Share

007

Author: Novisi
last update Last Updated: 2023-08-16 10:16:02

"Besok pagi-pagi kita akan berangkat ke wilayah Seaco, di sana selama sepekan," ucap Dominic pada Janna yang berdiri di seberang meja di ruang kerja Dominic.

"Untuk apa ke sana? Bukannya Jenderal harus bekerja?" Janna heran dengan keputusan mendadak Dominic.

"Sultan memberi hadiah pernikahan, berlibur ke Seaco," sambung Dominic.

Janna mulai mengerti makna hadiah dari Sultan Bayezidan.

"Tidakkah kita dapat mengundurnya? Aku masih mengikuti kelas tata krama dan... kata Madam Wena perkembanganku masih belum memuaskan." Janna berusaha menolak rencana berbulan madu. Dia was-was akan dibuat menderita di Seaco nanti.

Dominic menatap tajam Janna, seketika ia memalingkan wajah kembali. Dominic tidak ingin respon tubuhnya dibaca oleh Janna.

"Sebelumnya aku telah menolak. Berlibur ke Seaco membuang waktu berhargaku. Apa boleh buat, bagian protokoler telah mempersiapkan segalanya."

Janna mengerling, Jenderal sombong, ucap Janna dalam hati sembari menarik bibirnya mendatar.

"Berapa lama kita di sana?" Dominic menoleh pada Janna membuat perempuan itu sedikit salah tingkah. "Aku perlu tahu berapa waktu bolos mengikuti kelas Madam Wena," lanjutnya.

"Sepekan."

Janna membeliak. "Itu terlalu lama!" Seketika Janna terdiam lalu menghela nafas dalam mencoba menenangkan luapan emosi yang membanjiri otaknya.

"Sepulang dari sana ku harap Madam Wena akan lebih ketat mengajarimu agar tidak berteriak di hadapanku." Rahang tegas Dominic berkedut menahan amarah yang terpantik.

"Seharusnya Jenderal lebih terbiasa dengan sikapku, mengubah tata krama bukan pekerjaan mudah." Janna tidak ingin dipersalahkan secara sepihak.

"Oh... aku harus selalu ingat Royusha mengalir di darahmu. Mungkin sampai kapanpun kau akan terus memberontak dan melawan," ejek Dominic membalas Janna.

Tangan Janna yang awalnya mengatup di depan perut, kini lunglai terkepal di samping tubuhnya. Dominic seakan tidak peduli dengan sikap yang ditunjukkan Janna, bagi Dominic, sekali Royusha tetap Royusha keturunan pemberontak.

"Bila tidak ada lagi yang ingin Jenderal katakan, aku ingin keluar," ketus Janna menghalau segala pelajaran tata krama dari Madam Wena.

"Satu lagi, persiapkan diri, di sana kita akan... melakukan gemeparasi." Dominic menarik sebuah buku dari meja bagian kiri, tidak ingin susah-susah melihat ekspresi Janna yang semakin tak nyaman.

Janna mengangkat gaun panjangnya lalu melangkah keluar dari ruang kerja Dominic tanpa berpamitan.

Dominic menggeleng-geleng. "Apa sampai akhir hayat aku akan menghabiskan waktu bersama perempuan harimau itu?"

Janna kembali ke kamar pribadi yang juga milik Dominic. Rasa tidak tenang mencuat dari dalam dirinya. Janna masih belum menerima dengan terbuka pernikahan paksa dengan Jenderal yang usianya jauh di atas Janna.

"Aku tidak ingin menghabiskan sisa hidup bersama pria itu. Arogan dan sombong, suka merendahkan orang lain."

Janna mencoba berpikir keras bagaimana ia bisa menggagalkan rencana bulan madu yang akan merusak masa depannya.

Janna teringat balkon dekat kamarnya yang tempo lalu bisa diminta tanpa penjagaan prajurit militer.

Janna hanya perlu memastikan Dominic tidak kembali ke kamar pribadi mereka, di saat itu Janna akan kabur melalui balkon, berlari menuju perbatasan Pamdos.

