Janna dan Dominic tiba di tujuan saat matahari telah merunduk ke perpaduan. Jud pun terlihat lelah setelah membawa dua insan suami istri di atas tubuhnya.
Dominic menarik jubah militer dari Janna lalu memakainya."Selamat datang, Jenderal," sapa seorang penjaga penginapan tempat Janna dan Dominic akan beristirahat. Ia membungkuk memberi hormat."Berikan kudaku nutrisi terbaik, ia sangat lelah." Dominic mengelus surai Jud, kuda itu sangat senang ia meringkik sebagai tanda terima kasih.Jud dibawa oleh pengurus kuda, khusus untuk para tamu yang datang ke penginapan.Dari arah pintu penginapan, muncul seorang perempuan dengan pakaian terbuka di leher hingga pundak. Kulit mulus dengan rambut ikal tergerai.Ia pemilik penginapan."Silakan masuk, Jenderal. Kami telah menyiapkan kamar indah tempat Anda dan istri. Nyonya, perkenalkan saya Mariana," ucapnya bertutur manis sedap didengar.Ia memandang aneh ke arah Janna yang tampak kumal, tetapi Mariana langsung menormalkan ekspresinya. Hanya saja, Janna telah menangkap lebih dulu penilaian Mariana terhadapnya.Dominic masuk lebih dulu meninggalkan Janna. Suhu udara di penginapan stabil, berbeda dengan perjalanan tadi yang begitu dingin sampai hampir membuat Janna membeku.Janna mengikuti Dominic dari belakang, diikuti oleh perempuan si pemilik penginapan."Saya antar menuju kamar, Jenderal," tawar Mariana. Mereka melewati lorong yang di kiri kanan tampak jejeran pintu kamar peristirahatan.Kamar Janna dan Dominic letaknya paling ujung, terpisah dengan yang lain. Di sekitarnya, ada taman bunga indah dan kolam ikan yang ditumbuhi tanaman air."Silakan masuk. Semoga Jenderal dan Nyonya menikmati suasana di penginapan ini. Kami memberikan yang terbaik untuk pejabat kesultanan, terlebih... untuk Jenderal tampan," ucap Mariana menutup bibir dengan kipas tangan sambil cekikikan.Penggoda, tutur Janna jengkel dalam hati melihat sikap berlebihan Mariana menyambut tamunya.Janna melangkah masuk ke dalam kamar yang akan ditempati. Menguar aroma jasmine menyegarkan. Ruangan itu tidak hanya memiliki kamar seperti penginapan pada umumnya.Terdapat sekat yang digunakan sebagai tempat kerja, di sana ada meja dan bangku kayu, serta lampu juga tanaman hias.Sebelahnya, kamar tidur yang dihiasi dengan mawar di atas ranjang putih berkelambu transparan. Agak ke dalam, ada tempat untuk membasuh diri dan berganti pakaian.Janna menyukai tempat peristirahatan yang akan ditempati beberapa waktu ke depan."Pelayan pribadimu akan tiba esok pagi-pagi. Kau membutuhkan bantuan pelayan lain?""Ah, tidak perlu Jenderal. Aku bisa mengerjakan seorang diri," tolak Janna halus."Baguslah, tidak seharusnya bersikap manja. Aku keluar, bersihkan dirimu."Jengkel rasanya Janna mendengar kalimat Dominic yang menurutnya senang merendahkan Janna.Seorang prajurit dan pelayan mengantarkan tas berisikan pakaian Janna dan Dominic. Setelah mereka semua keluar, Janna memeriksa tas untuk mengambil pakaian.Janna terkejut mendapati pakaian tak resminya begitu tipis. Sontak, jantung Janna berdegup kencang. Ia menggeleng-geleng, menghalau pikiran asing yang mendadak memasuki otaknya.Dengan berat, Janna mengambil satu dari tumpukan pakaiannya, tidak mungkin mengenakan pakaian resmi kesultanan untuk tidur malam. Besok ia akan mengajukan protes pada Kana dan Mala karena kurang pandai memilih pakaian.Janna merendam tubuhnya. Ingatan akan pertarungan Dominic dan Xaviery bergelayut di otak Janna."Bagaimana kabarmu, Xaviery?" lirihnya khawatir dengan kondisi teman masa kecil yang sempat terkena sabetan pedang Dominic.Semakin lama berendam, kesegaran perlahan