Share

008

Author: Novisi
last update Last Updated: 2023-08-19 17:52:48

Dominic melepas cengkramannya, ia menatap tak penuh minat pada Janna. Sementara, Janna memeluk tubuhnya sendiri, ia takut pada suara guntur.

"Tanpa perlengkapan dan persediaan makanan, kau tak akan mampu bertahan hidup di luar Pandos. Kematianmu akan sia-sia."

Dominic mengira Janna ketakutan mendengar fakta mengerikan tentang alam di luar Pamdos sebelum mencapai kampung halaman Janna di Hosmer.

Hujan mengguyur Pamdos dengan deras. Dominic ingin menghukum Janna tanpa menyentuh fisik istrinya.

"Kau seharusnya berterima kasih telah menikah dengan pejabat militer, hidupmu lebih terjamin dibanding seumur hidup bertahan di stratum Royusha!" teriak Dominic di tengah suara keras hujan.

Merasa cukup, Dominic meninggalkan Janna yang mulai terisak-isak dan gemetaran sambil mengusap-usap lengan sendiri. Sebelum membalik tubuhnya, suara gelegar guntur dan sambaran kilat membuat Janna melonjak lalu memeluk Dominic yang mendadak membeku di tempat.

"Jangan tinggalkan... aku. Aku... ta... takut guntur...," ucap Janna terbata-bata, ia mencengkram pakaian Dominic yang basah dan menyurukkan kepalanya ke dada Dominic.

Dominic bisa merasakan efek kejut pada tubuh istrinya, hanya saja, ia tidak menyangka Janna yang keras begitu lemah bila berhadapan dengan suara guntur.

Tangisan Janna menyatu dengan alam, meninggalkan kesan pilu dan pedih. Janna seperti memiliki pengalaman buruk di balik bahana guntur.

"Menjauhlah," ucap Dominic seraya mendorong Janna. Perempuan yang sedang dilanda panik dan takut tidak bersedia lepas dari Dominic. Ia terus-menerus menggenggam pakaian depan Dominic.

Hujan semakin deras bak senang melihat lakon Dominic dan Janna dalam kehidupan nyata.

Tidak ambil waktu lama, mengingat hujan tak akan berhenti Dominic memiringkan tubuh Janna lalu menggendong di depan badan. Dominic menerobos hujan hingga tiba di kamar pribadi mereka.

"Ganti pakaiannya," perintah Dominic pada pelayan yang bertugas. Ia menyerahkan Janna pada pelayan.

Dominic lantas keluar kamar menuju satu ruangan khusus yang menyediakan keperluan untuk dirinya.

Janna lunglai di dekat tempat tidur, tubuhnya masih gemetar, pelayan kasihan melihat kondisi Janna yang terlihat tidak baik-baik saja.

"Nyonya, maaf, saya akan membantu Nyonya berganti pakaian."

Janna memandang pelayan yang bertutur baik padanya sedari awal ia berada di kediaman Dominic. Janna bangkit dengan sisa tenaganya.

Usai berpakaian, Janna dibaringkan di ranjang agar beristirahat. Pelayan telah mengobati telapak tangan Janna dengan membungkusnya agar tidak infeksi.

Dominic kembali masuk ke dalam ruangan pribadinya usai bertukar pakaian. Ia melihat Janna tertidur lelah dalam posisi meringkuk. Hujan telah mereda di luar, tanpa guntur dan kilat.

"Perempuan merepotkan," ujar Dominic memandang sosok Janna.

Tidak ada pilihan lain, pria itu bergabung di sebelah Janna lalu membalik tubuh membelakangi istrinya.

Keesokan hari, Janna bangun terlambat. Ia buru-buru turun untuk membasuh diri.

"Selamat pagi, Nyonya." Seorang pelayan menyapa dirinya. Janna tersentak, kadang ia masih sering lupa kalau bukan lagi di kampung halamannya.

Biasanya Janna tanpa bantuan bisa mengurus diri sendiri, tetapi kini jasa pelayan sesuatu hal wajib di Pamdos untuk istri pejabat.

