Share

KESAKSIAN ANAKKU

Tring.....

Ponselku berbunyi, kudengar 1 notifikasi chat masuk, kubuka mataku, kurasakan tubuhku panas dingin, mataku terasa hangat dan sipit karena menangis semalaman.

Kulihat dari ventilasi jendela suasana di luar masih gelap, jam di dinding menunjuk pukul 04.00.

Aku pun bangkit dari tempat tidurku, karena waktunya sholat subuh .

Kuambil air wudhu, kugelar sajadahku, masih kupakai mukena pemberian suamiku saat lamaran dulu, lalu kujalankan kewajibanku sebagai hamba Allah.

Selesai sholat subuh, ku lantunkan dzikir dan doa, sebagai penenang jiwaku. tak lupa memanjatkan doa untuk kesehatan, keselamatan dan kesuksesan Anak- anakku.

Air mataku meluruh lagi dan lagi saat mendoakan mereka, bagaimana tidak, disetiap doa menyebut nama anak-anakku aku menyebut bin/binti lalu nama Ayahnya, nama yang masih menggetarkan jiwaku, nama yang akan tetap selalu kusebut di setiap sujudku.

Usai berdoa, kupandang jendela, sinar mentari mulai menerobos memberikan sinarnya.

Aku bergegas kedapur untuk menyiapkan sarapan putra putriku, yang sulung bernama Ardi Syaputra masih sekolah kelas 2 SMP, si bungsu bernama Aisyah Dwi Syahputra masih kelas 5 SD.

Seperti biasa aku menanak nasi di magicom, lauk seadanya, hari ini aku masak tahu goreng setengah matang dan sambal kecap.

Sambil menunggu Anak-anakku keluar kamar, aku bebersih rumah, dan menyiapkan bakal aneka gorengan untuk di jual, di depan rumah dan via online di sekitar kampungku, terkadang pesanan dalam jumlah banyak siap kuantar ke tujuan.

Sebelum beraktivitas, aku ambil ponsel untuk mengecek chatku, untuk melihat pesanan makanan dari pelanggan, sepertinya tadi aku mendengar ada notifikasi masuk.

Aku tertegun membaca chat yang masuk dari salah satu kontak yang masih kuberi nama, 'suamiku sayang' masih ada desir aneh yang kurasa saat melihat profilnya.

Bagaimanapun 15 tahun bukan waktu yang seumur jagung, kisah manis banyak tercipta sudah, hingga lahir 2 buah hati, walau akhirnya kandas juga.

Lalu kubaca pesannya.

[Siapkan barang-barang aku di tas, letakkan di pintu depan]

[Sebentar lagi kuambil]

Chat singkat, yang tak ada lagi kata Salam dan sayang mengawali di setiap chat-nya dulu, tak ada lagi canda, ehh, mikir apa aku ini.

Kutepuk keningku, bukankah kami sudah memutuskan berpisah, apa masih pantas aku berharap chat romantis darinya, sudahlah.

Chat-nya dari subuh tadi, sementara aku baru membuka pesannya dan belum mengemasi barang miliknya.

Aku bergegas mengambil tas dan kantong kresek merah, mengemasi pakaian, sepatu dan lain lain milik suamiku.

Rencanaku semua akan kukemas dan diantar via ojek kerumah ibunya, pasti dia pulang kesana, entah bagaimana reaksi ibu mertuaku, yang aku tahu mereka hanya diam mengetahui perselingkuhan Putranya.

Baru beberapa menit aku berkemas, terdengar suara sepeda motor masuk kehalaman rumahku, sudah bisa ditebak, itu motor suamiku.

Aku tetap lanjut mengemas pakaiannya dengan lebih cepat, kulihat dari ujung mataku, suamiku langsung masuk dan berjalan kebelakang, kearah dapur, tampa memberi salam.

Selesai berkemas aku bawa barang milik suamiku ke pintu depan, ada dua tas besar dan satu kantong kresek merah.

ternyata dia sudah membawa travel bag agar bisa membawa banyak barang.

Ceklek

Anak bungsuku Aisyah keluar dari kamarnya, berbarengan dengan Ayahnya yang keluar dari arah dapur.

"Ayah," panggil Putri kami saat melihat Ayahnya, lalu Bang Danu memeluknya.

"He he he, ini Anakku," sahut Ayahnya terkekeh.

"Ayah mau kemana? Dapat kerjaan baru ya? Kerennnn banget ... Cie ... cie," canda Putriku saat melihat penampilan baru Ayahnya.

