"Dasar pencuri. Kembalikan!" geramnya dengan mata yang nyaris saja keluar dari tempatnya."Tidak!" sahutku tegas. "Kalung ini aku yang beli, sudah sepatutnya aku mengambilnya kembali." sambungku."Ronald yang beli, bukan kamu!" bantahnya dengan tatapan menyalang."Iya memang benar anakmu yang beli," sahutku dengan senyum miring."Tapi uangnya ... tentu saja hasil mengemis padaku," sambungku dengan tatapan meremehkan."Ronald lihat istrimu, dia ....""Sudah Bu, sudah ..." tukas Mas Ronald sambil mencegah Ibu, yang ingin merampas kalungnya dari tanganku."As ... kenapa kamu jadi keras begini, dimana rasa hormatmu kepada, Ibu. Biar bagaimanapun, Ibuku adalah Ibumu juga." ucapnya sok bijak.Aku terkekeh geli mendengar ucapannya, rasa ingin mencekik lehernya
"Mulai hari ini kau bukan lagi suamiku!" ucapku tegas, seraya membanting pintu dengan keras lalu menguncinya.Tak aku hiraukan teriakkan serta caci maki dari para manusia bermulut busuk itu, aku memilih menaiki tangga dan membaringkan tubuh diatas ranjang empukku.Hah ... sungguh sangat menguras emosi menghadapi para dedemit itu. Dadaku masih terasa panas, akibat amarah yang belum sepenuhnya aku salurkan.Kupandangi goresan luka memanjang akibat serangan, Nenek tua itu. Sekian lama aku berbakti padanya, ini balasannya.Sakit ....Hatiku sungguh sakit sesakit-sakitnya. Cinta yang aku perjuangkan selama ini. Tak ubah seperti pedang panjang, yang sedang menghunus jantung hingga merobek ulu hatiku. Rasanya sulit tergambarkan, sakitnya mampu membuat otak berdenyut ngilu hingga terasa panas seluruh tubuh.Ibu ... ka
Sikap Mas Ronald yang terkesan cuek dan tak peduli. Sulit sekali rasanya membayangkan, dengan mudahnya Sekar merebut hati suamiku.Oh ya ....Ibu ... aku yakin dia adalah dalang dibalik semua ini.Kembali aku mengatur nafas, menetralkan debaran dada yang mulai tak terkendali. Aku harus bersikap tenang, jangan sampai Naura berpikir macam-macam. Walau bagaimana pun, Naura masih terlalu kecil untuk mengetahui kebusukkan Ayahnya."Naura sudah berapa kali ketemu, Tante Sekar?" Naura nampak berpikir, lalu tersenyum setelahnya."Sudah tiga kali, Mah.""Tiga kali?" hampir aja aku teriak mendengar jawaban Naura."Iya ... Tante Sekar baik deh, Mah. Dia beliin Naura squishy boneka tedy bear," aku Naura dengan begitu polosnya.
"Sampai matipun, aku tidak akan mau bercerai denganmu!" ucapnya tegas dengan tatapan menyalang kearahku.Mata itu terlihat marah, nafasnya menggebu-gebu dengan telunjuk tangan yang mengarah tepat diwajahku. Aku menarik nafas, menantang sorot mata menyalangnya. Baru kali ini aku melihat wajahnya yang begitu marah dan menakutkan.Hatiku teriris, melihat sorot itu. Kemana hilangnya sikap lemah lembutmu Mas, aku tidak melihat sosokmu lagi saat ini. Kamu tidak seperti yang aku kenal sebelumnya.Musnah sudah segala rasa yang aku jaga selama ini. Kau sendiri yang menghancurkannya."Kenapa kamu tidak terima, tak sadar sudah melakukan kesalahan besar. Heh!" teriakku didepan mukanya. Mas Ronald meredupkan mata, wajahnya terlihat menyesal telah membentakku."Astrid ...."
