"Mereka sudah menikah. Apa salahnya jika Ronald bermesraan dengan, Sekar."
Dengan cepat Ibu menutup mulutnya, terlonjak dengan ucapannya sendiri."Sudah menikah?" gumamku tertegun mengulang kalimat, Ibu. Hati berdenyut ngilu, nafas ini mendadak sesak. Kini pandanganku menyorot tajam kearah, Mas Ronald."Eh ... I-ibu," Mas Ronald membuka suara, menatap Ibu dengan mata melotot. Gelengan kepala jelas sekali terlihat. Sementara Ibu, dia terlihat salah tingkah, dengan bola mata yang mendelik ke kiri dan ke kanan.Aku sendiri sangat shock mendengar pengakuan Ibu, berkali aku menarik nafas guna menormalkan detak jantung yang semakin bertalu-talu.Sabarkan hatimu, Astrid!"Kenapa Oma?" tanyaku selembut mungkin. Yah siapa tahu, ada pengakuan lainnya yang akan terucap tanpa sengaja dari mulutnya."Eh ... maksud Ibu, Ronald dia ..." nafas Ibu terlihat sesak, dia meraih minuman yang ada didepannya lalu meminumnya dengan rakus.Aku melebarkan mata, tersenyum miring melihat tingkahnya. Wajah ini kubuat semanis mungkin agar semua orang yang ada disini menjadi nyaman kembali."Jadi kalian sudah menikah?" kini sorotku beralih pada Mas Ronald dan siapa tadi, Sekar? Dia terlihat pongah saat Ibu mertua secara tak sengaja mengungkap jati dirinya. Tak tahu malu sekali dia."Jangan salah faham, Dek." sanggah Mas Ronald dengan wajah memelas. Dia terlihat bingung, hendak bicara apa lagi. Wajahnya telihat memucat, dengan mulut yang komat-kamit tidak jelas."Apa lagi kebusukkanmu dibelakangku?" ucapku datar. "Sejak kapan kau membodohiku?" sambungku.Mas Ronald bergeming ditempat, keringat sebiji jagung mulai bermunculan dikeningnya."I-itu tidak benar, Dek. Aku hanya iseng saja. Tidak lebih," ucapnya berusaha meyakinkanku.Netra Sekar membesar, terperangah mendengar pengakuan suamiku."Kamu apaan sih, Mas ..." sentaknya tak terima."Diam!" geram Mas Ronald. Sekar menghentakkan kaki, merajuk dengan suamiku."Oh ya ... kamu hanya iseng?" tanyaku pelan. Mas Ronald mengangguk tegas."Iya Dek, Mas hanya main-main itu saja," jelasnya lagi dengan mimik serius.Aku menatap Sekar yang memasang wajah cemberut. Matanya melirik sinis kearahku. Sementara Ibu mertua, dia memalingkan wajah. Sudah tidak berani melihat kearahku."Ya aku tahu, kau pasti hanya bermain-main." ucapku membuat Mas Ronald tersenyum lega."Hanya orang bodoh. Yang serius menjalin hubungan dengan sundal seperti dia!" ejekku ketus."Jaga bicaramu!! Siapa yang kau sebut sundal. Heh!" rutuknya kesal, dengan wajah merah padam. Dadanya terlihat naik-turun, sepertinya dia mulai emosi dengan ucapanku."Cukup Sekar! Jangan memperkeruh keadaan," ucap Mas Ronald dengan mata melotot. Sekar mencebik, dan memalingkan wajah."Adek mau memaafkan, Mas kan?" ucapnya penuh harap.Maaf dia bilang? Semudah itu, setelah memporak porandakkan isi hatiku. Kini dengan mudah dia berharap pengampunan dariku. Lucu sekali!Aku bergeming, menatap lekat manik coklatnya. Ada kepedihan disana, tapi aku tak ingin kembali dibodohi olehnya."Dek ... kasih Mas kesempatan sekali lagi," rengeknya sambil bangkit dari duduk, berjalan mendekatiku. Perlahan tangannya menyentuh jemariku namun dengan cepat aku menepisnya."Jangan sentuh saya!" ucapku sambil mendelikkan mata. Jujur saja, aku masih jijik dengan Mas Ronald. Membayangkan tangan itu berjelajah disetiap inci tubuh Sekar, membuat tubuh ini bergidik seketika."Aku tidak bisa memaafkanmu ... perbuatanmu tidak bisa dimaafkan," mata ini memanas melontar kata."Pergilah ... urus istri barumu," suaraku melemah, kupijit kening yang ototnya sudah menegang. Sebab beban pikiran yang bertumpuk-tumpuk.Mas Ronald terlihat ftustasi, sesekali dia memegangi kepala yang penuh oleh perban."Dek ... aku mohon, aku hanya melakukan kesalahan sekali. Tidak bisakah kamu melupakannya? Apa seribu kebaikkanku, kini sudah tak berarti lagi untukmu," wajah tampan itu memelas, berharap aku iba melihatnya."Lalu untuk apa kau membawa sundal ini kerumah. Kau