Aku tertegun .... ya aku terheran-heran dengan penampilan baru suamiku, dengan pakaian mahal, jaket kulit mahal, jam tangan, sepatu kets yang masih baru, parfumnya juga menguar harum.

Darimana dia dapatkan uang untuk membeli semua yang dia pakai, sementara Aku dan Anak-anakku harus berjuang untuk bisa makan sehari-hari.

Apakah semua ini dari selingkuhan kaya rayanya?

luar biasa, sepertinya dia bukan type cewek matre, malah keluar matre untuk membahagiakan Ayah anak-anakku, pantes saja suamiku teramat mencintainya.

"Astaghfirullah," aku Istighfar untuk menguatkan hatiku yang tak baik baik saja.

Tak nampak gurat kesedihan atau penyesalan di wajah suamiku, bahkan nampak makin bahagia dan ceria, cambang tipisnya di cukur halus, menambah ketampanannya.

Sementara aku? Masih saja cengeng dan lemah, terus meratapi dan menikmati rasa sakit berpisah dengannya.

"Stop, cukup sudah ... Aku harus kuat," bisikku dalam hati.

Bismillah, aku kuat.

Aisyah mengurai pelukan ayahnya lalu menuju meja makan, anak-anakku tak ada yang rewel, mereka memakan apa yang kusajikan di meja.

sementara suamiku berlalu menuju pintu, melewatiku tampa menoleh atau menyapa, dia bersikap seolah-olah aku tak ada, bahkan terkesan mengejekku, ingin menunjukkan kalau hidupnya baik-baik saja, bahkan lebih baik tampa aku.

"Astaghfirullah, kutepuk-tepuk dadaku untuk menenangkan gemuruh di hatiku, Aku tak ingin bertengkar di depan Anak anak.

Ardi keluar kamar dengan membawa tas sekolahnya, langsung bergabung dengan Adiknya, untuk makan bersama.

Dia sempat menoleh melihat Ayahnya.

"Wah, Ayah tampil beda hari ini, keren banget, kaya lagi puber kedua," ujarnya datar.

Dia juga melihat aktifitas Ayahnya, lalu mengerenyitkan kening, sepertinya heran, melihat Ayahnya membawa banyak bawaan.

"Ayah lagi apa Bu? Apa yang dibawa Ayah, banyak banget ...?" tanyanya, masih dilihatnya sang Ayah yang sibuk menyusun dan merapikan bawaan, bahkan peralatan pertukangan, seperti ember, arit, palu, gergaji yang ada di dapur dibawanya.

Namun, entah kenapa. Aku mengabaikan rasa sakit hati ini, demi Anak anak. Aku ingin agar Ayahnya masuk sebentar menemani Putra Putrinya sarapan. Aku menyusul suamiku kedepan dan memohon padanya untuk masuk kedalam sebentar, temani anak-anaknya sarapan.

Namun apa yang terjadi, suamiku tak merespon, Aku dibiarkan seolah tak ada yang bicara, dia tetap fokus merapikan barangnya sambil bersiul bahagia.

Wajahku memerah menahan rasa malu di abaikan, hatiku lagi-lagi dibuatnya terluka.

Aku seperti sebuah gelas kaca yang dijatuhkan dari ketinggian, lalu hancur berkeping-keping.

Hatiku meradang, namun kutahan dalam diam.

Kuputar badan kembali masuk rumah, Putra-Putriku memandang dengan heran melihat Ibu dan Ayahnya tak saling menyapa, mereka berdua menatap heran, seolah ingin tahu apa yang terjadi.

Aku tetap diam, berusaha tetap tenang, mengambil piring dan menyendokkan nasi beserta lauknya untuk mereka, aku sengaja mengalihkan perhatian, agar mereka tak bertanya lagi dan aku tak bicara, karena sekali bicara, aku tahu butiran air di mata ini siap mengalir berlomba lomba keluar.

Tiba tiba Ardi berdiri, dan bertanya.

"Ada apa ini Bu? Kalian bertengkar? Aku mau tanya Ayah saja," lalu Ardi membalikkan badan.

Namun sebelum melangkah, aku segera menggenggam tangannya.

"Jangan Nak, biarkan Ayahmu, dia memilih pergi, maafkan Ibu dan Ayahmu, Ibu nggak kuat lagi Nak," akhirnya lolos juga air mata, aku tak kuat menahannya.

Ardi terkesiap.

"Apa maksudnya Bu?"

"Tenang Nak, maafkan Ibu ya, Ayah dan Ibu memutuskan berpisah, tapi kami berpisah baik-baik kok, nggak berantem sama sekali, kami nggak ribut kan?" jelasku sambil tersenyum menenangkan Putraku.