menjalar. Rasanya, Janna tidak berniat pergi dari bak berendam."Begini rasanya menjadi keluarga pejabat, pantas saja mereka yang naik stratum lupa pada asalnya," ucap Janna memejamkan mata dan merasakan air hangat di seluruh badannya.Kamar itu terasa sepi, Janna mengira kalau Dominic masih ada keperluan di luar. Usai membasuh diri, Janna mengeringkan diri lalu berpakaian.Tidak disangka, Janna menyukai pakaian yang diberikan, pas dikenakan."Tubuh kurusku tidak terlalu buruk. Tapi, pakaian ini terlalu terbuka," ucapnya tersenyum. Janna menoleh ke belakang, mengambil selendang yang digunakan untuk menutupi keranjang hias.Saat Janna keluar dari ruang ganti pakaian, ia menemukan Dominic tengah mengobati luka di lengannya seorang diri. Janna melihat bagaimana Dominic meringis, menggigit kain di mulut untuk menahan sakit.Janna berdiri membatu, menimbang apakah harus menolong atau membiarkan Dominic.Suara erang kesakitan membuyarkan lamunan Janna. Luka Dominic mungkin tidak seberapa, tetapi cairan pembersih luka yang digunakan memberi rasa nyeri tidak tertahankan."Boleh aku bantu, Jenderal?"Dominic masih memejamkan mata, ia merasakan perih sampai keringat mengucur."Jenderal," panggil Janna menunduk, menyamakan tinggi dengan Dominic yang sedang duduk di bangku panjang.Dominic membuka matanya ingin menjawab permintaan Janna. Hanya saja, mendadak Dominic kehilangan kata-kata.Rambut Janna yang tergerai indah, wangi yang menguar, serta pakaian transparan sekalipun tertutup selendang seakan-akan membungkam kalimat yang akan dilontarkan Dominic.Janna menganggap diam Dominic sebagai pertanda tawarannya diterima. Ia duduk di samping Dominic.Obat berupa tanaman dari genus Kalanchoe yang telah ditumbuk ditempelkan oleh Janna ke lengan Dominic yang terluka, terakhir ia membalut luka dengan kain kecil agar terlindungi.Sentuhan lembut jemari Janna mengenai lengan terbuka Dominic, kembali sengatan yang pernah dialami Dominic menjadi-jadi membuat jantung pejabat kesultanan itu berdegup kencang. Suhu ruangan terasa hangat bagi Dominic."Telah selesai Jenderal," ucap Janna.Tatapan Dominic tidak beralih dari Janna. Perempuan itu tersadar, kalau ada reaksi lain yang ditangkap dari ekspresi dingin Dominic."Jenderal, sebaiknya membasuh diri, aku akan membantu menghangatkan bak berendam."Janna berjalan tergesa mengarah ke ruang basuh. Ia mengerjakan apa yang diucapkan, akan tetapi tangannya bergetar."Apakah ini akhir hidupku?" tanya Janna menyentuh dada yang berdetak tidak karuan. Jujur pada dirinya sendiri, Janna takut.Janna tersentak, Dominic telah berada di belakang dirinya. "Mengapa masih di sini, hm? Ingin menemani?"Janna terbata-bata, sungguh keadaan saat ini tidak baik baginya."Permisi Jenderal." Janna ingin beranjak keluar dengan cepat, tetapi lengannya dicekal Dominic. Langkah Janna terhenti.Dominic maju selangkah mendekati punggung Janna, ia menghirup aroma kepala Janna."Wangi sekali," nilai Dominic berbisik ke telinga Janna lalu menggenggam ujung rambut Janna dan kembali menghirup aromanya."Sebaiknya Jenderal segera membersihkan diri," cicit Janna pelan."Temani aku."Kuda hitam membelah malam hingga tiba di daerah Hosmer, tanpa kawanan lainnya. Orang-orang yang tengah berkumpul, memberi perhatian saat derap kaki kuda mendekati pemukiman."Xaviery, apa yang terjadi?""Ketua, Xaviery terluka." Seseorang melihat darah mengalir di tubuh kuda hitam dari pakaian Xaviery. "Segera angkat dan obati," perintah pria yang dipanggil ketua bernama Allan Braun.Xaviery lemah kehilangan banyak darah dan kesadaran, Allan mengkhawatirkan keadaan pria yang telah dianggap sahabat baik itu."Xaviery bertarung dengan Dominic?" tanya Allan pada pejuang yang selamat, turut dalam misi membebaskan Janna."Ya, Ketua, hanya sendiri. Kami kehilangan banyak pejuang sehingga tidak mampu menolong Xaviery saat itu," sesal seorang pejuang.Allan mengerti kalau kelompok mereka kalah dari bertarung. Prajurit kesultanan Yagondaza memang terlatih di medan perang.Permintaan Xaviery kala itu untuk membebaskan Janna sudah diragukan semenjak awal."Kita butuh waktu memperkuat para pejua
