Share

7

"Kamu kenapa sih Nis? Dari kemarin uring-uringan gara-gara ibu terus?" tanya Mas Ridwan tiba-tiba.

Aku tidak boleh menceritakan perihal pertemuanku tadi dengan ibu. Takut memang ini sebagian rencana dari Mas Ridwan.

"Enggak mas. Nisa cuma ingat ibu saja. Kan baru kali ini lagi Nisa merasakan sosok seorang ibu."

"Yang penting keluarga ibu itu setiap bulan diberi nafkah ya udah. Selebihnya jangan kamu pikirkan."

Aku hanya mengangguk pelan walau dalam hati tidak terima atas semua kalimat yang dilontarkan Mas Ridwan. Aku harus mengatur jadwal kapan aku bisa ke rumah ibu.

Tapi mungkin jika dalam waktu dekat, aku takut ibu masih dalam sikapnya seperti tadi. Biarlah aku jeda beberapa hari dulu.

Handphone Mas Ridwan berdering menandakan ada pesan masuk dari aplikasi hijau tersebut. Mumpung Mas Ridwan masih di toilet, aku reflek membuka nya walau hanya di layar kunci, pesan itu terlihat.

[ Mas, besok lunch yuk. Sudah lama nggak hang out bareng ]

Pesan dari kontak bernama R. Sudah ku pastikan itu Ratih. Ingin aku buang saja sampah yang bersamaku ini ke tong sampah, tempat seharusnya dia ada.

Aku masih cemberut kala Mas ridwan sudah balik. Tak ku sampaikan jika tadi ada pesan dari wanita ular itu.

"Nis, ke dokter yuk program hamil lagi," ajaknya tiba-tiba.

Sudah mati rasa aku. Sudah enggan berharap mendapat momongan dengan dia. Tetapi kenapa Mas Ridwan terlihat ingin sekali mendapat momongan. Apa dia pikir anak adalah yang akan mengunci pernikahan?

Sebelum aku hamil, aku pastikan sudah menendang dia dan para ularnya keluar dari perusahaan almarhum ayah.

"Nisa sudah capek mas. Udah lah pasrah aja. Kalau waktunya hamil pasti hamil kok."

"Kok kamu sekarang pasrah gitu sih Nis? Dulu usahamu kencang sekali. Kamu tidak sayang dengan apa yang sudah kamu perjuangkan?"

"Untuk apa terus berjuang? Kalau hanya satu sisi?"

"Maksudmu Nis? Kok ngomong gitu?"

Aku salah tingkah. Baper. Semakin ngelantur ucapanku.

"Ehm nggak mas lupakan saja. Aku capek mau tidur dulu."

Aku beranjak tidur tanpa memperdulikan Mas Ridwan.Mungkin memang sebaiknya tidak usah aku mendapat anak dari nya.

Inginku segera melihat mentari terbit, agar bisa memastikan sang wanita ular tidak dapat makan siang dengan suamiku. Jika selama ini mereka berhubungan tanpa hambatan layaknya jalan tol, sekarang aku lah yang akan menjadi kerikil tajam tersebut.

*

Mendekati jam makan siang, aku bersiap untuk segera menyusul Mas Ridwan ke kantor, menggagalkan acara makan siang nya dengan Ratih. Tentu penampilanku tidak seperti kemarin. Karena memang pakaian lusuh yang kupakai kemarin punya nya Dewi. Hari ini aku lebih modis dan segar tentunya.

Saat melewati meja resepsionis. Clara hanya mengangguk terhadapku. Aku melengos, enggan menatapnya lama. Aku tidak dendam. Tapi aku ingat apa yang dilakukanya.

Aku juga ingin tau bagaimana pintu untuk memasuki ruang empat. Apakah ada pintu khusus tadi. Sebelum aku mulai memasuki ruangan semakin ke dalam, aku kembali ke belakang meja Clara. Bersembunyi agar tidak diketahui.

Dan benar dugaanku. Ia menghubungi seseorang untuk membuka pintu lantai empat. Benar- benar muak dengan sikap mereka. Dibayar berapa hanya untuk sekedar mengadu jika aku datang. Silahkan menikmati sandiwara kalian sebelum kalian angkat kaki dari sini.

Saat ku buka pintu lantai empat. Seperti suasana kerja pada umumnya. Sang sekertaris duduk di meja nya. Aku tau dia memendam kepura-puraan.

Aku lewati dia tanpa menoleh sedikit pun.

"Selamat siang bu," sapanya.

Aku hanya menatap dengan tatapan sinis dan ku tunjukan ketidaksukaanku.

"Seperti bodyguardnya Pak Ridwan saja bu. Waktu makan siang sudah sampai disini," candanya.

"Iya soalnya di luar pengganggunya banyak mbak. Coba deh kalau mbak udah nikah, pasti juga was-was punya suami yang kerjanya diluar. Zaman sekarang itu keras mbak. Apapun itu mencoba dihalalkan," jawabku sekaligus menyindirnya halus lalu berlalu pergi.

"Sayang, kamu kesini lagi ?" tanya Mas Ridwan sedikit kaget.

"Memangnya nggak boleh gitu mas? Aku kan istri sah kamu. Daripada perempuan lain yang kesini ya kan?"

"Kamu ngomong apa sih, Nis. Dipesenin makan siang saja ya. Tugasku masih banyak nih Nis."

'Ya iyalah banyak. Secara cuma asyik berdua dengan sekretarisnya. Kucing kalau sudah lapar, dikasih ikan asin pun juga mau,' batinku.

Aku pesan makanan lewat online saja. Biar lah dianter kesini. Aku tunjukan kemesraanku dengan Mas Ridwan, agar Ratih semakin panas.

"Mas, panggilin sekretaris dong. Aku sudah pesan makanan lewat online. Suruh dia ambil ke bawah. Aku juga memesankan dia lho."

Tanpa banyak kata, Mas Ridwan menelepon Ratih. Dan dia mulai menghadap.

"Ehm Ratih, bisa saya minta tolong. Saya pesan makanan lewat online untuk seluruh karyawan disini. Kamu bisa menunggu dibawah? Dan membagikannya?"

"Iya bu," jawabnya setengah terpaksa.

"Ini uangnya. Kebetulan saya bawa cash,".

Aku mengeluarkan sejumlah uang dari dompet.

"Bu, istri Dirut kok dompetnya biasa saja?" celetuknya.

Aku menoleh tajam ke arahnya.

"Yang penting kan isinya. Bukan dompetnya...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status