ingin aku mencekiknya?" geramku dengan tatapan muak.Sekar nampak menelan saliva, memegangi lehernya dengan gugup."Sudahlah, Ronald ... tidak perlu kau bujuk Astrid segala. Membuat dia besar kepala saja," cerocos Ibu."Lagi pula apa salahnya mereka menikah, dari pada berzina. Aku ingin cucu laki-laki. Sudah menikah sepuluh tahun, Astrid hanya memberi satu cucu. Itu pun perempuan, untuk apa!!"Cuping telingaku panas seketika mendengar ocehan Ibu mertua. Jantung ini bertalu-talu siap bergenderang. Aku meraih gelas berisi minuman dingin, lalu meneguknya hingga tandas. Mataku melirik kearah Ibu, sambil menimang-nimang gelas kaca."Ibu!!" sentak Mas Ronald."Sudah Ronald ... tidak perlu ada yang kau sembunyikan lagi. Ibu sudah muak, terlalu lama bersabar!" sanggah Ibu membuat wajah Mas Ronald pias saat menatapku.Aku terus menyimak, mendengarkan perseteruan Ibu dan anak itu. Tak sadar tangan ini sudah terkepal kuat, ingin melayang keudara."Betul kata Ibu, Mas ... untuk apa kita terus bersembunyi. Dia sudah tahu semuanya. Jadi aku rasa, sudah tidak perlu ada yang disembunyikan," sahut Sekar dengan wajah kemenangan."Maaf Astrid ... bisakah kita berdamai. Tolong terima Sekar, walau bagaimana pun dia adalah istriku. Aku harus bertanggung jawab dengan hidupnya."Bibir Sekar melengkung sempurna, senyuman kemenangan terukir jelas dibibirnya.Dasar laki-laki plin-plan. Baru saja dia bilang hanya iseng dan bermain-main. Kini dia sendiri yang meminta aku untuk menerima sundal itu menjadi maduku?"Cih ... tak tahu diri kamu, Mas!" semburku murka. Detak jantungku semakin kencang, dengan kuat aku melemparkan gelas tepat mengenai kening sundal itu."Aa ..." Sekar memekik keras, tangannya beegetar menyentuh jidat licinnya."Darah ... aku berdarah, Ibu. Huhu," jeritnya hiateris sambil mengguncang bahu Ibu mertua."Mas ... tolong, dia melukai aku lagi ..." Sekar mengais pilu, Ibu mertua segera mendekap tubuh menantu barunya itu. Hatiku nelangsa melihatnya, karna selama menikah tidak pernah aku diperlakukan manis seperti itu.Plakk!!Aku memegangi pipi yang terasa terbakar, perih bercampur panas menjalar di wajahku, Mas Ronald terpaku sambil memegangi tangannya."Maaf ..." lirihnya dengan tatapan menyesal."K-kau ... menamparku?" lirihku tak percaya."Maaf ... maaf aku tak sengaja," ucapnya dengan wajah yang menegang."Aku rasa kamu sudah keterlaluan, As ... cukup, jangan lakukan itu lagi," lirihnya dengan air mata yang mengalir di pipi."Beraninya kau mengotori wajahku!!" geramku tak terima. Mataku memanas, nafasku memburu. Tak menyangka Mas Ronald bisa berbuat kasar padaku."Pergi sekarang!" sentakku geram, gigiku bergelutuk nyaring pertanda amarah sudah memenuhi rongga dada.Mas Ronald menggeleng kuat, tubuhnya meluruh bersimpuh memegangi kakiku.***OfdHai Kakak ... jangan lupa subcribe dan vote bintang lima ya.Salam hangat š¤š¤Pov Author."Gimana, beres?" tanya laki-laki berbadan tegap dengan gawai ditelinga."Beres, Boss. Aman. Semua sesuai dengan rencana." jawab suara serak diujung sana.Laki-laki dengan janggut tipis itu tersenyum puas, lalu memutuskan sambungan telepon."Cih! Sampah! Ditolong, malah menikamku!" desis laki-laki tampan itu."Boss Setyo, ada paket." terdengar suara teriakan dari balik pintu. Laki-laki itu menaruh gawai diatas meja kerja, lalu bangkit dari kursi kebesarannya."Ini, Boss." Yadi, karyawan baru pengganti Ronald menyodorkan amplop tebal berwarna coklat."Ya." jawab Setyo, sambil mengangkat kepala. Yadi mengangguk, lalu kembali melanjutkan pekerjaan."Ckckck, rapih juga cara kerjanya." gumam Setyo sambil merobek ujung amplop, lalu menarik isi didalamnya.Senyum miring tercipta saat Setyo melihat isi amplop, sedetik kemudian bibirnya tersenyum dengan lebar."Ini belum apa-apa," gumamnya pelan. "Setelah ini ak