"Aku akan pergi mengunjungi barat Seaco. Pelayan pribadimu telah tiba, mereka akan membantu," ucap Dominic pada Janna yang masih menatap tak suka.Janna enggan untuk menanggapi, ia malah bersyukur Dominic akan pergi bila perlu untuk seterusnya."Aku akan kembali saat matahari terang. Bila kau ingin berkunjung ke pantai, pergilah dengan pelayanmu."Dominic heran tak ada suara apapun dari Janna, sementara dirinya bicara panjang lebar."Tatapanmu seperti ingin memangsaku."Janna melarikan pandangannya ke arah lain."Pergilah cepat!" Manik Janna berkaca-kaca, tak ingin dipandang lemah, ia menghela nafas pelan-pelan."Kau tidak ada masalah dengan apa yang kita lakukan semalam, bukan?" Dominic berbasa-basi, ia hanya ingin menekankan bila tindakannya bukan sebuah kesalahan."Ku harap kau paham tugasmu sebagai Growib."Dagu Janna bergetar menahan linangan air mata. Ia merasa seperti budak yang tidak memiliki kemerdekaan untuk memilih."Dalam sepekan itulah tugasmu."Dominic berlalu, enggan me
Dominic memukuli pria yang mengaku sebagai ketua dari kelompok yang menjarah penginapan-penginapan di barat Seaco."Siapa yang menyuruh kalian melakukannya?!" Dominic tidak sabar sebab pria itu dianggap mengelak sedari awal."Sudah ku katakan Jenderal, kami tidak disuruh siapa-siapa."Dominic tidak sabar, terdengar jerit kencang pria itu usai Dominic menghantam perutnya."Maaf, Jenderal. Di bisa mati." Seorang perwira mengingatkan kalau tindakan Dominic yang berlebihan bisa mengancam nyawa tahanan dan tentu saja tidak sesuai hukum yang berlaku di kesultanan Yagondaza dalam menangani seorang tahanan. "Kembalikan dia ke sel," perintah Dominic. Para prajurit membuka tali ikatan tangan dan kaki tahanan yang bergantung di palang kayu lalu menyeretnya kembali ke jeruji."Ada yang Jenderal curigai?" tanya perwira tinggi ynag berdiri di samping Dominic."Beberapa hari lalu aku menghadapi serangan pemberontak stratum Royusha pada perjalanan menuju Seaco. Mereka ini memang dari kelompok berbed
Teriakan Janna menggema hingganke sudut hutan. Ia memejamkan mata disertai tatapan meringis dari prajurit yang berdiri tanpa mampu berbuat apa-apa. Janna mengira inilah akhir dari hidupnya, kepala akan membentur tanah dan bebatuan, tulang akan remuk redam, serta darahnya akan berlumur dari tubuh."Kau memang perempuan keras kepala!" hardik Dominic. Seketika, kelopak Janna terbuka, ia berada dekat dengan wajah Dominic.Janna mengamati sekitar, ternyata Dominic lebih dulu menangkap tubuhnya di udara, tidak jadi menarung ke tanah. Ketakutan yang merongrong Janna sirna begitu saja berubah menjadi kelegaan."Terima kasih, Jenderal. Bisa turunkan aku?" tanyanya sungkan. Arah tatapan mereka sama-sama membuat keduanya canggung.Dominic menurunkan Janna dengan sedikit kasar, syukur saja kaki Janna lebih dulu menjejak ke tanah. kalau tidak, tubuhnya akan merasakan keras bebatuan di hutan indah ini."Kau membuat kuda hitam itu tidak nyaman
