Lelaki itu terus berjalan mendekat. Melihat Nila tampak ketakutan, Mada menggenggam erat tangannya. Kemudian menatap tajam Ibra yang telah berani datang dan kini sudah berada di hadapan. "Apa kabar?" Alih-alih mengucapkan selamat dia menanyai mantan istrinya. Mada merasa seperti mimpi melihat dia melenggang bebas. Sungguh kejutan luar biasa di hari bahagianya. "Kalau ditanya itu dijawab." Selin masih di dekatnya meminta Nila menanggapi ucapan Ibra. Tapi perempuan itu tetap bungkam. Ibra maju lebih dekat. "Aku bukan monster, gak usah setakut itu," ucapnya seraya tersenyum tetap mentapnya lurus. Sejak datang tak henti tertuju padanya. Nila melihat lagi sekilas dan kembali menunduk. Ibra mungkin di mata orang lain tampak ramah, tapi ... yang terlihat Nila senyumnya merupakan seringaian dingin. Pun di penglihatan Mada. Sama. Kini Ibra teralih padanya. "Pebinor yang sukses." "Pergi dari sini." Tekan Mada mengusir. "Jangan membuat kekacawan." "Santai. Gue datang memang untuk melihat. S
Mada menjauhkan tubuh itu, Ibra terhuyung menabrak rak di belakangnya. Kemudian cepat berdiri tegap lagi. Menoleh, beberapa barang terguling dan membetulkannya asal. "Jangan coba-coba sentuh Nila lagi." Mada memperingati keras. Direngkuh tubuh istrinya yang ketakutan."Wow, pencuri yang takut dicuri," tanggap Ibra dengan senyuman menyebalkan. Dia kini berbeda dari terakhir mereka bertemu di pengadilan, memelas memohon ampunan. Sekarang berlagak santai namun tengik. "Lo bakal berurusan dengan polisi lagi kalau terus mengganggu istri gue." "Laporkan saja," tantangnya. Tak takut sama sekali. Mada terheran. Ibra lalu mendekat, kepalanya sampai miring memperhatikan wajah Nila berusaha berpaling dan bersembunyi di dada suaminya sekarang. Ibra membenci pemandangan tersebut. Betapa wanita itu manja dan bergantung terhadapnya. Pun dengan lelaki itu, begitu melindungi kuat. Melihatnya Ibra terkekeh muak. "Sebegitu cintanya terhadap mantan istri gue." "Perempuan sebaik Nila memang pantas d
Ibra mematung menatap poto pernikahannya bersama Nila yang masih terpajang di dinding. Setelah berbulan-bulan perpisahan, masih membiarkan. Diraih pigura berukuran sedang tersebut. Menyentuh wajah ayunya. Ada harap ingin kembali. Tetapi perempuan itu sudah milik orang lain. Menjadi istri teman sendiri. Ibra benci mengingatnya. Poto tersebut kemudian diletakkan kembali di tempat asal. Dia tidak akan menghilangkannya. Tidak akan. "Aku akan membuatmu kembali di sisiku," ucapnya menekan dengan rasa menggebu. Kemudian berpindah dalam kamar, membuka lemari menatap baju-baju Nila yang masih rapi dan utuh. Perempuan itu pergi tidak membawa satu pun. Dia mengambilnya satu mencium sisa aroma tubuh Nila penuh kerinduan dengan mata memejam. Juga merasa nelangsa. Andainya masih ada akan dipeluk erat di dada. Malam berlalu berganti pagi. Tetapi Ibra masih tidur. Dengan setumpuk baju-baju Nila yang tengah dipeluk. Semalam dia mengeluarkannya dalam lemari. Demi mengobati rasa ingin menyentuh ter
"Mada sudah menikah. Secinta apapun kamu sama dia, kamu tidak boleh mendekatinya lagi." Rahayu mengatakan hati-hati takut menyinggung perasaan Selin. Gadis itu tersenyum tipis, dalam hatinya merasakan begitu pahit. Meski diucapkan lembut sama saja sangat menyakiti. Artinya dia sudah tidak diberi kesempatan sama sekali. "Nila memang hanya perempuan biasa. Tapi dia bisa menjadi istri yang baik buat Mada. Juga menyayangi saya." Selin mencengkeram kuat setir, sudah teringat potongan percakapan bersama ibu Mada sewaktu ia mengunjunginya tempo hari. Benci saat Rahayu malah menyanjung Nila dan melarang jangan dekat lagi dengan putranya. Sekarang perempuan itu baru keluar dari tempat kerja Mada. Tersenyum puas sudah bisa mengantarkan bekal makan siang dan menemaninya. Lalu masuk dalam taksi online yang tengah menunggu bersama Rahayu di dalamnya. "Sudah?""Sudah, Ma. Maaf, kalau agak lama." "Gak apa-apa Nila, Mama tahu Mada pasti minta ditemani dulu." Nila pun mengangguk seraya tersenyu
