Share

Bab 5

Menjelang ashar aku keluar dari kamar. Cucian milik Mbak Winda tampak menggunung di sofa ruang tengah. Sepertinya dia sudah angkatin pakaian yang hanya kujemur saja itu.

Suasana di ruang tengah sepi. Padahal aku mau menitipkan Mesya dulu pada Ibu sebentar. Jika Mesya sudah bangun, aku gak bisa ngapa-ngapain soalnya. Aku akan menyiapkan masakan untuk sore nanti. Mungkin ibu sedang membawa main kedua cucunya ke rumah tetangga.

Aku kembali lagi ke kamar dan menggendong Mesya pada akhirnya. Belum sempat lagi aku pergi ke dapur terdengar orang yang memanggil dari teras.

“Permisi! Go food, Mbak!” pekiknya.

Aku membukakan pintu. Tampak seorang pengemudi ojek online tengah menenteng beberapa box makanan.

“Cari siapa, Pak?” tanyaku.

“Ini, Mbak … dari go food! Anter pizza!” ucapnya.

“Atas nama siapa, Pak?” tanyaku lagi, tidak merasa memesan makanan langka itu. Ya, langka bagiku yang kondisi kantong pas-pasan. Sayang duitnya kalau membeli makanan mahal seperti itu.

“Eh, itu pizza atas nama Winda ‘kan, Pak?” tanya Mbak Winda yang tiba-tiba menyahut dari dalam. Tukang ojek online itu hanya mengangguk.

Mbak Winda menyembul dari ambang pintu dan menyenggol bahuku.

“Awas, nanti ngiler! Kamu mana kebeli makanan mahal seperti ini! Sana, gih! Masak beras saja sama garem yang kamu punya!” cibirnya sambil menerima box pizza itu.

"Sombongnya, mentang-mentang punya duit," batinku.

Aku melengos pergi. Mau jadi orang waras saja yang ngalah. Lagi capek setelah seharian menguras energi memasang iklan di mana-mana. Menyebar informasi ke semua grup jual beli cukup menyita waktu dan energi ternyata.

“Eh, Mia!”

Kenapa juga dia memanggilku lagi. Aku menghentikan langkah dan menoleh sekilas.

“Apa, Mbak?”

“Besok tolong setrikain baju, Mbak, ya! Nanti Mbak kasih upah lima belas ribu!” ujarnya sambil menenteng pizza dan masuk ke dalam.

“Aku besok jadwal nyuci, Mbak! Aku juga banyak kerjaan, Mbak! Jadi mulai hari ini aku gak bisa ambil kerjaan setrika baju Mbak lagi. Mbak Winda bisa ke laundry saja, kan banyak laundry di sekitar sini!” tolakku.

Biasanya aku mau jika diupahi, tapi itu dulu sebelum tahu watak dan tabiatnya yang menyebalkan. Dulu aku kasihan juga karena dia kerja, punya anak, masih harus urus ini itu juga. Ternyata setelah mengenalnya aku semakin malas jadinya membantu dia.

“Ya ampuuun, Mia! Belagu banget ya, sekarang kamu! Merasa udah kaya, ya? Emang bisa kaya hanya dengan duit dari hasil parkir? Bangun Mia! Jangan ngimpi mulu jadi orang! Mbak tuh nyuruh kayak gini karena kasihan sama kamu sebenarnya, kan uangnya lumayan bisa buat beli mpasinya si Mesya!” ucapnya.

“Gak usah melebar kemana-mana, Mbak! Bilang saja kalau pelit! Karena kalau pergi ke laundry bisa habis lima puluh ribu ‘kan? Kalau bayar aku cuma lima belas ribu!” ujarku sambil berjalan menuju dapur. Biar aku simpan Mesya di lantai sementara aku mengambil wudhu.

Masih terdengar ocehannya dari ruang tengah. Aku bergegas mengambil wudhu dan mengabaikannya.

Gegas aku masuk ke kamar. Melewatinya yang tampak sedang asyik makan di ruang tengah. Kukunci dari dalam pintu kamarku dan kujauhkan benda yang sekiranya bisa membuat Mesya terluka.