Malam semakin larut, Dominic benar-benar tidak kembali ke kamar pribadi mereka. Janna senang, saatnya ia melaksanakan pelarian dari kekangan Dominic.

Berjalan menuju balkon dengan anggun, Janna disapa oleh prajurit. Janna mengenakan mantel panjang berwarna merah marun.

"Kalian boleh pergi," perintahnya. Prajurit saling berhadapan, tersirat keraguan.

"Ingin menikmati langit malam, tidak mungkin kalian di sini." Janna mencoba menggertak dengan nada lebih tinggi.

Prajurit mengangguk lalu undur diri dan pergi menjauh.

Janna mendekati tembok yang tingginya sepinggang, memandang ke bawah lalu lurus ke depan.

Suasana benar-benar sepi. Tidak ada penjaga lalu lalang seperti saat pernikahannya tempo hari.

Janna menghitung-hitung berapa tinggi dirinya ke tanah, apakah kain yang dibawa di balik mantel akan cukup sehingga ia akan menapak ke bawah.

Pintu besar di belakang di tutup dengan pelan agar tidak mengundang kecurigaan. Janna membuka mantel indahnya. Ia mengeluarkan kain halus untuk menahan bobot tubuhnya saat turun.

Kain itu didapatkan dengan menyobek gaun pengantin berekor milik Janna. Meskipun halus, kain itu kuat, Janna telah mencoba di dalam kamar.

Mantel mahal, Janna biarkan tergeletak di lantai balkon, tidak mungkin ia bawa mantel sebab akan membatasi gerakan.

Tinggallah kostum berburu yang dikenakan. Sepatunya pun bisa disembunyikan di balik mantel marun dari bahan bulu hewan itu.

Janna mengikat kain ke sela-sela tembok, ia melakukannya dengan cepat. Janna berlomba dengan waktu, ia bisa saja ketahuan kapanpun oleh siapapun.

Memastikan ikatan kainnya erat, Janna melangkahi tembok lalu mulai turun. Agak kesulitan sebab bahan kain terlalu halus. Telapak tangan Janna sampai terluka karena menggenggamnya terlalu erat, itu lebih baik daripada terjatuh ke tanah.

Aku harus cepat, sedikit lagi, afirmasi Janna pada dirinya sendiri.

Janna telah berhitung, ia harus mampu melewati hutan padang rumput di Pamdos sebelum matahari terbit.

Kain halus Janna tidak sampai menyentuh tanah, Janna terjun beberapa jarak hingga terduduk di tanah. Dia berharap suara berdebap tubuhnya tidak didengar oleh siapapun.

Telapak tangan yang terluka mengeluarkan darah segar, Janna segera mengisap lalu mengusap ke celana berburunya.

Dia berdiri sambil memandang arah pelarian, sayangnya gerakan Janna terhambat.

Seseorang mencengkram pundaknya sangat erat. Janna meringis seiring dengan dibalik paksa tubuhnya oleh pria bermanik biru laut masih jelas dilihat Janna meski dalam kegelapan.

"Mau ke mana"? tanya Dominic dengan tatapan tajam, tak peduli akan bagaimana respon tubuhnya bila dekat dengan Janna.

"A... aku..., lepaskan ini sakit." Saat Janna akan berbicara, Dominic semakin menekan pundak Janna sampai membuatnya kesakitan. Janna pikir tulang bahunya akan retak bila ia diam saja.

"Mau ke mana?" tanya Dominic menaikkan nada suaranya.

"Aku... aku... ingin menikmati langit malam," jawab Janna enteng sembari menunjuk ke arah langit.

Bersamaan dengan itu terdengar bunyi guntur menggelegar hingga kilat menyambar ke arah balik pegunungan. Janna memejamkan mata dan menutup telinga dengan kedua tangannya.

Hal itu terjadi beberapa waktu.

Nafas Janna terdengar cepat, ia dalam suasana ketakutan pada alam.

