Menjelang ashar aku keluar dari kamar. Cucian milik Mbak Winda tampak menggunung di sofa ruang tengah. Sepertinya dia sudah angkatin pakaian yang hanya kujemur saja itu.
Suasana di ruang tengah sepi. Padahal aku mau menitipkan Mesya dulu pada Ibu sebentar. Jika Mesya sudah bangun, aku gak bisa ngapa-ngapain soalnya. Aku akan menyiapkan masakan untuk sore nanti. Mungkin ibu sedang membawa main kedua cucunya ke rumah tetangga.
Aku kembali lagi ke kamar dan menggendong Mesya pada akhirnya. Belum sempat lagi aku pergi ke dapur terdengar orang yang memanggil dari teras.
“Permisi! Go food, Mbak!” pekiknya.
Aku membukakan pintu. Tampak seorang pengemudi ojek online tengah menenteng beberapa box makanan.
“Cari siapa, Pak?” tanyaku.
“Ini, Mbak … dari go food! Anter pizza!” ucapnya.
“Atas nama siapa, Pak?” tanyaku lagi, tidak merasa memesan makanan langka itu. Ya, langka bagiku yang kondisi kantong pas-pasan. Sayang duitnya kalau membeli makanan mahal seperti itu.
“Eh, itu pizza atas nama Winda ‘kan, Pak?” tanya Mbak Winda yang tiba-tiba menyahut dari dalam. Tukang ojek online itu hanya mengangguk.
Mbak Winda menyembul dari ambang pintu dan menyenggol bahuku.
“Awas, nanti ngiler! Kamu mana kebeli makanan mahal seperti ini! Sana, gih! Masak beras saja sama garem yang kamu punya!” cibirnya sambil menerima box pizza itu.
"Sombongnya, mentang-mentang punya duit," batinku.
Aku melengos pergi. Mau jadi orang waras saja yang ngalah. Lagi capek setelah seharian menguras energi memasang iklan di mana-mana. Menyebar informasi ke semua grup jual beli cukup menyita waktu dan energi ternyata.
“Eh, Mia!”
Kenapa juga dia memanggilku lagi. Aku menghentikan langkah dan menoleh sekilas.
“Apa, Mbak?”
“Besok tolong setrikain baju, Mbak, ya! Nanti Mbak kasih upah lima belas ribu!” ujarnya sambil menenteng pizza dan masuk ke dalam.
“Aku besok jadwal nyuci, Mbak! Aku juga banyak kerjaan, Mbak! Jadi mulai hari ini aku gak bisa ambil kerjaan setrika baju Mbak lagi. Mbak Winda bisa ke laundry saja, kan banyak laundry di sekitar sini!” tolakku.
Biasanya aku mau jika diupahi, tapi itu dulu sebelum tahu watak dan tabiatnya yang menyebalkan. Dulu aku kasihan juga karena dia kerja, punya anak, masih harus urus ini itu juga. Ternyata setelah mengenalnya aku semakin malas jadinya membantu dia.
“Ya ampuuun, Mia! Belagu banget ya, sekarang kamu! Merasa udah kaya, ya? Emang bisa kaya hanya dengan duit dari hasil parkir? Bangun Mia! Jangan ngimpi mulu jadi orang! Mbak tuh nyuruh kayak gini karena kasihan sama kamu sebenarnya, kan uangnya lumayan bisa buat beli mpasinya si Mesya!” ucapnya.
“Gak usah melebar kemana-mana, Mbak! Bilang saja kalau pelit! Karena kalau pergi ke laundry bisa habis lima puluh ribu ‘kan? Kalau bayar aku cuma lima belas ribu!” ujarku sambil berjalan menuju dapur. Biar aku simpan Mesya di lantai sementara aku mengambil wudhu.
Masih terdengar ocehannya dari ruang tengah. Aku bergegas mengambil wudhu dan mengabaikannya.
