Pertarungan antara prajurit Dominic dan kelompok bersenjata memakan korban jiwa. Dominic tidak pernah mengira kalau perjalanan bulan madu direcoki oleh pihak tak bertanggung jawab.
Janna dibawa dengan kuda tunggangan hitam milik Xaviery. Dominic menangkap suara ringkikan kuda lalu ia melompat ke tubuh Jud.Jud lari melesat mengikuti kuda yang membawa Janna lari. Sebagai kuda terlatih di medan pertempuran, Jud memiliki kecepatan yang tak diragukan. Ia mampu mengejar si kuda hitam.Tangan Dominic ingin menggapai tubuh Janna yang duduk di belakang, sayangnya ia hanya mampu menangkap angin sebab Xaviery mengeluarkan pedang dan menjulurkan pada Dominic.Denting pedang kembali terdengar di udara beberapa saat hingga kedua kuda dengan warna kontras berdiri saling berhadapan.Dominic mengamati dengan tatapan panjang dan dalam. Begitu juga Xaviery melempar api amarah."Serahkan dia padaku," ucap Dominic menunjuk Janna yang duduk di belakang tubuh Xaviery."Kau memaksa seorang perempuan menjadi istri, itu bukan tindakan ksatria," ujar Xaviery dingin.Kalimat itu menghantam dada Dominic, ia merasa direndahkan. Orang lain tidak pernah tahu apa yang ada dalam pikiran seorang Dominic yang juga terpaksa menikahi Janna."Membawa paksa istri orang lain, kejahatan paling hina," balas Dominic tidak ingin kalah.Xaviery tertawa terbahak-bahak membuat Dominic semakin geram. Pria itu mengambil sebelah lengan Janna lalu melingkarkan ke depan tubuhnya."Ini bukan paksaan."Terbukalah mata Dominic seperti ada pengertian yang mendadak memasuki otaknya.Xaviery menyerang Dominic dengan serangan pedang bertubu-tubi dari atas kuda. Dominic sempat kewalahan, ia segera mengumpulkan fokus untuk menghadapi pria berpakaian hitam yang tidak dikenalinya.Sabetan pedang mengenai lengan Dominic, sementara Xaviery tidak mengalami apa-apa. Dominic melihat kini kedua lengan Janna bertaut erat di depan tubuh Xaviery.Dominic mengambil kesimpulan bahwa pria yang sedang bersama istrinya adalah orang yang dikenal Janna.Dengan menenangkan pikiran di tengah gemruh amarah, Dominic mengambil ancang-ancang untuk menyerang Xaviery di titik lemahnya.Dominic mengarahkan pedang tajam ke arah Janna, Xaviery berusaha membelokkan posisi kudanya agar pedang tidak mengenai teman kecilnya. Sayangnya, kaki kuda tergeliat sehingga keduanya jatuh ke tanah.Bersamaan, Dominic turun dari kuda langsung menyerang Xaviery. Dengan sigap, Xaviery mengambil pedang yang terlempar dekat kakinya.Denting pedang kembali terdengar riuh.Sabetan kali ini mampu mengenai tubuh depan Xaviery. Janna sangat khawatir dengan keadaan teman kecilnya yang bisa saja mati di tangan Jenderal Dominic."Katakan siapa yang mengutusmu?!" tanya Dominic pada Xaviery dari jarak agak jauh.Xaviery menoleh pada Janna, mereka bertiga berdiri dalam posisi segitiga sehingga satu sama lain bisa saling melihat. Janna menggeleng samar, Xaviery mengerti maksudnya."Tidak ada yang menyuruhku.""Kau dari mana?!" tanya Dominic lagi.Xaviery hanya diam tidak menjawab. Kondisi itu menaikkan emosi Dominic, ia kembali menyerang Xaviery. Dengan kelihaian menggunakan pedang, Xaviery kewalahan melawan Dominic."Kau stratum