Share

008

Dominic melepas cengkramannya, ia menatap tak penuh minat pada Janna. Sementara, Janna memeluk tubuhnya sendiri, ia takut pada suara guntur.

"Tanpa perlengkapan dan persediaan makanan, kau tak akan mampu bertahan hidup di luar Pandos. Kematianmu akan sia-sia."

Dominic mengira Janna ketakutan mendengar fakta mengerikan tentang alam di luar Pamdos sebelum mencapai kampung halaman Janna di Hosmer.

Hujan mengguyur Pamdos dengan deras. Dominic ingin menghukum Janna tanpa menyentuh fisik istrinya.

"Kau seharusnya berterima kasih telah menikah dengan pejabat militer, hidupmu lebih terjamin dibanding seumur hidup bertahan di stratum Royusha!" teriak Dominic di tengah suara keras hujan.

Merasa cukup, Dominic meninggalkan Janna yang mulai terisak-isak dan gemetaran sambil mengusap-usap lengan sendiri. Sebelum membalik tubuhnya, suara gelegar guntur dan sambaran kilat membuat Janna melonjak lalu memeluk Dominic yang mendadak membeku di tempat.

"Jangan tinggalkan... aku. Aku... ta... takut guntur...," ucap Janna terbata-bata, ia mencengkram pakaian Dominic yang basah dan menyurukkan kepalanya ke dada Dominic.

Dominic bisa merasakan efek kejut pada tubuh istrinya, hanya saja, ia tidak menyangka Janna yang keras begitu lemah bila berhadapan dengan suara guntur.

Tangisan Janna menyatu dengan alam, meninggalkan kesan pilu dan pedih. Janna seperti memiliki pengalaman buruk di balik bahana guntur.

"Menjauhlah," ucap Dominic seraya mendorong Janna. Perempuan yang sedang dilanda panik dan takut tidak bersedia lepas dari Dominic. Ia terus-menerus menggenggam pakaian depan Dominic.

Hujan semakin deras bak senang melihat lakon Dominic dan Janna dalam kehidupan nyata.

Tidak ambil waktu lama, mengingat hujan tak akan berhenti Dominic memiringkan tubuh Janna lalu menggendong di depan badan. Dominic menerobos hujan hingga tiba di kamar pribadi mereka.

"Ganti pakaiannya," perintah Dominic pada pelayan yang bertugas. Ia menyerahkan Janna pada pelayan.

Dominic lantas keluar kamar menuju satu ruangan khusus yang menyediakan keperluan untuk dirinya.

Janna lunglai di dekat tempat tidur, tubuhnya masih gemetar, pelayan kasihan melihat kondisi Janna yang terlihat tidak baik-baik saja.

"Nyonya, maaf, saya akan membantu Nyonya berganti pakaian."

Janna memandang pelayan yang bertutur baik padanya sedari awal ia berada di kediaman Dominic. Janna bangkit dengan sisa tenaganya.

Usai berpakaian, Janna dibaringkan di ranjang agar beristirahat. Pelayan telah mengobati telapak tangan Janna dengan membungkusnya agar tidak infeksi.

Dominic kembali masuk ke dalam ruangan pribadinya usai bertukar pakaian. Ia melihat Janna tertidur lelah dalam posisi meringkuk. Hujan telah mereda di luar, tanpa guntur dan kilat.

"Perempuan merepotkan," ujar Dominic memandang sosok Janna.

Tidak ada pilihan lain, pria itu bergabung di sebelah Janna lalu membalik tubuh membelakangi istrinya.

Keesokan hari, Janna bangun terlambat. Ia buru-buru turun untuk membasuh diri.

"Selamat pagi, Nyonya." Seorang pelayan menyapa dirinya. Janna tersentak, kadang ia masih sering lupa kalau bukan lagi di kampung halamannya.

Biasanya Janna tanpa bantuan bisa mengurus diri sendiri, tetapi kini jasa pelayan sesuatu hal wajib di Pamdos untuk istri pejabat.

"Selamat pagi. Maaf aku terlambat bangun."