Aku menunaikan kewajiban empat rakaat. Menghadapnya memohon dimudahkan segala jalan dan urusan. Setelah itu kulipat mukena.

Terdengar di luar sudah berisik suara Hasan dan Bian yang bertengkar, rupanya mereka sudah pulang.

Aku menghampiri Mesya. Putriku sedang meringkuk saja di lantai yang ku alasi dengan tikar. Tumben tidak nakal.

“Astagfirulloh! Mesya panas!” Aku memegang dahinya untuk memastikan sekali lagi. Pantas saja sejak tadi seperti yang lemas. Rupanya putriku sedang tidak enak badan.

Gegas kubaringkan dia di atas tempat tidur. Aku bersiap hendak membawanya berobat ke dokter, tapi pas kubuka uang simpananku hanya tinggal enam lembar lima ribuan. Ya, aku baru saja memulai nabung kembali setelah waktu itu uang simpananku habis untuk memperbaiki sepeda motor kami.

Aku mendorong daun pintu yang langsung terhubung ke ruang tengah itu. Tampak Mbak Winda dan kedua anaknya tengah menikmati pizza. Ada Ibu Mertuaku juga di sana duduk melingkar di depan tivi.

“Mbak, tadi aku ada nalangin paketan kamu. Barangnya kusimpan di meja tivi!” ucapku sambil berdiri.

Aroma khas pizza memenuhi ruangan, membuat cacing yang ada dalam perutku meronta. Ya, sejak siang aku terlalu fokus iklan hingga terlupa belum makan.

“Terus?” tanyanya santai. Dia menyuap dengan lahap begitu pun Hasan dan Ibu Mertuaku. Hanya Bian saja yang memang belum mengerti, dia wara-wiri ke sana-sini.

“Itu ‘kan COD, aku bayari dulu tadi lima puluh ribu! Bisa ganti sekarang ‘kan, Mbak! Aku mau bawa Mesya berobat! Anakku demam, Mbak!” ujarku sambil masih mematung.

“Gak ada, Mbak gak ada duit lagi sekarang! Udah Mbak beliin pizza soalnya!” ucapnya enteng.

“Mbak gak bisa gitu, dong! Itu uang lima puluh ribu berarti banget buat aku sekarang! Mbak gak ngerti gimana rasanya anak sakit?” tanyaku sambil menatapnya. Ada rasa kesal bercampur sedih di dada ini.

“Salah sendiri malah bayarin, emang Mbak suruh!” ujarnya seenak hatinya. Bukannya berterima kasih sudah kubantu.

“Oke, kalau gitu! Aku gak akan lagi talangin paketan, Mbak! Kalau dia datang dan Mbak gak ada, akan aku suruh pulang lagi!” ucapku kesal.

“Eh, jadi orang jangan dendaman seperti itu, dong! Kamu itu itungan banget sih, Mia! Iya entar Mbak ganti, tapi gak sekarang! Duitnya habis sudah pakai beli pizza. Kamu mau ‘gak? Jangan-jangan kamu nyamperin karena pengen ‘ya? Pasti belum ngerasain makanan seperti ini ‘kan ya?” ucapnya sambil melirik sinis ke arahku.

Aku melengos pergi meninggalkannya. Terdengar juga suara Mesya menangis dari dalam kamar. Aku mengambil kain untuk menggendongnya lalu mengambil uang tiga puluh ribu rupiah milikku dan berjalan ke luar.

Aku hendak ke tempat parkir Mas Hafid. Meminta uang, untuk tambahan Mesya berobat. Semoga sudah dapat meski hanya beberapa rupiah.

Aku berjalan menyusuri jalan perumahan yang berdebu. Kututupi kepala Mesya dengan kain agar tidak terlalu kena udara luar. Sebentar lagi aku akan tiba di sana.

Namun alangkah kagetnya aku, ketika dari kejauhan tampak Mas Hafid tengah dihajar oleh dua orang. Tubuhnya terhuyung membentur trotoar.

“Mas Hafid!” pekikku sambil berlari memburunya

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status