Royusha?!" tuding Dominic dengan pedangnya diarahkan pada Xaviery.Nafas tersengal-sengal Xaviery dianggap sebagai jawaban. Mendadak kuda hitam berlari sekencang-kencangnya menuju Xaviery, dengan sigap Xaviery melompat ke atas tubuhnya.Jud meringkik, siap untuk bertugas. Di saat Dominic akan menaiki Jud, Janna gegas berlari mendapati Dominic."Jangan! Biarkanlah dia pergi," pinta Janna dengan sikap memohon. Ia menyentuh tangan Dominic sambil berlutut.Lengan Dominic terluka, tetesan darah mengalir dari ujung jarinya. Janna melihatnya. "Kau terluka, Jenderal." Ia mendongak.Dominic menegakkan tubuh Janna menghadap padanya. "Utusan stratum Royusha untuk membebaskan mu, heh?!"Linangan air mata tak terbendung, Janna mengangguk takut-takut. "Dan kau menyetujui?"Lagi-lagi, terungkap kenyataan bahwa Janna bersedia dibawa lari.Tak kuasa melawan emosi, Dominic melayangkan tamparan ke wajah istrinya hingga Janna tersungkur."Kau tahu apa akibatnya mengkhianati kesultanan?! Kau akan dihukum mati, termasuk keluargamu, bahkan seluruh stratum Royusha bisa dimusnahan secara sistematis dan disengaja!!" teriak Dominic habis kesabaran.Janna menangis tersedu-sedu, menyesali perbuatan egoisnya yang bisa berbuntut panjang."Maafkan aku, Jenderal," ucap Janna terbata-bata sambil terisak."Jangan pernah bermimpi kembali ke Hosmer, bukan karena kau layak di Pamdos, tetapi aturan negara tidak memperbolehkannya tanpa izin dariku!"Janna menyalahkan dirinya sendiri, seharusnya ia menolak sedari awal. Akan tetapi, penyesalan datang belakangan. Janna hanya mengangguk mengiyakan perintah Dominic, meskipun di dasar hatinya, Janna masih menginginkan kebebasan."Sesampainya di Seaco kita akan membuat perjanjian untuk menjalani pernikahan ini."Tidak lama kemudian, Letnan Adrian datang dari lokasi pergumulan prajurit, ia melaporkan korban nyawa dari pertarungan sengit yang telah terjadi."Bereskan segala sesuatu di sini. Utus beberapa prajurit kembali ke Pamdos, minta tambahan prajurit ke Seaco. Kami akan meneruskan perjalanan," perintah Dominic."Tetapi Jenderal, kereta kuda mengalami kerusakan fatal akibat serangan kelompok bersenjata," lapor Letnan Adrian.Dominic menoleh melihat Janna yang tengah berusaha berdiri sendiri dari tanah. "Kami akan menggunakan Jud.""Baik, Jenderal." Letnan Adrian melakukan tugasnya, beberapa prajurit yang membawa logistik mengikuti Dominic ke Seaco.Janna didudukkan di depan sebaris dengan Dominic yang menunggangi Jud. Tidak mungkin membiarkan Janna jalan sendiri, meskipun amarah Dominic masih tersimpan di dada.Air mata Janna mengering dihapus angin. Jud dengan kecepatan lari di atas rata-rata membuat tubuh Janna kedinginan. Pakaian Janna telah kotor, ditambah lagi bukan pakaian tebal yang biasa digunakan untuk berkuda.Janna sibuk memeluk tubuh sendiri, gelisah di tempatnya duduk."Bisakah kau duduk tenang?" Dominic memperlambat lari Jud.Janna hanya mengangguk, ia menggigil kedinginan. Wajahnya pun pasi akibat angin kencang langsung menerpa paras coklatnya.Dominic bisa merasakan getaran tubuh menggeligis Janna. Ia melepaskan jubah kebesaran yang dipakai oleh seorang Jenderal.Seharusnya hal itu tidak pantas dilakukan, akan