Share

Bab 5 - Playing Victim.

"Mereka sudah menikah. Apa salahnya jika Ronald bermesraan dengan, Sekar."

Dengan cepat Ibu menutup mulutnya, terlonjak dengan ucapannya sendiri.

"Sudah menikah?" gumamku tertegun mengulang kalimat, Ibu. Hati berdenyut ngilu, nafas ini mendadak sesak. Kini pandanganku menyorot tajam kearah, Mas Ronald.

"Eh ... I-ibu," Mas Ronald membuka suara, menatap Ibu dengan mata melotot. Gelengan kepala jelas sekali terlihat. Sementara Ibu, dia terlihat salah tingkah, dengan bola mata yang mendelik ke kiri dan ke kanan.

Aku sendiri sangat shock mendengar pengakuan Ibu, berkali aku menarik nafas guna menormalkan detak jantung yang semakin bertalu-talu.

Sabarkan hatimu, Astrid!

"Kenapa Oma?" tanyaku selembut mungkin. Yah siapa tahu, ada pengakuan lainnya yang akan terucap tanpa sengaja dari mulutnya.

"Eh ... maksud Ibu, Ronald dia ..." nafas Ibu terlihat sesak, dia meraih minuman yang ada didepannya lalu meminumnya dengan rakus.

Aku melebarkan mata, tersenyum miring melihat tingkahnya. Wajah ini kubuat semanis mungkin agar semua orang yang ada disini menjadi nyaman kembali.

"Jadi kalian sudah menikah?" kini sorotku beralih pada Mas Ronald dan siapa tadi, Sekar? Dia terlihat pongah saat Ibu mertua secara tak sengaja mengungkap jati dirinya. Tak tahu malu sekali dia.

"Jangan salah faham, Dek." sanggah Mas Ronald dengan wajah memelas. Dia terlihat bingung, hendak bicara apa lagi. Wajahnya telihat memucat, dengan mulut yang komat-kamit tidak jelas.

"Apa lagi kebusukkanmu dibelakangku?" ucapku datar. "Sejak kapan kau membodohiku?" sambungku.

Mas Ronald bergeming ditempat, keringat sebiji jagung mulai bermunculan dikeningnya.

"I-itu tidak benar, Dek. Aku hanya iseng saja. Tidak lebih," ucapnya berusaha meyakinkanku.

Netra Sekar membesar, terperangah mendengar pengakuan suamiku.

"Kamu apaan sih, Mas ..." sentaknya tak terima.

"Diam!" geram Mas Ronald. Sekar menghentakkan kaki, merajuk dengan suamiku.

"Oh ya ...  kamu hanya iseng?" tanyaku pelan. Mas Ronald mengangguk tegas.

"Iya Dek, Mas hanya main-main itu saja," jelasnya lagi dengan mimik serius.

Aku menatap Sekar yang memasang wajah cemberut. Matanya melirik sinis kearahku. Sementara Ibu mertua, dia memalingkan wajah. Sudah tidak berani melihat kearahku.

"Ya aku tahu, kau pasti hanya bermain-main." ucapku membuat Mas Ronald tersenyum lega.

"Hanya orang bodoh. Yang serius menjalin hubungan dengan sundal seperti dia!" ejekku ketus.

"Jaga bicaramu!! Siapa yang kau sebut sundal. Heh!" rutuknya kesal, dengan wajah merah padam. Dadanya terlihat naik-turun, sepertinya dia mulai emosi dengan ucapanku.

"Cukup Sekar! Jangan memperkeruh keadaan," ucap Mas Ronald dengan mata melotot. Sekar mencebik, dan memalingkan wajah.

"Adek mau memaafkan, Mas kan?" ucapnya penuh harap.

Maaf dia bilang? Semudah itu, setelah memporak porandakkan isi hatiku. Kini dengan mudah dia berharap pengampunan dariku. Lucu sekali!

Aku bergeming, menatap lekat manik coklatnya. Ada kepedihan disana, tapi aku tak ingin kembali dibodohi olehnya.

"Dek ... kasih Mas kesempatan sekali lagi," rengeknya sambil bangkit dari duduk, berjalan mendekatiku. Perlahan tangannya menyentuh jemariku namun dengan cepat aku menepisnya.

"Jangan sentuh saya!" ucapku sambil mendelikkan mata. Jujur saja, aku masih jijik dengan Mas Ronald. Membayangkan tangan itu berjelajah disetiap inci tubuh Sekar, membuat tubuh ini bergidik seketika.

"Aku tidak bisa memaafkanmu ... perbuatanmu tidak bisa dimaafkan," mata ini memanas melontar kata.