Beberapa hari kemudian, perwira tinggi yang ditugaskan di barat Seaco mendatangi penginapan Dominic guna melaporkan hasil penyelidikan dua peristiwa kejahatan yang terjadi di daerahnya."Tidak saling berhubungan Jenderal, mereka dua kelompok berbeda dengan tujuan yang berbeda pula.""Ada penjelasan lebih detail?" tanya Dominic. Mereka berdua berada dalam ruang khusus yang biasa digunakan sebagai ruang pertemuan para tamu penginapan."Kelompok pertama, memanfaatkan perjalanan Jenderal ke Seaco untuk melarikan Nyonya Janna Freud. Mereka berasal dari pemukiman Hosmer, kelompok bersenjata stratum Royusha. Kelompok kedua, memanfaatkan suasana sepi di malam hari untuk melakukan penjarahan karena tuntutan ekonomi. Mereka adalah penduduk asli Seaco, stratum Sadarih."Dominic mengetuk-ngetuk jarinya ke meja sembari berpikir. "Kami langsung mengintrogasi tahanan dari kedua kelompok.""Apakah ada kemungkinan stratum Sadarih ini akan menjadi kaum pem
Keadaan Xaviery semakin membaik, ia telah diperbolehkan duduk. Namun, belum diizinkan kembali ke pemukiman."Bagaimana kondisimu?" tanya Calista, sahabat perempuannya. Setiap hari, ia selalu datang membawakan makanan untuk Xaviery. "Lebih baik," jawab Xaviery singkat. "Syukurlah kau tidak mati di ujung pedang Jenderal Dominic," ujar Calista sambil bersidekap dekat ranjang pasien, melempar tatapan kasihan.Xaviery tergelak pelan, tawa berlebihan bisa menyakiti luka Xaviery yang masih basah ."Aku telah memperingatkanmu untuk tidak gegabah, kau pikir siapa suami Janna saat ini? Dia panglima perang kesultanan Yagondaza, Xaviery. Dia bukan orang sembarangan!" Calista tidak lagi menahan-nahan ucapan yang selama ini dipendam dalam hati.Paras kemerahan Calista menunjukkan kalau perempuan itu marah pada sahabatnya, si pria keras kepala. Di awal Xaviery menggagas keinginan menjemput paksa Janna, Calista sangat keberatan.Sayan
Tepat matahari terbenam, rombongan Dominic tiba di penginapan."Bangun, kita telah sampai," ucap Dominic tepat di telinga Janna. Posisi kepala Janna ditopang bahu Dominic agar tidak terjatuh selama perjalanan.Janna masih duduk terlelap tidak mendengar apapun. Hembusan angin menentramkan dirinya, Janna nyaman saat ini.Berbeda dengan Dominic yang merasa bahu kirinya mulai kram lantaran menahan tubuh Janna."Janna, bangun." Suara Dominic lebih meninggi, ia menarik tangan Janna agar tidur perempuan itu terganggu. Saat ini, tinggal mereka berdua di istal kuda.Kepala Janna lunglai kembali ke bahu Dominic, seakan-akan menemukan tempat nyaman. Kesempatan itu digunakan Dominic untuk menjahit Janna.Dominic memencet hidung Janna bersamaan bibirnya mengatup, beberapa waktu Janna benar-benar terganggu akibat sulit menghirup udara dengan normal.Janna langsung meronta lalu menjauhkan tangan yang menutup jalan nafasnya. Janna terce
Semalaman tidur Janna tidak tenang setelah peristiwa rencana pembunuhan dirinya. Meskipun gagal, rasa takut masih menghinggap di hati.Dominic dan Janna harus pindah ruang tidur, lantaran kamar mereka dibatasi garis kuning sebagai tempat kejadian perkara.Dominic dan Janna sarapan seperti biasa, bedanya proses memasak di dapur penginapan dijaga ketat oleh prajurit. Mereka tidak ingin kejadian serupa terulang."Hari ini kau tidak kemana-mana, aku akan melakukan pertemuan dengan perwira militer Seaco di markas wilayah pertahanan," ucap Dominic sebelum dirinya meninggalkan penginapan.Janna dirundung kekhawatiran bila ditinggal. Seharusnya Dominic tidak bekerja, hanya saja kejadian semalam mendapat atensi lebih karena menyangkut keselamatan dirinya dan Janna. "Aku ingin ikut, Jenderal!" seru Janna begitu melintas ide itu.Dominic menoleh pada Janna, memastikan kalau dirinya tidak salah mendengar."Daripada aku di sini, seb