"Selamat pagi. Maaf aku terlambat bangun."

Di sana ada dua orang pelayan, mereka saling pandang, merasa tidak enak hati. Hal jarang dan tidak diperbolehkan seorang keluarga pejabat meminta maaf pada orang yang statusnya di bawah, seperti pada pelayan.

"Nyonya tidak perlu meminta maaf, kami akan membantu Nyonya. Hari ini jadwal Nyonya dan Jenderal untuk berpergian ke Seaco," jelas pelayan muda seusia Janna, bernama Kana.

"Di mana Jenderal?"

"Telah lebih dulu ke ruang makan," jawab pelayan yang satu, lebih tua usianya bernama Mala.

Janna teringat kejadian semalam, dimana ia mendekati dan tidak melepas Dominic saat guntur menyambar bumi. Rasanya kepala Janna mengecil, Dominic bisa-bisa salah paham dengan apa yang terjadi.

Padahal, Janna hanya butuh teman untuk melewati ketakutan akan suara gelegar guntur.

Mungkin nanti aku akan menjelaskan padanya, batin Janna.

"Mari bantu aku," ucap Janna pada Kana dan Mala.

Tidak begitu lama, Janna selesai berpakaian sesuai tata aturan berpakaian bagi perempuan stratum Armyasa. Pakaian tertutup yang sangat sopan dilengkapi hiasan kepala dan aksesori mewah di tubuhnya.

"Nyonya Janna sangat cantik," puji Kana melihat di cermin.

Janna tertawa riang, biasanya tubuhnya kumal karena terbiasa kerja ke ladang keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di Pamdos, tidak ada pekerjaan berat yang dilakukan oleh Janna.

Janna menuju ruang makan dengan anggun. Di seberang meja terlihat Dominic dengan wajah dingin seperti bosan menunggu kehadiran Janna.

Pelayan menyiapkan makanan untuk keduanya, mereka menyantap dalam keadaan hening. Tidak ada percakapan sapa sekedar menanyakan keadaan.

"Kendaraan dan semua perlengkapan telah siap. Kau jangan terlalu lama, itu membuang-buang waktu. Aku tunggu di halaman depan."

Dominic enggan berjalan beriringan bersama Janna, walau sebenarnya Janna telah selesai menyantap makanannya.

"Mungkin tidak seorang pun gadis di kesultanan ini yang ingin dipersunting olehnya," gerutu Janna yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.

Janna menaiki kereta kuda yang mampu menampung dua orang, hanya saja kini Janna seorang diri. Dominic memilih menunggangi Jud, kuda palomino kesayangannya.

Dengan senang hati Janna duduk di kereta mewah yang baru pertama kali ia naiki.

Menuju Seaco membutuhkan waktu seharian, kereta akan tiba pada sore menjelang malam.

Separuh perjalanan telah mereka lalui, Janna tertidur di dalam kereta.

Mendadak prajurit dan Dominic diserang sekelompok orang berpedang, bercadar, berpakaian serba hitam.

Dengan sigap prajurit melindungi Dominic dan kereta kuda berisi Janna. Perkelahian fisik tidak terelakkan, Dominic belum melihat siapa pemimpin dari komplotan bersenjata itu.

Sayangnya, ia tidak membawa karabin. Setahunya, jalan menuju Seaco termasuk aman, hanya hewan buas yang mungkin bisa mengganggu perjalanan. Itu pun jarang, bila yang melalui jalan itu cukup banyak orang.

Mendengar suara bilah pedang berdenting, Janna terbangun dari tidurnya. Ia mengintip dari sela kereta dan terkejut mendapati suasana di luar seperti medan peperangan.

Seseorang merangsek masuk ke kereta lalu menangkap pergelangan tangan Janna dengan cepat. Janna ingin berteriak, mulutnya dibekap agar diam.

"Ini aku, tenanglah." Pria itu membuka cadarnya, ternyata Xaviery, teman masa kecil Janna.