Di sana ada dua orang pelayan, mereka saling pandang, merasa tidak enak hati. Hal jarang dan tidak diperbolehkan seorang keluarga pejabat meminta maaf pada orang yang statusnya di bawah, seperti pada pelayan.

"Nyonya tidak perlu meminta maaf, kami akan membantu Nyonya. Hari ini jadwal Nyonya dan Jenderal untuk berpergian ke Seaco," jelas pelayan muda seusia Janna, bernama Kana.

"Di mana Jenderal?"

"Telah lebih dulu ke ruang makan," jawab pelayan yang satu, lebih tua usianya bernama Mala.

Janna teringat kejadian semalam, dimana ia mendekati dan tidak melepas Dominic saat guntur menyambar bumi. Rasanya kepala Janna mengecil, Dominic bisa-bisa salah paham dengan apa yang terjadi.

Padahal, Janna hanya butuh teman untuk melewati ketakutan akan suara gelegar guntur.

Mungkin nanti aku akan menjelaskan padanya, batin Janna.

"Mari bantu aku," ucap Janna pada Kana dan Mala.

Tidak begitu lama, Janna selesai berpakaian sesuai tata aturan berpakaian bagi perempuan stratum Armyasa. Pakaian tertutup yang sangat sopan dilengkapi hiasan kepala dan aksesori mewah di tubuhnya.

"Nyonya Janna sangat cantik," puji Kana melihat di cermin.

Janna tertawa riang, biasanya tubuhnya kumal karena terbiasa kerja ke ladang keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di Pamdos, tidak ada pekerjaan berat yang dilakukan oleh Janna.

Janna menuju ruang makan dengan anggun. Di seberang meja terlihat Dominic dengan wajah dingin seperti bosan menunggu kehadiran Janna.

Pelayan menyiapkan makanan untuk keduanya, mereka menyantap dalam keadaan hening. Tidak ada percakapan sapa sekedar menanyakan keadaan.

"Kendaraan dan semua perlengkapan telah siap. Kau jangan terlalu lama, itu membuang-buang waktu. Aku tunggu di halaman depan."

Dominic enggan berjalan beriringan bersama Janna, walau sebenarnya Janna telah selesai menyantap makanannya.

"Mungkin tidak seorang pun gadis di kesultanan ini yang ingin dipersunting olehnya," gerutu Janna yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.

Janna menaiki kereta kuda yang mampu menampung dua orang, hanya saja kini Janna seorang diri. Dominic memilih menunggangi Jud, kuda palomino kesayangannya.

Dengan senang hati Janna duduk di kereta mewah yang baru pertama kali ia naiki.

Menuju Seaco membutuhkan waktu seharian, kereta akan tiba pada sore menjelang malam.

Separuh perjalanan telah mereka lalui, Janna tertidur di dalam kereta.

Mendadak prajurit dan Dominic diserang sekelompok orang berpedang, bercadar, berpakaian serba hitam.

Dengan sigap prajurit melindungi Dominic dan kereta kuda berisi Janna. Perkelahian fisik tidak terelakkan, Dominic belum melihat siapa pemimpin dari komplotan bersenjata itu.

Sayangnya, ia tidak membawa karabin. Setahunya, jalan menuju Seaco termasuk aman, hanya hewan buas yang mungkin bisa mengganggu perjalanan. Itu pun jarang, bila yang melalui jalan itu cukup banyak orang.

Mendengar suara bilah pedang berdenting, Janna terbangun dari tidurnya. Ia mengintip dari sela kereta dan terkejut mendapati suasana di luar seperti medan peperangan.

Seseorang merangsek masuk ke kereta lalu menangkap pergelangan tangan Janna dengan cepat. Janna ingin berteriak, mulutnya dibekap agar diam.

"Ini aku, tenanglah." Pria itu membuka cadarnya, ternyata Xaviery, teman masa kecil Janna.

Lantas, Janna memeluk Xaviery erat-erat, betapa Janna merindukan Xaviery.

"Aku akan membawamu."

Janna mengangguk, maniknya berbinar bahagia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status