"jangan begitu Mah.. biar bagaimana pun, aku ini masih suamimu. Seharusnya kamu menghormatiku, jangan bersikap kurang ajar seperti ini," desah Mas Ronald.
"Cih.. kamu yang kurang ajar! Setelah menyakitiku, kau menjebloskan aku kedalam penjara. Lupa?" Tanyaku dengan mata memicing."Kau menikah diam-diam. Menghamburkan uangku demi bersenang-senang dengan betina itu. Kini kau menyalahkan semua ini padaku!""Bukan begitu..""Jangan selalu menyalahkan orang lain. Kau harus sadar diri, masalah ini berasal dari ulahmu sendiri. Tak ada asap, kalau tak ada api," semprotku."As.. semua sudah terjadi. Aku harus bagaimana agar semua kembali seperti sedia kala?" Sahutnya frustasi."Tolong As.. lembutkan hatimu. Jangan membatu seperti ini," cicitnya membuatku muak."Sudahlah.. bicara padamu tak ada habisnya. Maunya menang sendiri, tidak pernah berfikir mengapa semua bisa terjadi. Mau enaknya aja!" Sentakku.DiMenatap lekat kearahnya, mataku menyipit mengamati expresi Mas Ronald."Telpon Ibu sekarang? Sebelum aku lapor polisi," titahku."Lapor polisi?" kening Mas Ronald mengerut."Aku kemalingan, ya harus lapor polisi. Tapi sebelumnya aku harus bertanya pada orang rumah. Ibumu kan dari sini, masa dia tidak tahu apa-apa," jelasku.Mas Ronald mendengkus, lalu meraih gawainya didalam saku celana."Tidak diangkat," ucapnya sambil menunjukkan gawai didepan wajahku."Telpon terus, sebelum aku beneran kekantor polisi." Ancamku. Mas Ronald kembali menaruh gawai ditelinga, rautnya memancar kecemasan. Sepertinya jalan pikiran kita sama."Halo Bu ...."..."Ibu lihat sofa sama televisi diruang tamu?"..."Kemana ya. Kok hilang," ucap Mas Ronald sambil melirik takut kearahku.Aku mendecih sinis, lalu merenggut gawai dari tangannya."Ibu beneran tidak lihat?" U
"Bagus kalau begitu," sahutku sambil menepuk bahu suamiku.Aku melangkahkan kaki, meninggalkan Mas Ronald yang diliputi raut kecemasan.Aah ... sejak mendapat masalah, belum pernah hatiku seriang ini. Ibu, kamu memang benar-benar dapat merubah suasana hatiku.Segera membersihkan diri, kupakai pakaian yang simpel, nyaman dan tentu saja cantik untuk berjaga-jaga jika Ibu tak bisa mengembalikan sofa dan televisiku.Aku bersiul riang sambil mengamati jam yang menempel didinding kamar. Sepertinya harus mengisi perut dulu, aku yakin akan ada drama yang akan menguras energi serta emosiku.Melangkahkan kaki dengan riang, lalu berjalan menuju dapur. Kulihat Naura dan Mas Ronald sedang duduk dikursi makan, sedang menikmati santapannya."Enak Mas?" untuk pertama kali set
Plakk!!Satu tamparan keras mendarat dipipiku, menyisakan perih dan panas yang luar biasa disekitar area wajah.Meski pipi terasa terbakar, aku memasang wajah menantang, berharap Ibu kembali melayangkan tangan dipipiku. Sesuai harapan, Ibu teramat geram melihat expresiku yang menjengkelkan tangannya kembali terangkat keudara."Cukup Bu ... jangan main kekerasan disini," cegah polisi berwajah tampan itu.Huh ... padahal tadi biarkan saja, Pak.Aku memegangi wajah, kubuat air muka sangat ketakutan sambil memegangi lengan Pak Anton."Tolong Pak," rintihku ketakutan."Ibu! Bisa jaga sikap tidak!" bentak Pak Anton sambil memasang badan saat Ibu bersiap untuk menyerang aku kembali.