Lantas, Janna memeluk Xaviery erat-erat, betapa Janna merindukan Xaviery.

"Aku akan membawamu."

Janna mengangguk, maniknya berbinar bahagia.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MELAHIRKAN PEWARIS UNTUK SANG JENDERAL   070

    Berita tentang kelahiran putra permaisuri dan Sultan sampai di telinga Janna."Kalian siapkan hadiah untuk Permaisuri," perintah Janna pada Kana dan Mala. Mereka saling berpandangan seolah-olah ingin menyampaikan hal lain.Janna memperhatikan gerak tubuh berbeda dari kedua pelayannya. "Mengapa? Pergilah? Aku akan menyampaikan nanti seorang diri," jelasnya."Ma... maaf, Nyonya." Kana angkat suara. "Tapi, anak yang dilahirkan permaisuri tidak seperti anak normal lainnya."Kana dan Mala bergantian menceritakan kabar yang telah pasti kebenarannya itu."Lalu masalahnya ada di mana? Meskipun tubuh bayi seperti itu, dia tetap manusia yang harus dicintai." Janna malah teringat pada putranya yang terpaksa harus dipisahkan dari mereka. "Peraturan di kesultanan, anak dalam keadaan demikian dianggap tidak layak hidup, Anggapan kesultanan di masa depan ia juga tidak mampu bertahan hidup, sehingga di masa bayi ini..." Mala ragu-ragu menyampaikan. "Teruskan!" perintah Janna."Bayi itu akan dibunuh

  • MELAHIRKAN PEWARIS UNTUK SANG JENDERAL   069

    Permaisuri Neha meraung-raung di kamarnya sendiri, semua pelayan dan prajurit yang mengetahui kabar tentang kelahiran anak permaisuri tertunduk seolah-olah ikut merasakan kesedihannya.Sementara itu, Sultan Bayezidan berjalan pelan bolak balik, tetapi geraknya tak menandakan ketenangan."Mengapa bisa seperti ini?!" hardiknya pada medikus yang membantu persalinan. Keringat mengucur di pelipis medikus, ia langsung berlutut di hadapan pemimpin kesultanan Yagondaza.Sultan memutuskan berbicara empat mata pada medikus."Maa... maafkan, Sultan, ini di luar dugaan," ucapnya terbata-bata. "ini bisa diduga terjadi selama kehamilan," lanjutnya tertunduk takut."Maksudmu apa?!" Sultan Bayezidan menarik baju bahu medikus yang membuatnya hampir mati gemetar."Kekurangan anggota tubuh ini bisa dijelaskan terjadi selama kehamilan permaisuri lalu, Jenderal" jelasnya."Bukankah permaisuri telah melewati proses pemeriksaan sifat unggul? Anak-anak terdahulu tidak ada lahir seperti itu!" ingat Sultan Bay

  • MELAHIRKAN PEWARIS UNTUK SANG JENDERAL   68

    Setelah kunjungan Neha di kediaman rumah putih, Janna banyak diam. Pikirannya dipenuhi dengan ucapan Neha berulang-ulang.Tangisan putranya membuat Janna sadar bila bocah kecil itu hampir terlepas darinya. Cepat-cepat Janna memperbaiki posisi anaknya yang diberi nama Harry Freud."Maafkan Ibu, Harry," ucapnya.Tidak lama Dominic masuk ke kamar. "Kalian ada di sini rupanya.""Apakah Jenderal mencariku?" tanya Janna dengan raut senang.Dominic duduk di samping Janna. "Aku dengar dari pelayan, permaisuri Neha mengunjungimu."Paras Janna berubah. "Ya," jawabnya pendek tak semangat."Apa yang kalian bicarakan?""Hanya menanyakan kabar saja," sahut Janna. Dominic memandang istrinya yang tengah sibuk dengan Harry."Kau tak bisa membohongiku," nilai Dominic lalu mengambil alih putra mereka, Dominic mengayun Harry yang senang diperlakukan demikian."Apakah Jenderal akan mempercayai ceritaku?" Janna tertawa kecil. "Permaisuri teman lama Jenderal, pasti saja Jenderal sulit percaya dengan apa yan