Gegas aku masuk ke kamar. Melewatinya yang tampak sedang asyik makan di ruang tengah. Kukunci dari dalam pintu kamarku dan kujauhkan benda yang sekiranya bisa membuat Mesya terluka.
Aku menunaikan kewajiban empat rakaat. Menghadapnya memohon dimudahkan segala jalan dan urusan. Setelah itu kulipat mukena.
Terdengar di luar sudah berisik suara Hasan dan Bian yang bertengkar, rupanya mereka sudah pulang.
Aku menghampiri Mesya. Putriku sedang meringkuk saja di lantai yang ku alasi dengan tikar. Tumben tidak nakal.
“Astagfirulloh! Mesya panas!” Aku memegang dahinya untuk memastikan sekali lagi. Pantas saja sejak tadi seperti yang lemas. Rupanya putriku sedang tidak enak badan.
Gegas kubaringkan dia di atas tempat tidur. Aku bersiap hendak membawanya berobat ke dokter, tapi pas kubuka uang simpananku hanya tinggal enam lembar lima ribuan. Ya, aku baru saja memulai nabung kembali setelah waktu itu uang simpananku habis untuk memperbaiki sepeda motor kami.
Aku mendorong daun pintu yang langsung terhubung ke ruang tengah itu. Tampak Mbak Winda dan kedua anaknya tengah menikmati pizza. Ada Ibu Mertuaku juga di sana duduk melingkar di depan tivi.
“Mbak, tadi aku ada nalangin paketan kamu. Barangnya kusimpan di meja tivi!” ucapku sambil berdiri.
Aroma khas pizza memenuhi ruangan, membuat cacing yang ada dalam perutku meronta. Ya, sejak siang aku terlalu fokus iklan hingga terlupa belum makan.
“Terus?” tanyanya santai. Dia menyuap dengan lahap begitu pun Hasan dan Ibu Mertuaku. Hanya Bian saja yang memang belum mengerti, dia wara-wiri ke sana-sini.
“Itu ‘kan COD, aku bayari dulu tadi lima puluh ribu! Bisa ganti sekarang ‘kan, Mbak! Aku mau bawa Mesya berobat! Anakku demam, Mbak!” ujarku sambil masih mematung.
“Gak ada, Mbak gak ada duit lagi sekarang! Udah Mbak beliin pizza soalnya!” ucapnya enteng.
“Mbak gak bisa gitu, dong! Itu uang lima puluh ribu berarti banget buat aku sekarang! Mbak gak ngerti gimana rasanya anak sakit?” tanyaku sambil menatapnya. Ada rasa kesal bercampur sedih di dada ini.
“Salah sendiri malah bayarin, emang Mbak suruh!” ujarnya seenak hatinya. Bukannya berterima kasih sudah kubantu.
“Oke, kalau gitu! Aku gak akan lagi talangin paketan, Mbak! Kalau dia datang dan Mbak gak ada, akan aku suruh pulang lagi!” ucapku kesal.
“Eh, jadi orang jangan dendaman seperti itu, dong! Kamu itu itungan banget sih, Mia! Iya entar Mbak ganti, tapi gak sekarang! Duitnya habis sudah pakai beli pizza. Kamu mau ‘gak? Jangan-jangan kamu nyamperin karena pengen ‘ya? Pasti belum ngerasain makanan seperti ini ‘kan ya?” ucapnya sambil melirik sinis ke arahku.
Aku melengos pergi meninggalkannya. Terdengar juga suara Mesya menangis dari dalam kamar. Aku mengambil kain untuk menggendongnya lalu mengambil uang tiga puluh ribu rupiah milikku dan berjalan ke luar.
Aku hendak ke tempat parkir Mas Hafid. Meminta uang, untuk tambahan Mesya berobat. Semoga sudah dapat meski hanya beberapa rupiah.
Aku berjalan menyusuri jalan perumahan yang berdebu. Kututupi kepala Mesya dengan kain agar tidak terlalu kena udara luar. Sebentar lagi aku akan tiba di sana.