tetapi keadaan terpaksa membuat Dominic membungkus tubuh Janna dengan jubah militernya. Bila tidak dilakukan, Janna bisa mati kedinginan sampai di Seaco."Pakai dan jangan lepaskan," perintah Dominic. Dominic sendiri telah menggunakan pakaian tebal di balik jubahnya sedari awal perjalanan. Ia pun menggunakan penutup kepala saat memasuki wilayah Seaco.Berita tentang kelahiran putra permaisuri dan Sultan sampai di telinga Janna."Kalian siapkan hadiah untuk Permaisuri," perintah Janna pada Kana dan Mala. Mereka saling berpandangan seolah-olah ingin menyampaikan hal lain.Janna memperhatikan gerak tubuh berbeda dari kedua pelayannya. "Mengapa? Pergilah? Aku akan menyampaikan nanti seorang diri," jelasnya."Ma... maaf, Nyonya." Kana angkat suara. "Tapi, anak yang dilahirkan permaisuri tidak seperti anak normal lainnya."Kana dan Mala bergantian menceritakan kabar yang telah pasti kebenarannya itu."Lalu masalahnya ada di mana? Meskipun tubuh bayi seperti itu, dia tetap manusia yang harus dicintai." Janna malah teringat pada putranya yang terpaksa harus dipisahkan dari mereka. "Peraturan di kesultanan, anak dalam keadaan demikian dianggap tidak layak hidup, Anggapan kesultanan di masa depan ia juga tidak mampu bertahan hidup, sehingga di masa bayi ini..." Mala ragu-ragu menyampaikan. "Teruskan!" perintah Janna."Bayi itu akan dibunuh
Permaisuri Neha meraung-raung di kamarnya sendiri, semua pelayan dan prajurit yang mengetahui kabar tentang kelahiran anak permaisuri tertunduk seolah-olah ikut merasakan kesedihannya.Sementara itu, Sultan Bayezidan berjalan pelan bolak balik, tetapi geraknya tak menandakan ketenangan."Mengapa bisa seperti ini?!" hardiknya pada medikus yang membantu persalinan. Keringat mengucur di pelipis medikus, ia langsung berlutut di hadapan pemimpin kesultanan Yagondaza.Sultan memutuskan berbicara empat mata pada medikus."Maa... maafkan, Sultan, ini di luar dugaan," ucapnya terbata-bata. "ini bisa diduga terjadi selama kehamilan," lanjutnya tertunduk takut."Maksudmu apa?!" Sultan Bayezidan menarik baju bahu medikus yang membuatnya hampir mati gemetar."Kekurangan anggota tubuh ini bisa dijelaskan terjadi selama kehamilan permaisuri lalu, Jenderal" jelasnya."Bukankah permaisuri telah melewati proses pemeriksaan sifat unggul? Anak-anak terdahulu tidak ada lahir seperti itu!" ingat Sultan Bay
Setelah kunjungan Neha di kediaman rumah putih, Janna banyak diam. Pikirannya dipenuhi dengan ucapan Neha berulang-ulang.Tangisan putranya membuat Janna sadar bila bocah kecil itu hampir terlepas darinya. Cepat-cepat Janna memperbaiki posisi anaknya yang diberi nama Harry Freud."Maafkan Ibu, Harry," ucapnya.Tidak lama Dominic masuk ke kamar. "Kalian ada di sini rupanya.""Apakah Jenderal mencariku?" tanya Janna dengan raut senang.Dominic duduk di samping Janna. "Aku dengar dari pelayan, permaisuri Neha mengunjungimu."Paras Janna berubah. "Ya," jawabnya pendek tak semangat."Apa yang kalian bicarakan?""Hanya menanyakan kabar saja," sahut Janna. Dominic memandang istrinya yang tengah sibuk dengan Harry."Kau tak bisa membohongiku," nilai Dominic lalu mengambil alih putra mereka, Dominic mengayun Harry yang senang diperlakukan demikian."Apakah Jenderal akan mempercayai ceritaku?" Janna tertawa kecil. "Permaisuri teman lama Jenderal, pasti saja Jenderal sulit percaya dengan apa yan