Pov Sekar."Ha-lo Mbak," suara Rikhi terdengar saat aku menggeser tombol hijau dan menaruhnya ditelinga."Iya, Khi. Gimana Mas Ronald, sudah aka kabar?" cecarku cemas. Hampir satu minggu, Mas Ronald tidak bersua kabar. Istri mana yang tidak khawatir saat tak mendangar kabar beritanya."Mbak," suara Rikhi kembali terdengar tapi kali ini terdengar bergetar disertai isakan."Ada apa, Khi?" aku semakin penasaran."Mas Ronald ..." hawa dingin langsung menyelusup tengkuk leher, mendengar suara Rikhi yang menyebut nama suamiku dengan tersendat-sendat membuat fikiran buruk langsung menjalar difikiran."Mas Ronald kenapa, Khi. Kamu yang benar dong kalau bicara, jangan begini!" aku mulai panik, kehilangan sabar."Mas Ronald sudah tiada, Mbak. Huhu."Tubuh langsung bergetar hebat, kepala berdenyut tak sanggup mencerna kalimatnya."Mbak ..." suara Rikhi kembali terdengar. Aku hanya diam dengan dada yang bergemuruh hebat.Mas
Aku memekik tertahan, tubuhku meremang seirama dengan rasa nyeuri yang luar biasa disekujur badan. Laki-laki itu menatap datar, gerakannya semakin kuat menancapkan belati diperutku.***Ofd.Pov Astrid"Saya terima nikah dan kawinnya Astrid Anandia binti Bapak Santoso Permana, dengan mas kawin satu set emas seberat lima puluh gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!"Dengan satu tarikan nafas, Edwin mengucap janji suci. Hatiku bergetar seiring dengan serempaknya kata 'saaahhh' yang menggema disetiap sudut masjid."Alhamdulillah ..."
Laras langsung menarik selimut, tubuhnya bergetar hebat memandang sosok yang ada dihadapannya.Sementara aku, nafasku tercekat tubuhku membeku tidak dapat bergerak saat sorot itu menatap tajam kearahku."Gua kira kita temen," desis Setyo mengagetkanku.Lidah begitu kelu, aku kehilangan kata-kata. Tubuh bergetar hebat, saat melihat dua laki-laki berbadan tegap masuk kedalam kamar."Yo ... gue bisa jelasin ini semua." tuturku dengan jantung yang berdebar kencang."Jelasin?" Setyo menatap remeh, lalu terkekeh setelahnya. "Gimana tubuh istri gue, nikmat?" Setyo melangkah maju mendekatiku.Aku terdiam, menoleh kearah Laras."Gue bantu kesusahan lo. Tapi ini balasannya?" api kemarahan berkobar-kobar dimatanya."Yo," aku berusaha menahan tubuhnya yang semakin mendekati."Setan lo!!"Bugh ... bugh.Pukulan bertubi-tubi menghantam wajahku, aku tak ing
Ada uang disayang, tak ada uang dicemberutin.Nasib ....***Ofd"Mas berangkat dulu," aku mengulurkan tangan, membiarkan Sekar mencium punggung tanganku."Hati-hati," ucapnya sambil melempar senyum. Aku menganggukkan kepala, lalu mengusap lembut wajah Mutia dengan lembut."Ayah kerja dulu ya," bisikku ditelinga bayi berusia satu bulan itu.Aku langsung keluar rumah, melajukan kendaraan roda dua menuju tempat kerja.Butuh waktu empat puluh menit untuk sampai dirumah Setyo, aku lihat Boss Setyo sudah duduk dikursi teras rumah sambil menyeruput kopi hitamnya."Ngopi, Boss?" tanyaku setelah memarkirkan motor dihalaman luas milik Laras. Ya setahuku begitu, rumah dan usaha yang digeluti Setyo adalah warisan dari mertuanya yang berarti punya Laras."Hmm ..." Setyo hanya bergumam, sambil mengangkat cangkir kopi dan kembali menyeruputnya."Ngirim barang kemana har
"Cucu Ibu perempuan, dia cantik seperti Mamahnya," suster menyahut.Ibu terperangah, wajah penuh harapnya berubah keruh."Silahkan, Bapak." suster berjalan mendahuluiku, memberi jalan agar aku mengekorinya.Kulihat Ibu tertunduk lesu, tak ada gairah sama sekali.Bayi mungil didalam box bayi bergeliat, wajahnya benar-benar menyerupai Sekar. Hatiku terenyuh saat tangan ini bersentuhan dengan wajah merahnya.Kulantunkan takbir, bibirku bergetar saat melihat bayi itu membuka matanya. Entah mengapa aku jadi mengingat dosa, dosa kepada Astrid dan Sekar karna sudah mengkhianati kedua.Selesai mengadzankan bayi mungil itu, aku memutuskan untuk keluar dari ruangan. Rasa sesak menghimpit hati, merobek-robek relung jiwaku. Aku tidak tahu apa yang membuat hatiku serapuh ini, yang aku tahu aku sudah terlalu banyak berbuat dosa."Ibu mau kemana?" tanyaku saat melihat Ibu dan Zeky berjalan meninggalkan kursi