Namun alangkah kagetnya aku, ketika dari kejauhan tampak Mas Hafid tengah dihajar oleh dua orang. Tubuhnya terhuyung membentur trotoar.
“Mas Hafid!” pekikku sambil berlari memburunya
Istri Mas Akim yang sedang menunggu di kontrakan akhirnya mencari tahu keberadaan Mas Akim yang tidak pulang-pulang hingga pagi. Dia bertanya pada tetangga kontrakan tentang alamat kontrakan Teta. Namun semua tidak ada yang tahu. Via mencoba menghubungi ponsel Mas Akim juga tapi tidak ada yang mengangkatnya. Hingga pada pukul sepuluh pagi, ada seseorang yang mengetuk pintu. Ternyata pemilik kontrakan. Via langsung mendadak lemas ketika mendapat kabar dari pemilik kontrakan jika Mas Akim ditemukan tewas bersama Teta di kontrakan perempuan itu.Via---perempuan yang dibodohi cinta, akhirnya membawa pulang jenazah suami yang telah berkhianat itu. Tetap saja dia menangis histeris. Terlebih selama ini dia tidak tahu kelakuan Mas Akim di rantau. Baginya Mas Akim adalah suami baik dan bertanggung jawab. Hanya hari itu saja dia memergoki bersama Teta. Kehidupan Via sebetulnya terselamatkan. Mas Akim tidak bisa lagi melaksanakan niat busuknya untuk menguasai warisan Via dari orang tuanya. Nam
Teta beberapa kali menciumi pipi Mas Akim. Sudah tidak sabar mereka akan melaksanakan rutinitas yang menyenangkan di dalam kontrakan Mas Akim. Terlebih baru saja mereka mendapatkan beberapa bungkus barang haram yang mereka candukan. Cup!Cup! Cup!Beberapa kali Teta mencium pipi lelaki berambut plontos itu ketika sepeda motor yang mereka tumpangi berhenti. Tangan Teta yang melingkar pada perut Mas Akim tak jua dilepasnya. “Sayang! Lepas, dong! Katanya mau buru-buru?” bisik Mas Akim sambil membelai pipi Teta. “Habisnya nyaman kalau peluk kamu, tuh!” ucap Teta sambil melepas pelukannya lalu turun dari sepeda motor. Begitu pun Mas Akim. Keduanya baru saja hendak membuka pintu kontrakan ketika terdengar ada suara yang memekik dari arah jalan.“Mas!” Suara seorang wanita memekik.Mas Akim dan Teta menoleh. Ada seorang wanita yang tampak memandang nyalang pada Mas Akim. Perempuan itu mendekat. Lalu menatap lekat wajah Teta yang memang masih terbilang muda itu dengan penuh kebencian. Pl
Mia menatap Mesya dan Lili yang tengah berlarian di taman depan. Fasilitas umum yang baru selesai dibangun oleh developer ini cukup efektif. Keduanya berteman semakin dekat semenjak Lili resmi diadopsi menjadi anak dari keluarga Mbak Nindi. Mendengar cerita Mia saat pulang dari panti waktu itu, Mbak Nindi langsung tertarik dengan sosok Lili. Setelah semua dokumen selesai diurus, akhirnya Lili kini resmi menjadi putri dari keluarganya. Mia dan Mbak Nindi tengah duduk di tepi lapang sambil memakan rujak petis. Mangga muda yang dibawa Mbak Nindi benar-benar segar. Meskipun hari sudah menjelang sore, akan tetapi rujak ini masih cukup bersahabat untuk dinikmati.Kini Mia lebih banyak memiliki waktu luang, semenjak Hafid meminta untuk tidak terlalu capek, Mia sudah membayar satu orang admin virtual untuk mengurusi setiap cabuy yang bertanya tentang property. Warteg dan catering akikah, sudah ada yang jaga juga. Jadi Mia hanya sesekali mengecheck mereka saja.Sore itu, Mia tengah menunggu H