"Pergilah ... urus istri barumu," suaraku melemah, kupijit kening yang ototnya sudah menegang. Sebab beban pikiran yang bertumpuk-tumpuk.

Mas Ronald terlihat ftustasi, sesekali dia memegangi kepala yang penuh oleh perban.

"Dek ... aku mohon, aku hanya melakukan kesalahan sekali. Tidak bisakah kamu melupakannya? Apa seribu kebaikkanku, kini sudah tak berarti lagi untukmu," wajah tampan itu memelas, berharap aku iba melihatnya.

"Lalu untuk apa kau membawa sundal ini kerumah. Kau ingin aku mencekiknya?" geramku dengan tatapan muak.

Sekar nampak menelan saliva, memegangi lehernya dengan gugup.

"Sudahlah, Ronald ... tidak perlu kau bujuk Astrid segala. Membuat dia besar kepala saja," cerocos Ibu.

"Lagi pula apa salahnya mereka menikah, dari pada berzina. Aku ingin cucu laki-laki. Sudah menikah sepuluh tahun, Astrid hanya memberi satu cucu. Itu pun perempuan, untuk apa!!"

Cuping telingaku panas seketika mendengar ocehan Ibu mertua. Jantung ini bertalu-talu siap bergenderang. Aku meraih gelas berisi minuman dingin, lalu meneguknya hingga tandas. Mataku melirik kearah Ibu, sambil menimang-nimang gelas kaca.

"Ibu!!" sentak Mas Ronald.

"Sudah Ronald ... tidak perlu ada yang kau sembunyikan lagi. Ibu sudah muak, terlalu lama bersabar!" sanggah Ibu membuat wajah Mas Ronald pias saat menatapku.

Aku terus menyimak, mendengarkan perseteruan Ibu dan anak itu. Tak sadar tangan ini sudah terkepal kuat, ingin melayang keudara.

"Betul kata Ibu, Mas ... untuk apa kita terus bersembunyi. Dia sudah tahu semuanya. Jadi aku rasa, sudah tidak perlu ada yang disembunyikan," sahut Sekar dengan wajah kemenangan.

"Maaf Astrid ... bisakah kita berdamai. Tolong terima Sekar, walau bagaimana pun dia adalah istriku. Aku harus bertanggung jawab dengan hidupnya."

Bibir Sekar melengkung sempurna, senyuman kemenangan terukir jelas dibibirnya.

Dasar laki-laki plin-plan. Baru saja dia bilang hanya iseng dan bermain-main. Kini dia sendiri yang meminta aku untuk menerima sundal itu menjadi maduku?

"Cih ... tak tahu diri kamu, Mas!" semburku murka. Detak jantungku semakin kencang, dengan kuat aku melemparkan gelas tepat mengenai kening sundal itu.

"Aa ..." Sekar memekik keras, tangannya beegetar menyentuh jidat licinnya.

"Darah ... aku berdarah, Ibu. Huhu," jeritnya hiateris sambil mengguncang bahu Ibu mertua.

"Mas ... tolong, dia melukai aku lagi ..." Sekar mengais pilu, Ibu mertua segera mendekap tubuh menantu barunya itu. Hatiku nelangsa melihatnya, karna selama menikah tidak pernah aku diperlakukan manis seperti itu.

Plakk!!

Aku memegangi pipi yang terasa terbakar, perih bercampur panas menjalar di wajahku, Mas Ronald terpaku sambil memegangi tangannya.

"Maaf ..." lirihnya dengan tatapan menyesal.

"K-kau ... menamparku?" lirihku tak percaya.

"Maaf ... maaf aku tak sengaja," ucapnya dengan wajah yang menegang.

"Aku rasa kamu sudah keterlaluan, As ... cukup, jangan lakukan itu lagi," lirihnya dengan air mata yang mengalir di pipi.

"Beraninya kau mengotori wajahku!!" geramku tak terima. Mataku memanas, nafasku memburu. Tak menyangka Mas Ronald bisa berbuat kasar padaku.

"Pergi sekarang!" sentakku geram, gigiku bergelutuk nyaring pertanda amarah sudah memenuhi rongga dada.

Mas Ronald menggeleng kuat, tubuhnya meluruh bersimpuh memegangi kakiku.

***Ofd

Hai Kakak ... jangan lupa subcribe dan vote bintang lima ya.

Salam hangat 🤗🤗

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
tendang aja kondo nyo .biar buyar tuh lato lato.belagu benalu ga tau diri .hihhhh
goodnovel comment avatar
Anita Ratna
Ketiga manusia yg ga tau malu kumpul jd satu
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
semangat kaka penulis......... makin penasaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status