdiam lalu menghela nafas dalam mencoba menenangkan luapan emosi yang membanjiri otaknya.

"Sepulang dari sana ku harap Madam Wena akan lebih ketat mengajarimu agar tidak berteriak di hadapanku." Rahang tegas Dominic berkedut menahan amarah yang terpantik.

"Seharusnya Jenderal lebih terbiasa dengan sikapku, mengubah tata krama bukan pekerjaan mudah." Janna tidak ingin dipersalahkan secara sepihak.

"Oh... aku harus selalu ingat Royusha mengalir di darahmu. Mungkin sampai kapanpun kau akan terus memberontak dan melawan," ejek Dominic membalas Janna.

Tangan Janna yang awalnya mengatup di depan perut, kini lunglai terkepal di samping tubuhnya. Dominic seakan tidak peduli dengan sikap yang ditunjukkan Janna, bagi Dominic, sekali Royusha tetap Royusha keturunan pemberontak.

"Bila tidak ada lagi yang ingin Jenderal katakan, aku ingin keluar," ketus Janna menghalau segala pelajaran tata krama dari Madam Wena.

"Satu lagi, persiapkan diri, di sana kita akan... melakukan gemeparasi." Dominic menarik sebuah buku dari meja bagian kiri, tidak ingin susah-susah melihat ekspresi Janna yang semakin tak nyaman.

Janna mengangkat gaun panjangnya lalu melangkah keluar dari ruang kerja Dominic tanpa berpamitan.

Dominic menggeleng-geleng. "Apa sampai akhir hayat aku akan menghabiskan waktu bersama perempuan harimau itu?"

Janna kembali ke kamar pribadi yang juga milik Dominic. Rasa tidak tenang mencuat dari dalam dirinya. Janna masih belum menerima dengan terbuka pernikahan paksa dengan Jenderal yang usianya jauh di atas Janna.

"Aku tidak ingin menghabiskan sisa hidup bersama pria itu. Arogan dan sombong, suka merendahkan orang lain."

Janna mencoba berpikir keras bagaimana ia bisa menggagalkan rencana bulan madu yang akan merusak masa depannya.

Janna teringat balkon dekat kamarnya yang tempo lalu bisa diminta tanpa penjagaan prajurit militer.

Janna hanya perlu memastikan Dominic tidak kembali ke kamar pribadi mereka, di saat itu Janna akan kabur melalui balkon, berlari menuju perbatasan Pamdos.

Malam semakin larut, Dominic benar-benar tidak kembali ke kamar pribadi mereka. Janna senang, saatnya ia melaksanakan pelarian dari kekangan Dominic.

Berjalan menuju balkon dengan anggun, Janna disapa oleh prajurit. Janna mengenakan mantel panjang berwarna merah marun.

"Kalian boleh pergi," perintahnya. Prajurit saling berhadapan, tersirat keraguan.

"Ingin menikmati langit malam, tidak mungkin kalian di sini." Janna mencoba menggertak dengan nada lebih tinggi.

Prajurit mengangguk lalu undur diri dan pergi menjauh.

Janna mendekati tembok yang tingginya sepinggang, memandang ke bawah lalu lurus ke depan.

Suasana benar-benar sepi. Tidak ada penjaga lalu lalang seperti saat pernikahannya tempo hari.

Janna menghitung-hitung berapa tinggi dirinya ke tanah, apakah kain yang dibawa di balik mantel akan cukup sehingga ia akan menapak ke bawah.

Pintu besar di belakang di tutup dengan pelan agar tidak mengundang kecurigaan. Janna membuka mantel indahnya. Ia mengeluarkan kain halus untuk menahan bobot tubuhnya saat turun.

Kain itu didapatkan dengan menyobek gaun pengantin berekor milik Janna. Meskipun halus, kain itu kuat, Janna telah mencoba di dalam kamar.

Mantel mahal, Janna biarkan tergeletak di lantai balkon, tidak mungkin ia bawa mantel sebab akan membatasi gerakan.

Tinggallah kostum berburu yang dikenakan. Sepatunya pun bisa disembunyikan di balik mantel marun dari bahan bulu hewan itu.

Janna mengikat kain ke sela-sela tembok, ia melakukannya dengan cepat. Janna berlomba dengan waktu, ia bisa saja ketahuan kapanpun oleh siapapun.

Memastikan ikatan kainnya erat, Janna melangkahi tembok lalu mulai turun. Agak kesulitan sebab bahan kain terlalu halus. Telapak tangan Janna sampai terluka karena menggenggamnya terlalu erat, itu lebih baik daripada terjatuh ke tanah.

Aku harus cepat, sedikit lagi, afirmasi Janna pada dirinya sendiri.

Janna telah berhitung, ia harus mampu melewati hutan padang rumput di Pamdos sebelum matahari terbit.

Kain halus Janna tidak sampai menyentuh tanah, Janna terjun beberapa jarak hingga terduduk di tanah. Dia berharap suara berdebap tubuhnya tidak didengar oleh siapapun.

Telapak tangan yang terluka mengeluarkan darah segar, Janna segera mengisap lalu mengusap ke celana berburunya.

Dia berdiri sambil memandang arah pelarian, sayangnya gerakan Janna terhambat.

Seseorang mencengkram pundaknya sangat erat. Janna meringis seiring dengan dibalik paksa tubuhnya oleh pria bermanik biru laut masih jelas dilihat Janna meski dalam kegelapan.

"Mau ke mana"? tanya Dominic dengan tatapan tajam, tak peduli akan bagaimana respon tubuhnya bila dekat dengan Janna.

"A... aku..., lepaskan ini sakit." Saat Janna akan berbicara, Dominic semakin menekan pundak Janna sampai membuatnya kesakitan. Janna pikir tulang bahunya akan retak bila ia diam saja.

"Mau ke mana?" tanya Dominic menaikkan nada suaranya.

"Aku... aku... ingin menikmati langit malam," jawab Janna enteng sembari menunjuk ke arah langit.

Bersamaan dengan itu terdengar bunyi guntur menggelegar hingga kilat menyambar ke arah balik pegunungan. Janna memejamkan mata dan menutup telinga dengan kedua tangannya.

Hal itu terjadi beberapa waktu.

Nafas Janna terdengar cepat, ia dalam suasana ketakutan pada alam.

"Langit mendung, sebentar lagi hujan. Kau ingin lari dari Pamdos, heh! Kau berpikir akan selamat sampai di kampung halamanmu?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status