"Langit mendung, sebentar lagi hujan. Kau ingin lari dari Pamdos, heh! Kau berpikir akan selamat sampai di kampung halamanmu?!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MELAHIRKAN PEWARIS UNTUK SANG JENDERAL   070

    Berita tentang kelahiran putra permaisuri dan Sultan sampai di telinga Janna."Kalian siapkan hadiah untuk Permaisuri," perintah Janna pada Kana dan Mala. Mereka saling berpandangan seolah-olah ingin menyampaikan hal lain.Janna memperhatikan gerak tubuh berbeda dari kedua pelayannya. "Mengapa? Pergilah? Aku akan menyampaikan nanti seorang diri," jelasnya."Ma... maaf, Nyonya." Kana angkat suara. "Tapi, anak yang dilahirkan permaisuri tidak seperti anak normal lainnya."Kana dan Mala bergantian menceritakan kabar yang telah pasti kebenarannya itu."Lalu masalahnya ada di mana? Meskipun tubuh bayi seperti itu, dia tetap manusia yang harus dicintai." Janna malah teringat pada putranya yang terpaksa harus dipisahkan dari mereka. "Peraturan di kesultanan, anak dalam keadaan demikian dianggap tidak layak hidup, Anggapan kesultanan di masa depan ia juga tidak mampu bertahan hidup, sehingga di masa bayi ini..." Mala ragu-ragu menyampaikan. "Teruskan!" perintah Janna."Bayi itu akan dibunuh

  • MELAHIRKAN PEWARIS UNTUK SANG JENDERAL   069

    Permaisuri Neha meraung-raung di kamarnya sendiri, semua pelayan dan prajurit yang mengetahui kabar tentang kelahiran anak permaisuri tertunduk seolah-olah ikut merasakan kesedihannya.Sementara itu, Sultan Bayezidan berjalan pelan bolak balik, tetapi geraknya tak menandakan ketenangan."Mengapa bisa seperti ini?!" hardiknya pada medikus yang membantu persalinan. Keringat mengucur di pelipis medikus, ia langsung berlutut di hadapan pemimpin kesultanan Yagondaza.Sultan memutuskan berbicara empat mata pada medikus."Maa... maafkan, Sultan, ini di luar dugaan," ucapnya terbata-bata. "ini bisa diduga terjadi selama kehamilan," lanjutnya tertunduk takut."Maksudmu apa?!" Sultan Bayezidan menarik baju bahu medikus yang membuatnya hampir mati gemetar."Kekurangan anggota tubuh ini bisa dijelaskan terjadi selama kehamilan permaisuri lalu, Jenderal" jelasnya."Bukankah permaisuri telah melewati proses pemeriksaan sifat unggul? Anak-anak terdahulu tidak ada lahir seperti itu!" ingat Sultan Bay

  • MELAHIRKAN PEWARIS UNTUK SANG JENDERAL   68

    Setelah kunjungan Neha di kediaman rumah putih, Janna banyak diam. Pikirannya dipenuhi dengan ucapan Neha berulang-ulang.Tangisan putranya membuat Janna sadar bila bocah kecil itu hampir terlepas darinya. Cepat-cepat Janna memperbaiki posisi anaknya yang diberi nama Harry Freud."Maafkan Ibu, Harry," ucapnya.Tidak lama Dominic masuk ke kamar. "Kalian ada di sini rupanya.""Apakah Jenderal mencariku?" tanya Janna dengan raut senang.Dominic duduk di samping Janna. "Aku dengar dari pelayan, permaisuri Neha mengunjungimu."Paras Janna berubah. "Ya," jawabnya pendek tak semangat."Apa yang kalian bicarakan?""Hanya menanyakan kabar saja," sahut Janna. Dominic memandang istrinya yang tengah sibuk dengan Harry."Kau tak bisa membohongiku," nilai Dominic lalu mengambil alih putra mereka, Dominic mengayun Harry yang senang diperlakukan demikian."Apakah Jenderal akan mempercayai ceritaku?" Janna tertawa kecil. "Permaisuri teman lama Jenderal, pasti saja Jenderal sulit percaya dengan apa yan