Mada terkejut saat membuka pintu mendapati Ibra tengah merunduk meringis kesakitan memegangi selangkang4n. Nila mematung di hadapannya, juga mamanya tengah memegang gagang sapu. "Mas!" istrinya itu langsung berhambur memeluk. "Dia datang gangguin aku lagi, Mas." Nila menjadi lebih tenang setelah Mada ada bersamanya. "Kamu itu gak kapok di penjara, ya?' Rahayu memukul kepala Ibra dengan sapu yang dipegangnya. Lelaki itu mengaduh. Dia sudah tidur pun terbangun mendengar jeritan Nila meminta tolong. Segera ke luar kamar membantu. Dengan gagang sapu Ibra yang masih memeluk kuat Nila dan menciuminya bisa terlepas. Setelah lepas gantian Nila menendang selangkangan. Lelaki itu langsung terpuruk kesakitan. Mada melepas Nila perlahan setelah menenangkan mengusap rambut. Menghampiri Ibra membangunkan dengan menarik kuat bajunya. Menonjok satu kali. Mendesis bibir Ibra merasakan ngilu dan nyeri. "Lo gak ada takut-takutnya sekarang." "Ngapain gue takut sama maling macam lo?" Ibra terkekeh p
"Nila?" Mada heran saat pulang istrinya tidak ada di rumah. Mencari di seluruh ruangan tetap tidak ditemukan. "Sayang?" panggilnya lagi. Lalu teringat dia yang meminta diantar ke pemakaman. Mada cemas dia pergi sendiri. Menelepon tapi tidak diangkat. Mengirim pesan pun hanya centang satu. Semakin hawatir ia. Hawatir ada yang mengganggu di luar sana. Mada memutuskan pergi, meski baru datang dan belum sempat minum. Mengemudi cepat di jalan. Mencari keberadaan istri. Benar saja, Nila pergi sendiri ke pemakaman. Berhadapan dengan tempat peristirahatan terakhir Ibu Ibra. Sesudah mendoakan. Dia juga bermonolog mengeluarkan isi hati padanya yang sudah tidak ada. "Maafkan Nila, Bu. Tidak datang saat hari kepergian Ibu. Maafkan Nila baru ke sini." Dielus papan nisannya. "Nila sudah bercerai dengan Mas Ibra dan sudah menikah dengan temannya. Orangnya baik sekali, Bu. Tapi pernikahan yang kami jalani begitu berat rasanya. Apa karna cara kami yang salah mengawalinya? Karna Nila telah bersel
Nila terkejut bahunya disentuh Ibra, membuatnya lantas berdiri. "Mau apa Mas ke sini?""Ini kamarku, Nila. Aku bebas mau keluar masuk sini pun. Justru kamu yang tidak pantas main masuk gitu aja. Kamu sudah jadi orang lain. Kecuali ... mau menjadi istriku lagi. Aku bebaskan.""Mas Ibra tunggu di luar." Nila tidak menggubris ucapannya yang sangat tidak enak didengar. Menyuruh pergi. "Ngatur?""Aku mau cari poto Ibu Mas, sama poto orang-orang panti yang dulu aku simpan. Mas taruh di mana?" "Ada. Kamu mau?" "Kemarikan, Mas.""Ada syaratnya." Nila terdiam semakin tidak enak. Terlebih setelah melihat seringaian kecil di sudut bibirnya, mendadak rasa takut muncul, terlebih Mada tidak menghampirinya. Lelaki itu kini dipaksa duduk di sofa. Melawan empat orang laki-laki cukup sulit. Mereka memegangi sangat kuat. Tidak melepaskan meski Mada meminta lepas. "Syaratnya ... kamu layani aku dulu." Nila menggeleng. Kini dia sadar sudah gegabah. Emosinya yang tidak dapat menahan diri menyulitkan
Irwan dan Widya berada di depan apartemen. Mereka hendak masuk. Pintu langsung terbuka setelah memencet password. "Sepertinya tidak ada siapa-siapa, Pa. Pantas kita tekan bel juga enggak ada yang bukain." Sebelumnya mereka memencet bel berkali-kali, namun tidak ada orang yang membukakan pintu. Irwan lalu menekan PIN lama dan ternyata bisa. Mada belum mengganti password rumah masih seperti dulu. Sehingga mereka bisa masuk. "Mantan istrimu juga gak ada kayaknya, Pa." Widya sudah memeriksa kamar tidak menemukan siapa-siapa. "Kita gak jadi dong, Pa, ngobrol sama Ayu. Gak jadi ngasih tahu sesuatu." Perempuan itu duduk. Dari dalam tasnya mengeluarkan poto-poto Nila yang sudah direkayasa sedang bersama laki-laki lain. Tampak sedang mesra dalam ruangan. Mereka mau menebar racun fitnah gambar untuk membuat keruh rumah tangga Mada. Irwan merebutnya. "Kita taruh saja di kamarnya. Juga di kamar Mada." Lelaki itu beranjak. Memasuki kamar Rahayu. Menaruh gambar itu di bawah bantal. Lalu keluar