"Apa yang membawamu mendatangi kediamanku, Jenderal?" tanya Sultan Bayezidan saat mereka saling berhadapan. Dominic membungkuk memberi hormat, hanya saja irama jantungnya mulai tak karuan. Terasa sulit untuk menjawab, bahkan menelan ludah pun. Dominic tidak siap dengan seribu alasan mengunjungi kediaman tanpa kehadiran Sultan di sana. Namun, ia harus tetap menjawab. Dominic mengangkat badan, sewaktu mulutnya terbuka, dari arah pintu Neha muncul. "Yang Mulia," ucapnya memberi hormat, "aku meminta Jenderal Dominic datang kemari untuk menanyakan kabar Janna, dan aku memberikan bingkisan hiburan untuk Janna yang masih bersedih, tetapi Jenderal Dominic lupa membawanya," lanjut Neha dengan tenang dan lancar, ia tertawa kecil sembari mengulurkan bingkisan dengan kedua tangannya. Paras Sultan Bayezidan yang semula datar berubah terisi senyuman. "Ambillah, kami ingin menghibur kalian. Pasti apa yang kalian alami begitu berat." Dominic masih berpikir tentang Neha dan Sultan, mereka s
"Cukup, Jenderal. Aku sudah lebih baik," ujar Janna pelan, menghentikan gerak pijatan di bahunya, ia memperbaiki gaun lalu duduk menghadap Dominic. "Pergilah, permaisuri sudah menunggu, Jenderal.""Aku harap kau percaya padaku," ucap Dominic menatap sendu ke arah istrinya, ia menggenggam kedua tangan Janna.Perempuan itu tertawa kecil seraya menoleh ke arah lain. "Sedari awal aku tak bisa percaya pada siapapun, aku hanya seorang perempuan biasa yang diperintah untuk hidup. Hanya tinggal menjalani saja." Janna memandang Dominic dengan sorotan lara, penuh derita.Dominic menghela napas berat, rasa sesak seolah-olah menekan dadanya. Dia berdiri lalu mengganti pakaian dengan busana militer. "Aku hanya sebentar." Kening Janna dikecup Dominic.Selepas kepergian Dominic, air mata Janna kembali mengucur. Ia menangisi nasibnya yang begitu menyedihkan."Ada apa Permaisuri memanggil?" tanya Dominic memberi hormat pada Neha. Di dalam ruangan itu hanya ada mereka berdua.Neha tersenyum senang meny
Telah tiga hari Janna berduka, ia lebih banyak mengurung diri di dalam kamar, bahkan tidak ingin bicara pada suaminya sekalipun mereka sekamar.Saat ini Janna berada di ruangan tempat menyimpan abu keluarga Freud, tidak menangis lagi, hanya memandangi guci milik putranya. Jarak ruang abu dengan kediamannya tidak begitu jauh, cukup berjalan kaki."Janna, sedari tadi kau belum makan apa pun." Suara Dominic terdengar jelas di pendengaran sebelah kanan Janna. Pria itu menaruh kedua tangan di sisi lengan Janna bermaksud ingin menyokong badan istrinya ke atas.Mendadak Janna menggoyangkan badannya sampai pegangan itu terlepas. "Pergilah, tidak perlu mengurusiku!" ucap Janna dengan nada rendah tanpa menoleh sedikit pun."Sampai kapan kau seperti ini?" Dominic tahu kesakitan yang Janna rasakan, hanya saja waktu terus berjalan dan ada yang membutuhkan Janna."Bukan urusan, Jenderal!" teriak Janna, mata Dominic sampai terpejam. Air mata mengucur dari kelopak mata Dominic, segera ia menghapusn