"Apa benar ini dengan kediaman rumah Ibu Astrid Anandia?" laki-laki berbadan tegap bertanya dengan wajah serius."Iya saya sendiri," jawabku."Kami dari pihak kepolisian, mendapat tugas untuk membawa Ibu kekantor. Dengan tuduhan penganiayaan atas nama pelapor saudara Ronald dan Ibu Sekar," ucapnya tegas.Sendiku lemas seketika, badanku bergetar dengan lidah kelu tak dapat mengungkapkan kata. Bik Ijah membekap mulutnya, dengan tatapan tak percaya."Ibu ..." Bik Ijah meringsekan tubuh memegangi lenganku."Bisa ikut kami segera, Ibu ..." ujar laki-laki bertubuh gempal dengan nama Wisnu ditanda pengenalnya."Ma-mana mungkin. Bapak salah orang se-pertinya," ucapku terbata, saat ini aku benar-benar gugup luar biasa.Mana mungkin,
"Jika Naura tidak penting. Maka pikirkan karirmu, kamu yakin mereka akan menerimamu bekerja diperusahaannya. Setelah tahu kamu sedang terlibat dalam masalah hukum?" Mas Ronald menyorot dengan tatapan meremehkan."Jika terlalu lama didalam sini, akan tersemat panggilan baru untukmu. Yaitu mantan narapidana?" Mas Ronald tersenyum licik. Tatapan menjijikan dia sunggingkan untukku.Jantungku bertalu-talu, gigiku bergeletuk menerima ancaman darinya. Kutarik nafas dalam-dalam, guna menormalkan debaran yang sudah menggolak-golak.Dia pikir, aku akan gentar dengan ancamannya? Tidak sama sekali."Kau mengancamku? Tak sadar, jika aku hancur kau dan keluarga, serta istri barumu akan menerima imbasnya?" kusorot mata menyalang itu, dengan tatapan menantang."Pikirmu ... jika Papahku tahu, dia akan diam saja m
Aku segera mengirim lokasi, tak lupa mengirim fotoku saat ini dengan latar belakang sel tahanan.Aku tersenyum puas, membayar mahal pengacara tak jadi masalah. Yang penting aku, bisa keluar dari tempat terkutuk ini secepatnya.Segera aku mengirim pesan pada atasan, meminta izin cuti satu minggu dengan alasan ada masalah keluarga. Semoga saja kasus ini cepat teratasi, jangan sampai orang kantor ada yang tahu masalah ini, agar reputasi dikantor pun terselamatkan.Pikirnya aku ini bodoh. Yang bisa dengan mudah takut dengan ancaman murahan itu. Dia lupa, bahwa aku jauh lebih melangkah maju dibanding dirinya.Dasar laki-laki sampah, benalu kehidupanku yang sebenarnya. Awas saja kalau aku sudah keluar dari sini, akan kuberi pelajaran mereka yang sudah menyakitiku. Lihat saja!"Sudah?" tanya Pak Firman.
"Sa-ya tidak akan mencabut laporan. Se-belum Astrid membatalkan niat per-ceraiannya ..." sambung Mas Ronald terbata-bata. Wajahnya begitu menyedihkan, menatap iba kearahku.Aku menatap jengah, masih saja dia menginginkan aku mencabut gugatan cerai. Apa pukulan Papahku tidak bisa menyadarkannya, bahwa kami memang tidak bisa bersatu kembali?"Kurang ajar!!" geram Papah.Bugh!!Papah kembali melayangkan tendangannya, hingga Mas Ronald terjengkang dan tersungkur mencium lantai. Nafas Papah naik-turun, benar-benar kelewat marah dengan Mas Ronald.Aku bahkan belum membeberkan kelakuan busuknya lebih dari itu. Masalah dia menikah lagi dibelakangku, jika Papah tahu, bisa tewas ditempat Mas Ronald."Berhenti Pak!!" teriak petugas. "Jika Bapak tak mau mendengarkan saya,