  • MELAHIRKAN PEWARIS UNTUK SANG JENDERAL   67

    "Apa yang membawamu mendatangi kediamanku, Jenderal?" tanya Sultan Bayezidan saat mereka saling berhadapan. Dominic membungkuk memberi hormat, hanya saja irama jantungnya mulai tak karuan. Terasa sulit untuk menjawab, bahkan menelan ludah pun. Dominic tidak siap dengan seribu alasan mengunjungi kediaman tanpa kehadiran Sultan di sana. Namun, ia harus tetap menjawab. Dominic mengangkat badan, sewaktu mulutnya terbuka, dari arah pintu Neha muncul. "Yang Mulia," ucapnya memberi hormat, "aku meminta Jenderal Dominic datang kemari untuk menanyakan kabar Janna, dan aku memberikan bingkisan hiburan untuk Janna yang masih bersedih, tetapi Jenderal Dominic lupa membawanya," lanjut Neha dengan tenang dan lancar, ia tertawa kecil sembari mengulurkan bingkisan dengan kedua tangannya. Paras Sultan Bayezidan yang semula datar berubah terisi senyuman. "Ambillah, kami ingin menghibur kalian. Pasti apa yang kalian alami begitu berat." Dominic masih berpikir tentang Neha dan Sultan, mereka s

  • MELAHIRKAN PEWARIS UNTUK SANG JENDERAL   66

    "Cukup, Jenderal. Aku sudah lebih baik," ujar Janna pelan, menghentikan gerak pijatan di bahunya, ia memperbaiki gaun lalu duduk menghadap Dominic. "Pergilah, permaisuri sudah menunggu, Jenderal.""Aku harap kau percaya padaku," ucap Dominic menatap sendu ke arah istrinya, ia menggenggam kedua tangan Janna.Perempuan itu tertawa kecil seraya menoleh ke arah lain. "Sedari awal aku tak bisa percaya pada siapapun, aku hanya seorang perempuan biasa yang diperintah untuk hidup. Hanya tinggal menjalani saja." Janna memandang Dominic dengan sorotan lara, penuh derita.Dominic menghela napas berat, rasa sesak seolah-olah menekan dadanya. Dia berdiri lalu mengganti pakaian dengan busana militer. "Aku hanya sebentar." Kening Janna dikecup Dominic.Selepas kepergian Dominic, air mata Janna kembali mengucur. Ia menangisi nasibnya yang begitu menyedihkan."Ada apa Permaisuri memanggil?" tanya Dominic memberi hormat pada Neha. Di dalam ruangan itu hanya ada mereka berdua.Neha tersenyum senang meny

  • MELAHIRKAN PEWARIS UNTUK SANG JENDERAL   65

    Telah tiga hari Janna berduka, ia lebih banyak mengurung diri di dalam kamar, bahkan tidak ingin bicara pada suaminya sekalipun mereka sekamar.Saat ini Janna berada di ruangan tempat menyimpan abu keluarga Freud, tidak menangis lagi, hanya memandangi guci milik putranya. Jarak ruang abu dengan kediamannya tidak begitu jauh, cukup berjalan kaki."Janna, sedari tadi kau belum makan apa pun." Suara Dominic terdengar jelas di pendengaran sebelah kanan Janna. Pria itu menaruh kedua tangan di sisi lengan Janna bermaksud ingin menyokong badan istrinya ke atas.Mendadak Janna menggoyangkan badannya sampai pegangan itu terlepas. "Pergilah, tidak perlu mengurusiku!" ucap Janna dengan nada rendah tanpa menoleh sedikit pun."Sampai kapan kau seperti ini?" Dominic tahu kesakitan yang Janna rasakan, hanya saja waktu terus berjalan dan ada yang membutuhkan Janna."Bukan urusan, Jenderal!" teriak Janna, mata Dominic sampai terpejam. Air mata mengucur dari kelopak mata Dominic, segera ia menghapusn

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status