  • MELAHIRKAN PEWARIS UNTUK SANG JENDERAL   67

    "Apa yang membawamu mendatangi kediamanku, Jenderal?" tanya Sultan Bayezidan saat mereka saling berhadapan. Dominic membungkuk memberi hormat, hanya saja irama jantungnya mulai tak karuan. Terasa sulit untuk menjawab, bahkan menelan ludah pun. Dominic tidak siap dengan seribu alasan mengunjungi kediaman tanpa kehadiran Sultan di sana. Namun, ia harus tetap menjawab. Dominic mengangkat badan, sewaktu mulutnya terbuka, dari arah pintu Neha muncul. "Yang Mulia," ucapnya memberi hormat, "aku meminta Jenderal Dominic datang kemari untuk menanyakan kabar Janna, dan aku memberikan bingkisan hiburan untuk Janna yang masih bersedih, tetapi Jenderal Dominic lupa membawanya," lanjut Neha dengan tenang dan lancar, ia tertawa kecil sembari mengulurkan bingkisan dengan kedua tangannya. Paras Sultan Bayezidan yang semula datar berubah terisi senyuman. "Ambillah, kami ingin menghibur kalian. Pasti apa yang kalian alami begitu berat." Dominic masih berpikir tentang Neha dan Sultan, mereka s

  • MELAHIRKAN PEWARIS UNTUK SANG JENDERAL   66

    "Cukup, Jenderal. Aku sudah lebih baik," ujar Janna pelan, menghentikan gerak pijatan di bahunya, ia memperbaiki gaun lalu duduk menghadap Dominic. "Pergilah, permaisuri sudah menunggu, Jenderal.""Aku harap kau percaya padaku," ucap Dominic menatap sendu ke arah istrinya, ia menggenggam kedua tangan Janna.Perempuan itu tertawa kecil seraya menoleh ke arah lain. "Sedari awal aku tak bisa percaya pada siapapun, aku hanya seorang perempuan biasa yang diperintah untuk hidup. Hanya tinggal menjalani saja." Janna memandang Dominic dengan sorotan lara, penuh derita.Dominic menghela napas berat, rasa sesak seolah-olah menekan dadanya. Dia berdiri lalu mengganti pakaian dengan busana militer. "Aku hanya sebentar." Kening Janna dikecup Dominic.Selepas kepergian Dominic, air mata Janna kembali mengucur. Ia menangisi nasibnya yang begitu menyedihkan."Ada apa Permaisuri memanggil?" tanya Dominic memberi hormat pada Neha. Di dalam ruangan itu hanya ada mereka berdua.Neha tersenyum senang meny

  • MELAHIRKAN PEWARIS UNTUK SANG JENDERAL   65

    Telah tiga hari Janna berduka, ia lebih banyak mengurung diri di dalam kamar, bahkan tidak ingin bicara pada suaminya sekalipun mereka sekamar.Saat ini Janna berada di ruangan tempat menyimpan abu keluarga Freud, tidak menangis lagi, hanya memandangi guci milik putranya. Jarak ruang abu dengan kediamannya tidak begitu jauh, cukup berjalan kaki."Janna, sedari tadi kau belum makan apa pun." Suara Dominic terdengar jelas di pendengaran sebelah kanan Janna. Pria itu menaruh kedua tangan di sisi lengan Janna bermaksud ingin menyokong badan istrinya ke atas.Mendadak Janna menggoyangkan badannya sampai pegangan itu terlepas. "Pergilah, tidak perlu mengurusiku!" ucap Janna dengan nada rendah tanpa menoleh sedikit pun."Sampai kapan kau seperti ini?" Dominic tahu kesakitan yang Janna rasakan, hanya saja waktu terus berjalan dan ada yang membutuhkan Janna."Bukan urusan, Jenderal!" teriak Janna, mata Dominic sampai terpejam. Air mata mengucur dari kelopak mata Dominic, segera ia menghapusn

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status