“Astagfirulloh, Mas! Itu kok mirip banget sama Mbak Winda, Mas?” gumam Mia sambil menatap para pelaku yang tengah digiring oleh pihak kepolisian. Hafid menoleh pada layar kaca. Begitupun Bu Romsih yang tengah bermain dengan Mesya. Keduanya memekik bersama. Benar, wajah dalam layar kaca itu sangat mirip sekali dengan Mbak Winda. Namun masa iya, Mbak Winda berada di Batam? Mia mencoba mencari tahu kontak stasiun televisi yang menayangkan berita itu. Dia hanya ingin mendapatkan kabar tentang para pelaku yang dibekuk tersebut. Namun ternyata Mia cukup kesulitan. Sambungan terhubung akan tetapi tidak juga ada yang mengangkat. “Apakah Mbak Winda ada yang menjual ke luar pulau, ya, Mas? Makanya dia gak balik-balik ke sini?” bisik Mia pada Hafid.“Astaghfirulloh, Dek! Apa iya, ya? Mas gak kepikiran kesitu, ya?” Hafid terpekik mendengar penuturan Mia. Bu Romsih tiba-tiba terisak. Usianya yang semakin renta membuat perasaannya semakin sensitif. Terlebih dia kembali teringat pada Putri---cuc
Bu Romsih sudah menangis sejak semalam. Sepulang dari tempat kerja, Mbak Winda membawa paksa Putri. Alasannya mau dibawa ke dokter. Namun hingga pagi, Mbak Winda gak bisa dihubungi dan keberadaan Putri tidak diketahui. “Ibu kenapa juga ngasihin si Putri malem-malem dibawa Winda! Sudah jelas selama ini dia gak sayang sama anaknya itu!” Mbak Wilda malah menyalahkan Bu Romsih atas kehilangan bayi tersebut. Bu Romsih yang sejak malam menangis itu makin tersedu. Dia merasa sangat bersalah ketika tak mendapat kabar dari Mbak Winda. Hafid dan Mia baru saja tiba. Keduanya langsung masuk ke dalam rumah. Mas Kama sudah berangkat kerja. Hanya ada Bu Romsih dan Mbak Wilda di sana. “Putri belum ditemukan juga, Bu?” Hafid memburu Bu Romsih dengan pertanyaan. Wanita sepuh itu menggeleng sambil terisak. “Aku juga coba hubungi Mbak Winda berkali-kali tapi gak aktif. Nanti aku coba ke tempat kerjanya.” Hafid berusaha menenangkan. Mbak Wilda menatap sinis pada Hafid. Lalu melirik ke arah Mia. “Ka
“Mbak ngapain pagi-pagi ke sini?” Teta menyipit menatap Mbak Winda.“Aku mau barang itu, Ta!” Mbak Winda mendorong daun pintu yang Teta masih tahan. Namun sontak matanya membulat melihat sosok lelaki yang tengah terbaring di atas tempat tidur Teta. “Mas Akim?!” pekik Mbak Winda sambil berpegangan pada daun pintu. Kakinya mendadak gemetar. Hatinya berdentum-dentum hebat. Lelaki bertelanjang dada tersebut tampak kaget. Dia meraih kaosnya yang tergeletak lalu mengenakannya dengan cepat. Sementara itu, Mbak Winda berjalan cepat mendekat.Plak!Plak! Plak! Tamparan bertubi-tubi dihadiahkannya pada kedua pipi Mas Akim. Air mata Mbak Winda mengalir tak tertahan. Sedih, benci, marah bercampur kecewa membaur menjadi sesak. “Balikin uang aku, Mas! Balikin semuanya!” hardik Mbak Winda sambil mendorong tubuh lelaki yang baru saja hendak bangun itu. Tubuh Mas Akim terhuyung ke belakang karena tidak menyangka mendapatkan serangan dadakan sekuat tenaga dari Mbak Winda.Mbak Winda maju lagi mera