Aisyah hanya diam melongo dengan wajah heran, mungkin karena masih terlalu kecil usianya untuk memahami.

Tiba tiba Ardi kalap,dan berteriak.

"Jadi dia beneran menyakiti Ibu ...?! Bajingan itu bikin ulah ...?! Heh! Kurang ajar, belum cukup kamu nyakitin Ibuku?" teriaknya sambil mengepalkan tangan, siap berlari dan memukul Ayahnya dengan emosi.

Aku terkejut dengan reaksi Ardi yang tiba-tiba emosi luar biasa, dadaku berdebar kencang ketakutan, aku segera bergerak cepat memegang lengannya, namun ditepis Ardi dengan kasar, dia merangsek ke depan ingin menghajar Ayahnya yang kulihat tengah melongo di tempatnya berdiri, melihat Putranya mengamuk.

Aku yang takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan tetap berusaha meraih Ardi, kukejar langkahnya, akhirnya kutarik bajunya dengan dua tanganku, menghentak tubuhnya kebelakang, lalu kupegang kerah bajunya, kami berdua jatuh terguling dan tersungkur dilantai.

Aku memeluknya erat-erat agar tak terlepas lagi, sambil menangis tergugu memohon Anakku untuk tetap tenang, mulut Ardi tetap memaki maki Ayahnya dengan ucapan kotor.

Ya Allah, ada apa dengan Anakku? Kenapa semarah ini?

"Ardi, tenang Nak, Ibu mohon jangan sakiti Ayah Nak, Ibu mohon, kalau kau memukul Ayahmu, Ibu juga sakit Nak, Ibu nggak tega Ayahmu terluka, Ibu sangat mencintainya, biarkan Ayahmu Nak," aku tergugu sambil memohon pada Ardi untuk tetap tenang.

Kulihat suamiku tak ada lagi di teras, rupanya dia gegas pergi setelah melihat Putranya mengamuk.

------

Setelah mulai tenang emosinya, aku bertanya.

"Kenapa kamu Ardi?"

Kenapa semarah itu sama Ayah? Apa yang kamu ucapkan tadi nggak pantas didengar Nak, apalagi diucapkan ke Ayah, Istighfar Nak," nasehatku ke Ardi.

Ardi membalas pertanyaanku, masih dengan berteriak.

"Jangan bela bajigan itu Bu, dia nggak pantes buat Ibu, biarkan dia pergi menemui perempuan jalangnya itu."

Degh

Aku terkejut dengan ucapannya, lalu bertanya lirih penuh selidik.

"Ada yang kamu tahu Nak? Padahal Ibu nggak menceritakan masalah kami, bagaimana kamu tahu? Ceritakan ke Ibu," tekanku, agar dia bicara apa yang dia ketahui.

Ardi dan Aisyah saling berpandangan, terlihat wajah mereka tegang, lalu menunduk dan tetap diam.

"Katakan Nak, Ibu nggak akan pergi sebelum kalian cerita," aku duduk di depan Ardy yang masih duduk di lantai.

Ardi gelisah, dia tetap diam.

Kubelai bahu dan tangan Ardi, aku tersenyum untuk menunjukkan ke mereka kalau aku kuat dan perpisahan ini tak menyakitiku.

"Katakan sayang, Ibu janji nggak marah, janji nggak nangis lagi, justru kalau Ardi nggak cerita, Ibu akan marah, kecewa dan terus diam," bujukku sedikit mengancam.

"Aku nggak mau Ibu nangis," kata Ardi sendu.

"Tidak Sayang, Ibu janji, ayo cerita," desakku.

Ardi menghela napas lalu menghembuskannya perlahan.

"Maafin Ardi Bu, kalau Ardi nggak ngadu ke Ibu. Ardi takut Ibu nangis dan marah," katanya lirih

Aku terdiam sambil menggelengkan kepala, tetap menunggu cerita Ardi selanjutnya.

"Ardi liat Ayah dan Tante, tindih-tindihan," lanjutnya.

"Maksudnya?" tanyaku heran.

"Itu Bu, tindih-tindihan, Ayah di atas, Tante di bawah nggak pakai baju," jelasnya sedikit emosi.

Degh, oh hati...

Tolong...

Tetaplah baik baik saja ...

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Saraswati_5
astaghfirullah, ini bikin mental anak hancur mah
goodnovel comment avatar
Viala La
ksihan anaknya, mlihat klakuan bapaknya
goodnovel comment avatar
Rifatul Mahmuda
mental anaknya hancur banget sih. apalagi mereka sendiri yang menyaksikan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status