"As ..." bibir itu bergetar."Aku mohon, lepaskan Ibu," pintanya dengan air muka frustasi."Biarkan Ibu menginap didalam, semoga dia bisa menjernihkan fikiran setelah ini." Ucapku dengan wajah datar."As ... jangan egois. Jika kamu masih marah padaku, limpahkan semua kemarahan itu padaku. Jangan pada Ibu, atau keluargaku," ibanya dengan mata berkaca-kaca."Kau tega, membiarkan Ibu menginap dipenjara As? Tolong, As ... harus melakukan apa aku agar kamu bisa melepaskan Ibu," suara Mas Ronald sangat lemah, namun masih bisa aku dengar.Wajah tampannya terlihat merah, antara kecewa marah dan khawatir menjadi satu."Kamu mau melakukan apapun demi Ibu?" Tanyaku dengan alis yang terangkat sebelah. Wajah aku buat sedatar mungkin, meski hati sangat bersorak gembira meli
Mengapa Ibu dan Mas Ronald marah. Mereka bahkan melakukan hal yang sama dengan apa yang aku buat. Aku hanya ingin mengembalikan perbuatan keji mereka, dan kini dimata mereka aku bagai iblis yang tidak berperasaan."Sabar Bu ..." Bik Irah menepuk lembut bahuku.Tubuhku menggigil, mataku terpejam dengan nafas tersenggal-senggal."Bibik juga tidak menyangka, Pak Ronald tega seperti itu," lirih Bik Irah."Ibu terlalu baik, Ibu sangat sabar menghadapi permintaan dari keluarga Pak Ronald. Tapi seperti ini balasan mereka, jujur saja hati Bibik ikut menjerit menerimanya," ucap Bik Irah dengan suara parau.Bik Irah sudah lama bekerja dirumahku, saat Papah membeli rumah ini untukku. Mamah sudah menyiapkan Bik Irah untuk membantu mengurus semua kebutuhanku. Bik Irah pastinya mengerti, bahwa rumah tanggaku sedang tidak baik-baik saja."Jadi perempuan memang serba salah Bu. Apa lagi kalau sudah menjadi istri. Semua kesalahan dilim
Perasaanku langsung tak nyaman, saudara macam apa yang datang langsung berduaan didalam kamar. Bersama Mas Ronald, suamiku?Jangan-jangan.Segera aku melangkahkan kaki menuju kamar tamu, tempat Mas Ronald tidur belakangan ini. Langkah terhenti tepat didepan pintu, jantungku berdegup kencang saat mendengar suara manja tawa seorang perempuan didalamnya.Brak!!Dengan kencang aku langsung menendang pintu, sepasang sejoli itu nampak terkejut melihat kehadiranku."As ..." ucap Mas Ronald dengan raut salah tingkah, dia langsung bangkit dari duduknya diatas ranjang."Tak tahu diri ... sudah hidup menumpang, malah membawa masuk gundikmu kedalam rumah ini. Hebat sekali!" desisku dengan mimik menakutkan."Kamu jangan salah paham," Mas Ronald jalan mendekatiku."Salah paham?" geramku.Kulihat perempuan siluman itu tersenyum miring dan duduk dengan tenang diatas ranjang.Dasar sundal!
"Siang Bu, ada tamu yang mencari?" ucap Rahayu saat masuk kedalam ruanganku."Siapa?" tanyaku tanpa menoleh kearah suara."Dia bilang suami Ibu," jawab Rahayu."Oh ya?" aku mengangkat wajah."Iya Bu ... Pak Ronald," sahut Rahayu."Sekarang dia ada dimana?" tanyaku."Dipintu masuk, loby utama," sahutnya."Saya akan menelpon petugas keamanan agar dia tidak diizinkan masuk," ucapku."Dan tolong, kamu bilang sama dia. Saya sudah tidak punya suami. Jangan sampai dia masuk kedalam ruangan saya," tegasku lalu kembali menekuri layar.Rahayu terlihat kebingungan, namun dia tetap keluar memenuhi perintahku."Siang, Pak." ucapku saat sambungan telah terhubung."Siang, dengan Ibu siapa?" tanya suara berat diujung telepon."Saya, Ibu Astrid," jawabku."Siap Ibu. Ada yang bisa saya bantu?" tegasnya."Tolong tahan orang yang mengaku sebagai suami
"Cerai itu, Mamah Astrid mau ganti Ayah. Ayah Ronald kan pengangguran, tidak tahu diri pula," jelas Mamah dengan senyum manis penuh arti.Ya Tuhan ... ada-ada saja, jawaban Mamah.Aku hanya tersenyum tipis, saat Naura menatapku meminta penjelasan."Naura main sama Tante Vian saja yuk ..." ajak Vivian.Naura menganggukkan kepala, menurut saat Vivian menuntunnya memasuki kamar.Huufftt."Aku harus bilang apa sama, Naura Mah?" Tanyaku sambil menyenderkan tubuh."Diberi pengertian saja, As ... seiring berjalannya waktu Naura pasti akan mengerti," sahut Mamah."Naura sangat dekat dengan Mas Ronald," balasku."Yah ... mulai detik ini, luangkan waktu untuk a